Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Kamis, 08 Desember 2011

Mitos Dosa Tujuh Turunan (Sebuah analisis kritis)

I Nyoman Tika

Ungkapan ‘dosa tujuh turunan’ adalah sebuah stigma, yang muncul ketika individu jauh dari kesadaran, akan hakekat hukum karma. Sebab, dosa tujuh turunan, yang masih sering ditemukan dalam benak umat beragama Hindu sampai saat ini. Oleh sebab itu, kata-kata itu menjadi semacam mitos, yang tidak jarang menjadi kontra produktif, sehingga produktivitas umat Hindu, baik dalam tataran mental, moral dan spiritual.


Konsepsi penurunan semacam ini sering mengganggu dan juga tidak jarang menimbulkan persepsi keliru, dan mempengaruhi mind sett umat Hindu, sehingga kerap mengalami traumatik secara psikologi dalam penghayatan beragama, akibatnya mengurangi motivasi kinerja umat. Oleh karena itu diskursus terhadap ‘topik mitos dosa tujuh turunan’ perlu dilakukan untuk paling tidak mendapat dua jawababan dari dua pertanyaan berikut yakni (1) adakah dasar filosofi dalam Weda yang menguatkan pernyataan semacam itu? Kedua, kalau memang ada dalam kaitan apa konsepsi itu dibangun dalam benak umat Hindu?

Implikasi pernyataan-pernyataan dosa tujuh turunan, sering hadir sebagai sebuah ‘stigma’ pada diri dan kelompok tertentu, yang seolah-olah sosok individu atau kelompok lahir dengan mudah hukum karma dapat ditimpa pada orang lain. Artinya, jika pernyatan itu dianut sebagian besar umat Hindu, maka pemahaman terhadap konsep hukum karma, sedikit keliru. Dalam konsepsi itulah meminjam pernyataan Freud tentang agama mendapat penguatan, yakni agama membangun peradaban tidak bisa ditampikkan. Ketika peradaban dibangun, maka agama telah menciptakan serangkaian gagasan masa lalu, dan bukan masa dari sebuah individu. Paralel dengan itu, maka doktrin-doktrin yang dibangun dengan konsep dosa tujuh turunan, yang lahir dari kebutuhan untuk meringankan pukulan yang menyertai kelemahan dan ketidakberdayaan seseorang, haruslah dikontruksi dengan proses berpikir primer. Artinya berdasarkan ingatan yang lemah dan tak berdaya pada jiwa seseorang untuk menghilangkan kompleks imperior yang terus melekat dalam pikiran seseorang.

Untuk mengawalinya paling tidak harus dikemukakan dasar-dasar dosa yang sebenarnya. Sebab selama ini, kalimat yang tajam, dan sering hadir dengan bahasa kutukan, akibat dosa tujuh turunan itu, sejatinya tidak berdasar, dia hadir sebagai sebuah sentuhan tradisi bahwa tipologi seseorang mempengaruhi produktivitasnya.

Dalam bingkai itulah, dosa turunan bukan ada sebelum bayi itu dilahirkan. Bayi tidak membawa kesalahan turunan, namun bayi lahir itu sesungguhnya membawa karma wasanas masa lalunya (sancita karma). Lebih tegas lagi, bahwa bukan karena dikutuk orang tuanya atau akibat neneknya yang pencuri.

Namun ketika dosa tujuh turunan itu akibat pengaruh pendidikan lingkungan. Perlu diketahui bahwa lingkungan hanya mempengaruhi fisik dan tidak lebih. Oleh karena itu, stigma yang terus mencuat dengan klaim-klaim tendensius, menghalangi lahirnya toleransi, maka menurut Gorski (2003), toleransi hanya mungkin terjadi apabila orang rela merelativisasi klaim-klaimnya, sehingga memicu timbulnya kesadaran personal maupun komunal dalam suasana yang tidak dipaksakan. Selanjutnya dikatakan pula penghargaan atas potensi yang lain sebagaimana dibayangkan dalam ”toleransi” memang dibutuhkan. Namun, toleransi seringkali terjebak pada ego-sentrisme (Jalaludin, 2001). Ego-sentrisme mengandung makna bahwa setiap perbedaan mengakui perbedaan lain demi menguatkan dan mengawetkan perbedaannya sendiri (I am what I am not). Paradigma berpikir seperti ini akan memicu tumbuhnya ko-eksistensi bukannya pro-eksistensi yang menuntut kreativitas dari tiap individu yang berbeda untuk merenda dan merajut tali-temali kebersamaan (Muqtafa, 2008; Gorski, 2003).

Saya sependapat bila mitos ini harus diklarifikasi, sebab jiva yang berkehendak mencapai kesempurnaan rohani dalam kedudukan sejatinya yang bebas dari samsara sebenarnya tidak saja memperhatikan apa yang disebut Paapa yang biasanya diterjemahkan sebagai reaksi dosa, tetapi juga apa yang kita sebut karma phala, aksi – reaksi, perbuatan dan hasilnya. Artinya, dosa atau papa disebabkan oleh karya individu dengan badannya sendiri. Bukan hasil interaksi badan orang lain.

Karma dan dosa selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan, manakala ego manusia mengatasnamakan semua yang dia lakukan. Dalam koridor itu kita perlu menyimak, ketika seseorang distigma tentang dosa tujuh turunan, maka kesedihan selalu meliputi dirinya. Untuk itu perlu diketahui nasehat Sri Krishna dalam Bhagawadgita, “Krishna memberi Arjuna semangat dan keberanian untuk menyelamatkannya agar tidak tenggelam dalam kesedihan dan keputus-asaan. Pertolongan pertama yang diberikan Beliau adalah memberikan pelajaran mengenai ‘diri sejati’ dan yang ‘bukan diri sejati’ dan perbedaan di antara keduanya. Beliau berkata, "Arjuna, selama engkau dikuasai oleh ketakutan dan kecemasan, engkau tidak akan mampu mencapai apa-apa. Bangkitkanlah keberanianmu! Ketahuilah bahwa engkau adalah atma, bukan badan ini; maka engkau tidak akan mengenal rasa takut. Aku dapat menolong engkau mencapai berbagai hal yang besar dan agung; namun hanya bila engkau mendasari tindakanmu dengan pengetahuan sejati dan tetap gagah berani." Sampai di sini Krishna tersenyum, tetapi Arjuna menangis, mengapa? Karena Tuhan selalu bahagia, manusia selalu terikat dengan hasil, dengan badan, kerabat. Saya ingin mengatakan, dosa tujuh turunan ketika itu masih berkelebat sebenarnya, kita masih terikat akan hasil.

“Om Nama Siwaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar