Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Minggu, 05 Juni 2011

Doa Harus Ditulis Dengan Utuh

Ada cerita menarik dari para pendeta Hindu yang tergolong moderen. Disebut moderen karena mereka biasa berkomunikasi dengan alat canggih seperti handphone, mengirim SMS, bermain di Twitter, Facebook dan sejenisnya. Dari pendeta itu menarik untuk diketahui kisahnya, bagaimana mereka menggunakan salam Hindu atau lazim disebut panganjali.

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda, salah satu dari pendeta itu dikenal memiliki akun Twitter, Facebook dan alamat blog yang ramai dikunjungi penggemarnya. Banyak umat yang meminta masukan, apakah itu meminta saran, bertanya masalah kehinduan atau sekedar ngobrol. Namun, Mpu Jaya Prema Ananda tak akan meladeni segala jenis pertanyaan jika yang bertanya menuliskan Om Swastyastu dengan disingkat menjadi OSA. “Saya tak meladeni semua permintaan umat jika mengawali tulisannya dengan OSA. Karena OSA di luar Bali sering diartikan mendatangkan dosa. Saya tak memberikan dosa atau mengajarkan dosa, jadi jangan memakai kata OSA,” tulis Mpu Jaya di akun Facebook-nya.

Menurut Mpu Jaya Prema, kebiasaan ini sudah dilakukan sejak lama ketika masih di Jakarta sebagai wartawan Tempo. “Sudah lebih dari lima tahun saya tak meladeni semua SMS jika diawali dengan OSA,” katanya.

Bukankah SMS harus singkat, namanya saja pesan pendek, bagaimana menulis panjang? Mpu Jaya mengatakan, kalau mau pendek tulis saja OM (keduanya huruf besar) atau AUM (ketiganya huruf besar). Itu sudah cukup, tetapi akan lebih bermakna kalau ditulis lengkap: Om Swastyastu.
Menurut Mpu Jaya Prema, doa itu tak bisa disingkat. Bahkan di agama lain, penyingkatan doa dianggap melecehkan. Doa itu tak berarti doa lagi kalau hurufnya disingkat. Yang boleh disingkat itu adalah sebutan. Misalnya, Sang Hyang Widhi Wasa disingkat SH Widhi Wasa atau SH Widhi saja. Di aagama lain juga begitu, misalnya, Nabi Muhamad SAW, yang terakhir itu singkatan. Tak ada yang menyingkat Insya Allah menjadi IA, alhamdudilah menjadi ADD, misalnya.

Para sulinggih yang menggunakan Facebook ada banyak, memang tak pernah menggunakan OSA. Ida Pandita Mpu Padma Naba dan Ida Pandita Mpu Mengwi (demikian nama akunnya di Facebook) selalu menulis OM dalam mengawali statusnya. “Beliau tak pernah menulis OSA karena beliau tahu hal itu tak ada artinya,” kata Mpu Jaya Prema tentang kedua sulinggih itu.

Bagaimana dengan salam atau panganjali yang lain seperti Astungkara? Menurut Mpu Jaya, astungkara itu lebih cocok kepada arti “atas anugrah Tuhan”, sehingga umat Hindu pun mulai ramai menyebutnya saat ini untuk pergaulan lintas agama. Ini bukan dicari-cari atau supaya ada sandingannya dengan umat Islam, misalnya. Di umat Islam, ada ucapan Insya Allah yang artinya atas seizin Allah. Kalau umat Islam ditanya: “Besok bisa datang nggak ya?” Jawabnya: “Insya Allah”. Maksudnya, kalau Tuhan mengizinkan. Siapa tahu Tuhan tidak memngizinkan misalnya tiba-tiba sakit atau halangan lain seperti ada bencana dan lain-lain. “Di kalangan umat Hindu pun kata astungkara bisa dipakai dalam kasus seperti ini,” kata Mpu Jaya Prema.

Sementara itu, kalau kita memperhatikan Ida Pandita Mpu Jaya Acharyananda, beliau sering kali mengucapkan Om Awignam Astu. Dalam perjalanan ke Singaraja bersama wartawan Raditya, Mpu Jaya Acharya selalu mengucapkan Om Awignam Astu jika kendaraan yang membawanya hampir menabrak mobil atau ditabrak mobil. “Ini sudah kebiasaan, jadi seperti otomatis keluarnya, meski pun saat itu saya ngobrol,” kata Mpu Jaya Acharya.

Apa maksud Om Awignam Astu dalam konteks ini? Mpu Jaya Acharya tak menjelaskannya karena beliau hanya tertawa dan mengira wartawan Raditya sudah tahu. Namun dari Mpu Jaya Prema (adik perguruan Mpu Jaya Acharya) didapat keterangan, dalam konteks ini Om Awignam Astu hampir mirip artinya dengan alhamdulilah yang dipakai umat Islam. Artinya, ucapan syukur bahwa kita selamat, atau memohon supaya diberi keselamatan dari suatu peristiwa yang sudah terjadi.

Kalau demikian, jika ingin menyanding-nyandingkan dengan umat Islam, Insya Allah sama dengan Astungkara, Alhamdudilah sama dengan Awignam Astu. “Tapi kita tak bisa asal menyandingkan saja, harus ada konteksnya, jangan hanya meniru,” ujar Mpu Jaya Prema. “Kalau umat Islam mendengar ada kematian berujar Inalilahi dan seterusnya kalau kita kan Om Swargantu dan seterusnya. Tapi tak boleh disingkat menjadi OSSM untuk Om Swargantu, moksantu, sunyantu, murcantu,” kata Mpu Jaya Prema. “Kalau OSSM ditulis dalam pesan pendek atau di Facebook kita belum memberi doa untuk orang yang meninggal dunia itu, malah melecehkan keluarga yang meninggal dunia,” katanya menutup perbincangan.

2 komentar:

  1. beh kalau mau lengkap lagi tulis saja sesuai dengan huruf weda asli beh apa itu namanya kenapa menggunakan huruf latin cong......apakah tuhan hanya mengerti bahasa sansekerta?

    Saya pikir diama saja tuhan mengerti kita...bes sok to bli...

    BalasHapus
  2. OM Swastyastu. Sy juga tidak akan membalas sms yg menyingkat salam yg bermakna mantra.

    BalasHapus