Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Minggu, 05 Juni 2011

Salam Hindu dalam Dunia Gaul hingga SMS. Jangan Singkat Om Swastyastu Menjadi OSA

Teknologi komunikasi yang sangat pesat telah banyak memunculkan fenomena baru di tengah masyarakat, salah satunya adalah budaya ber-SMS (short messages service). Mangapa budaya SMS, bukan budaya bertelepon saja? Sebab, orang bercakap-cakap lewat telepon sudah sejak dulu, sejak Alexander Graham Bell menemukan teknolgi komunikasi ini (telepon) tahun 1876, tetapi cara berkomunikasi dengan mengirim “pesan singkat” melalui tulisan yang terkirim lewat handphone dan bisa ditampilkan layar telephone adalah budaya baru.

Budaya SMS ini juga memperkenalkan budaya singkat menyingkat kata dan kalimat, dengan alasan supaya cepat dan irit space (ruang) di layar HP. Dan ketika simbol-simbol agama hendak nimbrung ikut memfungsikan teknologi SMS ini, maka bersilumanlah Om Swastyastu menjadi OSA dan Om Shantih Shantih Shantih Om menjadi OSSSO atau OS3XO. Apakah mantra yang disingkat semacam itu memiliki kepantasan dan kepatutan walau itu hanya di SMS-ria?

Pada hakikatnya kehidupan beragama itu tak pernah mandeg, karena ia terikat hukum utpati, sthiti dan pralina. Karena adanya hukum tersebut, maka berbagai hal baru dalam mempraktikkan kehidupan beragama terus tumbuh dan berkembang. Ada kalanya tradisi sebelumnya ditinggalkan dan muncul tradisi baru yang diusung umatnya. Semua ini tidaklah aneh, karena dalam Hindu memang ciptaan ini tak luput dari utpati (penciptaan), sthiti (pemeliharaan) dan pralina (peleburan). Kalau dalam ilmu sosial mungkin sejajar dengan teori tese, sintese, antitese. Demikian diungkapkan Drs. I Ketut Wiana, M.Ag., Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat mengomentari berkembangnya berbagai ucapan “salam” baru di kalangan Hindu.

Ketika ditanya komentarnya tentang “OSA” suatu tulisan yang biasanya populer ditulis dalam mengirim short message service (SMS) di handphone, yang mana “OSA” tersebut dimaksudkan sebagai singkatan Om Swastyastu, Ketut Wiana mengatakan, “Om Swastyastu tidak terlalu banyak menghabiskan ruang di handphone, mengapa harus disingkat lagi. Om saja sudah merupakan singkatan dari Ang-Ung-Mang, kemudian menjadi AUM dan disingkat menjadi OM, masak disingkat lagi, nanti kan kehilangan makna,” paparnya ketika diwawancarai oleh Raditya lewat handphone pada Sabtu, 21 Mei 2011.

Wiana menambahkan, perdebatan soal ini sudah terjadi mungkin setahun lalu. “Dan saya setuju dengan pendapat Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda, bahwa hendaknya penulisan Om Swastyastu tidak disingkat, karena itu merupakan mantra yang berarti Tuhan. Karena itu kalau kirim sms saya jarang menyingkat Om Swastyastu,” tambahnya. (Baca: Doa Harus Ditulis Dengan Utuh)

Lantas bagaimana dengan munculnya ungkapan salam “astungkara” untuk mengakhiri sebuah harapan. Misalnya seorang umat berujar, “Kami sedang mempersiapkan pembangunan ashram, astungkara bulan Agustus mendatang sudah bisa mulai beraktifitas.” Seruan salam doa “astungkara” di atas difungsikan sebagai ucapan mempertegas harapan semoga dikabulkan oleh Hyang Widhi. Ucapan astungkara memang ada dalam khasanah Hindu, tetapi kata ini difungsikan sebagai suatu doa permohonan sekaligus salam, baru berkembang akhir-akhir ini.

Mengenai hal ini, Ketut Wiana menilai, bahwa menurut etimologi kata, astungkara berasal dari kata asta yang berarti tangan dan kara yang berarti sikap. Jadi, astungkara artinya sikap tangan yang kemudian diterjemahkan sebagai suatu bentuk sikap tangan dalam bentuk mencakupkan dua buah tangan di depan dada. Sikap tangan seperti itu disebut astungkara. Kalau melihat simbol sikap tangan demikian, maka boleh hal itu ditafsirkan sebagai bentuk penghormatan tergantung kepada pihak mana sikap tangan itu ditujukan.

Namun, dalam kenyataannya sekarang, kata astungkara justru difungsikan sebagai salam doa “semoga terkabulkan” atau “semoga direstui oleh Tuhan”. Bagi Ketut Wiana, hal ini tidak masalah, meskipun seandainya benar ucapan itu dimunculkan dan kemudian disepakati oleh publik dengan fungsi untuk salam doa semoga terkabul yang kesannya meniru pakem salam agama lain. Ia beralasan, bahwa saling tiru meniru dan ambil mengambil dalam perkembangan suatu kebudayaan adalah hal lazim, sepanjang peniruan itu diperuntukkan untuk revitalisasi kebudayaan si peniru.

Ia menyitir pendapat seorang ahli ilmu jiwa, P.R. Tard yang mengungkapkan, bahwa meniru itu memiliki dua keunggulan: pertama, dapat menghemat tenaga dan waktu dan kedua, meniru dapat melanjutkan kebudayaan.

Masih menurut Wiana, banyak khasanah kebudayaan Hindu diambil oleh agama lain, demikian juga Hindu juga ada meniru dari perkembangan agama lainnya. Ashram yang kini banyak berkembang di Bali sebenarnya dulu sudah berkembang di Bali, tetapi seiring waktu tradisi pasraman ini menghilang ditelan zaman dan sekarang muncul lagi. Sementara itu agama lain justru membuat sentra-sentra belajar agama dengan meniru pola ashram zaman dulu dan mereka mengelolanya dengan profesional. Tak mengherankan kemudian bila lembaga-lembaga pendidikan beraroma tradisi itu banyak yang maju. Hal ini ditegaskan oleh Ketut Wiana untuk memperjelas, bahwa saling tiru, saling ambil inspirasi atau model dalam perkembangan suatu kebudayaan memang tak dapat dihindari, asalkan alasannya benar. Dan satu lagi yang perlu diperhatikan menurutnya adalah, bahwa dalam meniru itu hendaknya tidak ada rasa fanatik berlebihan atau muncul sinisme, tetapi didasari atas semangat saling hormat menghormati.

Pada kesempatan lain, Ketua PHDI Bali, Dr. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si., menyatakan, panganjali umat Hindu “Om Swastyastu” sudah ditetapkan sejak tahun 1959, di mana cara pengucapan maupun penulisannya harus utuh. Jadi, dengan alas an apa pun menurutnya tidak tepat bila Om Swastyastu disingkat “OSA” karena maknanya akan berbeda. “Boleh saja dengan alasan efektifitas dan hemat waktu, maka Om Swsatyastu disingkat, tetapi alasan seperti itu bukan berarti membenarkan kalau panganjali ini boleh disingkat. Misalnya, saya beralasan, karena Pura Besakih jauh, maka saya bikin penyawangan di rumah dan seterusnya tak perlu ke Besakih lagi. Itu kan alasan yang kurang tepat,” urainya via handphone dari kota Kendari.

Memang dirinya bisa memaklumi, bahwa “OSA” tidak akan dibaca “OSA” oleh pembacanya yang mengerti, tetapi akan dibaca sebagai “Om Swastyastu”, toh demikian ia sekali lagi menegaskan, panganjali ini hendaknya tidak disingkat, walaupun di SMS. Demikian juga untuk “Om Shantih Shantih Shantih Om lebih tepat ditulis utuh.

Sementara itu mengenai semakin memasyarakatnya salam “astungkara” menurutnya sudah tepat, karena astungkara berarti “restu Hyang Widhi” yaitu berasal dari kata astu artinya semoga dan Omkara (Ongkara) yang mewakili kehadiran Tuhan. Jadi, astungkara berarti “restu Hyang Widhi”. Ungkapan salam tersebut sudah lama ada dalam khasanah sastra Hindu, tetapi menurutnya sosialisasinya yang terkesan agak kelabakan. Gagasan tersebut berasal dari Parisada, buka orang-perorang.

Jika dikatakan ucapan salam astungkara itu meniru pakem salam-salam agama lain, Ngurah Sudiana tidak melihatnya demikian. Sebab menurutnya, agama itu senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Ia lantas mencontohkan, sebelumnya panganjali Om Swastyastu tidak populer, demikian juga sembahyang Tri Sandhya. Pada awal diperkenalkan kepada umat memang terkesan baru, padahal itu semua ada dalam kitab suci Hindu, tetapi pemakaiannya secara massal memang relatif baru. Dengan demikian, agama terus berusaha merevitalisasi dirinya sesuai kebutuhan umat, sebagaimana contoh dalam perkembangan bahasa Bali, yang kini juga populer salam rahajeng semeng, rahajeng wanti warsa, rahajeng mekarya, dan lain-lain. Dengan menyesuaikan pemakaian bahasa sesuai perkembangan zaman, maka bahasa Bali itu akan bisa tetap survival.
(Putrawan)

Selanjutnya......

Doa Harus Ditulis Dengan Utuh

Ada cerita menarik dari para pendeta Hindu yang tergolong moderen. Disebut moderen karena mereka biasa berkomunikasi dengan alat canggih seperti handphone, mengirim SMS, bermain di Twitter, Facebook dan sejenisnya. Dari pendeta itu menarik untuk diketahui kisahnya, bagaimana mereka menggunakan salam Hindu atau lazim disebut panganjali.

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda, salah satu dari pendeta itu dikenal memiliki akun Twitter, Facebook dan alamat blog yang ramai dikunjungi penggemarnya. Banyak umat yang meminta masukan, apakah itu meminta saran, bertanya masalah kehinduan atau sekedar ngobrol. Namun, Mpu Jaya Prema Ananda tak akan meladeni segala jenis pertanyaan jika yang bertanya menuliskan Om Swastyastu dengan disingkat menjadi OSA. “Saya tak meladeni semua permintaan umat jika mengawali tulisannya dengan OSA. Karena OSA di luar Bali sering diartikan mendatangkan dosa. Saya tak memberikan dosa atau mengajarkan dosa, jadi jangan memakai kata OSA,” tulis Mpu Jaya di akun Facebook-nya.

Menurut Mpu Jaya Prema, kebiasaan ini sudah dilakukan sejak lama ketika masih di Jakarta sebagai wartawan Tempo. “Sudah lebih dari lima tahun saya tak meladeni semua SMS jika diawali dengan OSA,” katanya.

Bukankah SMS harus singkat, namanya saja pesan pendek, bagaimana menulis panjang? Mpu Jaya mengatakan, kalau mau pendek tulis saja OM (keduanya huruf besar) atau AUM (ketiganya huruf besar). Itu sudah cukup, tetapi akan lebih bermakna kalau ditulis lengkap: Om Swastyastu.
Menurut Mpu Jaya Prema, doa itu tak bisa disingkat. Bahkan di agama lain, penyingkatan doa dianggap melecehkan. Doa itu tak berarti doa lagi kalau hurufnya disingkat. Yang boleh disingkat itu adalah sebutan. Misalnya, Sang Hyang Widhi Wasa disingkat SH Widhi Wasa atau SH Widhi saja. Di aagama lain juga begitu, misalnya, Nabi Muhamad SAW, yang terakhir itu singkatan. Tak ada yang menyingkat Insya Allah menjadi IA, alhamdudilah menjadi ADD, misalnya.

Para sulinggih yang menggunakan Facebook ada banyak, memang tak pernah menggunakan OSA. Ida Pandita Mpu Padma Naba dan Ida Pandita Mpu Mengwi (demikian nama akunnya di Facebook) selalu menulis OM dalam mengawali statusnya. “Beliau tak pernah menulis OSA karena beliau tahu hal itu tak ada artinya,” kata Mpu Jaya Prema tentang kedua sulinggih itu.

Bagaimana dengan salam atau panganjali yang lain seperti Astungkara? Menurut Mpu Jaya, astungkara itu lebih cocok kepada arti “atas anugrah Tuhan”, sehingga umat Hindu pun mulai ramai menyebutnya saat ini untuk pergaulan lintas agama. Ini bukan dicari-cari atau supaya ada sandingannya dengan umat Islam, misalnya. Di umat Islam, ada ucapan Insya Allah yang artinya atas seizin Allah. Kalau umat Islam ditanya: “Besok bisa datang nggak ya?” Jawabnya: “Insya Allah”. Maksudnya, kalau Tuhan mengizinkan. Siapa tahu Tuhan tidak memngizinkan misalnya tiba-tiba sakit atau halangan lain seperti ada bencana dan lain-lain. “Di kalangan umat Hindu pun kata astungkara bisa dipakai dalam kasus seperti ini,” kata Mpu Jaya Prema.

Sementara itu, kalau kita memperhatikan Ida Pandita Mpu Jaya Acharyananda, beliau sering kali mengucapkan Om Awignam Astu. Dalam perjalanan ke Singaraja bersama wartawan Raditya, Mpu Jaya Acharya selalu mengucapkan Om Awignam Astu jika kendaraan yang membawanya hampir menabrak mobil atau ditabrak mobil. “Ini sudah kebiasaan, jadi seperti otomatis keluarnya, meski pun saat itu saya ngobrol,” kata Mpu Jaya Acharya.

Apa maksud Om Awignam Astu dalam konteks ini? Mpu Jaya Acharya tak menjelaskannya karena beliau hanya tertawa dan mengira wartawan Raditya sudah tahu. Namun dari Mpu Jaya Prema (adik perguruan Mpu Jaya Acharya) didapat keterangan, dalam konteks ini Om Awignam Astu hampir mirip artinya dengan alhamdulilah yang dipakai umat Islam. Artinya, ucapan syukur bahwa kita selamat, atau memohon supaya diberi keselamatan dari suatu peristiwa yang sudah terjadi.

Kalau demikian, jika ingin menyanding-nyandingkan dengan umat Islam, Insya Allah sama dengan Astungkara, Alhamdudilah sama dengan Awignam Astu. “Tapi kita tak bisa asal menyandingkan saja, harus ada konteksnya, jangan hanya meniru,” ujar Mpu Jaya Prema. “Kalau umat Islam mendengar ada kematian berujar Inalilahi dan seterusnya kalau kita kan Om Swargantu dan seterusnya. Tapi tak boleh disingkat menjadi OSSM untuk Om Swargantu, moksantu, sunyantu, murcantu,” kata Mpu Jaya Prema. “Kalau OSSM ditulis dalam pesan pendek atau di Facebook kita belum memberi doa untuk orang yang meninggal dunia itu, malah melecehkan keluarga yang meninggal dunia,” katanya menutup perbincangan.

Selanjutnya......

Ucapan Salam Bernafas Hindu Perlu Perhatikan Nilai Rasa Bahasa

I Wayan Miasa

Manusia di muka bumi ini, di mana pun berada sudah pasti memiliki unsur-unsur kebudayaan, seperti sistem relegi, sistem mata pencaharian, tata kemasyarakatam, sistem peralatan, teknologi, bahasa dan kesenian. Khusus dalam sistem bahasa, di samping sebagai alat komunikasi, bahasa juga menunjukkan cerminan kehidupan masyarakat pemakai bahasa itu. Misalnya masyarakat yang memiliki rasa hormat terhadap makanan, maka mereka memiliki ungkapan tersendiri dalam tata krama makan. Sebutlah misalnya ungkapan breakfast, lunch, dinner dan lainnya.

Demikian juga, bagi masyarakat yang mengalami empat musim dalam setahun, di mana sang surya lama bersinarnya berbeda-beda di kawasan tersebut, sehingga mereka pun memiliki tradisi untuk menghormati waktunya. Dengan demikian, dalam bertegur sapa mereka memakai batasan waktu berdasarkan jam, sehingga mereka membagi waktu menjadi, pagi, siang, sore, malam dan mereka mengenal ungkapan: guten Morgen, guten Tag, guten Nachmittag ataupun guten Abend. Hal ini berbeda dengan tradisi di Bali yang perbedaan lamanya matahari bersinar antara musim hujan dan kemarau tidak begitu mencolok. Di Bali, ungkapan yang dimiliki adalah: semeng, tajeg surya, sandikala dan peteng.

Di Eropa, saat musim panas, matahari bisa bersinat hingga pukul 22.30, sedangkan saat musim dingin matahari sudah redup pada pukul 16.30. Jadi, wajar mereka bertegur sapa dengan acuan jam, bukan melihat tanda dari matahari untuk menentukan apakah hari masih pagi, siang atau sudah malam. Jam adalah patokan bagi orang-orang Eropa untuk membedakan pagi, siang dan malam.

Di ligkungan masyarakat yang religius yang penganutnya didoktrin agar mengaitkan setiap aktifitasnya dengan Tuhan, maka dalam bertegur sapa aspek ungkapan-ungkapan berbau keagamaan yang ditekankan. Salam yang mereka ucapkan memiliki konteks dengan Tuhan sesuai dalam tradisi agama mereka masing-masing.

Dalam perkembangan komunikasi, di mana jarak manusia tak dibatasi oleh ruang, maka terjadilah interaksi antarindividu yang demikian tinggi. Di jaman teknologi komunikasi yang sudah maju sekrang ini, kadang-kadang orang Bali (Hindu) suka merasa malu untuk menunjukkan identitas budayanya, khususnya dalam tradisi tegur-sapa ini. Kemudian banyak di antaranya mencoba latah untuk meniru padanan sapaan dari budaya lain yang dicoba-coba dicari dalam khasanah bahasanya sendiri, kendati tradisi bertegur sapa ala seperti itu sebelumnya tidak mentradisi.

Seperti disebutkan di atas, bahwa bahasa adalah ekspresi dari suatu budaya, maka lewat bahasa itu kita belajar kultur serta peradaban masyarakat dunia. Ambil saja sebuah contoh masyarakat Eropa yang religius di daerah Bayern atau Austria. Walaupun di sana kebanyakan orang bertegur sapa berdasarkan waktu atau jam, seperti guten Morgen (selamat pagi), guten Tag (selamat siang) dan sebagainya, tetapi masyarakat daerah Bayern jarang memakai ungkapan tersebut. Mereka memilih ungkapan “Gruess Gott” yang artinya mirip dengan Om Namaskar, Om Swastyastu. Artinya, masyarakat di sana tidak ikut latah dalam pakem bertegur sapa, tetapi lebih memanfaatkan bagaimana identitas budayanya yang telah dan biasa berlaku di daerah itu.

Hal ini agak berbeda dengan kecenderungan yang berkembang di Bali, di mana ada suatu kebiasaan atau latah dalam mencari padanan tegur sapa supaya mirip dengan ungkapan-ungkapan salam dari agama non Hindu. Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa kita mesti latah mencari kosa kata atau mantra tertentu untuk bertegur sapa sesuai kondisi-kondisi tertentu. Misalnya kalau berjumpa salamnya Om Swastyastu, kalau mengucapkan syukur atas terkabulnya sesuatu, kini populer seruan Astungkara, dan lain-lain.

Ungkapan apa pun yang ada di masyarakat non Hindu yang berkaitan dengan konteks keagamaan mereka, maka sepatutnya orang-orang Hindu tidak ikut-ikutan latah mencari ungkapan-ungkapan yang berfungsi sesuai kondisi tertentu, karena dalam Hindu salam itu sifatnya sudah sangat universal dan jangkauannya luas. Agama Hindu menekankan aspek kesederhanaan atas nama Tuhan, maka ungkapan-ungkapannya pun sederhana, karena semua yang diinginkan, diharapkan ataupun tak diharapkan dibiarkan diatur menurut hukum Tuhan. Artinya yang ditonjolkan adalah sifat ketuhanan, kebaikan, kedamaian dalam menjalin komunikasi. Dengan demikian, ungkapan bertegur sapa dalam Hindu yang populer ada banyak, tinggal pilih mana yang sreg. Tidak ada pemakaian khusus ungakapan seruan bila bersyukur, saat kaget, saat mengharap sesuatu, saat bertemu, berpisah dan lainnya. Ungkapan salam bernada religius dalam Hindu seperti, Om Swastyastu, Om Shantih-Shantih-Shantih Om, Namaste, Namaskar, Haribol, Om Sairam, Om Nama Siwaya, Hare Krishna, dan lain-lain.

Dalam kata Om (AUM) telah memiliki aspek Tuhan sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur, maka wajar bila setiap bertegur sapa dalam lingkungan Hindu ada unsur OM. Kalau dipadan-padankan mungkin fungsinya mirip dengan kata amien, amin, dalam agama lain.

Seorang ahli terjemahan bernama Mildred Larson dalam bukunya berjudul “Meaning-based Translation” menjelaskan bahwa dalam nenerjemahkan suatu bahasa, kita perlu mengerti kultur serta estetika suatu bangsa untuk mendapatkan makna yang pas dan cocok. Oleh sebab itu, tidak semua ungkapan yang dipakai dalam suatu bangsa, masyarakat ataupun komunitas lainnya bisa atau perlu dicarikan padanan katanya.

Dari kenyataan ini, maka berbanggalah memakain ungkapan tegur sapa yang kita miliki dan tidak harus latah dalam pemakaian ungkapan mengikuti pakem kultur agama lain. Kalau mau mau ditelaah secara mendalam, bahwa sebenarnya tegur sapa dalam Hindu sudah sangat lengkap, walaupun hanya terdiri dari beberapa penggal suku kata. Misalnya Om Swastyastu. Om mengandung arti kata Tuhan dan fungsinya. Swasti berarti baik dan astu artinya semoga. Jadi salam ini berarti semoga baik dalam nama Tuhan atau semoga baik atas karunia Tuhan dan sebagainya.

Kalau dianalisa lebih jauh, maka dalam kata OM yang terdiri dari AUM, merupakan representasi dari: A (atma, atem, atmen, atmosfir) yang berarti kelahiran; U dalam bahasa Jerman ditulis ü disebut sebagai über gang atau perantara dan M mewakili matt yang berarti kematian, lesu, tak berdaya. Jadi identik dengan Ang Ung Mang dalam Hindu.

Usaha mencari padanan atau menerjemahkan ungakapan tegur sapa dalam hubungan dengan kehidupan beragama di masyarakat rasanya tak pas, karena nilai rasa dalam bahasa religius kita berbeda dengan agama lain.

Perlu juga diingat bahwa agama Hindu itu dalam bertegur sapa, berdoa lebih mengedepankan ‘kelascaryaan’, maka doa-doanya pun lebih berupa pernyataan rasa berterimakasih, bukan selalu meminta-minta kepada Tuhan sebagai sarwa karana karanam (sebab dari segala sebab). Hal inilah yang membedakan tatanan bertegur sapa kita dengan masyarakat lain. Kalau diperhatikan secara mendalam lagi dalam kosa kata kehidupan beragama kita, hampir semua ungkapan yang dipakai dalam berkomunikasi menunjukkan sifat atau kebiasaan kita yang optimis dalam bertegur sapa. Janganlah kita terpengaruh oleh tatanan bertegur sapa seperti “iklan kosmetik”.Yang penampilan luarnya kelihatan mulus, indah, cantik tapi di dalam hancur lebur.

Ungkapan tegur sapa “gaya iklan kosmetik” tidak mempresentasikan kehidupan religius kita atau kepribadian kita. Apalagi tegur sapa itu dihasilkan lewat menyadur atau menerjemahkan kebiasaan masyarakat lain, hal ini justru akan membuat ungkapan yang tumpang tindih. Ada banyak contoh yang bisa kita lihat, namun karena penulis tak ingin masyarakat lain tersinggung maka contoh itu tidak dicantumkan di sini. Suatu harapan bagi masyarakat Hindu, marilah kita pakai ungkapan tegur sapa yang mempresentasikan jiwa hindu itu seperti sifat ahimsa, satyam, sundaram dan tak usah latah.

Selanjutnya......

ASTUNGKARA, SEBUAH KREATIVITAS UNTUK IDENTITAS HINDU

I Nyoman Tika

Salam Om Swastyastu, namaste, dan Astungkara, ditutup dengan Om shanti-Shanti-Shnati, Om, merupakan doa mantra pendek, ringkas dan padat, yang sering diucapkan untuk mengaitkan Tuhan yang Maha suci dengan aktivitas manusia Hindu. Maraknya pengucapan salam itu dapat dimaknai dari dua aspek, pertama aspek spiritual, dan kedua, aspek politis identitas. Mengapa pengucapan itu terkesan masih ragu-ragu?


Pengucapan salam dalam mengawali kegiatan, semakin merasuk di ranah formal, tutur bahasa yang keluar sebagai bunga pidato dan juga sambutan para pejabat Hindu, seakan tidak bisa dibendung, tetapi para pejabat Hindu, akan dengan fasih mengucapkan Om Swastyastu mana kala audiensnya mayoritas Hindu, dan kerap tak muncul ketika audiens itu sebaliknya. Ada atau tidak audiens Hindu harus diucapkan dengan yakin, karena kata itu adalah kata-kata magis yang mengandung vibrasi spiritual tinggi. Sebuah mantra yang manjur dan sidhi. Doa-doa ini bisa diteliti, analog dengan eksperimen Masaru Emoto, yang meneliti doa dengan bentuk kristal air. Sederetan mantra, nampaknya bisa dibuktikan pengaruhnya terhadap kristal air, sehingga penggunaan kata semacam Astungkara, akan terkuatkan penggunaannya karena terbukti secara ilmiah.

Kajian secara teoritis ucapan itu termuat tertuang dalam Weda, misalnya Astungkara. Asal usul Astungkara berasal dari bahasa Sansekerta (yang berkata ”astu”) mengakui, mengiyakan dengan segan, “perkataan astu”. Kata Astungkara termuat dalam Atarwa Veda (9.4 ) (Zoemulder, Kamus Jawa Kuna, 1995). Kata astu artinya semoga terjadi (ibid, 73). Pada umumnya kata-kata pilihan dalam Atarwa Weda adalah kata-kata keramat, yang menjadi ispirasi para resi ketika menerima wahyu. Itu sebabnya, bagi seseorang yang sering mengucapkan Astungkara merupakan sabda suci, dengan mengaitkan bayu, sabda dan idep. Konsep pengucapan astungkara adalah untuk menghadirkan kekuasaan Tuhan yang tidak terhingga dan tak terbatas dalam setiap keanekaragaman sangat besar yang kita saksikan bila memandang jagat raya ini, hal yang sama juga terjadi pada kata Swastyastu, namaste dan parama shanti.

Ucapan itu adalah suatu cara untuk membuat diri manusia berada dalam vibrasi ketuhanan. Karena badan ini memang mengikat atma. Atma memiliki kerinduan untuk selalu mencari sumbernya Tuhan sang Maha pencipta. Salam – doa itu adalah bentuk kerinduan untuk kehadiran Hyang Widhi, karena di sanalah deburan nafas-nafas bakti dilantunkan sebagai bentuk sradha, untuk menggapai wilayah Tuhan yang Agung. Kondisi sebagai manusia beragama yang tulus memunculkan pikiran perkataan dan perbuatan. Tak bisa dipungkiri bahwa ucapan suci muncul dalam bentuk doa, yang mengkaitkan antara vibrasi diri dengan vibrasi ilahi, dalam bentuk salam, Om Swastyastu, selamat sore, dan doa pengharapan Astungkara, untuk menjadikan semua karya dan karsa menjadi milik Tuhan

Lalu, pengucapan Astungkara yang nampaknya semakin akrab di telinga umat Hindu, adalah doa pengharapan dan pemanis pembicaraan agar ada vibrasi spiritual Hindu. Dalam konteks kenegaraan nampaknya Hindu, bisa jadi terkesan latah, dan meniru-niru apa yang ada dalam tradisi berbicara umat lain. Namun kenyataannya memang tradisi Weda telah ada sejak dulu, namun umat Hindu di Indonesia jarang menganggap itu tidak penting. Meniru dan menambahi adalah pola berpikir progresif yang maju. Itu sebabnya Astungkara dan salam untuk umat Hindu, menjadi identitas yang menarik dalam konteks membangun pendidikan multikultur di negara ini.

Identitas semakin menyemarakkan multikulturisme di tanah air yang saat ini semakin sepi di tataran tindakan. Oleh karena itu, salam, pakaian dan nilai Hindu harus terus digunakan agar memperkaya kasanah multikultur keindonesiaan. Tentu teramat jarang dalam interaksi berbicara di tingkat nasional kita mendengar ucapan Om Swastyastu, karena salam seperti itu, selain tidak diketahui, juga umat Hindu belum begitu pasih, masih sungkan untuk menucapkannya. Saya hanya mendengar sangat jelas ketika salah satu DPD Bali, I Wayan Sudirta, S.H mengucapkan Om Swastyastu mengawali membuka saat berbicara pada rapat, tentu yang lainnya bertanya, kemudian beliau menjelaskan dengan gamblang makna ucapan tersebut.

Globalisasi dan Identitas etnosentris
Penguatan salam khas Hindu, bagi umat Hindu menjadi keharusan, karena budaya globalisasi membutuhkan penguatan identitas kelompok agar bisa ikut mewarnai keanekaragaman global. Secara sederhana globalisasi dapat dipahami sebagai proses Westernisasi, di mana arus globalisasi akan menghancurkan integritas budaya negara lain karena globalisasi dianggap sangat represif, eksploitatif, dan berbahaya bagi semua orang. Menurut Widen (2001) konsep globalisasi dapat dipahami melalui berbagai peristiwa sejarah yang meningkatkan arus globalisasi itu sendiri, seperti: (1) ekspansi Eropa dengan navigasi perdagangan; (2) revolusi industri yang mendorong pencarian tempat pemasaran hasil industrinya; (3) pertumbuhan kolonialisme dan imperialisme; (4) pertumbuhan kapitalisme; (5) perkembangan revolusi teknologi dan informasi; (6) persebaran ideologi universal seperti HAM, kebebasan, kesejahteraan, toleransi, kesehatan, pendidikan, agama, demokrasi, dan harga diri; (7) mobilitas manusia ke berbagai penjuru dunia.

Salah satu dampak globalisasi yang ingin ditampilkan di sini adalah semakin mengentalnya faham etnosentrisme akibat menguatnya identitas kelompok berupa identitas etnik dan identitas agama sebagai akibat dari kurang siapnya kita menerima dan memahmi keberagaman yang semakin kompleks. Etnosentrisme adalah suatu faham yang memberi penilaian negatif terhadap semua budaya di luar kebudayaan sendiri, atau hanya mengagungkan kebudayaan sendiri dan merendahkan kebudayaan lain. Faham seperti ini sudah tidak cocok lagi dalam negara demokrasi dan masyarakat multikultural karena akan memicu berbagai konflik sosial dan mendorong terjadinya disintegrasi suku bangsa. Menurut De Fluer(1993); Robbins (1997); dan Raymond Scupin (1995) menguatnya Faham Etnosentrisme umumnya disebabkan oleh beberapa hal, yaitu; (a) terbatasnya pengetahuan atau wawasan seseorang terhadap dunia luar kelompok etnisnya; (b) rendahnya tingkat pendidikan seseorang sehingga ia tidak mampu mengembangkan cara berpikir kritis, apa yang ia dengar dan ia terima selalu benar adanya, (c) tertutupnya suatu kelompok etnik terhadap pengaruh dunia luar, dan (d) kuatnya indoktrinasi dari pemimpin kelompok etnis/kelompok agama tertentu.

Ketika percaturan makna spirit dan politik identitas dibutuhkan tentang sesuatu yang perlu menguatkan kasanah kebinekaan dan keyakinan akan agama, maka beragama dengan benar sesuai dengan kitab suci itu perlu direvitalisasi. Tak ada yang keliru bila sepotong bait, Astungkara itu, kita selalu mengharapkan kehadiran Tuhan dalam bentuk kesadaran yang tinggi, kita juga sadar bahwa dalam bathin kita bisa mampir pemahaman bahwa bagian jagat raya yang kasat mata manusia ini hanya merupakan bagian yang amat kecil dari kekuasaan Tuhan yang tidak terbatas.

Seluruh alam seakan-akan merupakan sebagian kecil saja dari kaki Yang Mahakuasa. Tidak mungkinlah manusia mampu memahami kebesaran Tuhan. Ia memenuhi seluruh alam raya, baik yang kasat mata maupun yang halus. Tidak ada tempat tanpa kehadiran-Nya. Inilah Gita, disebut sebagai wujud Matkarmakrit, Bekerjalah untuk Aku! Artinya, manusia harus sadar bahwa dirinya harus mengerti bahwa pekerjaan apa pun yang dilakukan di dunia ini, hal itu telah terkait dengan Tuhan, karena Ia-lah penguasa tertinggi di dunia. Dengan mengetahui kebenaran ini, anggaplah setiap kegiatan yang kita kerjakan sebagai kita lakukan langsung untuk Tuhan. Kedua yaitu, perbuatan itu adalah (Matparamo). Semata-mata demi Aku! Dengan kata lain, apa pun yang dikerjakan tidak kau lakukan untuk kebaikan dirimu sendiri.

Dentangan spiritual dari ucapan bibir manis akan menangkap tahap ketiga Yoga seperti dalam B.Githa, yakni Berbaktilah hanya kepada-Ku! (Matbhaktaha). Prinsip kasih yang memancar dari lubuk hati ini harus menjiwai setiap perbuatan, perkataan, dan pikiran. Pada tataran itulah lantunan sepotong salam, Om Swastyastu, Astungkara dan lain-lain hadir sebagai bentuk bekerja untuk Tuhan.

Kesimpulannya adalah salam khas Hindu akan memperkuat ideologi multikulturalisme, yang merupakan suatu kebijakan dan pendekatan budaya yang berorientasi pada prinsip-prinsip pelestarian budaya dan saling menghormati di antara kelompok-kelompok budaya dalam suatu masyarakat.

Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang ideal di mana kelompok-kelompok masyarakat dapat hidup secara harmonis, bebas untuk melestarikan kebiasaan-kebiasaan agama, linguistik atau sosial, persamaan dalam hal akses sumber daya dan pelayanan, hak-hak sipil, kekuatan politis, dan lain-lain (Dufty, 1986). Secara sederhana multikulturalisme tidak hanya berarti keberagaman budaya, tapi yang termat penting adalah adanya pengakuan bahwa sebuah negara dan masyarakat adalah beragam dan majemuk. Makna pengakuan dan penghargaan di sini adalah kemampuan melihat bahwa berbagai perbedaan unsur budaya itu adalah suatu realitas yang tidak perlu dipertentangkan. Perbedaan baukanlah suatu hal yang negatif, tapi sebaliknya memberikan pengaruh positif agar kita mampu menjadi manusia multikultural. Semoga pikiran baik datang dari segala arah. Om Nama Siwaya.

Selanjutnya......

Salah Kaparh Salam Astungkara

Ida Ayu Tary Puspa

Salam adalah kata yang kita ucapkan bila bertemu seseorang. Yang paling umum dan berlaku universal adalah selamat pagi, siang, malam, dan tidur yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dengan makna yang sama. Dalam komunitas agama kita pun mengenal salam dengan ucapan berbeda-beda, tetapi memiliki makna yang identik . Seperti misalnya dalam Hindu dikenal salam atau panganjali yaitu “Om Swastyastu” yang bila dicari artinya di dalam kamus adalah semoga selamat. Di dalam salam itu terdapat makna yang dalam karena diucapkan pula wijaksara suci Om sebagai Triaksara yang berada dalam masing-masing Dewa Tri murti yaitu A, U, M yang disandikan menjadi Om. Jadi dalam salam Om Swastyastu terkandung makna semoga selamat dalam lindungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Selain Om Swastyastu dikenal pula istilah namaste yang artinya salam atau menghormat, hanya saja salam ini kurang memasyarakat bagi masyarakat Hindu di Bali.


Akhir-akhir ini karena perkembangan teknologi informatika terutama dalam alat komunikasi seperti Hand Phone atau jejaring sosial dalam internet, face book, twitter, maka salam itu pun mengalami perkembangan dalam penulisan yang disingkat seperti misalnya dalam mengirim Short Messages Service (SMS) sesama komunitas Hindu. Memulai menulis, maka akan diketikkan kata Osa, yang a seakan singkatan dari Om Swastyastut.

Penggunaan bahasa yang digunakan oleh orang-orang adalah sebuah simbol berdasarkan kesepakatan. Oleh karena akses yang cepat dan menulis pesan yang tidak mungkin panjang-panjang sesuai kata itu, maka di dalam SMS akhirnya disepakati (kesepakatan nonformal-red) sebagai sebuah konvensi untuk mengganti Swastyastu dengan tulisan singkat di SMS menjadi Osa. Osa sebenarnya tidak mengandung makna apa-apa karena berupa singkatan.

Pertama kali menerima SMS dengan salam seperti itu saya pun tidak mengerti apa maksudnya. Terlebih pada penutup pesan diketik OS3XO yang diartikan sebagai kepanjangan dari Om Shanti, Shanti, Shanti, Om. Sama dengan Osa, maka OS3X tidak bermakna apa-apa karena disingkat. Akan tetapi kalau berupa kesepakatan di antara komunitas Hindu, maka singkatan itu akan dapat dimengerti karena tidak mungkin menulis secara utuh dalam sebuah SMS. Namun di dalam surat menyurat resmi antarinstansi Hindu tetap saja penulisan salam pembuka dan penutup dengan kata yang lengkap, yaitu Om Swastyastu dan Om Shanti, Shanti, Shanti Om yang artinya semoga selamat dan semoga damai di hati damai di bumi damai selalu.

Kecerdasan umat Hindu menyingkat salam itu sedemikian rupa karena di dalam Hindu pun ada singkatan dari Panca Aksara dan Panca Brahmaa yang akan membentuk dasaksara yaitu SA, BA, TA, A, I, NA, MA. SI, WA, YA. Singkatan itu adalah singkatan Dewa-Dewa penguasa penjuru mata angin seperti Sadyojata, Bamadewa, Tatpurusa, Aghora, Isyana. Singkatan itu akan sering digunakan dalam mantra untuk muput sebuah upacara misalnya.

Di tengah dinamika kebudayaan Bali, maka orang Bali pun ingin hidup dalam budaya glokal, yaitu hidup dalam era globalisasi namun tetap cinta pada budaya lokal, maka orang Bali pun ingin bahwa jati dirinya tetap eksis di percaturan hidup. Mulailah orang Bali ingin menunjukkan identitas dengan salam ala Bali seperti Rahajeng semeng, siang, wengi bukannya dipakai Rahajeng tengai untuk siang. Inilah bahasa gado-gado. Ditambah lagi dengan salam Swasti prapta yang diartikan selamat datang. Hal ini dipopulerkan oleh stasiun radio dalam acara mebasa Bali oleh para penyiarnya sehingga masyarakat/pemirsa yang mendengar salam itu mencoba pula untuk menirunya. Dalam hal ini seakan-akan orang Bali mencari-cari bentuk peniruan dalam bahasa Jawa karena dalam bahasa Jawa dikenal salam Sugeng rawuh ‘selamat datang, sugeng enjing ‘silakan masuk’ maupun sugeng sare ‘selamat tidur’.

Sejatinya dalam kehidupan orang Bali terutama di pedesaan salam itu belum memasyarakat, karena orang Bali memiliki ungkapan hati dengan bahasa tersendiri. Seperti misalnya kalau ada tamu yang datang, wawu rawuh nggih, durusang melinggih dumun. “Baru datang ya, silakan duduk dulu!.” Kalau seseorang punya hajatan yadnya, maka yang punya hajatan (meduwe karya) mengatakan, “Suba teka dogen tiang suba demen.” Artinya, “Sudah berkenan untuk datang saja, saya sudah senang.” Jadi bukan kata “suksma” yang diucapkan.

Begitu pula dalam sebutan untuk Tuhan dalam Hindu yang di dalam Upanisad disebut Brahman, sedangkan orang Bali-Hindu menyebut dengan Sang Hyang Widhi. Ada juga gelar atau sebutan yang lain sesuai sifat, fungsi, dan prabhawaNya, seperti Sang Hyang Wenang, yaitu gelar Tuhan sebagai pemegang wewenang atau kebenaran yang mutlak dalam membentuk susunan dan peraturan alam, disebut pula Sang Hyang Tuduh, Sang Hyang Licin, Sang Hyang Ayu, dan Sang Hyang Widya.

Istilah yang paling gres yang agak latah diucapkan oleh orang Bali yang mencoba-coba mencari padanan dalam bahasa Bali bila mendengar orang muslim berkata untuk sebuah kegiatan, misalnya alhamdulilah yang artinya semoga, yaitu dengan kata astungkara yang kira-kira di benak orang yang mengucapkan itu diartikan sebagai semoga padahal arti denotasi bila dilihat pada kamus adalah puja, atau sembah. Inilah sebuah penggunaan kata yang semantiknya tidak sesuai karena terkesan salah kaprah. Orang Bali mengenal padanan kata alhamdulilah adalah dengan kata dumogi atau dumadak. Dumugi (adv) artinya moga-moga, dumugi sadia rahayu artinya moga-moga selamat sentosa sedangkan dumadak (adv) artinya semoga, dumadak apang rahayu artinya semoga selamat.

Agar mewakili apa yang dimaksudkan dalam berbahasa, maka gunakanlah bahasa dengan baik dan benar yang sesuai dengan situasi serta dengan tata bahasa yang benar. Dengan demikian, maka bahasa akan menunjukkan bangsa.

Selanjutnya......

HINDUISME SEBAGAI PAYUNG

Agus S. Mantik

Hinduisme seperti yang dikatakan oleh sebahagian orang orang sebagai kritik dan bagi saya sebagai pembenaran dan pujian adalah payung nan emas agung yang mengayomi rangkaian dari berbagai gagasan, rangkaian praktik dan aneka ragam pendekatan kepada Tuhan. Di bawah payung emas itu ada mereka yang ragu-ragu, para Charvaka, ada juga yang percaya kepada hukum determinisme yang kaku dari ajaran Buddha. Ada juga ruang untuk pengejaran kepercayaan Tuhan yang berkepribadian (Personal God). Ada juga tempat untuk pelepasan segalanya termasuk juga Tuhan Yang Berkepribadian serta tentu saja faham mengenai identiknya diri sejati dengan Yang Maha Tinggi seperti didalam Vedanta.
Itulah payung emas nan gung yang telah mengayomi semua jenis pemikiran dan spekulasi dan dialah payung yang sampai sekarang tetap teguh berdiri menahan anasir- anasir dan kekuatan-kekuatan yang telah mengubah bentuk-bentuk pikiran yang lain. Tidak sedikit dari ketegaran itu berkat karya Sri Shankara, sebab diberikan kekuatan kepadanya untuk me-rekonsiliasi-kan semua aspek dan apa yang beliau harus lakukan di dalam bhasya dan rangkaian puisinya adalah memberikan penjelasan mengenai aktualitas dari hidup. Dan bersamaan dengan itu ketika mereka mencapai hal di atas dan di luar hal itu memberikan sintesa di dalam ke-empat mahavakyas dari rangkaian Upanisad, menyamakan Alam Semesta dengan diri-sejati yang adalah baik di dalam maupun di luar hal ini serta menjelaskan mengenai keberadaan, kematian dan perbuatan melaui gagasan mengenai maya.

Kita tidak banyak mengetahui mengenai pribadinya akan tetapi seseorang mungkin bisa menyimpulkannya bukan dari karya karya biografi mengenai dirinya, akan tetapi dari rangkaian puisi minor dan fragment nya, orang seperti apa beliau ini. Memang sangat sulit pada orang suci atau pakar falsafah Hindu untuk memperoleh gambaran yang nyata karena tiada satu pun dari mereka menginginkan keagungan nama atau keabadian kemashuran. Di dalam satu puisi, beliau menghaturkan sembah agar dibebaskkan dari empat macam nasib. Hal-hal yang beliau sungguh-sungguh tidak inginkan, dari mana beliau ingin diselamatkan dan yang menurut beliau berbahaya untuk menjalani kehidupan rohani adalah: (1) Menjjadi Purohita, yang dianggap sebagai penghubung di antara manusia dan Dewata, posisi yang sering mengarah kepada kesombongan dan exploitasi; (2) Nafsu keduniawian yang menghitamkan pikiran; (3). Kepemimpinan politik sebagai pemimpin dari kelompok – status yang biasa diiringi oleh kepentingan diri sendiri dan korupsi, sebuah proses yang memurahkan diri dengan melakukan apa saja yang diperlukan untuk memperkuat kedudukan; (4) Dipilih sebagai Pendeta Tertinggi.

ADVAITA
Berbicara mengenai azas advaita, Sri Shankara memastikan di dalam Manisha Panchaka, bahwa seseorang akan aman selama dia merealisasikan, bahwa dia adalah Brahman dan bahwa alam semesta ini sesungguhnya adalah maya kalpita – ciptaan pikiran – dan tiada memiliki keberadaan yang terpisah. (Sir Arthur) Eddington, pakar ilmiah modern mengatakan hal yang sama dengan bahasa yang berlainann dan juga tekanan yang tidak sama. Akan tetapi Sri Shankara memang sangatlah toleran. Untuk mereka yang memiliki sifat tertentu yang membimbing mereka ke arah devosi kepada dewata atau perwujudan tertentu, semoga tiada kesulitan atau gangguan, sebab keluar dari sifat kasih sayang yang tiada batasnya akan ada realisasi di luar dan mengatasi rasa kasih sayang tersebut. Inilah pesan beliau dan melalui hal inilah saya merekonsiliasikan teori yang abstrak ini dengan hymne-nya.

Beliau menganggap Kasih Sayang dan bhakti sebagai pijakan pada jalan, sebagai langkah langkah menuju gunung maha tinggi di mana bersemayam kebenaran sejati Vedanta. Bahwa tiada sesuatu pun ada di luar Entitas Agung yang disebut Brahman atau Atman Maha Tinggi di mana Atman itu adalah diri sejati Anda dan saya. Serta bahwasannya, semua pertentangan dan kesulitan adalah karena ilusi mengenai keterpisahan di mana keterpisahan itu tidak pernah ada. Visi (penampakan) yang datang, baik kepada para bhakta dan para jnani adalah visi yang bukan di luar diri sejati, akan tetapi di dalamnya. Visi itu bisa diperoleh sebagian melalui jalan lahiriah, sebab memenangi raga adalah perlu untuk memenangi pikiran, akan tetapi ketika raga sudah dikuasai, pikiran seyogyanya mulai dianalisa dan kemudian jiwa digabungkan ke dalam Yang Maha Tinggi.

Sri Shankara mencoba dengan berbagai jalan untuk meniti alur yang sudah pernah dilalui oleh para ahli falsafah dan para nabi, akan tetapi kebesarannya adalah disifatkan di dalam sintese dan harmonisasi dari berbagai gagasan (ideals), sehingga memungkinkan orang-orang dengan perbedaan alat-alat, perbedaan kelahiran serta perbedaan sejarah hidup mereka masing-masing untuk mengikuti kecenderungan masing masing dari pikiran mereka, falsafah mereka. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan mencita-citakan untuk mengatasi falsafah perseorangan itu dan sampai kepada pengalaman maha tinggi di mana jiwa perseorangan larut di dalam Yang Tiada Terbatas. Dan tidak dibedakan dengan hal itu, dimana tidak ada pertentangan serta bagaimanapun kita mengatakannya adalah satu hal yang ada dan yang telah menciptakan semuanya, immanent didalam semuanya dan tentu saja tetap transcendence.

Selanjutnya......

Sekuni dan Pendidikan Teroris

Luh Made Sutarmi

Pendidikan bukan persiapan untuk hidup. Pendidikan adalah hidup itu sendiri. Itu sebabnya. Tujuan pendidikan adalah mempersiapkan generasi muda. Untuk mendidik diri mereka sendiri seumur hidup mereka. Pendidikan bukanlah sesuatu yang diperoleh seseorang. Tapi pendidikan adalah sebuah proses seumur hidup. Yang hebat di dunia ini bukanlah tempat di mana kita berada. Melainkan arah yang kita tuju. Arah yang diberikan pendidikan. Untuk mengawali hidup seseorang akan menentukan masa depannya, kata Plato menggebu-gebu. Maka, Murid yang dipersenjatai dengan informasi, akan selalu memenangkan pertempuran.


Namun pendidikan dibangun dengan budaya bohong, adalah sebuah markas teror yang siap menghasilkan teroris. Maka proses memengaruhi pikiran orang dapat dilakukan kepada siapa pun. Namun, tidak akan berhasil jika dilakukan pada orang yang sepenuhnya sadar, tahu apa yang dimaui dan tidak disukai, serta memegang kendali penuh atas dirinya. Saat sadar, penuh otak memencarkan gelombang beta.

Sekuni sadar bahwa mempengaruhi anak-anak dapat tercapai dengan mudah, karena (1) untuk dapat dipengaruhi, seseorang harus dibuat tidak sadar dan tidak mampu mengendalikan diri. Kondisi ini dapat dicapai dengan membuat pikiran seseorang menjadi sangat capek. Keletihan otak dapat terjadi lewat pemberian aktivitas fisik yang melelahkan maupun pemberian beban pikiran atau tekanan yang berat terus menerus. ”Saat pikiran capek seseorang mudah dipengaruhi atau diindoktrinasi. (2) melalui proses indoktrinasi, Proses indoktrinasi dapat dilakukan melalui ceramah, pidato, maupun pembicaraan yang memberi makna atas hal yang diyakini serta memaknai keadaan dan peran dirinya. Indoktrinasi membuat orang yang semula tak memiliki ikatan kuat dengan keyakinannya menjadi memiliki keteguhan luar biasa. Akibatnya, ia mau melakukan apa pun untuk menjalankan keyakinan itu, termasuk meninggalkan keluarga dan melukai orang lain.
*****
Udara segar berhembus kencang di Astina, paman Sekuni sedang berdiskusi dengan Duryodana. Duryodana sedang dibentuk menjadi teoris oleh pamannya sendiri. Sebab kemampuan untuk memikirkan ulang pendapat orang lain sangat bergantung pada proses pendidikan seseorang sebelumnya. Hal itu akan memengaruhi struktur keyakinan seseorang, cara seseorang melogika keyakinannya, maupun cara dia memaknai tindakannya. Seseorang yang memiliki paham monolistik dengan satu keyakinan tunggal, tidak terbuka dengan keyakinan, dan cara pikir lain sangat potensial untuk dimanfaatkan.

“Kita harus pengaruhi guru Drona, anakku,” kata Sekuni pada Duryodana.
“Bagaimana bisa paman?” sergah Duryodana.

“Aku, sejak lama selalu sibuk memikirkan tingkah polah negara dengan segala bentuk aparatnya yang simpang siur. Aku bisa membuat negara dan aku bisa merebut kukasaan negara dengan mudah.” Sekuni berkata sinis dengan Duryodana di Bale Bengong Astina. Sekuni, hendak mematahkan bahwa Astina yang semula membangun dan dibangun dari perhitungan rasional, kini menghidupkan lagi sesuatu yang tak sepenuhnya dikuasai akal: pesona itu bekerja karena bergolaknya hasrat. Ada yang akan menyebutnya ”nafsu”: bagian dari bawah-sadar yang hanya memui di saat yang tak bisa direncanakan, begitu dia berpuitis seperti yang sering disitir sastrawan.

Sekuni kembali menambahkan, “Banyak pejabat di Astina yang harus kita terpinggirkan secara fragmatis, dan bukan politik utopis, kekinian sebab kini kita sedang berada di ruang yang tak lagi ramah, karena banyak sebab yang tidak diketahui masalah dan akar masalahnya.”

“Maksud Paman?” tanya Duryodana heran. “Pendidikan yang dibangun untuk kepentingan kelanggengan kekuasaan, entah pejabat di tingkat sekolah sampai negara tertinggi, maka mudah ditebak bahwa pendidikan semacam itu telah mempersiapkan ruang untuk menghamba kepada kekuasaan. Pendidik telah digadaikan idealismenya.”

“Ya aku setuju paman, rekayasa pendidikan sebagai ruang politik terus berlangsung.”

Duryodana dan Sekuni telah membidani lahirnya sarang teroris. Lembaran sekolah adalah sarang empuk melahirkan teroris manakala para pendidik telah menipu murid dengan angka-angka rekayasa untuk nilai siswa yang mereka miliki. Pendidik telah melatihnya menjadi teroris bertahap dengan sangat jitu. Tipu menipu nilai menunjukkan sebuah rekayasa sebab manage manusia itu sulit. Misalnya meminjam pengandaian seorang penulis, ada perbedaan antara menendang bola dan menendang kucing. Sebelum menendang bola, kita bisa ramalkan kemana bola akan bergerak setelah ditendang. Akan tetapi, sebelum menendang kucing, kita tidak tahu apakah kucingnya akan menangis, lari, melompat, mati atau alternatif lainnya.

Di bingkai itu pendidikan adalah proses memimpin. Salah satu tanda seorang pendidik yang hebat adalah kemampuan memimpin murid-murid. Menjelajahi tempat-tempat baru. Yang bahkan belum pernah didatangi sang pendidik. Kita tidak selalu bisa membangun masa depan bagi generasi muda. Tapi kita bisa membangun generasi muda untuk masa depan. Pendidik harus mawas diri apakah kita mengikuti jalan satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan ini. Jika kita memeriksa dirimu sendiri dengan jujur, kita akan mengakui bahwa hampir selalu ketiga unsur itu mengikuti arah yang berbeda, tidak ada kesatuan. Kalau pikiran lain, kata-kata lain, dan perbuatan lain pula, maka kita memiliki sifat-sifat orang jahat atau duratma, bukan sifat-sifat seorang mahatma. Ketidakserasian seperti itu akan merugikan kita dan menjauhkan diri kita dari Tuhan. Om gam ganapataye namaha.

Selanjutnya......

Menerka Musibah dan Penyebabnya

A.A. Bagus Sudira

Musibah adalah suatu kejadian yang merugikan hidup kita, yang menimbulkan rasa sedih yangg mendalam, rasa was-was, takut, dan kerugian material. Dari kecelakaan lalu lintas di jalan raya sampai terbunuhnya kerabat yang kita sayangi. Bahkan banyak di antaranya adalah generasi muda - pewaris bangsa dan negara ini.

Bahkan saat ini Bali pun ikut-ikutan kena musibah “kiriman” sampah di pantai Kuta, HIV/AIDS, berbagai jenis tindak kejahatan, dan lainnya. Dan kini ulat bulu juga membikin cemas di Bali. Lalu tanda mistik apa ini?.

Seluruh masyarakat harus introspeksi diri, kenapa berbagai musibah datang mengancam pulau Bali. Mudah-mudahan seluruh komponen masyarakat Bali bersatu, instropeksi diri, mencari solusi yang pas untuk menanggulangi berbagai musibah yang sudah terjadi dan yang akan terjadi. Karena melihat gelagatnya, Pulau Bali dan masyarakat Bali masih akan kena berbagai musibah. Jadi segala macam musibah (sekala/niskala) itu pasti ada sumber penyebabnya. Serta Tuhan selalu memberikan tanda-tandanya.

Dari berbagai literatur mistik dan wejangan para wikan (Mangku, Peranda). Musibah itu terjadi karena Karma dan Karmawasana si Korban. Setiap orang yang nemitis ke dunia ini membawa karmawasananya, sendiri-sendiri. Manusia itu makhluk yang spesifik dan unik. Seperti telapak tangan satu orang berbeda dengan orang lainnya (untuk sekitar 6 milyar manusia didunia ini). Menurut filosofi Balinya, sang roh yang menjelma itu punya berbagai keinginan, maksud dan cita-cita kelahirannya ke dunia ini. Termasuk hutang-hutang (kewajiban) yang belum diselesaikannya saat kelahirannya terdahulu itu yang harus ditebusnya pada kelahirannya ini. Dan akan kena pahala akibat perbuatannya pada kelahirannya ini.

Masyarakat Bali biasanya menanyakan kepada balian dasarann saat sang bayi lahir. Sebagai bahan pertimbangan atas keadaan si bayi. Misal Prabu Drestarata yang punya anak seratus orang (Kurawa) g ugur semuanya (pada perang Baratayuda) yang disebabkan, dulu saat mudanya Prabu Drestarata pernah berburu ke hutan dan membakar hutan itu. Di mana ikut terbakar mati anak-anak burung sebanyak 100 ekor. Dan ibu burung itu memohon keadilan Tuhan, agar yang membunuh anak-anaknya itu diberi hukuman setimpal. Ada kasus seseorang yang mati dibunuh oleh rampok. Setelah ditanyakan kepada balian dasaran disebutkan, bahwa si korban dulu pernah membunuh orang.

Penyebab lainnya musibah itu adalah sebagai peringatan leluhur (Kawitan) si korban. Karena perubahan zaman, serta pengaruh adat (budaya pendatang/tourist), banyak generasi muda menyimpang dari aturan moral dan agama yang sudah ditentukan oleh leluhur (Kawitan Bali). Seperti untuk melakukan ritual mecaru, ngenteg linggih, dan lain-lain yang diabaikan, karena di samping biayanya besar (sayang duit), juga karena keberatan kerjanya. Apalagi sedang sibuk kerja di kantor, bisnis, dan lain-lain. Akhirnya leluhur marah dan menghukum prati sentana-nya. Dengan berbagai musibah, dari sakit-sakitan, tidak punya anak, rumah tangga kacau balau, sampai kecelakaan, kematian, dan sebagainya.

Musibah juga dipercaya dipengaruhi oleh hari sial si korban. Masyarakat Bali sangat percaya pada hari baik dan hari sial (ala ayu dewasa). Sehingga semua pekerjaan yang penting, seperti; selamatan, bepergian jauh, buka usaha, mlaspas rumah, dan lainnya selalu berpedoman pada hari baik yang ada di Kalender Bali. Apalagi banyak kisah-kisah mistik yang membahas hal itu. Seperti, kisah Betara Kala yang akan memakan manusia yang jalan-jalan pada jam 12 siang tengah hari, sembrono di perempatan agung, dan lainnya. Kajeng Kliwon - dipercaya hari keluarnya para setan gentayangan.

Ada juga kepercaya, bahwa musibah timbul karena perbuatan (nyata maupun mistik) orang lain kepada si korban. Sejak zaman purba manusia yang satu sudah saling bersaing, membenci dan saling berusaha menundukkan pihak lainnya dengan berbagai cara termasuk dengan ilmu gaib. Misalnya dengan menyantet musuh-musuhnya, agar kalah, sakit dan mati. Banyak orang yang mengabaikan hal ini, tapi lihatlah betapa banyak pejabat karir di Pemerintahan maupun swasta yang mati mendadak. Habis olah-raga, sedang istirahat, tiduran, sedang mengendarai mobil, dan sebagainya. Kata Dokter, karena stroke, gagal jantung, dan lain-lain, padahal kata istri korban suaminya sehat-sehat saja sebelumnya.

Tidak bisa dipungkiri adanya kpercayaan, bahwa musibah dipicu oleh adanya roh-roh jahat gentayangan yang mengganggu si korban. Masyarakat Bali percaya, bahwa roh-roh itu kekal abadi yang pada saat kematiannya seharusnya pergi ke alam asalnya, bisa saja karena suatu hal dia masih gentayangan didunia ini. Dan karena anak-cucunya tidak menghiraukannya (tidak membuatkannya ritual/upacara kematiannya, memberinya sesajen setelahnya, dll), sehingga dia kesepian. Stress dan marah-marah dan menumpahkan kemarahannya kepada siapa saja yang lewat di lokasinya berada. Ini bisa membuat tabrakan, perampokan, pembunuhan, perkosaan, dan sejenisnya di lokasi itu.

Musibah karena pengaruh alam (lingkungan si korban). Alam menurut filosofi masyarakat Bali adalah areal tempat manusia menjalani kehidupan. Yang penuh dengan aura sakral dan juga jahat. Misal lokasi bekas kuburan dipercaya kurang baik untuk perumahan. Bahkan lokasi bekas Merajan (Pura) juga sangat angker. Oleh karena itu biasanya masyarakat lalu menyucikan tempat itu dengan berbagai ritual untuk menetralisir aura negatifnya. Jika hal ini tidak dilakukan biasanya penghuni rumah di atas tanah itu akan sakit-sakitan, bertengkar terus, sengsara, kena musibah.

Ada juga kepercayaan, bahwa musibah muncul akibat kesalahan dalam melaksanakan yadnya, ritual (upacara) dan kurangnya rasa kesakralan masyarakat kepada arti sesajen, mantra, kepada Pemangku/Peranda, Pratima, Pelinggih Betara, Merajan dan pura. Serta tidak terlalu percaya kepada segala hal mistik (tenget). Banyak masyarakat yang ke pura membawa sajen, mebhakti, dan lainnya, karena mereka sedang kena musibah, punya tujuan yang sangat diharapkan agar berhasil, bukan karena hati sucinya akan nangkil, semedi menelusuri jalan ke Tuhan, merenung akan arti hidup ini. Sehingga yg "tedun" itu bukan Betara tapi Butha yang mengabulkan permohonan pemedek-nya sesuai dengan harapannya. Ini kemudian membuatnya menjelma menjadi manusia Rajas-Tamas, bukan manusia satwam. Makanya, makin banyak yang nangkil ke pura, makin banyak yang maaturan ke pura, tapi makin banyak manusia raksasanya. Yang jahat, makan saudaranya, yang masa bodo kepada masyarakat miskin, yang korup, yang tambah tamak, dan lain-lain.

Itulah sebagian pemicu musibah yang sering melanda kehidupan manusia. Karena itu perlu lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, membersihkan hati dan pikiran, supaya yang dekat dengan kehidupan kita adalah aura kedewataan, bukan aura keraksasaan. Laksanakan swadharma swang-swang. Dimana yang kuat melindungi yang lemah, yang kaya membantu yang miskin, yang pintar mengajari yang kurang pintar, yang suci menuntun yang berdosa, yang dokter mengobati yang sakit, dan seterusnya. Kalau sudah demikian, tentulah musibah, kejahatan, bisa dikurangi.

Selanjutnya......

Dua Sahabat Ram dan Shyam

Oleh Mohan M.S.

