Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Kamis, 08 Desember 2011

Pura Pengukur Ukuran Wajib Bagi Calon Pemimpin

Ronny Purna Bagus Haryono

Agama Hindu memang dikenal sebagai agama tirta, karenanya banyak tempat-tempat sucinya dibangun di sekitar aliran sungai. Di sepanjang daerah aliran Sungai Pakerisan, Gianyar misalnya, bisa kita temui begitu banyak pura dan juga ceruk-ceruk pertapaan yang menjadi bukti tingginya peradaban masyarakat Hindu pada masa itu. Candi, pura maupun tempat pertapaan yang ada di sepanjang aliran Sungai Pakerisan, menjadi acuan dalam menguak sejarah raja-raja yang pernah berkuasa di Bali.

Salah satu dari peninggalan ini dapat kita temukan di Pura Pengukur-Ukuran. Terletak di tepi barat aliran Sungai Pakerisan, tepatnya di Banjar Sawagunung, Desa Pejeng Kelod Kecamatan Tampaksiring. Pura Pengukur Ukuran memiliki sejarah panjang yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Hindu serta keberadaan kerajaan Hindu Di Bali. Begitu memasuki areal pura, kita akan merasakan suasana yang sangat damai, terlebih pura ini terletak jauh dari jalan raya. Rimbunnya pepohonan serta suara dari riak air di Sungai Pakerisan memberikan ketenangan bagi umat yang tangkil ke Pura ini.

Menurut Bendesa Pura Pengukur Ukuran, I Dewa Gede Raka, Pura yang di-empon oleh dua banjar, yakni Banjar Sawagunung dan Banjar Gepokan ini dulunya merupakan sebuah pasraman. “Berdasarkan prasasti, Pura Pengukur Ukuran oleh para ahli disebut Prasasti Lawang Pintu, karena kemungkinan dahulu terletak di pintu gerbang. Pura tersebut dulunya merupakan pasraman yang bernama Dharma Hanyar. Hal ini dapat diketahui dari kalimat Mpungkwing Dharmma Hanyar yang berarti pendetaku di Dharmma Hanyar bergelar Jiwaya,” ungkapnya.

Dari tahun yang tertera pada prasasti, diperkirakan Pura Pengukur Ukuran dibangun pada tahun 1116 caka atau 1194 masehi, pada masa pemerintahan Raja Jaya Pangus. Jika kita memasuki utama mandala, kita akan menjumpai sebuah candi yang bentuknya sangat mirip dengan candi prasada yang ada di Pura Mengening. Memang diperkirakan antara kedua tempat ini memiliki kaitan sejarah yang sangat erat, seperti misalnya dibangun pada masa pemerintahan raja yang sama.

Pemujaan Siwa

Diperkirakan Pasraman Dharmma Hanyar berganti nama menjadi Pura Pengukur Ukuran setelah pasraman tersebut dijadikan tempat seleksi pada masa kerajaan Bedahulu. “Diceritakan pada masa Kerajaan Bedahulu, Ki Kebo Iwa atau Ki Kebo Taruna, seorang keturunan Arya Karang Buncing melamar untuk menjadi maha patih. Agar bisa diterima ia harus melewati berbagai ujian kesaktian dan salah satunya dengan melawan Ki Pasung Grigis yang terkenal sangat sakti. Kebo Iwa dapat melewati semua ujian tersebut dan sejak itu Pasraman Dharmma Hanyar berganti nama menjadi Pura Pengukur Ukuran,” terang bendesa asal Banjar Sawagunung ini.

Seperti kebanyakan pura yang terdapat di daerah Pejeng, di Pura Pengukur-Ukuran juga ditemukan banyak arca. Semua arca yang ditemukan di sini berkaitan dengan pemujaan terhadap Dewa Siwa. Beberapa di antaranya berbentuk Bodhissattwa, Ciwa Guru dan juga Ganeca. Di Pura Pengukur Ukuran terdapat dua buah pelinggih yang cukup unik dengan posisi saling berhadapan.

“Yang pertama Pelinggih Ratu Ngurah Agung menghadap ke Barat. Di depannya terdapat Pelinggih Ratu Madeg. Di sini terdapat sebuah batu yang berdiri. “Selama ini ada kepercayaan bagi siapa yang ingin menjadi pemimpin, wajib bersembahyang di pelinggih ini,” imbuhnya. Piodalan di Pura yang di-empon oleh 164 kepala keluarga ini jatuh pada pengelong purnama sasih karo. Sementara karya penyelah dilaksanakan pada buda manis sasih kaulu.

Tapak Kaki Kebo Iwa

Jika kita keluar melalui sisi selatan utama mandala, kita akan menemui anak tangga yang akan membawa kita menuju ke dekat Sungai Pakerisan. Anak tangga tersebut terbuat dari susunan batu kali dengan ukuran yang cukup besar. “Di salah satu batu kita akan menemui bekas telapak kaki yang ukurannya sedikit lebih besar dari ukuran kaki manusia biasa. Konon tapak kaki ini milik dari Kebo Iwa yang menjadi penyusun dari tangga ini. Di salah satu batu yang tidak mau rapi, ia menghentakkan kakinya hingga berbekas seperti saat ini,” urai Bendesa Pura Pengukur-Ukuran, I Dewa Gede Raka.

Setelah menuruni tangga batu, kita akan menjumpai sebuah gapura yang menjadi pintu keluar masuk ke Goa Garba. Goa Garba sendiri merupakan ceruk pertapaan. Di sini kita dapat menemui beberapa arca yang diperkirakan ditujukan untuk pemujaan Siwa. Di atap ceruk di Goa Garba terdapat tulisan tipe Kediri Kwadrat yang berbunyi “SRA”. Akan tetapi hingga saat ini makna dari tulisan tersebut belum bisa diketahui. Di atas Goa Garba juga terdapat beji dan sumber mata air Tlaga Waja yang unik -- tidak keluar air di musim hujan dan banyak keluar air di musim kemarau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar