I Dewa Gede Alit Udayana
Apabila ungkapan (Bali) yang satu ini diterjemahkan (secara bebas) ke dalam bahasa Indonesia, maka kurang lebih berarti: menggendong atau memikul (sekumpulan) itik jantan (di punggung). Pada zaman susah dulu, para pengangon meri (penggembala itik, di Jawa dikenal sebagai sontoloyo) kerap membawa ternak itik mereka ke sawah, atau ke tempat-tempat berair lainnya (sungai, danau, empelan), dengan memikulnya di punggung. Tentu menggunakan wadah berupa keranjang atau dungki (keranjang kecil dengan bentuk khusus). Kini, para penggembala itik sudah jarang melakukannya dengan cara seperti itu lagi, tetapi kini unggas bersuara sengau ini kerap diangkut dengan mobil palungan (pick-up). Sepertinya, para meri ikut "naik kelas" juga.
Meski rada usang, cerita tentang pengangon yang menggendong itik ini diabadikan dalam sebuah ungkapan seperti judul ini, dan serta-merta dapat "mewakili" makna atau pesan tertentu. Untuk dapat lebih "menangkap" pesan dalam ungkapan ini secara lebih pas, ada baiknya diikuti paparan berikut ini.
Ketika itik-itik mereka masih kecil, dalam bahasa Bali disebut meri (dalam bahasa Inggris dikenai sebagai day old duckling, disingkat dod), para pengangon meri (peternak itik/penggembala itik) akan mengangkutnya ke tengah sawah pengembalaan dengan cara menempatkannya pada sebuah keranjang dan menggendongnya di punggung. Orang Bali menyebut si peternak yang rajin itu sebagai: ngandong meri (menggendong anak itik). Sampai di situ sebenarnya tidak ada yang aneh, tidak ada persoalan, karena memang menjadi tugas seorang peternak itik untuk mengembalakan piaraannya itu. Ada yang lebih penting dari sekadar cerita tentang penggembala itik ini. Ada pesan satiris yang "dititipkan " pada kisah peternak yang ngandong meri itu.
Cerita tadi, esensinya, adalah menggambarkan betapa beratnya tugas yang harus dipikul oleh pengangon tadi. Selain harus berat memikul, juga harus menanggung pekak telinga karena suara meri-meri yang terus ribut digendongan sang "bos", merangkap pesuruh itu. Satir ini menggambarkan orang-orang yang mempunyai tugas publik yang berat, tetapi bukan pujian atau penghargaan yang diperoleh melainkan harus menanggung suara-suara miring dari publik yang dilayaninya. Orang-orang yang lebih ekstrim bahkan menggambarkan bahwa tugas itu akan terasa semakin berat dan terkesan penuh pengorbanan apabila yang digendong itu adalah meri muani (anak itik jantan). Meri jantan tentu tidak akan menghasilkan telur seperti halnya meri betina. Artinya, masih mending menggendong yang betina. Orang-orang yang digambarkan ngandong meri muani sebagai orang-orang yang mempunyai penderitaan yang komplit: punggung bongkok dan letih, telinga pekak, dan tidak dapat mengharapkan hasil apa-apa. Orang-orang tertentu bahkan menggambarkannya sebagai pekerjaan yang sia-sia, tetapi sebenarnya tidak. Memang harus ada orang yang berani tampil menghadapi kondisi bagaikan ngandong meri muani itu.
Dewasa ini, sangat jarang ada orang yang berani tampil ngandong meri muani. Semangat berkorban sudah sangat melorot, bahkan nyaris punah. Paling banter, yang digendong itu adalah meri luh (itik betina), yang suatu saat dapat diharapkan (hasil) telurnya.
Ada pelajaran berharga yang dapat dipetik dari cerita atau ungkapan “cara ngandong meri muani” ini. Ada orang-orang yang rela berkorban meski harus menanggung berbagai risiko: letih dan dihujat pula. Memang harus ada orang-orang yang berani tampil seperti ini. Ini bukanlah pekerjaan yang sia-sia. Dalam bahasa retorik ada ungkapan: siapa lagi kalau bukan.....? Maksudnya harus ada yang berani mengisi ruang penuh tantangan itu.
Di satu sisi harus ada orang yang berani tampil sebagai sosok yang siap menghadapi tantangan bak pengangon yang siap ngandong meri muani itu. Bahasa lugasnya, harus ada pemimpin yang berani tampil dalam kondisi seperti itu. Di sisi yang lain, sebagai warga masyarakat, sebenarnya, meski ada semacam pemahaman bahwa menjadi pemimpin itu adalah sesuatu yang tidak mudah, mirip gambaran pengangon yang ngandong meri itu. Oleh karena itu sebagai warga, mungkin ada baiknya ditinggalkan cara mengkritik yang sekadar ingin menjatuhkan, bahkan berniat memojokkan sang pemimpin. Idealnya, meski mengkritik dalam mengkritisi sesuatu mungkin harus dikedepankan untuk niat memberi solusi (Jalan keluar) yang bermanfaat bagi semuanya.
Ungkapan “Menang Tanpa Menyoraki” mungkin hal baik yang harus dibiasakan. Mungkin itu tidak mudah, tetapi tidak mustahil untuk dipelajari. Walaupun pada akhirnya ada sente ada plenda, ada kene ada keto ternyata tidak dapat dipungkiri. Konon dalam sebuah komunitas, paling tidak ada 16 persen yang bertingkah laku “lain” dari umumnya. Dalam tataran praktis, apabila Anda dan saya berhadapan dengan seratus orang dan apabila ada paling banyak 16 orang tidak menyukai Anda (atau saya) adalah sesuatu yang normal-normal saja. Namun, bila lebih, apalagi perbandingan itu terbalik, tentu harus ditata kembali, apakah ada yang keliru pada diri kita. “Kita mesti nyiksik bulu,” kata para tetua.
Tweet |
Dengan ada seperti itu yang perlu disikapi adalah bagaimanapun kita berusaha, pasti setiap orang yang mau berusaha ataupun bekerja tidak luput dari kesalahan. Kesalahan itu wajar dengan demikian jangan sampai menyurutkan keinginan itu berbuat lebih baik. kita pikir pasti ada jalan yang lebih baik.
BalasHapusTerima kasih paparannya sangat membantu.