I Wayan Miasa
Manusia di muka bumi ini, di mana pun berada sudah pasti memiliki unsur-unsur kebudayaan, seperti sistem relegi, sistem mata pencaharian, tata kemasyarakatam, sistem peralatan, teknologi, bahasa dan kesenian. Khusus dalam sistem bahasa, di samping sebagai alat komunikasi, bahasa juga menunjukkan cerminan kehidupan masyarakat pemakai bahasa itu. Misalnya masyarakat yang memiliki rasa hormat terhadap makanan, maka mereka memiliki ungkapan tersendiri dalam tata krama makan. Sebutlah misalnya ungkapan breakfast, lunch, dinner dan lainnya.
Demikian juga, bagi masyarakat yang mengalami empat musim dalam setahun, di mana sang surya lama bersinarnya berbeda-beda di kawasan tersebut, sehingga mereka pun memiliki tradisi untuk menghormati waktunya. Dengan demikian, dalam bertegur sapa mereka memakai batasan waktu berdasarkan jam, sehingga mereka membagi waktu menjadi, pagi, siang, sore, malam dan mereka mengenal ungkapan: guten Morgen, guten Tag, guten Nachmittag ataupun guten Abend. Hal ini berbeda dengan tradisi di Bali yang perbedaan lamanya matahari bersinar antara musim hujan dan kemarau tidak begitu mencolok. Di Bali, ungkapan yang dimiliki adalah: semeng, tajeg surya, sandikala dan peteng.
Di Eropa, saat musim panas, matahari bisa bersinat hingga pukul 22.30, sedangkan saat musim dingin matahari sudah redup pada pukul 16.30. Jadi, wajar mereka bertegur sapa dengan acuan jam, bukan melihat tanda dari matahari untuk menentukan apakah hari masih pagi, siang atau sudah malam. Jam adalah patokan bagi orang-orang Eropa untuk membedakan pagi, siang dan malam.
Di ligkungan masyarakat yang religius yang penganutnya didoktrin agar mengaitkan setiap aktifitasnya dengan Tuhan, maka dalam bertegur sapa aspek ungkapan-ungkapan berbau keagamaan yang ditekankan. Salam yang mereka ucapkan memiliki konteks dengan Tuhan sesuai dalam tradisi agama mereka masing-masing.
Dalam perkembangan komunikasi, di mana jarak manusia tak dibatasi oleh ruang, maka terjadilah interaksi antarindividu yang demikian tinggi. Di jaman teknologi komunikasi yang sudah maju sekrang ini, kadang-kadang orang Bali (Hindu) suka merasa malu untuk menunjukkan identitas budayanya, khususnya dalam tradisi tegur-sapa ini. Kemudian banyak di antaranya mencoba latah untuk meniru padanan sapaan dari budaya lain yang dicoba-coba dicari dalam khasanah bahasanya sendiri, kendati tradisi bertegur sapa ala seperti itu sebelumnya tidak mentradisi.
Seperti disebutkan di atas, bahwa bahasa adalah ekspresi dari suatu budaya, maka lewat bahasa itu kita belajar kultur serta peradaban masyarakat dunia. Ambil saja sebuah contoh masyarakat Eropa yang religius di daerah Bayern atau Austria. Walaupun di sana kebanyakan orang bertegur sapa berdasarkan waktu atau jam, seperti guten Morgen (selamat pagi), guten Tag (selamat siang) dan sebagainya, tetapi masyarakat daerah Bayern jarang memakai ungkapan tersebut. Mereka memilih ungkapan “Gruess Gott” yang artinya mirip dengan Om Namaskar, Om Swastyastu. Artinya, masyarakat di sana tidak ikut latah dalam pakem bertegur sapa, tetapi lebih memanfaatkan bagaimana identitas budayanya yang telah dan biasa berlaku di daerah itu.
Hal ini agak berbeda dengan kecenderungan yang berkembang di Bali, di mana ada suatu kebiasaan atau latah dalam mencari padanan tegur sapa supaya mirip dengan ungkapan-ungkapan salam dari agama non Hindu. Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa kita mesti latah mencari kosa kata atau mantra tertentu untuk bertegur sapa sesuai kondisi-kondisi tertentu. Misalnya kalau berjumpa salamnya Om Swastyastu, kalau mengucapkan syukur atas terkabulnya sesuatu, kini populer seruan Astungkara, dan lain-lain.
