Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Kamis, 08 Desember 2011

Taman Pura Lingsar di Hati Saya

I Nyoman Tika

Siang itu, udara Pulau Lombok sejuk berdesir, langit tampak cerah. Saya yang sempat menginjakkan kaki di Pantai Senggigi, diajak teman, yang kebetulan menjadi dokter di Lombok Tengah, dekat dengan Bandara Internasional Lombok. Dia mengajak saya ber-tirta yatra ke Taman Pura Lingsar. Kekhasan Lombok sebagai Bumi Gora dan juga penduduknya yang ramah, sulit saya membedakan dengan kesan di Bali 20 tahun silam. Kesederhanaan sangat tampak.


Lombok dari kulturnya saya melihat tidak jauh berbeda dengan Bali. Lombok memang memiliki kekhasan yang bisa jadi tidak ditemukan di Bali, ada di Lombok. Namun saat ini, ada getaran kuat yang saya rasakan melihat Lombok, tidak seperti dulu lagi, terkesan dipaksakan untuk membuatnya jauh dari akar kultur masyarakatnya. Artinya di sana terlihat lebih dominan gerakan fisik untuk menampilkan berbeda dari budaya Hindu Bali yang telah lama berakulturasi antara kultur Sasak dan Sumbawa. Lombok kini, sekan mencari jati diri yang bisa membuatnya berjarak dengan Bali. Kondisi ini yang membuat Lombok berdiri di persimpangan jalan dalam membangun ciri khasnya yang kerap tidak membumi, terasing dan tanpa makna.

Kondisi itu pulalah yang saya tangkap, ketika saya menatap Taman Pura Lingsar. Dari jalan besar ada penunjuk jalan yang juga sudah agak kusam “Pura Lingsar 300 meter.” Kendaraan yang saya tumpangi melaju, berderak, karena halaman parkir masih batu koral. Seorang tukang parkir bertato dan berambut panjang menghampiri kendaraan kami, untuk mengatur tempat mobil yang kami tumpangi parkir agar aman dan nyaman.

Saya di halaman parkir memandang ke sebelah timur ada wantilan, nampaknya untuk pemedek bila ada upacara pujawali. Saat saya disana saya melihat wantilan itu tempat menjual sate ikan, sate sapi, yang dicampur blayag. Lalu, saya bersama teman yang saya ajak, mempersilahkan saya untuk melihat-lihat pura, saya pandangi papan penunjuk “Taman Pura Lingsar Cagar Budaya” tampak tak terurus, hurufnya mengelupas karena haus. Candi bentar banyak yang sudah terpotong, ukuran paras sudah banyak yang tidak berbentuk, taman-taman dengan airnya tidak terawat, kolamnya tidak terurus.

Taman Pura Lingsar dari luar terkesan kuat di hati saya sebagai tempat suci yang benar-benar menjadi situs cagar budaya, yang bisa jadi akan semakin purba, karena ditinggalkan oleh pemiliknya, dan minim perhatian umat Hindu. Bandingkan dengan mesjid di sekitarnya megah-megah.

Kesan itu, terkuak hebat ketika menatap taman Pura Lingsar, yang dulunya menawan, tempat lilacita para penguasa kerajaan Karangasem di Lombok, kini benar-benar seakan menjadi terasing diwilayah yang pernah diharumkan namanya karena keindahannya. Pura Lingsar sebagai tempat cagar budaya, kelihatan tidak terurus itu, seakan membuat kita semua, khususnya Hindu, seakan ikut membiarkan agar pura indah itu masuk ke zona budaya masa lalu, tanpa revitalisasi dari umat Hindu. Saya khawatir ketidakpedulian umat Hindu, karena aturan cagar budaya itu sendiri yang rigit, dan ditambah dengan mind set umat Hindu, bila telah menjadi cagar budaya, pura menjadi miliki pemerintah. Pura semata-mata dibebankan kepada pemerintah.

Bisa jadi, bila pura yang tercagarbudayakan akhirnya membuat umat Hindu tidak bebas melakukan sembahyang, juga terbatas memanfaatkannya sebagai senter pengembangan Hindu, karena aktivitas keumatan harus sepengetahuan penguasa. Lalu, efek yang lain adalah ketika itu menjadi beban negara, maka pendapatan daerah untuk mengembangkan pura menjadi sangat disulitkan di wilayah yang mayoritas agama non Hindu. Hipotesis saya ini seakan mendekati kebenaranya ketika melihat kondisi Pura Lingsar secara keseluruhan, kurang terawat, minim perbaikan fasilitas untuk umat.

Berbeda halnya dengan pura yang ada di Bali megah dengan arsitektur dengan ukiran kayu yang artistik. Pura menjadi living monument yang terus bergerak dinamis, ada karya dan selalu meriah untuk membangun, bisa jadi kepedulian umat Hindu di Bali hanya terfokus pada hegemoni sektoral dan lokal . Artinya hanya senang membangun pura miliknya di Bali saja. Solidaritas kehinduan nampaknya perlu dikembangkan untuk tujuan-tujuan membangun sentra Hindu di pura-pura di luar Bali.

Pura Lingsar walaupun tampak lengang dan menyepi, tetapi di hati saya dia tetap hadir untuk mengisi jiwa ini sebuah perjalanan, di sana saya menatap aroma harmonisasi, toleransi antara agama Hindu dan Islam. Ada Pak Haji dan Jero Mangku bersama-sama berdiskusi dalam halaman pura, yang saya pikir sulit dijumpai di tempat lain di Indonesia.

Di sanalah, saya sadar bahwa pesan guru suci saya, terhadap hidup ini dan perjalanan kehidupan tak pernah berakhir, katanya dengan suara lembut. Engkau belum boleh merasa puas. Engkau harus berjuang agar dapat mencapai tahap selanjutnya dalam perjalanan hidup ini. Jangan berhenti, jangan merasa senang atau merasa puas sebelum engkau mencapai tahap akhir, yaitu adwaita, kemanunggalan yang sempurna dengan Dia dan kesadaran akan keesaan Tuhan. Itulah pesan yang kuat yang melekat dalam hati saya, ketika menatap Taman Pura Lingsar di Lombok. Om nama siwaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar