Setelah sekian lama vakum, kini Lembaga Peduli Umat Hindu (LPUH) bangkit kembali. Badan pendiri LPUH menetapkan Wayan Suja, dosen di Undiksha Singaraja, untuk menakhodai organisasi yang resmi berdiri pada September 2008 itu. Wayan Suja yang kini studi S3 di Surabaya, Jawa Timur, harus membagi pemikirannya antara tugas belajarnya di satu sisi dan memimpin organisasi sosial kemasyarakatan yang ada di Bali itu di lain sisi.
Setelah terpilih menjadi Dewan Pengurus LPUH pada pertengahan Oktober 2011, langkah pertama yang diambil adalah bersurat kepada Bupati Buleleng. Apa yang dia tulis kepada orang nomor satu di Buleleng itu? LPUH menyurati Bupati Buleleng agar menghentikan pembangunan masjid yang ada di Banyuasri. Sebab pembangunan tempat ibadah itu tanpa mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB). Bagaimana IMB didapat, sebab panitia nekad membangun begitu saja tanpa menoleh kiri dan kanan. Dengan kata lain masyarakat sekitarnya diabaikan. Panitia pembangunan hanya bermodalkan nekad saja.
Sikap panitai yang demikian itu mungkin didasarkan atas pengalaman-pengalaman di tempat lain di Bali. Orang Bali dikenal sangat polos. Ketika di desanya ada pembangunan tempat ibadah untuk umat lain, masyarakat umumnya diam saja. Jarang melakukan protes, apalagi melakukan aksi kekerasan seperti yang pernah terjadi beberapa kali di Jawa Barat.
Sebagaimana ramai diberitakan pada saat itu, warga Lingga pada dasarnya keberatan dengan rencana pendirian masjid itu. Warga merasa diremehkan. Pihak panitia tanpa mohon restu atau izin lingkungan terlebih dahulu, langsung melakukan pembangunan. Setelah beton-beton selesai dicor, dan sedikit lagi tempat ibadah itu selesai, masyarakat sekitar mulai kasak-kusuk mempertanyakan prosedur izin yang semestinya. Keresahan warga itu kemudian didengar oleh Lurah Banyuasri. Pak lurah kemudian mempertemukan warga dengan pihak panitia. Namun tak tercapai kata sepakat. Ketika panitia diminta menjelaskan ihwal pembangunan itu, warga memilih walk out.
Agar ada penyikapan yang jelas, LPUH memperkuat “penolakan” warga itu dengan menulis surat ke Bupati Buleleng Putu Bagiada. Surat itu ditembuskan ke berbagai pihak yang berkompeten, termasuk ke panitia pembangunan masjid. Isinya adalah meminta pembangunan masjid itu untuk sementara dihentikan.
Lalu setelah surat itu dikirim, apa langkah selanjutnya? “Kami masih akan melihat reaksinya. Kalau mereka diam, menghentikan pembangunannya, kami anggap protes warga diindahkan. Tapi kalau mereka berlanjut, berarti protes warga dan surat kami tak dihiraukan. Kalau begitu yang terjadi, kami tentu tidak tinggal diam,” kata Wayan Suja. Sayangnya belum terjalin hubungan yang erat antara masyarakat yang menolak dengan LPUH. Mestinya LPUH aktif melakukan pendekatan. Barangkali karena masih tahap belajar sehingga LPUH merasa cukup puas setelah menulis surat kepada bupati.
Sementara itu pada akhir Oktober 2011, YPUH kembali melakukan pelayanan sosial kepada sebuah keluarga dari Nagasepeha. Pelayanan sosial yang dilakukan adalah pengabenan sederhana bagi 6 jasad yang telah lama meninggal dunia. Pengabenan itu dilaksanakan di sekretariat YPUH, Jl. Kalimantan, Singaraja. Ngaben sederhana dimaksudkan tidak hanya berarti menekan biaya, tetapi yang lebih penting adalah memenggal rangkaian ritualnya. Setelah “menjemput” sang roh di kuburan, lantas dilaksanakan prosesi sepatutnya di sekretariat YPUH. Setelah melewati beberapa jam, roh selanjutnya dilarung menuju samudra. Kebetulan sekretariat YPUH terletak di pinggir pantai sehingga upacara ngayut, yang diidentikkan dengan ritual nyegara-gunung, jadi mudah. Pengabenan pun dianggap selesai. Tidak dilanjutkan dengan ritual me-ajar-ajar maupun nuntun ngelinggihang sang atma di mrajan. Karena urusan roh selanjutnya menjadi wilayah kekuasaan Tuhan. “Keliru kalau roh diikat kembali di mrajan kita,” kata Ketua PHDI Buleleng Putu Wilasa saat memberikan pembekalan, sepuluh hari sebelum hari pelaksanaan ngaben.
Pada saat pembekalan, 18 Oktober 2011, YPUH mengundang dua tokoh Hindu yaitu Prof. Dr. Made Titib dan Jro Mangku Suwena. Pada saat itu para narasumber menjelaskan, ngaben sesungguhnya tidak harus besar. Hanya karena masyarakat tidak merujuk pada kitab suci menyebabkan ritual jadi besar dan mahal. Hal itu menyebabkan orang Bali kehilangan waktunya untuk bersaing di sektor ekonomi. Mereka jadi tersingkir di tanah kelahirannya sendiri. YPUH dan LPUH ingin mengatasi masalah-masalah itu. Dua lembaga itu berpendapat, umat Hindu perlu disadarkan bahwa bukan ritual yang menjadi penentu nasib roh setelah badannya meninggal, melainkan seluruh karmanya sewaktu orang itu masih hidup. Ritual hanya sebuah prosesi kecil yang seharusnya dianggap tak begitu penting.
(Made Mustika)
Tweet |
semangat berjuang terus!!!
BalasHapus