Dua pemuda desa, Ram dan Shyam adalah dua sahabat karib, semenjak kecil kedua-duanya berusaha di desa mereka secara rajin dan mulai maju hasil-hasilnya. Namun walaupun keduanya seakan sulit berpisah, ada perbedaan jauh di dalam diri mereka yang amat mencolok. Ram amat rajin sembahyang, tetapi Shyam amat rajin berjudi dan bermain perempuan.

Pada usia menjelang 25 tahun Ram sangat tekun pada pujanya dan masih perjaka. Shyam sebaliknya rajin berjudi dan sering melacur. Persamaannya adalah, kedua-duanya tinggal bertetangga dan saling tolong menolong dan curhat. Walau Ram berusaha selalu agar Shyam berhenti melakukan hal-hal yang dilarang agama, namun tetap sia-sia belaka, sebaliknya Shyam yang selalu mengajar bermaksiat juga sia-sia belaka. Kedua-duanya tegar dalam pendirian masing-masing, namun selalu bersama-sama.

Tiap sore Ram selalu bermeditasi di kuil Shiwa dan Syam akan duduk menantinya di luar dengan senang. Sebaliknya kalau Shyam berjudi atau melacur, maka Ram akan menunggu dan menjaganya dengan sabar.

Suatu malam Shyam mengajak Ram ke desa tetangga, yang terkenal cantik-cantik wanita penghiburnya, setelah Ram selesai sembahyang keduanya menyeberangi sungai dengan sampan ke desa tersebut. Tiba-tiba angin topan dan hujan deras melanda dashyat, perahu sampan yang ditumpangi mereka terasa oleng ke kiri-kanan, semua penumpang berdoa demi keselamatan mereka karena maut sudah di depan mata. Kedua sahabat berpelukan erat seakan-akan tidak mau lepas. Ram berdoa dan berpikir-pikir, ”Seandainya aku seperti Shyam, mati pun tidak apa karena ia telah menikmati kenikmatan-kenikmatan dunia, sedang aku berciuman dengan seorang wanitapun belum.” Pada saat itu timbul gairah nafsu Ram yang berkobar-kobar dengan penuh penyesalan.

Di saat yang sama Shyam yang selama ini jarang bersembahyang berkata di dalam dirinya, ”Aku telah mengabaikan agama dan Tuhanku selama ini, kalau saja aku seperti Ram, maka aku akan mati tanpa dosa dan masuk sorga. Pada saat itulah perahu tenggelam dan semua penumpang tewas dalam kepanikan, termasuk dua sahabat ini dalam satu pelukan.

Roh Ram dan Syam pun langsung menghadap ke depan Yama Raja dan terjadilah hal yang aneh. Ram yang alim masuk ke neraka, dan Shyam yang berdosa masuk sorga. Apa telah terjadi kesalahan? Tidak, ternyata sesuai Shastra Widhi, maka apa yang dipikirkan saat-saat ajal menentukan alur karma mereka masing-masing. Setelah masa-masa hukuman neraka selesai, Ram berpindah ke sorga, dan Shyam ke neraka.

Setelah kedua masa mereka berakhir dengan masing-masing mendapat hukuman dan pahala, maka Rama raja pun memanggil keduanya untuk menghadap. Ternyata persahabatan keduanya yang penuh kesetiaan diperhitungkan di atas sana. Kedua-duanya atas perkenan Yang Maha Esa dilahirkan kembali di dunia ini dan sewaktu dewasa mereka menikah. Ram lahir sebagai pria dan Shyam sebagai wanita, mereka hidup bahagia tanpa pernah sadar akan rahasia-rahasia mereka di masa silam.

Pesan moral cerita ini: Persahabatan yang setia ternyata berpahala. Kemudian, ternyata di atas sana berlaku sistem yang amat adil, pahala dan hukuman diberikan secara karma dan kadar iman masing-masing, bukan hasil ritual yang megah-megah. Pesan berikutnya, Tuhan Maha Pengasih dan Maha Pengampun, dan memberi kesempatan kedua kepada Ram dan Shyam untuk bersatu lagi di kesempatan yang baru.

Seluruh kisah-kisah di atas ini menunjukkan ada hal-hal di Hindu Dharma yang selama ini dipercaya secara ceroboh, dan tanpa sadar yang akhirnya menimbulkan persepsi-persepsi kasta, iman, puja dan pemahaman yang salah kaprah tentang doa, karma, perilaku agama, bakti dan sebagainya. Semoga kisah-kisah pendek spiritual ini dapat bermanfaat untuk umat sedharma dalam melaraskan dan menyerasikan diri dengan jalan dharma yang terarah dan tidak asal main tembak saja.

Selanjutnya......

Ngandong Meri Muani

I Dewa Gede Alit Udayana

Apabila ungkapan (Bali) yang satu ini diterjemahkan (secara bebas) ke dalam bahasa Indonesia, maka kurang lebih berarti: menggendong atau memikul (sekumpulan) itik jantan (di punggung). Pada zaman susah dulu, para pengangon meri (penggembala itik, di Jawa dikenal sebagai sontoloyo) kerap membawa ternak itik mereka ke sawah, atau ke tempat-tempat berair lainnya (sungai, danau, empelan), dengan memikulnya di punggung. Tentu menggunakan wadah berupa keranjang atau dungki (keranjang kecil dengan bentuk khusus). Kini, para penggembala itik sudah jarang melakukannya dengan cara seperti itu lagi, tetapi kini unggas bersuara sengau ini kerap diangkut dengan mobil palungan (pick-up). Sepertinya, para meri ikut "naik kelas" juga.

Meski rada usang, cerita tentang pengangon yang menggendong itik ini diabadikan dalam sebuah ungkapan seperti judul ini, dan serta-merta dapat "mewakili" makna atau pesan tertentu. Untuk dapat lebih "menangkap" pesan dalam ungkapan ini secara lebih pas, ada baiknya diikuti paparan berikut ini.

Ketika itik-itik mereka masih kecil, dalam bahasa Bali disebut meri (dalam bahasa Inggris dikenai sebagai day old duckling, disingkat dod), para pengangon meri (peternak itik/penggembala itik) akan mengangkutnya ke tengah sawah pengembalaan dengan cara menempatkannya pada sebuah keranjang dan menggendongnya di punggung. Orang Bali menyebut si peternak yang rajin itu sebagai: ngandong meri (menggendong anak itik). Sampai di situ sebenarnya tidak ada yang aneh, tidak ada persoalan, karena memang menjadi tugas seorang peternak itik untuk mengembalakan piaraannya itu. Ada yang lebih penting dari sekadar cerita tentang penggembala itik ini. Ada pesan satiris yang "dititipkan " pada kisah peternak yang ngandong meri itu.

Cerita tadi, esensinya, adalah menggambarkan betapa beratnya tugas yang harus dipikul oleh pengangon tadi. Selain harus berat memikul, juga harus menanggung pekak telinga karena suara meri-meri yang terus ribut digendongan sang "bos", merangkap pesuruh itu. Satir ini menggambarkan orang-orang yang mempunyai tugas publik yang berat, tetapi bukan pujian atau penghargaan yang diperoleh melainkan harus menanggung suara-suara miring dari publik yang dilayaninya. Orang-orang yang lebih ekstrim bahkan menggambarkan bahwa tugas itu akan terasa semakin berat dan terkesan penuh pengorbanan apabila yang digendong itu adalah meri muani (anak itik jantan). Meri jantan tentu tidak akan menghasilkan telur seperti halnya meri betina. Artinya, masih mending menggendong yang betina. Orang-orang yang digambarkan ngandong meri muani sebagai orang-orang yang mempunyai penderitaan yang komplit: punggung bongkok dan letih, telinga pekak, dan tidak dapat mengharapkan hasil apa-apa. Orang-orang tertentu bahkan menggambarkannya sebagai pekerjaan yang sia-sia, tetapi sebenarnya tidak. Memang harus ada orang yang berani tampil menghadapi kondisi bagaikan ngandong meri muani itu.

Dewasa ini, sangat jarang ada orang yang berani tampil ngandong meri muani. Semangat berkorban sudah sangat melorot, bahkan nyaris punah. Paling banter, yang digendong itu adalah meri luh (itik betina), yang suatu saat dapat diharapkan (hasil) telurnya.
Ada pelajaran berharga yang dapat dipetik dari cerita atau ungkapan “cara ngandong meri muani” ini. Ada orang-orang yang rela berkorban meski harus menanggung berbagai risiko: letih dan dihujat pula. Memang harus ada orang-orang yang berani tampil seperti ini. Ini bukanlah pekerjaan yang sia-sia. Dalam bahasa retorik ada ungkapan: siapa lagi kalau bukan.....? Maksudnya harus ada yang berani mengisi ruang penuh tantangan itu.

Di satu sisi harus ada orang yang berani tampil sebagai sosok yang siap menghadapi tantangan bak pengangon yang siap ngandong meri muani itu. Bahasa lugasnya, harus ada pemimpin yang berani tampil dalam kondisi seperti itu. Di sisi yang lain, sebagai warga masyarakat, sebenarnya, meski ada semacam pemahaman bahwa menjadi pemimpin itu adalah sesuatu yang tidak mudah, mirip gambaran pengangon yang ngandong meri itu. Oleh karena itu sebagai warga, mungkin ada baiknya ditinggalkan cara mengkritik yang sekadar ingin menjatuhkan, bahkan berniat memojokkan sang pemimpin. Idealnya, meski mengkritik dalam mengkritisi sesuatu mungkin harus dikedepankan untuk niat memberi solusi (Jalan keluar) yang bermanfaat bagi semuanya.

Ungkapan “Menang Tanpa Menyoraki” mungkin hal baik yang harus dibiasakan. Mungkin itu tidak mudah, tetapi tidak mustahil untuk dipelajari. Walaupun pada akhirnya ada sente ada plenda, ada kene ada keto ternyata tidak dapat dipungkiri. Konon dalam sebuah komunitas, paling tidak ada 16 persen yang bertingkah laku “lain” dari umumnya. Dalam tataran praktis, apabila Anda dan saya berhadapan dengan seratus orang dan apabila ada paling banyak 16 orang tidak menyukai Anda (atau saya) adalah sesuatu yang normal-normal saja. Namun, bila lebih, apalagi perbandingan itu terbalik, tentu harus ditata kembali, apakah ada yang keliru pada diri kita. “Kita mesti nyiksik bulu,” kata para tetua.

Selanjutnya......

Menteri Jero Wacik Kritik Kebiasaan Jelek Orang Bali

Laporan Landra

Pada hari Minggu, 15 Mei 2011, Pesraman Widya Grha Kepasekan dipenuh oleh warga Pasek dan perwakilan dari paguyuban pesemetonan lainnya. Sejak pukul 16.30 wita warga sudah mulai berdatangan memadati areal Pesraman yang luasnya kurang lebih 20 are (2000 meter persegi). Keramaian ini dalam rangka menyaksikan serah terima bantuan seperangkat Gamelan (Gong) oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI (Menbudpar), Ir. Jero Wacik, S.E. Wantilan Pesraman yang berukuran 12 kali 20 meter persegi dalam waktu singkat sudah dipadati undangan, baik aparat pemerintah, tokoh masyarakat Bali, maupun warga Pasek sendiri.

Pukul 17.07 wita, rombongan Menbudpar memasuki pelataran Pesraman yang disambut oleh ketua Pesraman Widya Grha Kepasekan yang juga Ketua Umum Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi MGPSSR), Prof. Dr. dr. I Wayan Wita, Sp. JP beserta jajarannya. Sebagai ucapan selamat datang, rombongan Menbudpar disuguhi tarian Puspanjali yang dibawakan oleh mahasiswa IHDN Denpasar. Prof. Dr. dr. I Wayan Wita, Sp.JP dalam sambutannya menyampaikan, bahwa Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi telah berkomitmen untuk melaksanakan program peningkatan SDM. “Kami warga Pasek Sanak Sapta Rsi telah berkomitmen untuk turut berpartisipasi dalam peningkatan kualitas SDM kami khususnya dan masyarakat Bali umumnya. Dalam rangka mewujudkan komitmen tersebut, maka kami membentuk Pesraman Widya Grha Kepasekan untuk melaksanakan program-program pendidikan, seperti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Taman Kanak-Kanak (TK), Kursus Pinandita dan Kepanditaan, serta kursus-kursus ketrampilan lainnya. Khusus untuk PAUD dan TK, kami telah siap beroperasi pada tahun ajaran ini di mana pendaftaran siswa sudah dibuka mulai awal bulan Mei lalu,” papar Wayan Wita.

Lebih lanjut, Wayan Wita menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan seperangkat gamelan dari Menbudpar kepada Pesraman Widya Grha Kepasekan. “Kami atas nama seluruh warga Pasek, pengurus dan juga pribadi menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan Pak Menteri. Mudah-mudahan dengan bantuan seperangkat gamelan ini, kami selaku pengurus Pesraman bisa lebih berperan aktif dalam membangun SDM Bali, tidak hanya dari segi intelektual dan skill, tetapi juga dari segi budaya,” tegasnya. Wita menambahkan, bahwa karena itu, pihaknya berharap kunjungan dan bantuan Menetri kali ini bukan yang terakhir kalinya, melainkan awal dari perhatian pemerintah khususnya Kementerian Budaya dan Pariwisata terhadap Pesraman.

Menbudpar Jero Wacik dalam pidatonya mengajak masyarakat Bali untuk terus memupuk budaya positif dan mengurangi kebiasaan negatif. “Orang Bali memiliki budaya jengah, di mana budaya jengah tersebut harus diterjemahkan sebagai motivasi diri untuk berjuang lebih keras, sehingga bisa meraih harapan. Jangan rasa jengah ini dimanfaatkan untuk mengajak warga berkonflik dan bertengkar sesama warga Bali,” himbaunya. Ia melanjutkan, bahwa kebiasaan jelek orang Bali adalah berani kepada sesama teman Bali, dan begitu berhadapan dengan orang lain nyalinya menjadi ciut dan tidak berani ngapa-ngapain. “Kalau memang berani dan mampu, mari kita tunjukkan kepada orang lain, sehingga semakin banyak orang Bali yang muncul di kancah nasional bahkan internasional,” ujar Jero Wacik yang disambut tepuk tangan.

Lebih lanjut Jero Wacik mengajak masyarakat Bali khususnya Generasi Muda untuk menyalurkan kreativitas ke hal-hal yang lebih positif. “Generasi Muda Bali seharusnya bisa memanfaatkan fasilitas umum seperti Balai Banjar untuk hal yang positif, seperti latihan megambel, tari, musik ataupun kreativitas seni lainnya. Generasi Muda jangan mudah terprovokasi, apalagi diajak untuk berkelahi sesama warga Bali ataupun warga Banjar. Kalau generasi mudanya tidak mudah terprovokasi, maka generasi tua tidak akan mudah menggerakkan massa untuk tujuan-tujuan yang tidak baik, jangan sedikit-sedikit mengangkat senjata untuk berkelahi dengan sesama warga Bali," jelas Jero Wacik.

Pada kesempatan itu juga Jero Wacik membagikan buah karyanya berupa buku yang berjudul “24 Karakter Modal Membangun Bangsa Menurut Jero Wacik”. Usai memberikan sambutan, Jero Wacik langsung ikut mekendang untuk mengiringi tari Baris Tunggal. Jero Wacik juga memberi apresiasi kepada Sekeha Tabuh dari mahasiswa IHDN Denpasar serta para penari dari Panti Asuhan Tuli Bisu Ksayan Ikang Papa. Acara tersebut diakhiri dengan acara ramah tamah, di mana Jero Wacik diberi kehormatan untuk duduk di balai panjang bersama para Pandita Mpu untuk saling bertukar pikiran sambil santap malam bersama.

Selanjutnya......

Ashram Gandhi Meriahkan Acara Bali Spirit Festival

Laporan BR Indra Udayana

Ashram Gandhi Puri melalui program Dharma Dutanya memiliki kesempatan yang baik bisa tampil di dalam acara tahunan Bali Spirit Festival. Pelaksanaan tahun ini merupakan yang ke-4 yang mengambil tempat di Ubud pada tanggal 23 – 27 Maret 2011. Acara ini dihadiri oleh kurang lebih 600 peserta dari sekitar 40 negara. Program workshop-nya dipusatkan di Purnati Center, sedangkan pembukaan dan program seninya dipusatkan di Museum Arma Ubud.
Pada acara pembukaan yang dihadiri oleh perwakilan dari Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata RI, Gubernur Bali, Bupati Gianyar, Camat, Kepala Desa, dan tokoh-tokoh lainnya, BR Indra Udayana berkesempatan untuk memimpin doa untuk kesuksesan acara tersebut. Namun sebelumnya Ashram Gandhi Puri juga diberikan kepercayaan untuk menampilkan tari pembukaan. Acara pembukaan ini menjadi semakin meriah ketika ditutup oleh penampilan musik perpaduan Bali-Afrika.

Pada hari kedua Ashram Gandhi Puri juga berkesempatan tampil. Tari Sthita Pradnya yang ditarikan oleh BR Indra Udayana, Gung De Rama, dan anak-anak Ashram Gandhi Puri lainnya tampil pertama dari lima jenis pertunjukan lainnya. Tampilan kali ini sungguh membuat penonton larut di dalam kesakralan tarian Sthita Pradnya yang merupakan perpaduan antara tari dan Yoga. Suasana yang penuh sesak oleh penonton yang sebagaian besar orang asing tersebut tiba-tiba menjadi hening dan meditative. Tarian dibawakan kurang lebih 20 menit dan kemudian dilanjutkan pertunjukan musik dari Australia dan India.

Hari ketiga BR Indra Udayana dan Gung De Rama dan dibantu Jenny menjadi pembicara dalam workshop di Purnati Center. Tema yang dibawakan adalah Sacred of Art. Pesan yang ingin disampaikan kepada audience selama dua jam tersebut adalah, bahwa seni itu mestinya muncul dari dalam hati. Kejujuran hati sangat diperlukan untuk mengekspresikan karya seni. Oleh karena demikian pada intinya setiap orang adalah seniman sepanjang ia mampu jujur dan mengekspresikan kejujuran tersebut melalui karya seni. Dan yang lebih penting adalah seni utama sesungguhnya adalah kehidupan itu sendiri.

Selanjutnya......

Merayakan Saraswati di Belgia

Laporan Zeynita Gibbons

Perayaan Hari Raya Saraswati tahun ini menjadi hari istimewa bagi lebih 300 umat Hindu Bali yang bermukim seantero Eropa. Pada 23 April 2011 lalu, mereka merayakan Saraswati di Pura Agung Shanti Bhuwana, Belgia yang merupakan replika dari Pura Besakih. Pura Agung Santi Bhuwana terletak di kompleks wisata Pairi Daiza yang dulu bernama "Parc Paradisio", kota Bruggulete, sekitar satu jam dari Brusel, ibu kota Belgia.

Pura Santi Bhuwana merupakan daya tarik utama Taman Indonesia di Belgia yang dibangun Eric Domb, warga Belgia yang sangat mencintai Pulau Dewata, di lahan seluas enam hektar. Komplek wisata itu dulunya kastil. Di taman itu masih tersisa bangunan menara dan kandang ternak serta danau dengan pepohonan yang rindang dan bangunan pintu masuk tinggi.

CEO Pairi Daiza, Eric Domb saat dijumpai koresponden ANTARA menyatakan, Pura Agung Santi Bhuwana dipersembahkan untuk masyarakat Indonesia. "Itu semua saya persembahkan untuk masyarakat Indonesia," ujar pria setengah baya yang terlihat energik itu.

Pembangunan Pura Agung Shanti Bhuwana merupakan impiannya ketika pertama kali berlibur ke Bali saat ia berusia 17 tahun bersama keluarga. Dan baru setelah sekian puluh tahun impiannya dapat terwujud. Pembangunan Taman Indonesia di Taman Pairi Daiza tersebut menjadi obsesi Eric Domb, yang pertama kali datang ke Indonesia pada 1978.

Untuk mewujudkan impiannya tersebut, Eric Domb mendatangkan tidak kurang dari 350 kontainer batu seberat 8.000 ribu ton dari Muntilan dan Gunung Agung Bali. Proses pembangunan yang melibatkan pemahat batu asal Bali dan Muntilan tersebut memakan waktu hampir lima tahun, dan diresmikan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik pada 2009. "Saya sangat terharu dan bangga ada komplek Puri Agung Shanti Bhuwana di Belgia," ujar Made Agus Wardana yang sehari hari bekerja di bagian Pensosbud KBRI Brusel.

Pura Agung Shanti Bhuwana biasa digunakan sebagai tempat persembahyangan seluruh umat Hindu, tidak saja yang berada di Belgia tetapi juga yang ada Eropa seperti Jerman, Belanda, Perancis, Italia, Swiss, dan Norwegia. "Selain itu Pura itu juga menjadi sarana pendidikan bagi anak-anak Bali yang lahir di luar negeri," ujarnya.

Saraswati adalah upacara untuk memperingati turunnya ilmu pengetahuan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Prosesi perayaan Saraswati di pura tersebut dipimpin oleh Pinandita I Made Sutiawijaya, warga Bali yang sudah lama bermukim di Belgia. Selain prosesi persembahyangan, perayaan Saraswati di Pairi Daiza juga diisi dengan penampilan kesenian khas Bali, termasuk tari Legong Keraton dan tari Barong.

Penampilan tersebut diiringi oleh kelompok Gamelan Saling Asah yang merupakan binaan KBRI Brussel, yang penabuhnya sebagian besar adalah warga negara Belgia. Menutup rangkaian acara, dilakukan prosesi arakan sesajian mengelilingi komplek Taman Pairi Daiza. Perayaan Saraswati juga mendapat sambutan para pengunjung Taman Pairi Daiza. Beberapa pengunjung menyatakan mendapatkan kejutan yang menyenangkan dengan adanya perayaan Saraswati.

Salah seorang pengunjung asal Inggris bahkan menyatakan keinginannya yang semakin kuat untuk mengunjungi Indonesia. "Acara keagamaan semacam ini juga menjadi bukti konkret kepada masyarakat Belgia, bahwa Indonesia memang kaya ragam budaya dan keagamaan," ujar Dubes RI di Brussel, Arif Havas Oegroseno yang hadir para perayaan tersebut.

Eric Domb menambahkan, Pura Shanti Bhuwana adalah milik warga Hindu, dan menurutnya perayaan Saraswati sebesar ini menjadi kehormatan baginya dan bagi taman yang dikelolanya.

Miniatur Indonesia

Selain Pura Agung, kawasan wisata yang dibangun Eric Domb juga terdapat miniatur berbagai bangunan Indonesia, seperti lumbung beras dari Tanah Toraja, kompleks rumah Timor dan bahkan Eric Domb membuat sawah yang ditanami padi. Nyoman Suyadni Mindhoff dari Group Bali Puspa Jerman mengakui sangat senang bisa ikut merayakan Hari Raya Saraswati di Pura Agung Shanti Bhuwana dan bisa bergabung dengan group Saling Asah. Menurut Made Agus Wardana, layaknya sistem kemasyarakatan umat Hindu di Indonesia, di Eropa juga terdapat sistem adat yang sama, di mana setiap negara memiliki satu klian banjar semacam kepala desa bertanggung jawab terhadap umat Hindu di negaranya.

Selain persembahyangan Saaswati di Pura Agung Shanti Bhuwana, juga digelar pertunjukan kesenian, di Bale Gong dan makan siang di kampoeng Timor Village. Rangkaian upacara Hari Raya Saraswati yang diadakan umat Hindu Bali diantaranya gebogan, umbul-umbul, layangan, tedung, sebagai pengganti festival ogoh-ogoh dengan diiringi gamelan Bleganjur.

Selain para penari-penari remaja Indonesia dari Jerman juga menampilkan tari pendet, janger, sekar jagat, genjek, legong keraton. Nyoman Dharma, anggota komunitas Bali dari Norwegia, juga menilai perayaan Saraswati memberikan manfaat bagi promosi pariwisata Indonesia.

Bagi Umat Hindu Eropa, khususnya bagi keluarganya, acara tersebut bermanfaat karena dapat meningkatkan sadhana kita dalam menjalankan ajaran Dharma. Pinandita di Pura Agung Shanti Bhuwana, Sutiawidjaya merasa bangga bisa melakukan Piodalan dan Saraswati di Pura Agung Santi Bhuana, di Belgia. "Bangga rasanya melihat bahwa sebagian kecil masyarakat Indonesia yang berada di luar Indonesia, dengan penuh semangat dan tanpa pamrih mampu menunjukkan identitas budayanya di mata orang asing," katanya.Di taman Pairi Daizi juga terdapat dua pasang gajah dari Indonesia lengkap dengan dua pawang dari Taman Safari Indonesia yang menghibur para pengunjung.
(ANTARA)

Selanjutnya......

Kasus Anad Krishna Menguak Ancaman Tehadap Pluralisme

Laporan Putrawan

Pada 14 Mei 2011 diadakan seminar bertajuk “Pledoi untuk Anand Krishna” bertempat di aula kampus IHDN Denpasar, Jalan Ratna, Denpasar. Hadir sejumlah pembicara dalam seminar tersebut, seperti, Agung Dwi Astika, Dr. I Gusti Made Ngurah, Djohan Effendi, Prof. Dr. AS. Hikam (mantan menteri era Gus Dur), dan Ida Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa sebagai keynote speaker.

Seminar yang di moderatori Suantina ini diarahkan kepada isu pluralisme, karena konon Anand Krishna yang didudukkan sebagai terdakwa dengan dakwaan pasal 290 dan 294 dengan maksimal hukumannya 7 thn penjara, atas tuduhan melakukan pelecehan sesksual kepada Tara, salah seorang muridnya. Namun, konon, dalam proses persidangan tuduhan itu tak terbukti dan malahan hakim kemudian lebih banyak menanyakan pikiran-pikiran Anand Krishna tentang keyakinan keragamaan serta buku-nukunya. Dari sinilah muncul dugaan, kalau kasus ini penuh rekayasa.

Agung Dwi Astika (Gung Dwi) yang merupakan pendamping Anand Ashram tentang masalah ini (AK) dan sering berdiskusi aktif dengan tim pengacara di Jakarta mengatakan, kasus Anand berawal dari pelaporan dari bekas muridnya Tara, yang mengaku dilecehkan di Layurweda Jakarta. Berdasarkan laporan itu Jaksa Marta mendakwa dengan pasal 290 dam 294.

Ada hal aneh pada persidangan yang terjadi: pelaporan ini kemudian diarahkan pada hal pelecehan tapi fakta di persidangan hanya 10 persen pertanyaan tentang pelecehan, selebihnya tentang pemikiran Anand, bukunya dan sebagainya. Tara menyatakan pelecehan 21 Maret 2009 di OE padahal Anand Krishna ada di Sunter memberikan Open House. Hingga saat ini sudah didengar sembilan saksi, satu saksi ahli, keterangan bertentangan, dan tidak jelas, tidak ada yang bisa membuktikan peristiwa pelecehan terjadi.Kasus ini bukan seperti kasus biasa, karena sudah delapan bulan tidak selesai-selesai. Diduga kasus pelecehan hanya menjadi entri point, ada konspirasi besar terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi terhadap Anand Krishna.

Pembicara berikutnya, I Gusti Made Ngurah mengatakan, di Bali sendiri, sampai saat sekarang, persoalan-persoalan yang terkait hubungan antarumat beragama cukup baik. Pada hakikatnya setiap orang ingin hidup damai dan bahagia. “Kita sudah sepakat hidup berbangsa dengan Bhinneka Tunggal ika, dan Pancasila atas dasar UUD 45 sebagai Negara NKRI. Namun perkembangan bangsa, sebagian orang tidak dapat memantapkan kesepakatan kita bersama. Kalau pengalaman saya, konflik intern yang sulit diselesaikan kemudian menjadi konflik antargolongan,” urainya. Ia menambahkan, Jika konflik intern sudah mudah diselesaikan atau tidak ada konflik, maka konflik dengan kelompok yang lain tidak akan terjadi. Dari perspektif Hindu, kita harus bekerja sama tanpa memandang perbedaan. Namun sekarang muncul ide-ide kelompok, seperti ada Negara di dalam Negara. Kalo kita bisa memantapkan pemikiran multikultural di tiap kelompok maka tidak terjadi perpecahan.

Di dalam Hindu, hal ini sudah dimantapkan, sehingga bisa hidup berdampingan. Contoh ada perkembangan dalam pemahaman Weda dan sebagainya, sehingga muncul berbagai aliran keagamaan dalam Hindu. Tapi walalupun terjadi perbedaan jika bisa saling memahami, maka akan dapat hidup berdampingan. Dalam Gita, keragaman itu diakui. Kita harus lihat kita semua bersaudara (vasudaiva kutumbakam). Inilah yang dijadikan dasar oleh orang Bali, di mana konsep-konsep Hindu yang diaplikasikan dalam kearifan lokal, seperti menyama beraya, sehingga bisa mewujudkan kehidupan yang harmonis antar umat beragama.

Djohan Effendi sebagai aktifis pluralisme mengatakan, sekarang ancaman terhadap kebhinnekaan sangat parah. “Saya merasa ada kekosongan dengan kepergian Gus Dur. Dalam keadaan ini hati saya gelisah ketika Pak Anand diperlakukan seperti itu, karena beliau masih diperlukan untuk kebhinnekaan. Beliau yang mengajarkan wisdom, esensinya mengajak kita menjadi arif dan bijak untuk kebinekaan,” paparnya yang tampil sebagai pembicara berikutnya. Ia menambahkan, dirinya teringat cerita: seorang guru mempunyai dua orang murid. Satu murid cerdas yang sangat disayangi, satu lagi tidak cerdas. Kedua murid berdebat, 3x3 berapa kata murid yg tdk cerdas. Murid yang cerdas bilang 9, murid yang tidak cerdas bilang 10. Kalau si yang bodoh yang kalah akan bunuh diri, mereka kemudian menyanyakan pada Guru mereka. Gurunya mengatakan 10. Murid yang cerdas protes, kemudian pergi. Pesan gurunya, ingat kalau ada badai besar jangan berlindung di bawah pohon. Ketika terjadi badai, dia tidak berlindung di bawah pohon sehingga selamat, ia tersadar dan balik menemui gurunya. Gurunya, mengatakan, “Sembilan kali sembilan itu kebenaran kecil, tapi jika saya membela kamu maka ia akan bunuh diri, saya tidak mau orang kehilangan jiwanya, maka itulah kebenaran besar. Kita sekarang sibuk membahas kebenaran-kebenaran kecil.” Anand Krishna mengajarkan kebenaran yang besar. Beliau tokoh yang kita perlukan untuk mempertahankan kebhinnekaan.

Sementara itu, AS Hikam, mengatakan, “Tentang pak anand, saya ingin merefleksi. Suatu saat saya pernah sangat dekat dengan Pak Anand ketika dikenalkan oleh Gus Dur. Seperti yang saya bayangkan, Pak anand dan Gus Dur share kebebasan beragamaan, kerukukan beragama

Saya mengatakan pada pak Anand agarmenciptakan gerakan untuk membangkitkan kesadaranan untuk membela pluralisme, HAM, dan sebagainya,” tuturnya. A.S. Hikam melanjutkan ceritanya kalau dulu pernah dikenalkan dengan seorang biksu di Tailand oleh Gus Dur dan tinggal di sana 7 hari. Ia jadi tahu sebuah gerakan yang bisa merubah bangsa. Menurutnya, di Indonesia, proses demokrasi bergeser ke anarkis. Indikasinya ketika semua warga Negara dan kelompok mengeluarkan pendapat dan berbicara, lalu menggunakannya untuk menindas yang lain. Ini karena kalau sudah ada agama seolah olah tidak ada rule of law. Harusnya ada kekuasaan yang menghalangi hal-hal ini, sehingga demokrasi kita tidak menjadi anarkis. “Adalah sangat aneh, jika ada yang mengatakan NII belum menjadi ancaman nasional. NII blm bisa ditahan karena bllm memenuni syarat hukum. Kalo tidak setuju dengan Negara Pancasila, moggo pindah di Negara lain,” sebutnya. A.S. Hikam mempertegas, demokrasi akan menjadi anarkis jika rule of law tidak ditegakkan, contoh demokrasi menjadi anarkis adalah kasus Pak Anand.

Dalam sesi Tanya jawab, Djohan Effendi mengatakan Ketika reformasi mulai, ada suara ingin mengembalikan pendidikan budi pekerti. Suara itu membuktikan bahwa agama telah gagal. Tiap hari di televise acara agama, dari SD sampai universitas ada pendidikan agama. Rumah ibadat juga penuh. Tapi ternyata gagal membuat manusia berbudi pekerti. Sebetulnya yang penting, kejujuran kata. Seorang pencuri datang ke Nabi Muhammad, ingin jadi pengikutnya tapi pekerjaannya pencuri. Nabi Muhamad bilang silahkan boleh tapi jangan bohong. Jadi, pendidikan karakter adalah antara pikiran, perkataan dan perbuatan adalah satu. Yang penting untuk bagian pendidikan adalah kejujuran. Di Australia, anak diajarkan tidak boleh bohong. Tapi di Indonesia, tidak. Jadi bagaimana dari anak-anak sebaiknya diajarkan jangan bohong. Di rumah juga, kita harus mengajarkan anak-anak untuk tidak bohong dengan jalan kita orang tua tidak berbohong di depan anak. Berbohong sangat merusak bangsa.

Sementara itu, I Gst Md Ngurah menilai, bahwa pendidikan karakter diharapkan karakter bangsa kita sesuai nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika serta UUD 45. Semua itu harus dibangun dari rumah. Pendidikan harus seimbang yang formal dan informal, kebijakannya sudah ada, tapi pelaksanaannya belum.

Seorang advokat, I Ketut Ngastawa berbicara sebagai peserta mengatakan, anarkisme yang muncul karena tidak ada kepastian hukum. Apabila kita tidak bisa mengapresiasi, penegak hukum tidak bisa menjalankan dengan baik, maka bangsa ini tidak akan maju. Tentang Anand Krishna ada yang janggal, ada apa? Kasus besar Century, mafia pajak, dan sebagaianya, belum bisa diseleseaikan dengan baik. Atas nama kekuasaan, mereka memberangus pemikiran yang menyatukan bangsa. Bangsa ini bisa mandiri, jika kita kembali pada hukum. Bukan menjadi justifikasi yang memberangus kehidupan kebangsaan. Kekuasaan yang cenderung korup jadi ajang justifikasi harus dikembalikan pada fitrah yang sesungguhnya.

Selanjutnya......

Taman Majapahit Ditargetkan Selesai 2014

Walau sempat mandek dan jadi kontroversi, pemerintah akan meneruskan pembangunan Taman Majapahit di komplek Museum Majapahit, Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.
Sekretaris Dirjen Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Suroso menjelaskan pembangunan Taman Majapahit dimulai sejak 2009 lalu. "Kami berharap tahun 2014 sudah jadi," kata dia Kamis 5 Mei 2011 malam.
Soal dana, tambah dia, pada tahun 2010 dianggarakan sekitar Rp10 miliar, sementara tahun ini Rp15 miliar. "Sangat kecil. Kami upayakan bertahap, sesuai dengan kemampuan negara untuk bisa terus melaksanakan kegiatan itu," kata dia.

Jika dihitung secara keseluruhan, sampai jadi, proyek ini akan menyerap anggaran sampai Rp200 miliar. Dana itu dibutuhkan untuk menyiapkan sejumlah fasilitas seperti lapangan parkir, museum, tempat berdagang, dan perbaikan jalan. Dari mana kekurangan uangnya? "Tapi kan itu bukan pekerjaan kami sendiri. Provinsi dan kabupaten berkontribusi dan kami harapkan dari kalangan usahawan bisa masuk," tambah dia.

Taman Majapahit akan berada di atas lahan 9 x 11 kilometer. Menurut Suroso lahan seluas itu tak harus dibebaskan secara keseluruhan. Ada lokasi untuk kerajinan, restoran, dan penginapan. "Jangan dianggap pembangunan yang membebaskan 9x11 kilometer menjadi tanah kosong. Tetapi bagaimana meningatkan potensi-potensi di sana. Baik budaya, ekonomi, sosial dan sebagainya yang dapat mendukung terwujudnya Taman Nasional Majapahit."

Suroso mengatakan, tujuan Taman Majapahit adalah untuk melestarikan dan membangun karakter bangsa. "Dari sisi ekonomi kalau taman Majapahit itu berkembang, semua sektor kerajinan, usaha dan lainnya hidup, maka masyarakat akan lebih sejahtera. Dibandingkan sekarang, hanya membuat bata."

Terkait protes arkeolog dan budayawan yang menuding pemerintah melanggar Undang-undang karena telah merusak situs sejarah, Suroso berpesan, "Kita mencoba untuk memberikan gambaran kepada arkeolog muda, tugas kita bukan berakhir pada sebuah pencapaian kalau kita sudah bongkar, selesai. Tetapi ada pekerjaan yang lain lagi. Apakah yang kita bongkar itu bermanfaat bagi masyarakat atau tidak. Itu yang penting. Kalau kita bongkar tidak dibutuhkan masyarakat, percuma. Tapi kalau kita membongkar dan masyarakat bisa sejahtera, itu yang kita harapkan." Untuk masyarakat, tambah dia, Taman Majapahit berguna untuk mempelajari masa lalu untuk kepentingan masa depan. "Bahwa dari candi-candi, dari peninggalan-peninggalan lain, kita bisa belajar dari kearifan bangsa kita."
(adi/VIVAnews).

Selanjutnya......