Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Kamis, 08 Desember 2011

Dosa Tujuh Turunan atau Kemalasan Tujuh Turunan

Ekah prajayate jantureka ewa praliyate
Eko’nubhumkte sukritam eka
Ewa ca duskritam.

Artinya:
Sendirianlah orang itu lahir, sendirian pulalah ia meninggal, sendirianlah ia menikmati pahala perbuatan baiknya dan sendirian pulalah ia menderita ganjaran dosa-dosanya. (Manawa Dharmasastra IV. 240).


Entah darimana asal muasal mitos dosa tujuh turunan itu. Apakah karena ada kisah kutukan seorang pembuat keris pusaka bernama Mpu Gandring terhadap Ken Arok-pendiri kerajaan Singasari di Jawa? Konon pada suatu ketika Ken Arok menikam Mpu Gandring dengan keris buatan Mpu itu sendiri karena kesal keris pesanannya tak selesai tepat waktu. Sebelum meninggal Mpu Gandring mengutuk agar Ken Arok dan tujuh turunannya akan terus saling bunuh-bunuhan dengan keris itu. Kutukan itu dilontarkan Mpu Gandring, karena ia menilai dosa-dosa Ken Arok tak terampuni hingga tujuh turunan lamanya.

Dosa tujuh turunan ini hidup sebagai suatu budaya mitos di tengah masyarakat Nusantara. Selain di Bali, di sebagian komunitas masyarakat Jawa mitos ini juga dikenal, mungkin di daerah-daerah lain kepercayaan sejenis juga ada. Mitos ini biasanya sering dibangkit-bangkitkan manakala dalam sebuah keluarga sering kena musibah dan kebetulan salah satu orang dalam silsilah keluarga itu dulunya dikenal sebagai orang dengan perilaku tidak baik. Kemudian, nasib buruk generasi masa kini itu oleh sebagian orang segera dihubung-hubungkan dengan perilaku kelam para generasi pendahulunya. Sebenarnya, hal ini lebih merupakan hukuman sosial yang ditimpakan masyarakat pada sebuah keluarga atau terhadap seseorang. Artinya, masyarakat sekitar bersifat mendendam dan selalu mengingat-ingat dosa seseorang hingga memberi stigma negatif terhadap keturunan orang tersebut sebanyak tujuh turunan kemudian. Diperparah oleh pepatah Melayu: air cucuran atap jatuhnya di pelibahan juga, maka semakin kuatlah mitos dosa tujuh turunan itu dilekatkan pada sebuah keluarga yang dicitrakan berprestasi “hitam.”

Jika dalam Purana ada kisah seorang raksasa jahat bernama Hiranyakashipu melahirkan Prahlada yang bekepribadian suci. Hidup anak raksasa itu sungguh beruntung dan dingat-ingat kemuliaannya oleh banyak orang hingga sekarang. Andai dosa tujuh turunan itu berlaku, maka seluruh turunan Hiranyakashipu semestinya memikul derita berat akibat hukuman atas perbuatan Hiranyakashipu.

Sloka manawa Dharmasastra di atas sangat jelas menegaskan, bahwa reaksi dari karma seseorang hanya akan menimpa si pelaku. Dosa tidak dapat diwariskan. Dalam praktik sehari-hari sebenarnya berlaku hukum kebalikannya, yaitu kemuliaan seorang anak dalam satu keluarga akan dapat membersihkan “dosa-dosa” leluhurnya. Contohnya sederhana saja, bila dalam sebuah keluarga kebetulan kakek atau buyutnya dulu dikenal sebagai maling kawakan, namun bila kemudian dalam garis keturunan itu lahir seorang anak baik budi, berperilaku dermawan dan rendah hati serta berhasil menorehkan prestasi, maka orang-orang akan menghormatinya serta segera melupakan catatan buruk generasi pendahulunya itu. Sebaliknya, bila seorang kakek memiliki prestasi gemilang, pribadi luhur berbudi, ahli agama dan lain-lain, namun bila salah satu cucunya berbuat bejat tak berkesudahan, maka orang-orang akan berujar, “Padahal kakeknya orang saleh, kok cucunya bejat begitu ya?” Dengan demikian kehadiran anak yang “rusak” akan merusak pula para leluhurnya. Dosa seorang anak membuat aroma busuk hingga baunya menyengat sampau kepada leluhurnya yang telah lewat dari dunia ini.

Tiadanya dosa turunan itu ditegaskan juga dalam mantra berikut ini:
Agham astu-aghakrte
Sapatah sapathiyate

“Semoga orang yang berdosa menderita dari dosanya sendiri.Orang yang mengutuk menderita dari kutukannya sendiri” (Atharvaveda X.1.5). Kemudian ada pujian dalam Rgveda sebagai berikut:

Martasah santo
Amrtatvam anasuh
“Para penganut, meskipun fana, menjadi kekal berkat perbuatan-perbuatan yang luhur”. (Rgveda I.110.4)

Fana (sementara). Para pengikut Weda, meskipun tidak hidup kekal di muka bumi tetapi kesalehan perbuatannya akan diteladani umat manusia sepanjang masa. Ia akan “hidup” sepanjang zaman. Seperti Raja Janaka, Rsi Wyasa, Swami Wiwekananda, Mahatma Gandhi, dan lain-lain. Inilah arti “Kehidupan kekal” bagi seorang tokoh, bahwa nama baiknya, kekaryaannya sebagai monumen hidup yang bisa dinikmati umat manusia pada zaman berikutnya. Dan nampaknya mitos dosa tujuh turunan pun mengikuti filosofi ini, bahwa aib, nama buruk, dari seorang figur akan sulit sekali hilang dari ingatan masyarakat, bahkan setelah lewat tujuh turunan pun aib itu tetap dikenang saking hitamnya noktah yang telah menodai hidup seorang figur.

Demikianlah bunyi mantra pujian Rgveda:
Suvijnanam cikituse janaya
Sac ca-asac ca vacasi pasprdhate
Tayor yat satyam yatarad rjiyas
Tad it somo-avati hanty-asat

“Orang-orang bijaksana mengetahuinya dengan baik, bahwa kebenaran dan kebohongan berjuang bersama-sama. Di luar ini semua, kebenaran pastilah lebih baik dan lebih menyenangkan sekali. Sang Hyang Soma menyelamatkan orang yang berbicara kebenaran dan menghancurkan si pembohong.”
(Rgveda VII. 104.12)

Kebaikan dan keburukan, purusha dan pradhana adalah sama-sama datangnya dari Tuhan. Dua bentuk itu sama-sama eksis sepanjang masa, tetapi Tuhan mengamanatkan, kebenaran jauh lebih menyenangkan, apalagi Sanghyang Soma (Bulan) akan meyelamatakan orang yang berbicara benar dan menghancurkan si pembohong. Soma adalah cahaya di waktu malam, karenanya kata-kata benar akan menerangi hati yang gelap. Kata-kata pemimpin yang benar akan menerangi (Soma) rakyatnya.

Nasusver apir na sakha na jamih (Tuhan yang Maha Esa bukanlah sahabat, kerabat atau sanak saudara dari orang yang malas)-Rgveda IV.25.6. Orang jahat seperti Rahwana bukanlah kesayangan dewa-dewa, demikian juga Kumbakarna yang malas dan tidur melulu bukan sahabat para dewa, tetapi Wibisana yang bijak adalah sahabat Sri Rama (Visnu/Tuhan). Dari mantra ini kita dapat pelajaran, bahwa kemalasan adalah dosa yang menyebabkan seseorang dijauhi bahkan kena murka Tuhan, sebagaimana murka Sri Rama terhadap Rahwana yang rakus dan kepada Kumbakarna yang pemalas.

Dalam Bhagavadgita disebutkan:
Yasya sarve samarambhah
Kama samkalpa varijitah
Jnanagni dagdha karmanam
Tam ahuh panditam budhah
“Yang bekerja tanpa nafsu dan motif, kerjanya dibakar api ilmu pengetahuan
dinamakan orang-orang arif, sebagai seorang pandita budiman.” (Bhagavadgita IV.19)

Bekerja biasanya didasari motif material, motit ketenaran dan motif lain. Ini adalah normal untuk ikatan-ikatan duniawi. Namun, bila memahami inti pengetahuan kesucian, ia yang mampu bekerja (melakukan kewajibannya) tanpa memikirkan imbalan material maupun moril, mentalnya bebas dari kecewa sukses dan gagal, maka dia yang seperti itu disebut pendeta budiman. Orang seperti ini bebas dari reaksi hukum karma.

Teknik penebusan dosa juga diajarkan dalam kitab suci Hindu. Sekali lagi, salah satu jalan untuk menebus dosa bukanlah lewat ritual apa pun, melainkan dengan jalan kerjas keras dalam hidup ini. Kerja keras itu bisa dengan mengerahkan pemikiran untuk pengabdian, dengan memeras tenaga untuk melakukan kegiatan-kegiatan baik, maupun gabungan potensi keduanya: fisik dan mental. Sebagaimana Bhagavadgita menyebutkan:

Brahmany adhaya karmani
Sangam tyaktva karoti yah
Lipyate na sa papena
Padmapattram iva mbhasa
“Dia yang bekerja mempersembahkan kerjanya kepada Brahman
tanpa motif keinginan apa-apa, tidak terjamah oleh dosa papa
bagaikan air meluncur di dalam teratai.”(Bhagavadgita V. 10)

Dan bagaimanakah dosa itu terampuni oleh Tuhan? Bhagavadgita sekali lagi menyebutkan kata “Bekerja.”
Sarvadharman parityajya
Mam ekam saranam vraja
Aham tva sarvapapebhyo
Mokshayishyami ma suchah
“Setelah meninggalkan tugas kewajiban semua
Datanglah hanya kepadaKu untuk perlindungan
Janganlah berduka, sebab Aku
akan bebaskan engkau dari segala dosa”
(Bhagavadgita XVIII. 66)

Bukan mantra, upacara, meditasi yang dapat menghapus dosa, tetapi hanya kerja, mereka yang telah bekerja melakukan kewajiban masing-masing dengan benar dan melepaskan mental dari pamrih hasil kerja itu diijinkan datang padaNya untuk pengampunan dosa. Mereka para pekerja inilah sesungguhnya seorang karma yogi yang diberi jaminan oleh Tuhan untuk datang ke hadapanNya untuk mendapat perlindungan dan mendapat “remisi” atas segala dosa. Karena itu, giatlah bekerja, supaya tidak jatuh dalam dosa tujuh turunan yang diakibatkan oleh timbunan sifat malas.

N. Putrawan

Selanjutnya......

Mitos Dosa Tujuh Turunan (Sebuah analisis kritis)

I Nyoman Tika

Ungkapan ‘dosa tujuh turunan’ adalah sebuah stigma, yang muncul ketika individu jauh dari kesadaran, akan hakekat hukum karma. Sebab, dosa tujuh turunan, yang masih sering ditemukan dalam benak umat beragama Hindu sampai saat ini. Oleh sebab itu, kata-kata itu menjadi semacam mitos, yang tidak jarang menjadi kontra produktif, sehingga produktivitas umat Hindu, baik dalam tataran mental, moral dan spiritual.


Konsepsi penurunan semacam ini sering mengganggu dan juga tidak jarang menimbulkan persepsi keliru, dan mempengaruhi mind sett umat Hindu, sehingga kerap mengalami traumatik secara psikologi dalam penghayatan beragama, akibatnya mengurangi motivasi kinerja umat. Oleh karena itu diskursus terhadap ‘topik mitos dosa tujuh turunan’ perlu dilakukan untuk paling tidak mendapat dua jawababan dari dua pertanyaan berikut yakni (1) adakah dasar filosofi dalam Weda yang menguatkan pernyataan semacam itu? Kedua, kalau memang ada dalam kaitan apa konsepsi itu dibangun dalam benak umat Hindu?

Implikasi pernyataan-pernyataan dosa tujuh turunan, sering hadir sebagai sebuah ‘stigma’ pada diri dan kelompok tertentu, yang seolah-olah sosok individu atau kelompok lahir dengan mudah hukum karma dapat ditimpa pada orang lain. Artinya, jika pernyatan itu dianut sebagian besar umat Hindu, maka pemahaman terhadap konsep hukum karma, sedikit keliru. Dalam konsepsi itulah meminjam pernyataan Freud tentang agama mendapat penguatan, yakni agama membangun peradaban tidak bisa ditampikkan. Ketika peradaban dibangun, maka agama telah menciptakan serangkaian gagasan masa lalu, dan bukan masa dari sebuah individu. Paralel dengan itu, maka doktrin-doktrin yang dibangun dengan konsep dosa tujuh turunan, yang lahir dari kebutuhan untuk meringankan pukulan yang menyertai kelemahan dan ketidakberdayaan seseorang, haruslah dikontruksi dengan proses berpikir primer. Artinya berdasarkan ingatan yang lemah dan tak berdaya pada jiwa seseorang untuk menghilangkan kompleks imperior yang terus melekat dalam pikiran seseorang.

Untuk mengawalinya paling tidak harus dikemukakan dasar-dasar dosa yang sebenarnya. Sebab selama ini, kalimat yang tajam, dan sering hadir dengan bahasa kutukan, akibat dosa tujuh turunan itu, sejatinya tidak berdasar, dia hadir sebagai sebuah sentuhan tradisi bahwa tipologi seseorang mempengaruhi produktivitasnya.

Dalam bingkai itulah, dosa turunan bukan ada sebelum bayi itu dilahirkan. Bayi tidak membawa kesalahan turunan, namun bayi lahir itu sesungguhnya membawa karma wasanas masa lalunya (sancita karma). Lebih tegas lagi, bahwa bukan karena dikutuk orang tuanya atau akibat neneknya yang pencuri.

Namun ketika dosa tujuh turunan itu akibat pengaruh pendidikan lingkungan. Perlu diketahui bahwa lingkungan hanya mempengaruhi fisik dan tidak lebih. Oleh karena itu, stigma yang terus mencuat dengan klaim-klaim tendensius, menghalangi lahirnya toleransi, maka menurut Gorski (2003), toleransi hanya mungkin terjadi apabila orang rela merelativisasi klaim-klaimnya, sehingga memicu timbulnya kesadaran personal maupun komunal dalam suasana yang tidak dipaksakan. Selanjutnya dikatakan pula penghargaan atas potensi yang lain sebagaimana dibayangkan dalam ”toleransi” memang dibutuhkan. Namun, toleransi seringkali terjebak pada ego-sentrisme (Jalaludin, 2001). Ego-sentrisme mengandung makna bahwa setiap perbedaan mengakui perbedaan lain demi menguatkan dan mengawetkan perbedaannya sendiri (I am what I am not). Paradigma berpikir seperti ini akan memicu tumbuhnya ko-eksistensi bukannya pro-eksistensi yang menuntut kreativitas dari tiap individu yang berbeda untuk merenda dan merajut tali-temali kebersamaan (Muqtafa, 2008; Gorski, 2003).

Saya sependapat bila mitos ini harus diklarifikasi, sebab jiva yang berkehendak mencapai kesempurnaan rohani dalam kedudukan sejatinya yang bebas dari samsara sebenarnya tidak saja memperhatikan apa yang disebut Paapa yang biasanya diterjemahkan sebagai reaksi dosa, tetapi juga apa yang kita sebut karma phala, aksi – reaksi, perbuatan dan hasilnya. Artinya, dosa atau papa disebabkan oleh karya individu dengan badannya sendiri. Bukan hasil interaksi badan orang lain.

Karma dan dosa selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan, manakala ego manusia mengatasnamakan semua yang dia lakukan. Dalam koridor itu kita perlu menyimak, ketika seseorang distigma tentang dosa tujuh turunan, maka kesedihan selalu meliputi dirinya. Untuk itu perlu diketahui nasehat Sri Krishna dalam Bhagawadgita, “Krishna memberi Arjuna semangat dan keberanian untuk menyelamatkannya agar tidak tenggelam dalam kesedihan dan keputus-asaan. Pertolongan pertama yang diberikan Beliau adalah memberikan pelajaran mengenai ‘diri sejati’ dan yang ‘bukan diri sejati’ dan perbedaan di antara keduanya. Beliau berkata, "Arjuna, selama engkau dikuasai oleh ketakutan dan kecemasan, engkau tidak akan mampu mencapai apa-apa. Bangkitkanlah keberanianmu! Ketahuilah bahwa engkau adalah atma, bukan badan ini; maka engkau tidak akan mengenal rasa takut. Aku dapat menolong engkau mencapai berbagai hal yang besar dan agung; namun hanya bila engkau mendasari tindakanmu dengan pengetahuan sejati dan tetap gagah berani." Sampai di sini Krishna tersenyum, tetapi Arjuna menangis, mengapa? Karena Tuhan selalu bahagia, manusia selalu terikat dengan hasil, dengan badan, kerabat. Saya ingin mengatakan, dosa tujuh turunan ketika itu masih berkelebat sebenarnya, kita masih terikat akan hasil.

“Om Nama Siwaya

Selanjutnya......

Bila Pendharmawacana Menakuti Umat dengan Dogma Dosa

Gede Agus Budi Adnyana

Mewarisi sebuah dosa yang amat berat dan tidak ada yang dapat dilakukan selain menerima dengan sangat ikhlas, tampaknya bukan sebuah hal yang direkomendasikan oleh Veda ataupun susastra Veda. Hindu tidaklah seperti agama semitik, yang meyakini bahwa manusia memiliki dosa turunan secara geneologi. Tetapi setiap manusia yang ber-karma, dialah yang pada hasil akhirnya harus menerima buah dari karmanya sendiri.

Perbedaan dosa geneologi dengan dosa karma adalah, dosa geneologi meyakini bahwa seseorang yang melakukan tindakan yang dinyatakan salah, menyimpang atau keliru dalam tataran agama, maka dosa dari tindakan itu akan diwariskan juga kepada anak cucunya kelak yang tidak tahu menahu tentang dosa itu. Jadi mau tidak mau, entah anak atau cucunya manusia saleh sekalipun, atau setingkat dengan maharesi sekalipun, ia harus menerima dosa pendahulunya dengan buta. Tetapi, dosa karma adalah setiap individu yang berbuat kesalahan, maka ia sendiri yang menerimanya. Masalahnya sekarang adalah karena buah karma itu pasti tetapi misteri, maka hasilnya belum tentu diterima sekarang.

Dapat saja diterima dalam kehidupan yang akan datang, tetapi hanya individu pembuat dosalah yang menanggungnya. Tidak ada sangkut pautnya dengan anak cucunya kelak. Seperti seorang Brahmin tua yang ada di Avanti yang tenggelam dalam tindakan pelacuran, maka dalam kelahiran selanjutnya ia terlahir sebagai orang candala. Satu hal yang unik kita terima sebagai pemeluk Hindu, adalah dosa karma ini dapat diperingan dengan tindakan saleh anak cucunya. Tidak seperti dosa geneologi yang diturunkan tujuh turunan tanpa memandang sang anak atau cucu saleh atau terpelajar. Pokoknya tidak bisa diganggu gugat, sang cucu harus menerima dosa kakeknya dulu, yang padahal cucunya sendiri tidak ada di sana atau tidak tahu tentang prilaku sang kakek.

Dalam Brhad-Aranyaka Upanisad, seorang putra yang saleh, atau keturunan yang terpuji dalam moralitas, dapat menyelamatkan leluhurnya dari keterpurukan akibat dosa yang pernah leluhurnya lakukan. Itulah “Put” yang secara harfiah berarti menyeberangkan leluhurnya dari Neraka. Jadi anak cucu merupakan jalan keluar untuk sebuah kesalahan yang berat yang pernah dilakukan oleh pendahulunya. Konsep ini membawa sebuah paradigma berpikir tentang bagaimana caranya bangkit dan berusaha menuju hidup yang lebih baik dari sebelumnya.

Untuk itulah, harapan untuk mendapatkan keturunan yang suputra (saleh) diupayakan dalam agama Hindu. Dengan demikian, umat Hindu tidaklah umat yang putus asa, karena sudah menerima dosa mendiang leluhurnya dahulu tanpa tahu seluk-beluk masalah. Jika dosa geneologi ini dipertahankan dalam banyak hal, maka saya sendiri menjadi tidak yakin dengan kalimat pujian untuk Tuhan Yang Maha Adil. Bagaimana mungkin dosa semacam itu (geneologi) dapat dinyatakan sebagai tindakan yang adil? Bahkan Tuhan sendiri mengukuhkan dosa itu sampai tujuh turunan (jika ada) tanpa mempertimbangkan apakah anak cucu orang itu tumbuh sebagai manusia yang saleh, atau bukan.

Demikian juga, bagaimana mungkin Tuhan Yang Maha Adil, tidak memberikan umatnya untuk memperbaiki kesalahan dengan generasi selanjutnya. Jika geneologi dosa itu dikukuhkan oleh Tuhan, maka Tuhan adalah penegak keadilan yang buruk. Sayang sekali, dalam Upanisad ataupun Mantra Samhita, Tuhan yang mengukuhkan dosa geneologi semacam ini tidak kita temukan. Tuhan adalam Upanisad sangat adil, bahkan dalam Purana, Tuhan memberikan banyak kesempatan dan memberikan pertimbangan matang untuk sebuah jalan memperbaiki kesalahan menuju hidup yang lebih baik. Jadi Hindu bukan agama seperti agama semitik yang meyakini Surga abadi atau Neraka Abadi.

Maharaja Sagara dulu pernah memiliki putra bernama Asamanjasa dan dari Dewi Sumati memiliki putra 60.000 orang banyaknya. Mereka melakukan dosa besar karena menghina dan menjarah pertapaan Maharesi Kapila. Mereka harus menerima dosa karena tindakan itu, tetapi dosa itu tidak menurun kepada putra mereka. Buktinya, Amsumana tidak menerima konsekuensi dari tindakan leluhurnya itu. Namun karena ia merasa sangat peduli kepada leluhurnya, maka ia melakukan upacara penebusan dosa untuk leluhurnya dengan berdoa kepada Ibu Gangga.

Kemudian setelah maharaja Amsumana, maka putranya juga melakukan puja agar dosa leluhurnya dapat diringankan, Dilipa hadir dalam hal ini, maka untuk terakhir kalinya, maka Maharaja Bhagiratha menjadi jawaban atas penebusan dosa yang dilakukan. Dalam agama Hindu, tidak ditemukan dosa menurun pada anak cucunya. Jadi siapa pun yang melakukan atau berbuat, maka ia sendiri yang akan menerima. Namun Tuhan dalam agama Hindu adalah Tuhan maha bijaksana, Beliau memberikan kesempatan untuk memperbaiki hidup dengan keturunan yang saleh.

Bahkan dalam Purana, kita banyak menemukan uraian mengenai masa lalu seseorang yang kelam, namun karena niat untuk memperbaiki dirinya sangat besar, maka ia menjadi manusia terpelajar dan suci. Ratnakara, adalah seorang perampok kelas kakap, tetapi karena ia mem-prayascitta dirinya dengan mengucapkan nama Rama (Namasmaranam), maka ia menjadi Valmiki. Visvamitra dulunya juga seorang penuh dengan keangkaramurkaan, nafsu yang berlebihan, amarah yang meledak-ledak, tetapi, karena tapa yang keras, ia pun menjadi Brahmaresi, dan menerima Gayatri Mantra.

Jadi setiap orang punya masa lalu dan setiap orang punya masa depan. Jika Tuhan tidak mempertimbangkan masa depan umatnya, maka wah… Tuhan sangat tidak adil. Belum tentu anak atau cucu seseorang akan berbuat yang sama buruknya dengan pendahulunya. Tanpa mempertimbangkan apakah manusia yang akan terlahir nanti saleh atau tidak, berbhakti atau tidak, Tuhan sudah menjatuhkan dosa leluhurnya pada anak itu, maka Tuhan sepertinya tidak memiliki welas asih, yang bahkan dimiliki oleh seorang ibu sekalipun.

Dosa Akibat Pegang Bajra

Dalam sebuah dharma wacana, saya pernah mendengar seorang pendharma wacana menyatakan, bahwa seorang jero mangku yang salah memegang bajra, hanya gara-gara jari telunjuknya menyentuh bagian paling atas bajra, akan dijatuhi hukuman sampai tujuh keturunannya. Wah….padahal, anak cucunya bisa saja terlahir menjadi manusia saleh terpelajar dan bermoral yang baik. Tanpa tahu akan kesalahan kakeknya dulu, hanya karena jari telunjuk menyentuh bajra saat mapuja, ia juga kena dosa tujuh turunan. Apa motif yang pendharma wacana menyatakan itu di media televisi, saya sendiri juga tidak tahu. Tapi jika boleh saya interpretasikan, maka itu terjadi karena masih saja sang pendharma wacana dicekoki oleh dikhotomi feodalisme yang kaku.
Setelah saya cari tahu, maka hampir seluruh jero mangku di setiap pura memegang bajra dengan cara demikian. Maka saya berpikir, berarti jika kalimat sang pendharma wacana yang “bijak” itu benar, maka seluruh jero mangku yang saya perhatikan memegang bajra dengan menyentuh bagian paling atas akan masuk neraka sampai tujuh turunannya sekalian. Apakah Ida Bhatara di pura tempat jero mangku ngayah itu, tidak mempertimbangkan bhakti, ngayah, dan niat sang jero mangku selama ini. Jero mangku-nya sudah susah payah menguras energi dan biaya untuk ngayah dengan rasa bhakti seumur hidupnya dengan penuh kemelaratan. Hanya gara-gara jari telunjuk saat mepuja menyentuh bagian atas bajra, ia dan tujuh keturunannya masuk neraka, wah…saya rasa ini mestilah dirujuk sumber sastra sucinya, supaya tidak menjadi iterpretasi pribadi dan motif pribadi juga.

Jadi janganlah mencekoki umat dengan paparan yang menakut-nakuti yang tidak masuk akal seperti itu. Saya bicara berdasarkan Mantra Samhita dan Upanisad, namun jika dalam lontar Nibandha ditemukan yang demikian atau yang bertentangan dengan Sruti, maka dengan tegas saya nyatakan Sruti-lah yang menjadi pegangan utamanya.

Selanjutnya......

Mitos Dosa Tujuh Turunan Meracuni Pikiran

I Wayan Miasa

Dalam setiap agama selalu mengenal istilah dosa, kutukan atau istilah-istilah lainnya yang berhubungan dengan perilaku masyarakat. Sebagai buktinya adalah bahwa setiap kehidupan masyarakat tersebut memiliki kesamaan (kemiripan). Hal ini kita bisa lihat pada padanan kata-kata dosa atau kutukan tersebut di negara yang sudah maju. Misalnya dalam bahasa Inggris ada istilah “Sin” untuk dosa dan dalam bahasa Jerman disebut “Sünde”, sedangkan untuk kata kutukan ada istilah “Curse” (bahasa Inggris), “Fluch” (bahasa Jerman) di Bali kita mengenal sebutan “pastu” dan lain sebagainya,


Sehubungan dengan istilah dosa tersebut di atas dalam kehidupan bermasyarakat kita sering terdengar istilah “dosa tujuh turunan”, “kutukan tujuh turunan” serta yang istilah-istilah lainnya yang dihubungkan dengan perilaku yang dianggap melanggar norma sosial dan norma ajaran agama. Dalam ajaran Karmaphala disebutkan, bahwa setiap aktivitas manusia akan membawa hasil. Phala karma itu sangat tergantung dari kegiatan yang dilakukan. Kegiatan yang baik atau apa yang dikenal dengan istilah subhakarma tentunya suatu saat akan mendapat pahala yang baik begitu juga sebaliknya kegiatan ashubakarma akan mendapatkan hasil yang tidak baik pada suatu masa. Dan seseorang yang tidak melakukan sesuatu atau akarma tentu mereka tidak akan mendapatkan hasil.

Dalam realita kehidupan masyarakat, sering terjadi bahwa orang yang berbuat tidak baik hidupnya justru mewah penuh dengan kesenangan, sedangkan orang yang berbuat baik justru sebaliknya. Hal ini sebenarnya terjadi karena adanya proses menikmati phala karma masa lalu orang itu. Hal ini juga dicontohkan dalam cerita Mahabharata, misalnya Duryodana dan saudaranya pertama-tama hidupnya mewah dan akhirnya hidupnya penuh dengan penderitaan. Sebaliknya pertama-tama hidup para Pandawa susah penuh kesulitan, namun pada akhirnya Pandawa mendapatkan kejayaan. Kejadian semacam tersebut adalah proses panjang yang memiliki rentang masa tertentu.

Begitu juga tentang kutukan bahwa kutukan tersebut tak selamanya membawa bencana seperti halnya yang terjadi pada diri Arjuna. Dia dikutuk oleh Urvasi saat berada di Indra Loka dan atas campur tangan Dewa Indra kutukan tersebut pada suata masa sangat bermanfaat bagi Arjuna saat sang Pandawa hidup dalam penyamaran, sehingga Arjuna dengan mudah mengelabui masyarakat Wirata saat itu.

Kembali mengenai dosa atau kutukan tersebut hal itu tak perlu ditakuti karena Tuhan telah memberikan janji kepada makhluk di dunia ini mengenai pembebasan manusia dari belenggu dosa itu. Jika makhluk hidup tersebut mengikuti tatanan yang telah ditetapkan dalam ajaran buku-buku suci, maka Tuhan membebaskan makhluk tersebut dari belenggu tersebut sesuai yang disabdakan oleh Shri Krishna dalam Bhagawad Gita bab. 4. 36-37. Dalam Sloka tersebut dinyatakan bahwa dengan perahu ilmu pengetahuan rohani orang akan bisa menyeberangi lautan dosa tersebut. Artinya manusia itu hendaknya selalu berusaha menguasai ilmu pengetahuan, sehingga mereka tersebut terbebas dari belenggu dosa atau kebodohan menuju ke arah pembebasan berupa pencerahan atau apa yang disebut dengan Aufklӓrung. Bahkan di agama tertentu aspek penebusan dosa (Beichte) dan pembebasan ini bahkan dipropagandakan untuk menarik minat orang di luar agama mereka.

Oleh karena itu kita seharusnya berusaha melepaskan diri dari belenggu mitos tentang adanya dosa yang berlangsung secara turun temurun. Pendapat yang membuat kita selalu berada dalam keadaan ketakutan dalam kehidupan beragama tersebut seharusnya dibuang jauh-jauh dari praktek kehidupan beragama dan kita seharusnya selalu mengacu pada ajaran buku suci agama kita. Terjadinya pemahaman akan adanya dosa turun temurun itu karena dalam praktek beragama itu kita lebih mengedepankan tindakan menakut-nakuti kepada orang lain daripada aspek pencerahan, sehingga orang itu menjadi tertekan dalam menjalankan praktek keagamaan.

Dalam pembangunan watak warga kita, mereka sering tidak diajarkan bagaimana caranya menuju jalan pencerahan atau memahami ajaran-ajaran buku suci seperti yang diwahyukan oleh Tuhan, tetapi ada pihak yang menjejali mereka dengan berbagai dogma yang menjadikan umat jatuh dalam kecemasan. Padahal kalau kita simak ajaran agama kita secara seksama, maka dapat disimpulkan bahwa ajaran agama kita itu mengajarkan keadilan atas perbuatan kita atau apa yang kita sebut dengan karma phala. Dan bila kita melakukan kewajiban kita sesuai dengan “warna” kita maka tindakan kita akan terbebas dari reaksi dosa.

Menurut beberapa sloka yang saya pernah baca di Bhagawad Gita, dalam ajaran agama Hindu tersebut Tuhan akan turut campur tangan dalam hal membebaskan para bhaktanya dari belenggu dosa bila mana mereka tersebut berserah diri kepada Beliau dengan kerendahan hati, tidak egois dan lain sebagainya. Dalam Bhagavadgita, Bab 18. 34 dipertegas lagi oleh Shri Krishna, bahwa kita hendaknya melakukan sesuatu tersebut sesuai dengan swadharma kita, sehingga proses pembebasan manusia dari dosa akan diatur sesuai kehendak Tuhan dan bukan kehendak manusia. Apalagi masyarakat tersebut telah berserah diri kepada Tuhan.

Namun masyarakat Hindu di mana pun mereka berada seharusnya tidak mencuri keuntungan dari sloka-sloka yang yang disabdakan oleh Shri Krishna dalam Bhagawad Gita karena praktek beragama Hindu itu bukanlah praktek beragama barter dengan Tuhan. Begitu juga agama Hindu mengajarkan para bhaktanya berbuat sesuai dengan swadharma masing-masing individu dan mereka diajarkan berbuat untuk tidak terikat oleh hasilnya dan segala tindakan itu kita dedikasikan untuk Tuhan.

Pemeluk agama Hindu selalu dianjurkan berbuat dalam pertimbangan sifat satwika di dalam aspek kehidupannya sesuai hukum karmaphala, sehingga praktek penebusan dosa (Beichte) tidak dilakukan dengan berbarter dengan Tuhan tetapi dilakukan dengan menguasai ajaran rohani guna menyeberangi lautan dosa. Menurut faham Hindu, dosa tersebut akan berangsur-angsur berkurang bilamana kita melakukan sesuatu kegiatan tersebut berpasrah diri tanpa harus terikat hasilnya. Yang pokok adalah bagaimana membuat sarwa prani tersebut senang dan selalu berada pada jalur perintah buku suci. Dengan cara seperti itu masyarakat akan selalu berusaha membuat orang lain senang atau bahagia. Dan jarang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari dimana kita melakukan sesuatu yang bertentangan dengan dharma atas dasar pertimbangan penghapusan dosa pada saat tertentu. Dalam proses tatanan beragama Hindu yang diajarkan adalah membebaskan diri dari belenggu kebodohan. Umat Hindu diajarkan untuk mengasihi makhluk lain (prema) dan bukan menyumpahi mereka dengan dosa tujuh turunan.

Untuk menghindari peracunan pikiran masyarakat Hindu dari adanya pendapat tentang dosa komunal yang berlangsung turun temurun, hendaknya warga kita itu diberikan ajaran agama yang sesuai dengan sastra Hindu dan bukan mencampuradukkan ajaran tersebut dengan mitos-mitos yang tak berdasarkan sastra. Hal ini perlu dipahami karena adanya pola perubahan perilaku praktek beragama masyarakat kita jaman dulu dan jaman sekarang. Oleh karena masyarakat Hindu jaman sekarang keadaannya tidak buta huruf lagi, maka seharusnya mereka diajarkan dengan cara yang lebih logis. Berbeda dengan jaman dulu dimana warganya cukup ditakuti-takuti dengan kata magis “aja wera” mereka akan tunduk. Hal ini tidak berlaku di jaman sekarang di mana masyarakatnya semakin melek, maka ajaran yang disampaikan pun harus diadaptasikan dengan keadaan masa kini.

Suatu contoh saja, bila ada orang yang kaya lantas sekarang jatuh miskin karena berjudi, maka hal itu terjadi akibat dari tindakan bodohnya menggunakan uang, bukan karena mereka berdosa karena judi dan kejadian lainnya. Untuk menghindari kesalahpengertian semacam ini marilah kita kembali kepada ajaran agama itu sendiri dengan mengikuti perintah dan menaati larangan Tuhan yang dicantumkan dalam kitab suci, sehingga tidak terjadi kebodohan atau tindakan yang sering melawan ajaran sastra.

Selanjutnya......

BR Indra Udayana: Dapat Anugrah International Jamnalal Bajaj Award

Laporan Agung Pertu

Mengharukan dan sangat membanggakan, ketika salah seorang putra Bali berada di tengah orang-orang besar di seluruh dunia dan guru guru suci yang hadir dalam acara penganugrahan Jamnalal Bajaj Award. Acara ini digelar pada Senen,7 November 2011 bertempat di Gedung Yashwantrao Chavan Centre, General Jagannath Bhonsale, Mumbai, India.

Orang Bali yang turut diundang dalam acara terhormat itu adalah Agus Indra Udayana (BR Indra Udayana) yang akrab dipanggil Gus Indra. Ia adalah salah satu penerima anugerah International Jamnalal Bajaj Award untuk Promoting Gandhian Values outside India through Education,Humanitarian Service and Spiritual Healing for Peace, yang diserahkan oleh tamu kehormatan dan juga tokoh spiritual Hindu terkenal India, Pujya Morari Bapu. Penghargaan sejenis sebelumnya pernah juga diberikan kepada tokoh tokoh besar dunia termasuk DR. Nelson Mandela pada tahun 1990, MR A.T Ariyaratne, Prof Johan Galtung dan Arcbishop Desmond Tutu yang peraih Nobel Perdamaian mendapatkan Jamnalal Bajaj Award tahun 2000. Dari penghargaan yang sudah pernah diberikan selama 24 tahun ini untuk International Jamnalal Bajaj Award, Gus Indra adalah penerima Award termuda sepanjang sejarah, di mana rata-rata penerima Award di atas 60 tahun.

Penghargaan yang diberikan setiap tahun ini adalah sebagai salah satu penghormatan terhadap kebesaran gerakan yang pernah dilakukan Mahatma Gandhi untuk kemanusiaan, dan mampu menginspirasi dunia sebagai gerakan tanpa kekerasan. Penghargaan ini diberikan kepada tokoh-tokoh dari luar India yang konsisten meragakan Spirit Mahatma Gandhi.

Agus Indra Udayana (BR Indra Udayana) adalah putra dari pasangan Guru Ketut Oka dan AA Ayu Aryani Oka. Pria kelahiran 6 September 1969 ini adalah Pengasuh Ashram Gandhi Puri yang menerima penghargaan tahun ini bersamaan dengan tiga orang lainnya dari India. Jamnalal Bajaj Award yang sudah diberikan sejak 1988 adalah sebagai salah satu perhatian dari Jamnalal Bajaj Foundation terhadap Pegiat gerakan kemanusiaan pada pekerjaan konstruktif, aplikasi ilmu dan teknologi untuk pedesaan, membangun dan mensejaterakan perempuan serta award sebagai penyebar nilai - nilai dalam ajaran Gandhi, perdamaian dan kemanusiaan yang secara khusus memang diberikan kepada masyarakat di luar India yang tahun ini diberikan kepada Agus Indra Udayana.

Penghargaan ini diberikan karena Agus Indra telah banyak berkiprah lewat perjuangan dan pengabdiannya yang konsisten pada nilai ajaran Mahatma Gandhi. Pada penyerahan Jamnalal Bajaj Award, Gus Indra didampingi I Nyoman Sukerta SE (Shanti Sena AGP) dan I Gusti Ngurah Pertu Agung S.Sn M.Ag (Dharma Duta AGP), karena bagi Gus Indra, Shanti Sena dan Dharma Duta adalah penggerak utama Ashram Gandhi Puri.

Gus Indra yang dari 1992 aktif mendampingi Ibu Gedong Oka yang pernah mendapatkan Award yang sama tahun 1994, kemudian Gus Indra sendiri setelah menyelesaikan sarjana ekonomi-nya di Universitas Udayana melanjutkan studi di Institute of Gandhian Studies di Wardha, Maharastra. Selanjutnya ia aktif bersama beberapa aktifis kemanusiaan, seperti Romo Sandyawan Sumardi, Ibu Karlina Supeli, Faisal Basri.

Agus Indra mengembangkan sebuah komunitas Indra Udayana Vedanta Community sejak 6 September 1992 dengan laboratorium sosialnya Shanti Ashram yang berubah menjadi Ashram Gandhi Puri, atas pemberian nama oleh Ibu Gedong Oka. Selanjutnya, pada tanggal 12 Januari 2001 di rumah pemberian orang tuanya di Jln Gandapura 22 Denpasar komunitas itu menjadi Ahimsa Satya Karuna CC United Religions Initiative, berkembang menjadi gerakan muda Gandhi yang bersentuhan langsung dengan anak muda yang menjadikan pendidikan, kemanusiaan dan perdamaian sebagai kekuatan gerakannya.

Perlahan tetapi pasti, dari lembaganya ini lahir anak muda terdidik yang kemudian menjadi bibit kedepan untuk anak muda berkarya, hingga selanjutnya berkembang ke Ashram Gandhi Puri Klungkung dengan mendirikan Indra Udayana Institute of Vedanta yang diresmikan oleh KH Abdurrahman Wahid 20 Agustus 2006. Dari Gerakan Gandhi yang dibangun dari 4 pilar gerakan yaitu Shanti Sena, warga Ashram terpilih yang mendapatkan tempat tinggalnya di Ashram sebagai sebuah family serta mendapatkan pendidikan sampai tamat sarjana.

Dharma Duta adalah warga yang terpilih dan tinggal di luar Ashram tapi aktif mengembangkan pendidikan dan penyebaran nilai Gandhi di luar Ashram. Sthri Shakti adalah perempuan yang menjadikan gerakan Gandhi lebih ke arah pendidikan yang utuh sebagai pengembangan rasa dan nurani, serta Satyagraha sahabat Ashram yang men-suport segala aktifitas dan kegiatan komunitas Ashram Gandhi Puri.

Sejak diundangnya sebagai aktifis mudaini di tahun 1999 telah membuka mata hati Gus Indra akan pentingnya membina kerukunan antarumat beragama. Ketika diundang di PBB pada acara World Peace Summit meeting di New York, World Conference on Religions and Peace di Amman Jordan dan Colaboration of Religions di Vatican City, Gus Indra mulai berkenalan dan menjalin hubungan dengan aktifis perdamaian dunia dan bahkan sempat terpilih menjadi Large Trustee 2001 United Religions Initiative di Rio De Jenairo Brazil

Pergaulan Politik

Dalam politik, walaupun tidak berpolitik praktis, Gus Indra sendiri akrab dengan tokoh seperti KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ibu Megawati Soekarnoputri, Faisal Basri, Jusuf Kalla, Rizal Ramli, Yuddy Chrisnandi, Prof DR Amien Rais yang sering berkunjung ke Ashram Gandhi Puri yang diasuhnya.Tanpa harus larut berpolitik, Gus Indra dan Ashramnya tetap menjadikan politik itu kesantunan untuk kesejahteraan dan kemanusiaan. Yang paling diingat tentunya ketika Gus Indra berhasil menjadi pembangun jembatan komunikasi kembali 2 tokoh bangsa Gus Dur dan Ibu Megawati Soekarnoputri yang sempat lama tidak bersapa setelah impeachment pada Presiden Gus Dur pada 20 Agustus 2006 di Pura Besakih setelah peresmian Ashram Gandhi Puri-nya di Klungkung.

Lewat kekuatan Doa, Gus Indra aktif mengembangkan Maha Shanti Puja sebagai gerakan Doa Perdamaian dan pertemuan antar iman, menjadi pendoa perdamaian ketika bom Bali, tsunami dan beberapa festival perdamaian selalu aktif terlibat. Lewat tangan dinginnya, Komunitas Ashram Gandhi Puri kini telah melahirkan beberapa sarjana, bahkan sampai tingkat doktoral. Karena baginya, pendidikan adalah akar dari perjuangan Mahatma Gandhi. ”We have adopted Gandhi belief that without a change of heart on the part of the reformers,no real change can be brought about in others”. Doa adalah kekuatan dan pendidikan adalah senjata.

Gus Indra selalu memberi semangat pada anak muda, bahwa perubahan itu harus dan alamiah. Jangan takut salah dan kesalahan masa lalu justru harus jadi cambuk dan pembelajaran. Bangun, bangkit jangan berhenti sampai cita-cita mu tercapai. Karena itu lewat Ashram Gandhi Puri-nya yang sederhana di Klungkung, Gus Indra menebar benih perdamaiaan untuk dunia juga lewat gerakan sporadis dan membangun komunitas kecil di setiap tempat, dan sangat senang hati selama dua tahun didampinginya setiap orang yang ingin membangun Ashram yang disebut sebagai Satyadharma Ashram Movement. Karena ke depan Bali memerlukan komunitas kecil yang aktif membangun solusi untuk masalah sosial lewat pendidikan, ke depan itu akan menjadi mata rantai pembenahan sosial.

Karena itu Gus Indra sampai sekarang tetap aktif menjadi Pembina Yayasan Ari Prshantinilayam Kuta, Dosen Luar Biasa STAHN Gede Pudja Mataram, dan Pergerakan Indonesia bersama Faisal Basri serta Penasehat Yayasan Gema Damai Indonesia bersama Jusuf Kalla, Fahmi Idris dan Wanda Hamidah. Serta gerakan terakhir dikembangkannya di beberapa desa sebagai pendampingan untuk anak muda yang kreatif membangun desanya setelah berinteraksi dengan Ashram Gandhi Puri untuk pembangunan pedesaan, baik itu untuk ekonomi kreatif maupun kesehatan dan ekonomi holistik kreatif yang disebutnya sebagai Sevagram Health Care .

Sebagai sebuah penganugrahan yang bergengsi dari lembaga yang sangat besar di India, tentu acara ini mendapat perhatian luar biasa oleh masyarakat India dan dunia. Acara yang disiarkan secara langsung selama 90 menit di sebuah TV nasiolnal India dan diliput berbagai insan pers adalah juga sebuah dedikasi besar untuk kemanusiaan. Sebelumnya Gus Indra diundang berbicara di berbagai Ashram di India, Chinmaya Nada Bhindu Pune di Chanakya Institute of Leadership, Mumbay University, di mana dari sejak tahun ini diangkat menjadi Visiting Lecture di sana. Dan juga di Gandhi Smarak Nidhi, Mumbay, Mani Bhavan di mana dulu Mahatma Gandhi sempat tinggal dan meragakan kehidupannya sebagai seorang Mahatma. Di hadapan ratusan Gandhian yang rata-rata pernah dekat dengan Mahatma Gandhi dan juga penerus ide dan perjuangannya Gus Indra mengajak menatap masa depan pemuda dunia dengan pola hidup Gandhi sebagai acuan dan inspirasi, di tengah masyarakat global dan konsumtif. Inspirasi Gandhi menelorkan pola hidup yang sederhana dan berakar pada Swadeshi dan Karmayoga akan menghasilkan generasi muda yang Stitha Pradnya berkepribadian mantap.

Selanjutnya......

Kawin “Pada Gelahang” Sudah Biasa di Kekeran

Ketika di Desa Tajun, Buleleng, terjadi perkawinan pada gelahang, beberapa bulan lalu, belum semua masyarakat di sana siap menerima. Terbukti banyak masyarakat yang bisik-bisik mempertanyakan ritual tersebut. Kata pepatah, lain lubuk lain belalang. Lain Buleleng, lain pula Tabanan.

Di Tabanan, khususnya di Banjar Kekeran, perkawinan pada gelahang sudah dianggap hal biasa. Banjar Kekeran adalah satu satu dari enam banjar di Desa Penatahan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Dari pusat desa, untuk menemukan tempat itu harus menempuh jalan tak beraspal sejauh satu kilometer. Walau kondisinya demikian, tak masalah bila mobil lalu-lalang di banjar itu, sebab jalan dimaksud sudah dikeraskan dan tak becek saat musim hujan seperti sekarang ini. Dengan kecepatan sedang, Raditya melewati deretan sawah-sawah milik petani setempat, pertengahan November 2011.

Seperti umumnya penduduk Bali lainnya, warga Kekeran nampak ramah-ramah. Mereka hidup guyub satu sama lain. Sore hari mereka biasanya santai ngobrol di depan rumah atau duduk selonjor sambil menonton TV di ruang tamu, setelah pagi hingga siang mereka bekerja. “Ya, saya lagi istirahat setelah bekerja di sawah,” kata Ketut Widarta (42) kepada Raditya. Sore itu Widarta sedang berbelanja minuman dan rokok di sebuah warung. Setelah sebatang rokok yang dibelinya itu habis diisap, barulah dia pulang.

Tak jauh dari warung itu terlihat sepasang suami-istri asyik ngobrol sambil duduk di depan pintu masuk rumah mereka. Pasangan itu adalah Nyoman Sugiarta (35) dan Ni Wayan Deli Ekayanti (32). Mereka telah dikarunia dua orang anak. Pasangan itu, menurut adat yang berlaku umum di Bali, sebenarnya dianggap menyimpang. Mengapa? Dalam hal perkawinan, adat di Bali mengatur sistem patrinial, yakni pihak istri yang luluh-masuk ke keluarga suami. Segala tanggung jawab suami terhadap rumah tangga dan sosialnya, seperti perawatan pura keluarga, mesti didukung sepenuhnya oleh pihak istri. Tetapi tidak berlaku sebaliknya. Tegasnya, pihak istri boleh dikatakan melepas total tanggung jawabnya pada keluarga asal.

Dalam kasus Sugiarta dan Deli Ekayanti yang terjadi sebaliknya, dalam hal ini Sugiarta yang melepas dan memutuskan tanggung jawab sosialnya terhadap keluarga asal. Atau Sugiarta yang datang dan “menempelkan” dirinya kepada keluarga sang istri. Semua anak yang dilahirkan dari pasangan ini harus diakui sebagai trah Deli Ekayanti (pihak istri). Membandingkan dengan zaman kerajaan tempo dulu, posisi Deli mungkin bisa dianggap sebagai ratu. Silsilah keluarga atau trah di Bali sangat peka, terlebih lagi bila bersentuhan dengan “kasta”. Sistem adat di Bali dalam pengaturan keturunan itu dikenal dengan istilah purusa. Pihak yang tidak memiliki hak trah dalam pasangan suami-istri disebut predana. Kedudukan purusa hampir selalu dilekatkan dengan laki-laki. Sementara predana adalah pihak perempuan. Pada kasus perkawinan Sugiarta dengan Ekayanti, suami sebagai pihak predana dan istri sebagai purusa. “Walaupun saya sebagai pihak purusa, namun suami tetap sebagai kepala keluarga,” kata ibu dua orang anak itu. Ekayanti adalah pegawai di perbekelan desa setempat, sementara suaminya sebagai petani.

Menurut tetua di banjar tersebut, perkawaninan yang melabrak sistem adat di Bali itu dikenalkan sebagai istilah kawin nyentana atau kawin nyeburin. “Sistem perkawinan nyentana atau nyeburin sudah biasa di banjar kami,” terang Ketut Suwandra, yang kini menjabat kelian adat bagi banjar yang berpenduduk 70 KK tersebut. Menurut cerita orang-orang tua di sana, sistem perkawinan demikian dimulai sejak Indonesia belum merdeka. Ketut Suwandra menyebut angka tahun 1930-an sebagai titik awal sistem perkawinan seperti itu. “Sejak awal hingga sekarang kami menerima perkawinan tersebut dengan baik. Pihak manapun yang berposisi sebagai predana, apakah si istri atau suami, tak pernah ada masalah,” lanjut Suwandra. Akhir November lalu anak pertama Suwandra, perempuan, telah melaksanakan upacara perkawinan pada gelahang dengan seorang pemuda asal Jembrana. Padahal anak keduanya yang masih SMP adalah laki-laki. Perkawinan pada gelahang tidak ditentukan oleh ketidakhadiran anak-anak laki-laki dalam sebuah keluarga. Tapi berupa pilihan bebas.

Sistem perkawinan demikian sama sekali tidak memengaruhi keharmonisan dalam rumah tangga. Suwandra mengatakan, selama dua kali memangku jabatan kelian adat, dirinya tak pernah direpotkan oleh warganya dalam urusan rumah tangga. Apalagi yang namanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). “Sehingga ketika kami memimpin rapat adat, yang dibicarakan melulu soal pembangunan atau piodalan pura. Tak pernah kami membicarakan masalah keributan keluarga, karena tidak pernah ada masuk laporan demikian,” jelasnya.

Keterangan Suwandra itu dibenarkan oleh beberapa warga yang berhasil Raditya temui. Seperti diungkapkan Ketut Widarta, “Kalaupun terjadi keribuatan dalam keluarga, paling jauh hanya sampai pada adu mulut. Tak sampai terjadi pemukulan.” Widarta adalah mantan ketua adat sebelum digantikan oleh Suwandra.

Sistem perkawinan yang unik itu telah berhasil menggaet tiga pemuda non-Hindu menjadi pemeluk Hindu. Karena mereka terpikat dengan gadis Kekeran. Di Jawa hal ini sebenarnya sangat lumrah, dimana laki-laki sudah umum kawin ke rumah perempuan. Apakah adat di Kekeran mengadopsi sistem perkawinan di Jawa? Entahlah.

Mungkin karena sistem perkawinan yang “cair” dan kekerasan terhadap perempuan di sana jarang terjadi, maka oleh sebuah lembaga bantuan hukum (LBH) di Bali, banjar itu lantas dilirik untuk ditetapkan sebagai desa setara sejak 3 tahun lalu. “Namun resminya banjar itu kami tetapkan sebagai desa setara baru Juli 2011,” kata Made Budawati, salah seorang pegiat LBH Apik yang bermarkas di Denpasar. Kata setara mengandung makna tiada yang lebih tinggi antara yang satu dengan yang lainnya, termasuk kedudukan berumah-tangga antara suami dan istri.

Selama 3 tahun ini, LBH Apik sering menemui tokoh-tokoh masyarakat Desa Penatahan, utamanya di Banjar Kekeran, agar kebijakan lokal tersebut dapat dipertahankan dan dipelihara terus. “Apa yang dapat kami lakukan belum banyak. Justru kami melihat suatu sistem yang sudah berjalan baik sejak lama. Karena itu kami tetapkan banjar tersebut sebagai banjar setara, mudah-mudahan mengimbas ke desa-desa lain,” imbuh Budawati.
Perbekel Desa Penatahan, Nyoman Kurnawiasa, mengakui kalau desanya pernah menjadi sorotan publik lantaran cukup marak terjadi KDRT di sana pada beberapa tahun lalu. “Bahkan pernah sekali ada pelecehan terhadap perempuan di bawah umur. Namun setelah kami tangani bersama tokoh-tokoh masyarakat, masalah KDRT serta pelecehan itu berhasil kami atasi. Dari akhir 2009 hingga sekarang, tak ada lagi masuk laporan dari masyarakat terkait KDRT,” ujar Kurnawiasa yang dilantik sebagai perbekel pada Maret 2007.

Dia menambahkan, pada awal pelantikannya sebagai kepala desa ada sekitar 8 KDRT yang masuk ke mejanya. Setelah diidentifikasi, masalah KDRT timbul karena kemiskinan (alasan ekonomi) atau dipicu oleh perbuatan suami yang suka berjudi atau mabuk karena menenggak minuman keras (miras). Untuk menyadarkan mereka, selain memberi nasihat, pangkal persoalannya juga harus dientaskan. Persoalan ekonomi ditanggulangi dengan menggerakkan ekonomi desa agar tersedia lapangan pekerjaan. Melalui upayanya bersama-sama para tokoh masyarakat lainnya, kini di Desa Penatahan sudah ada pasar senggol yang buka sore hingga malam hari. Dengan adanya pasar senggol, industri rumah tangga seperti pembuatan jajan kini tumbuh subur.

Masyarakat Hindu di Bali yang sangat tinggi aktvitasnya melakukan persembahyangan sehari-hari. Kondisi itu dijawab dengan membuat sarana ritual harian oleh masyarakat Penatahan. Ekonomi desa jadi menggeliat, masyarakat memiliki kesibukan sepanjang hari, sehingga percekcokan dalam rumah tangga secara langsung maupun tidak langsung berhasil diredam. Sebuah kiat yang patut ditiru oleh desa-desa lain.

Desa-desa lain di Tabanan sebenarnya mengenal juga sistem perkawinan nyentana atau nyeburin. Namun di Banjar Kekeran pemberlakuannya lebih cair. Seperti disinggung di atas, persoalan sistem purusa-predana akan pelik manakala bersinggungan dengan “kasta”. Walaupun “kasta” secara resmi telah dihapuskan, namun dalam masyarakat, praktek demikian itu masih sangat kental. Dalam sistem tradisional di Bali sangat ditabukan kalau laki-laki berkasta kawin nyentana dengan perempuan tak berkasta. Boleh dikatakan sebagai aib yang tak bisa dimaafkan. Sebagaimana diuangkapkan oleh Yuni Pariayati, ibu terdidik asal Desa Penebel, Tabanan. “Sistem perkawinan nyentana akan menemukan masalah kalau kasta laki-lakinya lebih tinggi dari si perempuan calon istrinya,” kata perempuan yang kini dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani), Bandung, Jawa Barat, itu.

Tapi kekhawatiran Yuni itu tidak terjadi di Kekeran. “Di banjar kami ada warga pregusti, laki-laki, kawin nyentana dengan perempuan biasa. Toh tidak ada masalah,” tutur Ketut Suwandra.

Ketika kasus itu dikonfirmasikan kepada Yuni, dia jadi paham walau diawali sedikit keterkejutan. “Oh, bagus kalau begitu. Kalau sistem adat Kekeran itu ditulis menarik mungkin akan memberi inspirasi untuk perubahan yang lebih baik pada sistem adat di Bali,” katanya dari seberang melalui hubungan telepon.

Ketua PHDI Buleleng Putu Wilasa mengapresiasi sistem perkawinan di Kekeran itu. “Berarti mereka sudah mengerti benar tentang agama. Istilah purusa dan predana itu disalahartikan oleh masyarakat Bali umumnya. Kalau merujuk kitab suci purusa artinya roh, sementara predana artinya badan. Jadi setiap orang pasti terdiri dari purusa dan predana sekaligus. Tapi dalam adat, istilah itu dimaksudkan sebagai pihak laki-laki dan perempuan. Ini yang kami maksudkan keliru,” jelas Wilasa.

Warga Kekeran lainnya, Nengah Wartana, menambahkan, bukan hanya dalam soal perkawinan lebih sederhana dijalankan di sana, namun juga dalam hal ngaben. “Jika ada warga kami yang tak mampu, ngaben sehari pun jadi. Sehari sudah tuntas langsung ngerorasin. Kami tak mau kaku ataupun memperberat hidup warga,” tukasnya.

Ya Banjar Adat Kekeran telah menjawab beberapa kelemahan sistem adat yang berlaku selama ini di Bali. Persoalannya, apakah masyarakat Bali lainnya mau berubah?
(Made Mustika)

Selanjutnya......

Taman Pura Lingsar di Hati Saya

I Nyoman Tika

Siang itu, udara Pulau Lombok sejuk berdesir, langit tampak cerah. Saya yang sempat menginjakkan kaki di Pantai Senggigi, diajak teman, yang kebetulan menjadi dokter di Lombok Tengah, dekat dengan Bandara Internasional Lombok. Dia mengajak saya ber-tirta yatra ke Taman Pura Lingsar. Kekhasan Lombok sebagai Bumi Gora dan juga penduduknya yang ramah, sulit saya membedakan dengan kesan di Bali 20 tahun silam. Kesederhanaan sangat tampak.


Lombok dari kulturnya saya melihat tidak jauh berbeda dengan Bali. Lombok memang memiliki kekhasan yang bisa jadi tidak ditemukan di Bali, ada di Lombok. Namun saat ini, ada getaran kuat yang saya rasakan melihat Lombok, tidak seperti dulu lagi, terkesan dipaksakan untuk membuatnya jauh dari akar kultur masyarakatnya. Artinya di sana terlihat lebih dominan gerakan fisik untuk menampilkan berbeda dari budaya Hindu Bali yang telah lama berakulturasi antara kultur Sasak dan Sumbawa. Lombok kini, sekan mencari jati diri yang bisa membuatnya berjarak dengan Bali. Kondisi ini yang membuat Lombok berdiri di persimpangan jalan dalam membangun ciri khasnya yang kerap tidak membumi, terasing dan tanpa makna.

Kondisi itu pulalah yang saya tangkap, ketika saya menatap Taman Pura Lingsar. Dari jalan besar ada penunjuk jalan yang juga sudah agak kusam “Pura Lingsar 300 meter.” Kendaraan yang saya tumpangi melaju, berderak, karena halaman parkir masih batu koral. Seorang tukang parkir bertato dan berambut panjang menghampiri kendaraan kami, untuk mengatur tempat mobil yang kami tumpangi parkir agar aman dan nyaman.

Saya di halaman parkir memandang ke sebelah timur ada wantilan, nampaknya untuk pemedek bila ada upacara pujawali. Saat saya disana saya melihat wantilan itu tempat menjual sate ikan, sate sapi, yang dicampur blayag. Lalu, saya bersama teman yang saya ajak, mempersilahkan saya untuk melihat-lihat pura, saya pandangi papan penunjuk “Taman Pura Lingsar Cagar Budaya” tampak tak terurus, hurufnya mengelupas karena haus. Candi bentar banyak yang sudah terpotong, ukuran paras sudah banyak yang tidak berbentuk, taman-taman dengan airnya tidak terawat, kolamnya tidak terurus.

Taman Pura Lingsar dari luar terkesan kuat di hati saya sebagai tempat suci yang benar-benar menjadi situs cagar budaya, yang bisa jadi akan semakin purba, karena ditinggalkan oleh pemiliknya, dan minim perhatian umat Hindu. Bandingkan dengan mesjid di sekitarnya megah-megah.

Kesan itu, terkuak hebat ketika menatap taman Pura Lingsar, yang dulunya menawan, tempat lilacita para penguasa kerajaan Karangasem di Lombok, kini benar-benar seakan menjadi terasing diwilayah yang pernah diharumkan namanya karena keindahannya. Pura Lingsar sebagai tempat cagar budaya, kelihatan tidak terurus itu, seakan membuat kita semua, khususnya Hindu, seakan ikut membiarkan agar pura indah itu masuk ke zona budaya masa lalu, tanpa revitalisasi dari umat Hindu. Saya khawatir ketidakpedulian umat Hindu, karena aturan cagar budaya itu sendiri yang rigit, dan ditambah dengan mind set umat Hindu, bila telah menjadi cagar budaya, pura menjadi miliki pemerintah. Pura semata-mata dibebankan kepada pemerintah.

Bisa jadi, bila pura yang tercagarbudayakan akhirnya membuat umat Hindu tidak bebas melakukan sembahyang, juga terbatas memanfaatkannya sebagai senter pengembangan Hindu, karena aktivitas keumatan harus sepengetahuan penguasa. Lalu, efek yang lain adalah ketika itu menjadi beban negara, maka pendapatan daerah untuk mengembangkan pura menjadi sangat disulitkan di wilayah yang mayoritas agama non Hindu. Hipotesis saya ini seakan mendekati kebenaranya ketika melihat kondisi Pura Lingsar secara keseluruhan, kurang terawat, minim perbaikan fasilitas untuk umat.

Berbeda halnya dengan pura yang ada di Bali megah dengan arsitektur dengan ukiran kayu yang artistik. Pura menjadi living monument yang terus bergerak dinamis, ada karya dan selalu meriah untuk membangun, bisa jadi kepedulian umat Hindu di Bali hanya terfokus pada hegemoni sektoral dan lokal . Artinya hanya senang membangun pura miliknya di Bali saja. Solidaritas kehinduan nampaknya perlu dikembangkan untuk tujuan-tujuan membangun sentra Hindu di pura-pura di luar Bali.

Pura Lingsar walaupun tampak lengang dan menyepi, tetapi di hati saya dia tetap hadir untuk mengisi jiwa ini sebuah perjalanan, di sana saya menatap aroma harmonisasi, toleransi antara agama Hindu dan Islam. Ada Pak Haji dan Jero Mangku bersama-sama berdiskusi dalam halaman pura, yang saya pikir sulit dijumpai di tempat lain di Indonesia.

Di sanalah, saya sadar bahwa pesan guru suci saya, terhadap hidup ini dan perjalanan kehidupan tak pernah berakhir, katanya dengan suara lembut. Engkau belum boleh merasa puas. Engkau harus berjuang agar dapat mencapai tahap selanjutnya dalam perjalanan hidup ini. Jangan berhenti, jangan merasa senang atau merasa puas sebelum engkau mencapai tahap akhir, yaitu adwaita, kemanunggalan yang sempurna dengan Dia dan kesadaran akan keesaan Tuhan. Itulah pesan yang kuat yang melekat dalam hati saya, ketika menatap Taman Pura Lingsar di Lombok. Om nama siwaya

Selanjutnya......

Dalam Ramayana Bali disebut Mali

Laporan Matha Riswan

Menjelang akhir tahun 2011 ini, BEM STAH Lampung mengadakan kuliah umum yang menyajikan materi, “Hubungan India-Bali dalam Perspektif Hindu.” Hadir sebagai pembicara tersebut adalah Rektor IHDN Denpasar, Prof.Dr.I Made Titib. Ph.D. Pada kesempatan kuliah umum ini, beliau banyak memberi motivasi – motivasi terhadap mahasiswa melalui ajaran-ajaran agama Hindu.


Dalam kuliah umum tersebut, beliau mengatakan, bahwa Hindu adalah agama universal. Hindu dikembangkan oleh para penulis dan pengarang, seperti contoh sikha dan genta di mana hal ini menandakan, bahwa Hindu dikembangkan oleh penulis dan kalangan intelektual. Dan dengan berbagai penemuan-penemuan yang contohnya seperti dikatakan bahwa bumi itu bulat telur dan hanya Hindu yang menyatakan demikian. Hal ini pula dinyatakan dalam kitab Purana yang berisikan tentang bumi yang berasalkan dari brahmanda atau telur Brahman. Dan beliau juga berkata bahwa Hindu percaya dengan hukum karma phala. Orang-orang Hindu akan dihakimi oleh karmanya sendiri. Menurutnya, dalam hindu ada tiga bentuk karma, yaitu: Sancita karma phala, Prarabda karma phala, dan Kryamana karma phala. Di dalam penyampaiannya belum banyak menceritakan perbedaan – perbedaan etnis yang ada di India Selatan maupun bagian utara, dengan Bali. Tapi menurutnya mempengaruhi India Selatan terhadap Bali adalah huruf pallawa.

Dalam perkembangan Hindu di Bali ada tiga bentuk bukti, yaitu: Inskripsi atau prasasti. Hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan-penemuan prasasti yang ada di Bali seperti Prasasti Jong Belah yang ditemukan di Sanur. Prasasti ini menyatakan bahwa pada abad ke-8 Hindu sudah ada di Bali dengan ditemukannya bahasa Sansekerta yang ada pada abad tersebut. Prasasti ini merupakan prasasti terunik, karena mengunakaan dua bahasa yang disebut bilinguals. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Kuno dan bahasa Sansekerta.

Bali disebut mali pada ceritanya Ramayana dalam Kiskinda Kanda yang berisikan tentang perjalanan Rama dan Sinta beserta adiknya Rama, yaitu Laksmana di dalam hutan dengan adanya tragedi penculikan Sinta oleh Rahwana. Sehingga diperintahkan Hanoman untuk mencarinya yang dalam pencarianya melewati Udhayana Parvata atau gunung agung. Hal ini membuktikan bahwa hindu ada dibali sudah ada sejak jaman Ramayana.

Jika ingin mencari Hindu di India, maka carilah arca-arcanya. Misalnya kelapa yang disebut nyiur, maka jika kita pergi pada suatu daerah di India, jika ada banyak pohon kelapa atau adanya nyiur, maka Hindu pernah berpijak di sana.

Berbagai penjelasaan yang disampikan beliau pada saat kuliah umum tersebut, dan para mahasiswa pun menanggapinya dengan semaksimal mungkin, dan menghujani dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan. Dalam hal tersebut beliau juga menyampaikan bahwasanya ada tiga teori penyebaraan Hindu, yaitu: teori Brahmana. Di mana teori tersebut menyatakan, bahwa perkembangan Hindu tidak luput dari orang suci, hal ini dibuktikan dengan adanya rsi-rsi suci yang mengajarkan agama Hindu kepada orang-orang di sekitarnya. Hal ini membuktikan, bahwa Hindu berkembang dari para brahmana, misalnya kitab-kitab suci yang ditulis oleh sapta rsi dan juga rsi-rsi lainnya.

Ada juga teori yang menyatakan agama Hindu berkembang ke Indonesia dengan adanya pedagang yang masuk ke daerah Indonesia yang kemudian secara tidak langsung menyebarkan agama Hindu di Indonesia. Hal ini terjadi karena ada sistem barter pada saat itu. Sedangkan teori “Timbal Balik” ini menyatakan, bahwa pengaruh Hindu di Bali dan di India bersifat timbal balik. Misalnya pelaksanaan agni hotra di Indonesia juga ditemukan hal tersebut pada perayaan-perayaan upacara.

Dalam peyampaian tersebut, Prof.Dr.I Made Titib. Ph.D. juga memberikan pesan-pesan kepada seluruh mahasiswa STAH Lampung, bahwasannya kita sebagai mahasiswa dan mahasiswi Hindu haruslah kreatif dan berwawasan luas. Seperti murid Rsi Daya Nanda yang mampu menjelaskan apa yang terjadi pada jalan yang telah dilalui mereka saat akan pergi ke tanah daratan. Dan beliau berkata untuk jangan pernah memikirkan apa yang sudah STAH berikan kepada mahasiswa, tapi pikirkan apa yang bisa mahasiswa berikan untuk STAH.

Selanjutnya......

Mahasiswa STAH Lampung Terus Meningkat

Laporan Matha Riswan

Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) Lampung telah mengadakan Program Orientasi Perguruan Tinggi (Propti) tahun ajaran 2011/2012. STAH Lampung kini telah memasuki usia yang ke-5 pada tahun 2011/2012. Terlihat dari jumlah mahasiswa baru angkatan tersebut memiliki mahasiswa sebanyak 40 orang yang terseleksi melalui ujian, dan sangat dibanggakan mahasiswa angkatan ini banyak yang dari luar daerah, seperti Palembang, dan berbagai tempat di bagian-bagian Lampung tersebut. Tentu hal ini sangat membanggakan, karena tahun-tahun sebelumnya boleh dikatakan mahasiswanya sangat minim, dan berasal dari Lampung saja.


Pada Propti kali ini mahasiswa diminta untuk terjun langsung ke masyarakat dan melihat warga masyarakat Hindu yang ada di daerah yang kurang tertinjau. Propti tahun ini dilaksanakan tiga hari, yakni di mana pada hari pertama dilaksanakan di auditorium sekolah tinggi agama Hindu Lampung, di mana pada kesempatan itu para civitas akademika dan Ketua STAH memberikan motivasi-motivasi terhadap mahasiswa dengan berbagai materi. Di mana materi pertama yang dibawakan oleh Teguh Samiadi, SPd.H., M.Si sebagai Kabag TU. Materi yang dibahas, yaitu tentang kepemimpinan Hindu, dimana seorang pemimpin merupakan faktor penentu dalam sukses atau gagalnya suatu organisasi dan negara. Kualitas pemimpin sangat berpotensi besar dalam menentukan keberhasilan atau kesuksesan suatu organisasi atau negara yang dipimpin.

Selanjutnya materi ke dua disampaikan oleh Ida Bagus Putu Mambal, S.Ag.,M.Si. dan Ni Gusti Ayu Made Afrianti, S.Ag., M.Si. Materi yang dibahas adalah tentang program studi dan prospek dunia kerja. Dalam materi tersebut menjelaskan bahwa STAH Lampung memiliki visi menciptakan mahasiswa-mahasiswa yang cerdas, inovatif, dan religius. Sedangkan misinya adalah menyelenggarakan pendidikan secara inovatif atau berevolusi menjadi yang lebih baik. Menyelenggarakan penelitian yang berbasis agama dan budaya dan pendidikan yang mengembangkan seni dan budaya. Menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang berorientasi keagamaan.

Selanjutnya materi diberikan oleh Made Sutharjana, SH., MH, selaku Pembantu Ketua 1 Bidang Akademik. Di mana materi hyang dibahas sesuai dengan etika dan pembimbing akademik. Dilanjutkan dengan pemateri Drs. Nengah Maharta, M.Si. yang membahas tentang pemikiran mahasiswa supaya ke depannya berpikir ke arah positif, dan dilanjutkan pemateri oleh ketua BEM dan DPM yang menjelaskan sistem organisasi mahasiswa di kampus dan memberikan dukungan terhadap mahasiswa-mahasiswa baru agar menjadi mahasiswa yang militan dan berguna bagi daerahnya masing-masing.

Berikutnya dilanjutkan dengan kegiataan turun ke masyarakat untuk meninjau sejauh mana keyakinan umat terhadap agamanya. Kegiatan tersebut merupakan rangkaian kegiatan dari Propti tersebut. Tujuan kegiatan temu masyarakat dalam kegiataan ini adalah untuk mendekatkan calon-calon mahasiswa baru kepada masyarakat umumnya dan umat Hindu khususnya. Ada pun hal-hal yang di lakukan oleh mahasiswa baru saat melakukan wawancara dengan masyarakat adalah dengan cara bertanya mengenai kondisi sosial ekonomi keluarga, pandangan mengenai pentingnya pendidikan dan kesehataan, peran Parisada dan perguruan tinggi khususnya STAH dalam pembinaan umat. Juga mengenai kondisi kerukunan intern dan antar umat beragama, dan kendala dalam melaksanakan tatwa, etika dan ritual dalam bentuk adaptasinya. Demikianlah rangkaian kegiataan Propti mahasiswa sekolah tinggi agama Hindu STAH Lampung.

Selanjutnya......

LPUH Bangkit Lagi, Protes Pembangunan Masjid

Setelah sekian lama vakum, kini Lembaga Peduli Umat Hindu (LPUH) bangkit kembali. Badan pendiri LPUH menetapkan Wayan Suja, dosen di Undiksha Singaraja, untuk menakhodai organisasi yang resmi berdiri pada September 2008 itu. Wayan Suja yang kini studi S3 di Surabaya, Jawa Timur, harus membagi pemikirannya antara tugas belajarnya di satu sisi dan memimpin organisasi sosial kemasyarakatan yang ada di Bali itu di lain sisi.


Setelah terpilih menjadi Dewan Pengurus LPUH pada pertengahan Oktober 2011, langkah pertama yang diambil adalah bersurat kepada Bupati Buleleng. Apa yang dia tulis kepada orang nomor satu di Buleleng itu? LPUH menyurati Bupati Buleleng agar menghentikan pembangunan masjid yang ada di Banyuasri. Sebab pembangunan tempat ibadah itu tanpa mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB). Bagaimana IMB didapat, sebab panitia nekad membangun begitu saja tanpa menoleh kiri dan kanan. Dengan kata lain masyarakat sekitarnya diabaikan. Panitia pembangunan hanya bermodalkan nekad saja.

Sikap panitai yang demikian itu mungkin didasarkan atas pengalaman-pengalaman di tempat lain di Bali. Orang Bali dikenal sangat polos. Ketika di desanya ada pembangunan tempat ibadah untuk umat lain, masyarakat umumnya diam saja. Jarang melakukan protes, apalagi melakukan aksi kekerasan seperti yang pernah terjadi beberapa kali di Jawa Barat.

Sebagaimana ramai diberitakan pada saat itu, warga Lingga pada dasarnya keberatan dengan rencana pendirian masjid itu. Warga merasa diremehkan. Pihak panitia tanpa mohon restu atau izin lingkungan terlebih dahulu, langsung melakukan pembangunan. Setelah beton-beton selesai dicor, dan sedikit lagi tempat ibadah itu selesai, masyarakat sekitar mulai kasak-kusuk mempertanyakan prosedur izin yang semestinya. Keresahan warga itu kemudian didengar oleh Lurah Banyuasri. Pak lurah kemudian mempertemukan warga dengan pihak panitia. Namun tak tercapai kata sepakat. Ketika panitia diminta menjelaskan ihwal pembangunan itu, warga memilih walk out.

Agar ada penyikapan yang jelas, LPUH memperkuat “penolakan” warga itu dengan menulis surat ke Bupati Buleleng Putu Bagiada. Surat itu ditembuskan ke berbagai pihak yang berkompeten, termasuk ke panitia pembangunan masjid. Isinya adalah meminta pembangunan masjid itu untuk sementara dihentikan.

Lalu setelah surat itu dikirim, apa langkah selanjutnya? “Kami masih akan melihat reaksinya. Kalau mereka diam, menghentikan pembangunannya, kami anggap protes warga diindahkan. Tapi kalau mereka berlanjut, berarti protes warga dan surat kami tak dihiraukan. Kalau begitu yang terjadi, kami tentu tidak tinggal diam,” kata Wayan Suja. Sayangnya belum terjalin hubungan yang erat antara masyarakat yang menolak dengan LPUH. Mestinya LPUH aktif melakukan pendekatan. Barangkali karena masih tahap belajar sehingga LPUH merasa cukup puas setelah menulis surat kepada bupati.

Sementara itu pada akhir Oktober 2011, YPUH kembali melakukan pelayanan sosial kepada sebuah keluarga dari Nagasepeha. Pelayanan sosial yang dilakukan adalah pengabenan sederhana bagi 6 jasad yang telah lama meninggal dunia. Pengabenan itu dilaksanakan di sekretariat YPUH, Jl. Kalimantan, Singaraja. Ngaben sederhana dimaksudkan tidak hanya berarti menekan biaya, tetapi yang lebih penting adalah memenggal rangkaian ritualnya. Setelah “menjemput” sang roh di kuburan, lantas dilaksanakan prosesi sepatutnya di sekretariat YPUH. Setelah melewati beberapa jam, roh selanjutnya dilarung menuju samudra. Kebetulan sekretariat YPUH terletak di pinggir pantai sehingga upacara ngayut, yang diidentikkan dengan ritual nyegara-gunung, jadi mudah. Pengabenan pun dianggap selesai. Tidak dilanjutkan dengan ritual me-ajar-ajar maupun nuntun ngelinggihang sang atma di mrajan. Karena urusan roh selanjutnya menjadi wilayah kekuasaan Tuhan. “Keliru kalau roh diikat kembali di mrajan kita,” kata Ketua PHDI Buleleng Putu Wilasa saat memberikan pembekalan, sepuluh hari sebelum hari pelaksanaan ngaben.

Pada saat pembekalan, 18 Oktober 2011, YPUH mengundang dua tokoh Hindu yaitu Prof. Dr. Made Titib dan Jro Mangku Suwena. Pada saat itu para narasumber menjelaskan, ngaben sesungguhnya tidak harus besar. Hanya karena masyarakat tidak merujuk pada kitab suci menyebabkan ritual jadi besar dan mahal. Hal itu menyebabkan orang Bali kehilangan waktunya untuk bersaing di sektor ekonomi. Mereka jadi tersingkir di tanah kelahirannya sendiri. YPUH dan LPUH ingin mengatasi masalah-masalah itu. Dua lembaga itu berpendapat, umat Hindu perlu disadarkan bahwa bukan ritual yang menjadi penentu nasib roh setelah badannya meninggal, melainkan seluruh karmanya sewaktu orang itu masih hidup. Ritual hanya sebuah prosesi kecil yang seharusnya dianggap tak begitu penting.
(Made Mustika)

Selanjutnya......

Komunikasi Manusia dengan Alam Gaib

Mohan m.s

Banyak manusia modern menyangsikan adanya alam gaib, makhluk-makhluk gaib, benda-benda gaib, dan fenomena-fenomena gaib, padahal tidak ada satu pun agama atau ajaran spiritual yang lepas dari fenomena supranatural. Tuhan sendiri disebut Yang Maha Gaib dan Tidak Terjabarkan di berbagai agama-agama dan keyakinan-keyakinan.


Bukan itu saja, ada juga makhluk-makhluk kecil yang membahayakan bahkan mematikan seperti kuman, bakteri, virus, spora dan sebagainya yang tidak terlihat, namun hadir di dalam dan di luar tubuh kita sendiri. Sperma adalah makhluk yang hanya dapat kita lihat melalui mikroskop misalnya. Kalau dunia kedokteran sudah berhasil menyibak rahasia-rahasia makhluk-makhluk kecil ini melalui sains dan teknologi, sehingga terasa tidak asing lagi bagi kita, maka di sisi lain manusia masih bertanya-tanya tentang hantu, setan, dewa, malaikat, dan sebagainya yang belum terterangkan sebagai yang ada atau tidak ada di dunia ini.

Dalam ajaran-ajaran kuno Dharma (Hindu, Jain, Buddha dan sebagainya), semenjak masa lalu fenomena-fenomena makhluk-makhluk gaib yang baik dan buruk ini sudah dikenal bahkan dipuja demi menghasilkan suatu pamrih. Dalam Hindu Dharma, kemasukan atau kerawuhan (trance) adalah hal-hal yang biasa, sehari-hari kita dapat menyaksikan secara sengaja (roh-roh yang dipanggil maupun secara spontan, roh-roh yang masuk secara tiba-tiba) ke perorangan atau massal. Siapa dan apakah makhluk-makhluk ini?

Menurut Hindu Dharma, di alam semesta yang hadir bukan manusia saja, tetapi hadir juga para Rudra (Dewa-dewa bencana dan maut), para Vasu (Dewa-dewa kekayaan), para Sadhya (Para Dewa yang tinggal di loka-loka), Siddha (kaum suci), Vishwa (Dewa-dewa keberanian Dewa ketabahan), Marut (Dewa-dewa yang berhubungan dengan udara dan roh-roh amat kecil dan tidak terlihat), Ushamapa (Dewa-dewa penghirup udara panas), Gandharwa (seniman tari musik sorgawi), Yaksha (Dewa-dewa harta). Para Asuras (Roh-roh jahat, setan, hantu, iblis dan lain sebagainya) dan bahkan di dalam setiap jabang bayi hadir Dewa Kumara dengan kanda empat sampai dengan akhir masa hidup kita. Kesemua unsur cahaya (Dev) yang gaib ini berjumlah 33 chrores (baca Khror)= 33 juta atau 33 milyar?

Mata Sakti
Bagaimana menyaksikan semua ini? Menurut Bhagawad Gita diperlukan ”mata suci” (Divyam-chackshuh). Hanya orang-orang suci seperti Arjuna, dan resi-resi yang mampu mendapatkan mata yang sering disebut ”Mata Ketiga” ini.
Mata suci sebenarnya adalah matanya seorang mistik, yogi, buddha atau seorang spiritual yang tercerahkan seperti nabe (nabi) dan seterusnya, dan bisa dimiliki siapa saja di dunia ini, bangsa dan suku apa saja, bisa melalui proses genetika, karma-karma yang hebat pada masa lalu, dan atau melalui kejadian-kejadian yang tertentu jadi bukan kebetulan.

Kalau makhluk-makhluk gaib saja sulit dilihat bagaimana dengan Yang Maha Gaib yang bahkan dikagumi oleh para dewata-dewata semuanya, karena para dewata juga tidak sanggup melihatNya (Para Brahman). Bahkan Atman yang hadir dalam setiap unsur Dev (Dewata) juga tidak terlihat oleh semuanya, termasuk dewa-dewa yang gaib. Dewa-dewa yang gaib juga tidak mampu melihat Yang Maha Gaib?

Namun ibarat asap tanpa api tidak ada, begitu juga api tanpa asap tidak eksis, jadi apa pun di semesta ini yang bernama ataupun yang belum dikenal namanya itu ’ada dalam tiada, dan tiada dalam ada’.

Legenda-legenda kuno seperti Ramayana, Mahabharata, Hikayat Sang Buddha Gautama, penuh dengan percakapan antara manusia dan para pitra (leluhur), dewa-dewi, gandharwas, resi-resi yang paripurna dengan mahkluk-makhluk asing, dengan Vimana (kendaraan surgawi), perjalanan-perjalanan ke alam gaib, contoh perjalanan Arjuna, Krishna ke Vaikuntha Loka, dan seterusnya. Agama-agama yang lain pun mewartakan hal-hal yang gaib, jadi bukan hanya ajaran Dharma saja.

Saat ini kita dapat membaca ribuan buku-buku, dan menyaksikan ratusan film-film tentang makhluk-makhluk asing, seperti E.T. (extraterrestrial), Wanderes (pengelana alam), ”Walk-ins” (lahir sebagai manusia, asal angkasa luar) Arcturians, Centrurians, (mahluk-mahluk dari berbagai planet lain). Dan seterusnya dan seterusnya.

Setapak demi setapak dunia Barat mulai mempelajari jati diri manusia dari ajaran-ajaran Timur, yang gaib dan spiritual. Kalau Darwin mengatakan manusia berasal dari kera, maka Dharma mengatakan manusia berasal dari Manu, turunan Surya, bintang terbesar di galaxi kita. Kalau Bible dan Quran mengatakan Adam dan Hawa adalah manusia pertama di dunia, maka kisah-kisah anak Adam di Bible justru mengatakan bahwa Genesis menyebutkan adanya bangsa Giants yang juga hadir pada masa tersebut di bumi ini. Giant adalah bangsa raksasa, yang banyak disebut-sebut di berbagai Shastra Widhi Dharma. Misalnya Rahwana adalah golongan raksasa yang kejam, tapi hadir juga raksasa yang baik hati.

Fenomena Gaib Diteliti
Para Saintis dan ilmuwan Barat amat tertarik pada fenomena-fenomena gaib saat ini, karena banyak manusia-manusia supra natural yang hadir dan lahir di Barat (Eropah, Amerika dan seterusnya). Lahir juga anak-anak jenius, yang mampu dalam berbagai bidang supranatural dan sains-sains yang mencengangkan. Dan fenomena ini makin bertambah banyak. Sekarang banyak manusia di berbagai belahan Barat, percaya pada hantu, roh, setan, malaikat, dewa dan sejenisnya dan mempelajarinya, fenomena-fenomena ini secara sains.

Para ahli jantung di Australia, dan England baru-baru ini menemukan adanya otak kecil di samping jantung manusia yang dapat mentransfer pesan-pesan ”hati nurani” ke otak dan seterusnya. Apakah otak kecil ini yang dimaksudkan sebagai Guhayam oleh Dharma Shastra, atau yang disebut Qolbi (kalbu, nurani) atau Kingdom of Heaven in The Heart yang disebut-sebut Jesus Kristus? Semua dalam proses penyelidikan. Yang pasti otak kecil tersimpannya buddhi pekerti mulai tersingkap perlahan-lahan.

Lalu siapakah kita ini, apakah kita makhluk gaib atau non-gaib? Secara materi kita memiliki raga, yang dapat saling melihat dan dilihat, namun jiwa kita siapa yang mampu melihat? Dan di dalam Sang Jiwa hadir Sang Atman, juga tidak dapat kita lihat, tapi kita yakin beliau adalah Tuhan (Atman) yang hadir di diri kita.
Lalu Atman, jiwa dan raga yang kesemuanya bisa gaib kembali setelah kematian hadir, dan dari mana dan kemana? Kata Upanishad, ”Ibarat percikan bara api yang beterbangan, hilang lalu muncul kembali sewaktu dua batang kayu digosok-gosokkan, maka demikian pula semua unsur-unsur ini adalah gaib, lahir dari gaib, dan kembali ke gaib, sama dengan Yang Tidak Terjabarkan.

Dengan kata lain manusia dan semua unsur-unsur lainnya di semesta hadir dalam kegaiban, muncul dan kembali lagi ke kegaiban ini dan keseluruhan akumulasi itu dikenal Yang Maha Gaib.

Lalu bagaimana untuk mendapatkan ”mata suci” ini, untuk dapat menyaksikan semua kegaiban ini? Dari berbagai shastra widhi, dari berbagai petunjuk dan praktek-praktek meditasi, tapa-brata, puasa dan disiplin spiritual, para resi, yogi dan nabi-nabi, dari berbagai cara pengorbanan-pengorbanan (yadnya) baik itu materi atau dalam bentuk batiniah. Kita dapat ikut menjadi vegetarian, bermeditasi dua kali sehari pagi dan petang, berlatih yoga dan keseimbangan antara raga dan jiwa. Relung-relung otak yang selama ini menyimpan data-data potensi gaib akan terbuka dan otak kita akan peka ke dalam dan keluar diri sendiri, bahkan menjangkau ke alam raya.

Ke dalam berarti berkomunikasi dengan Sang Jiwa-Atman dan indria kita dan memahami jalan kerja mereka. Keluar berarti berinteraksi dengan semua unsur-unsur di sekitar kita, dan alam serta sebagian isinya akan merespons (menyapa, membalas) vibrasi-vibrasi baik kita kembali, dan terbukalah lorong-lorong (channel) gaib yang sebenarnya indah hadir di sekitar kita. Contoh manusia tidak mungkin berkomunikasi melalui HP kalau potensi dan unsur Maha Panca Bhutam tidak hadir dalam pikiran kita atau dalam semesta ini sebagai transmitter dan transreceiver kita.

Di zaman Satya Yuga kita tidak perlu melacak dan berperilaku gaib, karena saat itu yang gaib adalah logika-logika yang wajar-wajar saja. Potensi-potensi itu menghilang dan lambat laun potensi otak manusia berkembang lebih banyak ke sosial-ekonomi, sosial sains dan sebagainya, dan potensi gaib spiritualnya ”tertutup”. Namun tercipta non-keseimbangan hidup ini, karena manusia pada hakekatnya adalah produk-produk sekaligus wahana materi dan spiritual. Jadilah jaman ini manusia Barat mulai mencari-cari logika yang spiritual lagi karena mereka tidak seimbang hidupnya akibat melawan kodrat-kodrat dan hukum-hukum alam seperti yang tersirat dalam film Pray, Eat and Love nya Julia Roberts yang di shooting di Bali, India, Italia dan New York.

Firasat-firasat, mimpi, de ja vu (penglihatan), penampakan, intuisi dan seterusnya yang dianggap gaib, makhluk-mahluk penolong maupun pembawa ketakutan dan bencana semuanya memang ada dengan nama-nama yang berlainan sesuai bahasa-bahasa setempat. Dan yang disebut ”indra keenam” sebenarnya adalah kepekaan naluri manusia yang spiritual dan gaib. Indra keenam adalah ucapan salah dalam bahasa Indonesia dan Inggris, karena seluruhnya ada 13 indria di tubuh kita dan 13 lagi di tubuh halus (gaib) kita yang berhubungan dengan 26 chakra besar/utama di dalam dan di luar tubuh kita. Chakra-chakra amat gaib, tapi hadir sebagai motorik sistem kita secara gaib juga karena manusia diciptakan secara unik, melalui proses yang unik shakti dan gaib!

Jadi seharusnya kita dapat beradaptasi dengan baik dengan kegaiban, dan wajar-wajar saja di zaman Satya Yuga! Di zaman Kali Yuga semua bercampur aduk, tidak jelas mana ”gaib” dan mana ”takhyul”, mana ”vidya” dan mana ”sains”, padahal vidya adalah sains. Oleh karena itu beradaptasilah dengan kegaiban alam untuk menyatu kembali ke alam gaib melalui keheningan meditasi dan pujamu. Biasakanlah untuk meditasi dengan baik, sesuai anjuran guru, baik guru yang gaib di dalam diri sendiri, atau yang di luar diri. Om Tat Sat

Selanjutnya......

Pura Pengukur Ukuran Wajib Bagi Calon Pemimpin

Ronny Purna Bagus Haryono

Agama Hindu memang dikenal sebagai agama tirta, karenanya banyak tempat-tempat sucinya dibangun di sekitar aliran sungai. Di sepanjang daerah aliran Sungai Pakerisan, Gianyar misalnya, bisa kita temui begitu banyak pura dan juga ceruk-ceruk pertapaan yang menjadi bukti tingginya peradaban masyarakat Hindu pada masa itu. Candi, pura maupun tempat pertapaan yang ada di sepanjang aliran Sungai Pakerisan, menjadi acuan dalam menguak sejarah raja-raja yang pernah berkuasa di Bali.

Salah satu dari peninggalan ini dapat kita temukan di Pura Pengukur-Ukuran. Terletak di tepi barat aliran Sungai Pakerisan, tepatnya di Banjar Sawagunung, Desa Pejeng Kelod Kecamatan Tampaksiring. Pura Pengukur Ukuran memiliki sejarah panjang yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Hindu serta keberadaan kerajaan Hindu Di Bali. Begitu memasuki areal pura, kita akan merasakan suasana yang sangat damai, terlebih pura ini terletak jauh dari jalan raya. Rimbunnya pepohonan serta suara dari riak air di Sungai Pakerisan memberikan ketenangan bagi umat yang tangkil ke Pura ini.

Menurut Bendesa Pura Pengukur Ukuran, I Dewa Gede Raka, Pura yang di-empon oleh dua banjar, yakni Banjar Sawagunung dan Banjar Gepokan ini dulunya merupakan sebuah pasraman. “Berdasarkan prasasti, Pura Pengukur Ukuran oleh para ahli disebut Prasasti Lawang Pintu, karena kemungkinan dahulu terletak di pintu gerbang. Pura tersebut dulunya merupakan pasraman yang bernama Dharma Hanyar. Hal ini dapat diketahui dari kalimat Mpungkwing Dharmma Hanyar yang berarti pendetaku di Dharmma Hanyar bergelar Jiwaya,” ungkapnya.

Dari tahun yang tertera pada prasasti, diperkirakan Pura Pengukur Ukuran dibangun pada tahun 1116 caka atau 1194 masehi, pada masa pemerintahan Raja Jaya Pangus. Jika kita memasuki utama mandala, kita akan menjumpai sebuah candi yang bentuknya sangat mirip dengan candi prasada yang ada di Pura Mengening. Memang diperkirakan antara kedua tempat ini memiliki kaitan sejarah yang sangat erat, seperti misalnya dibangun pada masa pemerintahan raja yang sama.

Pemujaan Siwa

Diperkirakan Pasraman Dharmma Hanyar berganti nama menjadi Pura Pengukur Ukuran setelah pasraman tersebut dijadikan tempat seleksi pada masa kerajaan Bedahulu. “Diceritakan pada masa Kerajaan Bedahulu, Ki Kebo Iwa atau Ki Kebo Taruna, seorang keturunan Arya Karang Buncing melamar untuk menjadi maha patih. Agar bisa diterima ia harus melewati berbagai ujian kesaktian dan salah satunya dengan melawan Ki Pasung Grigis yang terkenal sangat sakti. Kebo Iwa dapat melewati semua ujian tersebut dan sejak itu Pasraman Dharmma Hanyar berganti nama menjadi Pura Pengukur Ukuran,” terang bendesa asal Banjar Sawagunung ini.

Seperti kebanyakan pura yang terdapat di daerah Pejeng, di Pura Pengukur-Ukuran juga ditemukan banyak arca. Semua arca yang ditemukan di sini berkaitan dengan pemujaan terhadap Dewa Siwa. Beberapa di antaranya berbentuk Bodhissattwa, Ciwa Guru dan juga Ganeca. Di Pura Pengukur Ukuran terdapat dua buah pelinggih yang cukup unik dengan posisi saling berhadapan.

“Yang pertama Pelinggih Ratu Ngurah Agung menghadap ke Barat. Di depannya terdapat Pelinggih Ratu Madeg. Di sini terdapat sebuah batu yang berdiri. “Selama ini ada kepercayaan bagi siapa yang ingin menjadi pemimpin, wajib bersembahyang di pelinggih ini,” imbuhnya. Piodalan di Pura yang di-empon oleh 164 kepala keluarga ini jatuh pada pengelong purnama sasih karo. Sementara karya penyelah dilaksanakan pada buda manis sasih kaulu.

Tapak Kaki Kebo Iwa

Jika kita keluar melalui sisi selatan utama mandala, kita akan menemui anak tangga yang akan membawa kita menuju ke dekat Sungai Pakerisan. Anak tangga tersebut terbuat dari susunan batu kali dengan ukuran yang cukup besar. “Di salah satu batu kita akan menemui bekas telapak kaki yang ukurannya sedikit lebih besar dari ukuran kaki manusia biasa. Konon tapak kaki ini milik dari Kebo Iwa yang menjadi penyusun dari tangga ini. Di salah satu batu yang tidak mau rapi, ia menghentakkan kakinya hingga berbekas seperti saat ini,” urai Bendesa Pura Pengukur-Ukuran, I Dewa Gede Raka.

Setelah menuruni tangga batu, kita akan menjumpai sebuah gapura yang menjadi pintu keluar masuk ke Goa Garba. Goa Garba sendiri merupakan ceruk pertapaan. Di sini kita dapat menemui beberapa arca yang diperkirakan ditujukan untuk pemujaan Siwa. Di atap ceruk di Goa Garba terdapat tulisan tipe Kediri Kwadrat yang berbunyi “SRA”. Akan tetapi hingga saat ini makna dari tulisan tersebut belum bisa diketahui. Di atas Goa Garba juga terdapat beji dan sumber mata air Tlaga Waja yang unik -- tidak keluar air di musim hujan dan banyak keluar air di musim kemarau.

Selanjutnya......

Dengan Dana Punia Melancarkan Rejeki

A.A. Bagus Sudira

Sejak zaman Bali Kuno, masyarakat Bali sudah punya tuntunan dalam menjalani kehidupan ini, sehingga masyarakat Bali kuno dikenal sebagai masyarakat yang tata tentram kerta raharja. Walaupun masyarakatnya tidak kaya raya, tapi masyarakatnya masih kental rasa persaudaraannya. Tat Twam Asi, Tri Hita Karana, selunglung sebayantaka, paras-paros, dan lain-lain.
Mereka mengawali kehidupannya dengan doa-doa dan menghaturkan sesajen kepada masing-masing betara-betari yang melinggih di lokasi itu. Atau kepada sungsungan-nya suang-suang. Dan juga kepada para roh-roh “Penunggu” tempat itu agar tidak mengganggum, selamat tidak kurang suatu apa pun. Ini salah satu cara mereka melaksanakan Tat Twam Asi dalam kehidupannya. Matur ring Betara dan manusia yang ada di sekitarnya. Dan melakukan ritual "kurban" penyomya para butha kala yang ada di lokasi, di mana pekerjaan itu akan dilaksanakan.

Bahkan dikandung juga maksud, bahwa dengan mengorbankan bebek (kerbau) itu, diharapkan bahwa si bebek (kerbau) itu akan diberikan tempat yang baik oleh Tuhan. Dan di suatu saat akan bisa menjelma menjadi mahkluk yang lebih tinggi tingkatannya (misal lahir sebagai manusia).

Banyak orang tidak percaya akan hal ini. Tapi lihatlah di lingkungan kita, betapa banyak jatuh korban manusia di suatu gedung bertingkat, karena tidak melaksanakan ritual itu. Apa sebabnya?. Karena butha Kala (roh-roh yang ada di sana) tidak diberikan kurban.

Demikian pula jika masyarakat Bali membangun rumahnya, juga Merajan, pura, maka mereka memakai aturan kosala-kosali yang sudah ada sejak zaman purba, Termasuk bentuk (ukuran) masing-masing bangunan yang dibuat. Masyarakat Bali percaya, bahwa kosala-kosali ini mengambil model dan bentuk bangunan yg ada di sorga. Jadi istananya para dewa yang ada di sorga. Termasuk posisi dari tapakan beliau dan pengawal-pengawal beliau. Makanya lokasi Merajan ada akan di timur, kamar tidur, para tetua (Penglingsir) di utara, dan seterusnya. Ini semuanya mencerminkan penempatan para dewa dilokasi yang disucikan. Lokasi Penglingsir dilokasi yang dihormati dan lokasi toilet di pelemahan (teben). Dan di depan pintu masuk rumahnya akan ada "Pengaling-aling". Yang dimaksudkan sebagai tameng (penolak bala) yang dikirim orang-orang jahat dari luar rumah.

Demikian masyarakat Bali melaksanakan semua filosofi-filosofi kuno mereka sampai saat ini. Dan kenyataannya banyak benarnya. Contohnya; ada keluarga yang membangun rumahnya di ujung jalan (tusuk sate) - tanpa "Pengaling-aling". Yang oleh penganut agama lainnya - dilakukan dengan memasang cermin, atau lainnya. Menurut hasil riset emperisnya - keluarga yang tidak melakukan hal itu, sering kena musibah (kecelakaan atau sakit-sakitan. Bahkan bisnisnya bangkrut.

Begitu juga berbagai kasus mistik lainnya. Seperti; rumah yg dibangun di atas bekas kuburan, bekas pasar, bekas pura, bekas sungai, dan lain-lain. Sangat tenget dan berresiko tinggi. Orang-orang awam yang berani membangun di lokasi itu akan kena bahayanya dan musibah. Hanya orang-orang wikan yang bisa mengatasinya (tentu dengan bebantenan, puasanya, doa-doanya, dan lain-lain).

Jadi umumnya sampai saat ini masyarakat Bali, masih memakai piteket-piteket (kearifan lokal) itu dalam segala aktifitasnya. Melaksanakan lima Yadnya (Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya, dan Bhuta Yadnya), Tri Rna (hutang kepada Tuhan, Rsi dan orang tua), dan lain- lain piteket-piteket para Leiuhur.

Tapi kini, kepercayaan atas kearifan lokal itu pada generasi muda Bali mulai luntur. Mereka seakan-akan kurang mempercayai "keampuhan" dari ritual (yadnya) yang dilakukan itu. Apakah betul, para betara yang melinggih di suatu Merajan (Pura) itu melindungi mereka?. Mengabulkan permohonan mereka?. Agar kaya, naik pangkat, menang Pilkada, dan lain-lain?

Akibatnya, mereka melaksanakan ritual (yadnya) itu, sekedarnya saja. Dianggap seperti orang nabung di Bank - pada saat perlu, tinggal tarik dananya. Pemikiran mereka, jika sudah melaksanakan yadnya yang besar, mesesari besar, ngundang banyak orang dan lain-lain, maka dianggapnya nabung yang banyak. Sehingga jika saatnya nanti jika diperlukan - misal saat memohon berkah Betara (agar kaya, naik pangkat, menang Pilkada, dan lain-lain), tentulah dikabulkannya! Bukan demikian "jenis" berkah betara kepada umatNYA. Berkah beliau -sesuai dengan filosofi Balinya; Semoga damuh Betara sareng sami - rahajeng, selamat, sejahtera, tentram, dan bahagia. Sehingga mereka bisa ngayah di Banjar, di pura. Melayani dan membantu umat - sebagai perwujudan yadnya kepada Betara (Tuhan). Untuk itu masyarakat Bali kuno rela, pasrah menerima segala macam cobaan dan Tuhan. Tanpa komplain. Bahkan dengan hidup miskin.

Tapi yang mengherankan dari semua itu, adalah, leluhur masyarakat Bali bisa memiliki tanah, sawah, kebun berhektar-hektar dan menjadi pemilik Pulau Bali ini. Walaupun mereka tanpa pendidikan, dan hidup miskin. Rumah dari tanah, tanpa peralatan rumah tangga, dan lain-lain. Bahkan ke mana-kemana jalan kaki tak pakai sandal, paling-paling naik dokar. Tapi nama masyarakat dan Pulau Balinya terkenal sampai ke mancanegara. Sebagai seniman, pelukis, penari, pembuat bangunan-bangunaa yang berukir indah-indah, dan lain-lain. Yang membuat Pulau Balinya diberikan berbagai sebutan yg indah-indah. Pulau Dewata, Last Paradise in the World, Pulau Seribu Pura, dan lain-lain.

Kini zaman berubah, dan generasi muda Balinya juga ikut arus "kemajuan” globalisasi ini. Yang tadinya berpedoman kepada kearifan leluhur, kini berubah memakai adat (budaya luar), seperti budaya Arab, Amerika, China atau lainnya. Mereka membangun rumahnya mewah-mewah, Merajan, pura dibangun dengan biaya milyaran. Mobil, bisnis modem, komputer, dokter spesialist, pesta ulang tahun, cafe, dan peralatan rumah tangga canggih lainnya. Tapi kenyataannya, kehidupan mereka tambah stress. Lunturnya rasa menyama braya, selunglung sebayantaka, paras-paros, dan lain-lain. Yang muncul egoistis, hedonismem, rakus, loba, kejam dan adharma. Bagaikan Rahwana. Tanpa prestasi yang bisa dibanggakan ke mancanegara ini.

Leluhur telah memberikan kita filosofi artha, kama, dharma, moksah. Dan Brahmacarya, Gryahasta, Sanyasin, Wanaprasta. Yang artinya, pada saat remaja banyak mencari ilmu (sekolah yang setinggi-tingginya) biar pintar jadi Sarjana, sehingga dia tahu seluk-beluk suatu ilmu duniawi. Dari teori, lalu hasil magang. Sehingga dia siap untuk bekerja kepada orang lain atau membangun usahanya sendiri. Setelah dapat uang banyak, beli tanah, bikin rumah, beli motor, mobil, dan medana punia. Jika Anda medana punia (meyadnya), diumpamakan ngaturang uang kepada Tuhan. Dan Tuhan akan membalasnya dengan berlipat. Karena ada doa tambahan dari orang-orang yang Anda bantu keuangannya. Banyak orang berpikir, bahwa ini bohong, padahal banyak bukti empiris yang membenarkan hal itu. G. Soros, milyuner Yahudi Amerika - menyumbangkan kekayaannya milyaran rupiah setiap tahunnya untuk masyarakat miskin di seluruh dunia. Kekayaannya malah selalu bertambah. Juga Raja Jogya (Jateng) dari Hamangku Buwono I sampai dengan Hamangku Buwono X saat ini, begitu dermawan. Memberikan tanah-tnahnya dipakai oleh masyarakatnya. Juga sering memberikan zakat kepada fakir-miskinnya. Kekayaannya, juga terus bertambah. Demikian juga Raja Ubud Bali, yang juga terkenal dermawan, baik kepada masyarakatnya. Juga kekayaannya tidak berkurang. Kenapa orang takut medana punia?. Itu piteket leluhur Bali.

Bagi yang mengikuti ajaran ngiwa (black magic), maka hati-hati karma jelek. Membantu nyama braya yang miskin, ini karma baik. Siapa tahu Tuhan juga akan membantu kebaikan kita karena itu. Dengan dana punia itu - rezeki yang kita dapat itu menjadi bersih. Ini adalah mantra-mantra Weda, wahyu Tuhan. Karena pada zaman Kali ini, yadnya punia itu yang utama. Yang mengalahkan yadnya-yadnya lainnya. Ini sangat baik dan sangat mudah bagi orang-orang yang rajin mencari uang (kaya). Tinggal mendana punia-kan uangnya ke pura atau kepada masyarakat miskin. Utamakan nyama braya dulu. Tuhan akan memberkahinya dan menambahkan rezekinya kembali. Jangan seperti saat ini, malah membiarkan saudara-saudaranya miskin.

Saat Sanyasin itulah saat untuk mulai melaksanakan ajaran-ajaran agama (dharma) serta mengurangi aktifitas keduniawian. Menjauhi kenikmatan duniawi. Hanya ngurus cucu saja. Jangan lagi mengejar karir (mencari uang). Biar pekeriaan itu dilakukan oleh anak-anak muda saja. Sedangkan kita yang sudah tua-anak ini akan lebih berkah mencari Betara sajalah. Nangkil ke pura (metirtayatra), dan lain-lain. Memohon berkah kepada Betara-betara, agar anak-cucu serta semua damuh Betara diberkahi.

Terahkir, saat Wanaprasta tiba, menjauhi duniawi (bertapa masuk hutan) atau minimal ngayah ke Pura-pura jika ada piodalan di sana untuk merenungkan apa yang sudah kita perbuat selama hidup ini. Dan apa yamg sudah Tuhan berikan kepada kita selama ini. Mungkin selama ini kita jarang mensyukurinya, tapi sibuk sibuk memohon saja. Dengan mengingat piteket-piteket leluhur kebijakan-kebijkan lokal Bali, semoga muncul kesadaran, bahwa semuanya itu berasal dari Tuhan adanya, karena itu tidaklah patut kita merasa berhak atas apa yang kini kebetulan ada di sekitar kita. Jadi mari kita bangkitkan "jengah" orang Bali untuk membangun mengajegkan Bali. Berpedoman pada piteket-piteket (kebijakan-kebijakan) lokal Balinya yang sudah terbukti sejak zaman dulu.

Selanjutnya......

Dengan Dana Punia Melancarkan Rejeki


A.A. Bagus Sudira

Sejak zaman Bali Kuno, masyarakat Bali sudah punya tuntunan dalam menjalani kehidupan ini, sehingga masyarakat Bali kuno dikenal sebagai masyarakat yang tata tentram kerta raharja. Walaupun masyarakatnya tidak kaya raya, tapi masyarakatnya masih kental rasa persaudaraannya. Tat Twam Asi, Tri Hita Karana, selunglung sebayantaka, paras-paros, dan lain-lain.
Mereka mengawali kehidupannya dengan doa-doa dan menghaturkan sesajen kepada masing-masing betara-betari yang melinggih di lokasi itu. Atau kepada sungsungan-nya suang-suang. Dan juga kepada para roh-roh “Penunggu” tempat itu agar tidak mengganggum, selamat tidak kurang suatu apa pun. Ini salah satu cara mereka melaksanakan Tat Twam Asi dalam kehidupannya. Matur ring Betara dan manusia yang ada di sekitarnya. Dan melakukan ritual "kurban" penyomya para butha kala yang ada di lokasi, di mana pekerjaan itu akan dilaksanakan.

Bahkan dikandung juga maksud, bahwa dengan mengorbankan bebek (kerbau) itu, diharapkan bahwa si bebek (kerbau) itu akan diberikan tempat yang baik oleh Tuhan. Dan di suatu saat akan bisa menjelma menjadi mahkluk yang lebih tinggi tingkatannya (misal lahir sebagai manusia).

Banyak orang tidak percaya akan hal ini. Tapi lihatlah di lingkungan kita, betapa banyak jatuh korban manusia di suatu gedung bertingkat, karena tidak melaksanakan ritual itu. Apa sebabnya?. Karena butha Kala (roh-roh yang ada di sana) tidak diberikan kurban.

Demikian pula jika masyarakat Bali membangun rumahnya, juga Merajan, pura, maka mereka memakai aturan kosala-kosali yang sudah ada sejak zaman purba, Termasuk bentuk (ukuran) masing-masing bangunan yang dibuat. Masyarakat Bali percaya, bahwa kosala-kosali ini mengambil model dan bentuk bangunan yg ada di sorga. Jadi istananya para dewa yang ada di sorga. Termasuk posisi dari tapakan beliau dan pengawal-pengawal beliau. Makanya lokasi Merajan ada akan di timur, kamar tidur, para tetua (Penglingsir) di utara, dan seterusnya. Ini semuanya mencerminkan penempatan para dewa dilokasi yang disucikan. Lokasi Penglingsir dilokasi yang dihormati dan lokasi toilet di pelemahan (teben). Dan di depan pintu masuk rumahnya akan ada "Pengaling-aling". Yang dimaksudkan sebagai tameng (penolak bala) yang dikirim orang-orang jahat dari luar rumah.

Demikian masyarakat Bali melaksanakan semua filosofi-filosofi kuno mereka sampai saat ini. Dan kenyataannya banyak benarnya. Contohnya; ada keluarga yang membangun rumahnya di ujung jalan (tusuk sate) - tanpa "Pengaling-aling". Yang oleh penganut agama lainnya - dilakukan dengan memasang cermin, atau lainnya. Menurut hasil riset emperisnya - keluarga yang tidak melakukan hal itu, sering kena musibah (kecelakaan atau sakit-sakitan. Bahkan bisnisnya bangkrut.

Begitu juga berbagai kasus mistik lainnya. Seperti; rumah yg dibangun di atas bekas kuburan, bekas pasar, bekas pura, bekas sungai, dan lain-lain. Sangat tenget dan berresiko tinggi. Orang-orang awam yang berani membangun di lokasi itu akan kena bahayanya dan musibah. Hanya orang-orang wikan yang bisa mengatasinya (tentu dengan bebantenan, puasanya, doa-doanya, dan lain-lain).

Jadi umumnya sampai saat ini masyarakat Bali, masih memakai piteket-piteket (kearifan lokal) itu dalam segala aktifitasnya. Melaksanakan lima Yadnya (Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya, dan Bhuta Yadnya), Tri Rna (hutang kepada Tuhan, Rsi dan orang tua), dan lain- lain piteket-piteket para Leiuhur.

Tapi kini, kepercayaan atas kearifan lokal itu pada generasi muda Bali mulai luntur. Mereka seakan-akan kurang mempercayai "keampuhan" dari ritual (yadnya) yang dilakukan itu. Apakah betul, para betara yang melinggih di suatu Merajan (Pura) itu melindungi mereka?. Mengabulkan permohonan mereka?. Agar kaya, naik pangkat, menang Pilkada, dan lain-lain?

Akibatnya, mereka melaksanakan ritual (yadnya) itu, sekedarnya saja. Dianggap seperti orang nabung di Bank - pada saat perlu, tinggal tarik dananya. Pemikiran mereka, jika sudah melaksanakan yadnya yang besar, mesesari besar, ngundang banyak orang dan lain-lain, maka dianggapnya nabung yang banyak. Sehingga jika saatnya nanti jika diperlukan - misal saat memohon berkah Betara (agar kaya, naik pangkat, menang Pilkada, dan lain-lain), tentulah dikabulkannya! Bukan demikian "jenis" berkah betara kepada umatNYA. Berkah beliau -sesuai dengan filosofi Balinya; Semoga damuh Betara sareng sami - rahajeng, selamat, sejahtera, tentram, dan bahagia. Sehingga mereka bisa ngayah di Banjar, di pura. Melayani dan membantu umat - sebagai perwujudan yadnya kepada Betara (Tuhan). Untuk itu masyarakat Bali kuno rela, pasrah menerima segala macam cobaan dan Tuhan. Tanpa komplain. Bahkan dengan hidup miskin.

Tapi yang mengherankan dari semua itu, adalah, leluhur masyarakat Bali bisa memiliki tanah, sawah, kebun berhektar-hektar dan menjadi pemilik Pulau Bali ini. Walaupun mereka tanpa pendidikan, dan hidup miskin. Rumah dari tanah, tanpa peralatan rumah tangga, dan lain-lain. Bahkan ke mana-kemana jalan kaki tak pakai sandal, paling-paling naik dokar. Tapi nama masyarakat dan Pulau Balinya terkenal sampai ke mancanegara. Sebagai seniman, pelukis, penari, pembuat bangunan-bangunaa yang berukir indah-indah, dan lain-lain. Yang membuat Pulau Balinya diberikan berbagai sebutan yg indah-indah. Pulau Dewata, Last Paradise in the World, Pulau Seribu Pura, dan lain-lain.

Kini zaman berubah, dan generasi muda Balinya juga ikut arus "kemajuan” globalisasi ini. Yang tadinya berpedoman kepada kearifan leluhur, kini berubah memakai adat (budaya luar), seperti budaya Arab, Amerika, China atau lainnya. Mereka membangun rumahnya mewah-mewah, Merajan, pura dibangun dengan biaya milyaran. Mobil, bisnis modem, komputer, dokter spesialist, pesta ulang tahun, cafe, dan peralatan rumah tangga canggih lainnya. Tapi kenyataannya, kehidupan mereka tambah stress. Lunturnya rasa menyama braya, selunglung sebayantaka, paras-paros, dan lain-lain. Yang muncul egoistis, hedonismem, rakus, loba, kejam dan adharma. Bagaikan Rahwana. Tanpa prestasi yang bisa dibanggakan ke mancanegara ini.

Leluhur telah memberikan kita filosofi artha, kama, dharma, moksah. Dan Brahmacarya, Gryahasta, Sanyasin, Wanaprasta. Yang artinya, pada saat remaja banyak mencari ilmu (sekolah yang setinggi-tingginya) biar pintar jadi Sarjana, sehingga dia tahu seluk-beluk suatu ilmu duniawi. Dari teori, lalu hasil magang. Sehingga dia siap untuk bekerja kepada orang lain atau membangun usahanya sendiri. Setelah dapat uang banyak, beli tanah, bikin rumah, beli motor, mobil, dan medana punia. Jika Anda medana punia (meyadnya), diumpamakan ngaturang uang kepada Tuhan. Dan Tuhan akan membalasnya dengan berlipat. Karena ada doa tambahan dari orang-orang yang Anda bantu keuangannya. Banyak orang berpikir, bahwa ini bohong, padahal banyak bukti empiris yang membenarkan hal itu. G. Soros, milyuner Yahudi Amerika - menyumbangkan kekayaannya milyaran rupiah setiap tahunnya untuk masyarakat miskin di seluruh dunia. Kekayaannya malah selalu bertambah. Juga Raja Jogya (Jateng) dari Hamangku Buwono I sampai dengan Hamangku Buwono X saat ini, begitu dermawan. Memberikan tanah-tnahnya dipakai oleh masyarakatnya. Juga sering memberikan zakat kepada fakir-miskinnya. Kekayaannya, juga terus bertambah. Demikian juga Raja Ubud Bali, yang juga terkenal dermawan, baik kepada masyarakatnya. Juga kekayaannya tidak berkurang. Kenapa orang takut medana punia?. Itu piteket leluhur Bali.

Bagi yang mengikuti ajaran ngiwa (black magic), maka hati-hati karma jelek. Membantu nyama braya yang miskin, ini karma baik. Siapa tahu Tuhan juga akan membantu kebaikan kita karena itu. Dengan dana punia itu - rezeki yang kita dapat itu menjadi bersih. Ini adalah mantra-mantra Weda, wahyu Tuhan. Karena pada zaman Kali ini, yadnya punia itu yang utama. Yang mengalahkan yadnya-yadnya lainnya. Ini sangat baik dan sangat mudah bagi orang-orang yang rajin mencari uang (kaya). Tinggal mendana punia-kan uangnya ke pura atau kepada masyarakat miskin. Utamakan nyama braya dulu. Tuhan akan memberkahinya dan menambahkan rezekinya kembali. Jangan seperti saat ini, malah membiarkan saudara-saudaranya miskin.

Saat Sanyasin itulah saat untuk mulai melaksanakan ajaran-ajaran agama (dharma) serta mengurangi aktifitas keduniawian. Menjauhi kenikmatan duniawi. Hanya ngurus cucu saja. Jangan lagi mengejar karir (mencari uang). Biar pekeriaan itu dilakukan oleh anak-anak muda saja. Sedangkan kita yang sudah tua-anak ini akan lebih berkah mencari Betara sajalah. Nangkil ke pura (metirtayatra), dan lain-lain. Memohon berkah kepada Betara-betara, agar anak-cucu serta semua damuh Betara diberkahi.

Terahkir, saat Wanaprasta tiba, menjauhi duniawi (bertapa masuk hutan) atau minimal ngayah ke Pura-pura jika ada piodalan di sana untuk merenungkan apa yang sudah kita perbuat selama hidup ini. Dan apa yamg sudah Tuhan berikan kepada kita selama ini. Mungkin selama ini kita jarang mensyukurinya, tapi sibuk sibuk memohon saja. Dengan mengingat piteket-piteket leluhur kebijakan-kebijkan lokal Bali, semoga muncul kesadaran, bahwa semuanya itu berasal dari Tuhan adanya, karena itu tidaklah patut kita merasa berhak atas apa yang kini kebetulan ada di sekitar kita. Jadi mari kita bangkitkan "jengah" orang Bali untuk membangun mengajegkan Bali. Berpedoman pada piteket-piteket (kebijakan-kebijakan) lokal Balinya yang sudah terbukti sejak zaman dulu.

Selanjutnya......