Ungkapan apa pun yang ada di masyarakat non Hindu yang berkaitan dengan konteks keagamaan mereka, maka sepatutnya orang-orang Hindu tidak ikut-ikutan latah mencari ungkapan-ungkapan yang berfungsi sesuai kondisi tertentu, karena dalam Hindu salam itu sifatnya sudah sangat universal dan jangkauannya luas. Agama Hindu menekankan aspek kesederhanaan atas nama Tuhan, maka ungkapan-ungkapannya pun sederhana, karena semua yang diinginkan, diharapkan ataupun tak diharapkan dibiarkan diatur menurut hukum Tuhan. Artinya yang ditonjolkan adalah sifat ketuhanan, kebaikan, kedamaian dalam menjalin komunikasi. Dengan demikian, ungkapan bertegur sapa dalam Hindu yang populer ada banyak, tinggal pilih mana yang sreg. Tidak ada pemakaian khusus ungakapan seruan bila bersyukur, saat kaget, saat mengharap sesuatu, saat bertemu, berpisah dan lainnya. Ungkapan salam bernada religius dalam Hindu seperti, Om Swastyastu, Om Shantih-Shantih-Shantih Om, Namaste, Namaskar, Haribol, Om Sairam, Om Nama Siwaya, Hare Krishna, dan lain-lain.
Dalam kata Om (AUM) telah memiliki aspek Tuhan sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur, maka wajar bila setiap bertegur sapa dalam lingkungan Hindu ada unsur OM. Kalau dipadan-padankan mungkin fungsinya mirip dengan kata amien, amin, dalam agama lain.
Seorang ahli terjemahan bernama Mildred Larson dalam bukunya berjudul “Meaning-based Translation” menjelaskan bahwa dalam nenerjemahkan suatu bahasa, kita perlu mengerti kultur serta estetika suatu bangsa untuk mendapatkan makna yang pas dan cocok. Oleh sebab itu, tidak semua ungkapan yang dipakai dalam suatu bangsa, masyarakat ataupun komunitas lainnya bisa atau perlu dicarikan padanan katanya.
Dari kenyataan ini, maka berbanggalah memakain ungkapan tegur sapa yang kita miliki dan tidak harus latah dalam pemakaian ungkapan mengikuti pakem kultur agama lain. Kalau mau mau ditelaah secara mendalam, bahwa sebenarnya tegur sapa dalam Hindu sudah sangat lengkap, walaupun hanya terdiri dari beberapa penggal suku kata. Misalnya Om Swastyastu. Om mengandung arti kata Tuhan dan fungsinya. Swasti berarti baik dan astu artinya semoga. Jadi salam ini berarti semoga baik dalam nama Tuhan atau semoga baik atas karunia Tuhan dan sebagainya.
Kalau dianalisa lebih jauh, maka dalam kata OM yang terdiri dari AUM, merupakan representasi dari: A (atma, atem, atmen, atmosfir) yang berarti kelahiran; U dalam bahasa Jerman ditulis ü disebut sebagai über gang atau perantara dan M mewakili matt yang berarti kematian, lesu, tak berdaya. Jadi identik dengan Ang Ung Mang dalam Hindu.
Usaha mencari padanan atau menerjemahkan ungakapan tegur sapa dalam hubungan dengan kehidupan beragama di masyarakat rasanya tak pas, karena nilai rasa dalam bahasa religius kita berbeda dengan agama lain.
Perlu juga diingat bahwa agama Hindu itu dalam bertegur sapa, berdoa lebih mengedepankan ‘kelascaryaan’, maka doa-doanya pun lebih berupa pernyataan rasa berterimakasih, bukan selalu meminta-minta kepada Tuhan sebagai sarwa karana karanam (sebab dari segala sebab). Hal inilah yang membedakan tatanan bertegur sapa kita dengan masyarakat lain. Kalau diperhatikan secara mendalam lagi dalam kosa kata kehidupan beragama kita, hampir semua ungkapan yang dipakai dalam berkomunikasi menunjukkan sifat atau kebiasaan kita yang optimis dalam bertegur sapa. Janganlah kita terpengaruh oleh tatanan bertegur sapa seperti “iklan kosmetik”.Yang penampilan luarnya kelihatan mulus, indah, cantik tapi di dalam hancur lebur.
Ungkapan tegur sapa “gaya iklan kosmetik” tidak mempresentasikan kehidupan religius kita atau kepribadian kita. Apalagi tegur sapa itu dihasilkan lewat menyadur atau menerjemahkan kebiasaan masyarakat lain, hal ini justru akan membuat ungkapan yang tumpang tindih. Ada banyak contoh yang bisa kita lihat, namun karena penulis tak ingin masyarakat lain tersinggung maka contoh itu tidak dicantumkan di sini. Suatu harapan bagi masyarakat Hindu, marilah kita pakai ungkapan tegur sapa yang mempresentasikan jiwa hindu itu seperti sifat ahimsa, satyam, sundaram dan tak usah latah.
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar