Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 10 Juli 2012

Kelompok Ilmu Gaib Banyak Berkembang di Bali. Apakah ini Pelarian dari Tekanan?


Di Bali, bukan industri pariwisata saja yang berkembang, tapi berbagai perguruan ilmu gaib atau kelompok-kelompok yang mengatasnamakan diri paguyuban spiritual. Dari berbagai perguruan maunpun kelompok yang muncul itu, sebagian besar di antaranya bercirikan pengembangan daya-daya supranatural. Mengapa hal semacam ini diminati oleh banyak orang yang rasional?

Di media-media, baik media cetak dan elektronik di Bali tak pernah sepi dari iklan “Penjaja Energi Spiritual”. Berbagai perguruan berbeda, maka berbeda pula trik dan kiat berjualannya. Tak tanggung-tanggung promosi yang dilakukannya. Di antaranya ada yang menjanjikan pembangkitan kundalini seketika, meningkatkan kesadaran spiritual dalam waktu singkat, bahkan ada yang “ngecap” menjanjikan keterhubungan dengan alam dewata dalam waktu sekian jam. Melihat promosi-promosi seperti itu, kadangkala kita menjadi berpikir, “Apakah tingkat moralitas, kebijaksanaan dan tingkat kebahagiaan orang-orang yang berbicara itu memang benar berada di atas rata-rata orang biasa?”

Semua presentasi interaktif di televisi maupun iklan di media cetak itu toh tetap mampu menarik antusiasme banyak orang. Berbagai perguruan, kelompok berlabel spiritual selalu diminati dengan peserta atau pengikut yang berjubel. Motivasinya pun macam-macam. Ada yang datang untuk meningkatkan kesehatan, ada yang ingin penyakitnya sembuh, yang lain berharap hidupnya lebih damai atau malahan ada yang berharap dengan belajar teknik tertentu yang berbau gaib, rejekinya yang seret bisa lancar. Wah.. wah!

“Banyak orang menjadikan kegiatan spiritual sebagai pelarian akibat tekanan-tekanan hidup duniawi ataupun karena kekecewaan maupun kegagalan yang dialaminya. Mereka yang seperti ini, umumnya jarang beruntung bisa menemukan apa yang disebut kehidupan spiritual. Salah-salah bisa masalah hidupnya tambah runyam,” demikian urai Maha Guru Ghanta Yoga, Ida Bagus Putu Adriana di Denpasar, akhir Mei 2012 lalu. Ia menambahkan, kalau orang ingin belajar spiritual, maka semestinya ia datang ke suatu tempat yang menurutnya dapat memberi pelajaran spiritual. Datang untuk bertanya tentang apa hakikat ajaran dari suatu perguruan itu, bagaimana metode belajarnya, apa tujuan akhir dari ajaran tersebut. Ia mencontohkan, di dalam ajaran Ghanta Yoga yang diasuhnya pernah ada calon siswa datang dan bertanya, “Apa yang akan saya dapatkan bila belajar Ghanta Yoga?” Menurut Tua Aji Gus Tu (Panggilan populernya), pertanyaan semacam itu tergolong pertanyaan “bodoh” sebab semestinya yang ditanyakan, adalah spirit atau hakikat dan tujuan dari sebuah ajaran. Jika menanyakan apa yang akan diperoleh dengan belajar “Yoga” tertentu, maka jawabannya bisa dijanjikan ini itu yang belum tentu bisa direalisasikan. Akhirnya, bila apa yang dijanjikan oleh suatu perguruan tidak dapat diwujudkan oleh si murid, maka lunturlah keyakinannya terhadap suatu perguruan, malahan lebih fatal lagi bisa mempertipis keyakinannya terhadap Tuhan.

Kalau demikian, lantas apa yang menyebabkan orang-orang berduyun-duyun mendatangi lokakarya, seminar atau gebyar “Energi supranatural” semacam itu yang tendensinya bisa negative. Alih-alih meningkatkan spiritual pesertanya, justru sebaliknya promosi-promosi seperti itu hanyalah memperhebat mental instanisme di dalam diri peserta. Suatu hasrat serba instan, ingin persoalan-persoalan duniawinya terselesaikan dalam waktu sesegera mungkin, ingin meningkatkan kesadaran spiritualnya dalam hitungan hari, atau berkhayal meningkatkan kualitas rohani setingkat dewata dalam waktu beberapa jam, lantas bertemu dengan para “Penjaja” energi supranatural dan melabelkan tulisan “Spiritual” di cassing-nya, maka kloplah sudah. Dia melawan sifat-sifat spiritual, seperti keuletan dalam perjuangan, kesabaran, ketabahan, keberanian, penghargaan terhadap segala sesuatu secara seimbang, kasih sayang persaudaraan, kerelaan berkorban, dan lain-lain.

“Terlalu banyak yang dilihat dan didengar panca indra manusia di jaman ini, sehingga tutur agama menjadi kurang mempan meneguhkan mental manusia. Bila mental goyah, maka perguruan ilmu gaib diburu untuk mencari pembuktian suatu kekuatan di luar rasio. Bila kekuatan gaib mulai dikuasainya, maka kemungkinan negatifnya adalah keimanannya terhadap Tuhan menurun, Sanggah dan Pura kurang dihargai, karena mengira dewa ada di deweke. Kalau sudah begini, baik dan buruk kualitas keluaran anak didik suatu perguruan tergantung nabe yang membimbingnya,” sebut Jro Mangku Made Subagia, pada 3 Juni 2012 lalu di rumahnya, di Denpasar.

Guru Besar Perguruan Siwa Murti Jagadhita ini menambahkan, orang-orang zaman sekarang berpikir serba instan, sehingga suka mencari penyelesaian di luar rasio yang menurutnya dapat menyelesaikan masalahnya dengan segera. Sekali lagi ia mengingatkan, negative atau positif dari ekses belajar ilmu gaib tergantung “Nabe” di dalam menuntun para sisya-nya, supaya Kawisesan yang dimilikinya dapat mempertebal sradha-nya kepada Ida Hyang Widhi, bukan sebaliknya menjadikannya arogan, sombong, angkuh dan berbagai perilaku negative lain.

Kegaiban Bisa Menyesatkan dan Menyengsarakan

Ida Bagus Putu Adriana yang kelahiran Desa Sindhuwati, Sidemen, Karangasem ini menambahkan, kalau ingin belajar yoga, maka lebih baik diawali dulu dengan pemahaman. Yoga itu tujuannya adalah penyatuan dengan sumber (Tuhan). Sekarang tinggal masalah metode belajar atau teknik masing-masing ajaran saja yang berbeda, namun hakikatnya perlu disadarai, belajar yoga, belajar spiritual adalah dalam rangka semakin mendekatkan diri dengan Tuhan. Namun, begitu ia mengingatkan, bila dalam tahapan belajar yang melalui undag prakrthi (Tahapan Raja Yoga) yang memungkinkan penekunnya memiliki daya gaib, maka tak jarang mereka tergelincir di sana, terpikat dalam berbagai sensasi kesaktian, sehingga akhirnya berbeloklah tujuan dan perjalannya. Awalnya mau mendekatkan diri dengan Tuhan, namun dalam perjalanan tak jarang mereka menjadi perindu kesaktian gaib. Akan semakin repot bila Guru pembimbingnya tidak mampu mengarahkan, mengingatkan sisya-nya yang seperti itu.

Mereka yang terjebak dalam sensasi keajaiban ilmu gaib biasanya yang masih berada dalam tingkatan para bhakti, atau yang bhaktinya masih bermotif pada motif pribadi. Tetapi bila tahapan ini dapat dilewati dan sisya dapat mengarah pada tingkatan para bhakti atau cinta bhakti pada Tuhan tanpa pamrih dan harapan apa pun, maka saat itulah ia akan menyadari tidak pentingnya sensasi-sensasi supranatural itu. Untuk itu, sebelum belajar meditasi, atau yoga dan spiritual dengan berbagai teknik, maka umat perlu mengetahui tattwa terlebih dahulu, sehingga memimiliki pemahaman yang jelas. Menurut Tu Aji, pemahaman agama yang lemah inilah yang sering membuat umat tambah kacau, meskipun sudah melakukan berbagai praktik yang menurutnya dikatakan “Spiritual”.

“Dalam berbagai kasus yang tyang tangani, beberapa orang yang datang dengan kasus sakit penyakit maupun menyangkut kerukunan berumah tangga, kok sering dikatakan kalau problemnya itu dipicu oleh dewa-dewa tertentu. Entah mereka sebelumnya bertanya pada balian, dasaran dan orang pintar lainnya mengenai sakit penyakitnya. Celakanya, banyak oknum balian dan dasaran yang suka menunjuk dewa tertentu sebagai biang derita. Ini kan sudah salah pemahamannya,” ingat Tu Aji.

Masih dalam paparannya, dengan metode keliru yang diterapkan sejumlah balian dan dasaran seperti itu, maka Hindu di Bali bercitrakan kalau dewa-dewanya galak-galak dan pemarah. “Ini jelas salah, karena Ida Bhatara itu melindungi, namanya saja sudah Bhatara yang berarti pelindung,” tegas Tu Aji. Satu hal lagi yang andil besar memecah belah kerukunan krama Bali menurutnya adalah, judgment dari dasaran atau balian yang mengatakan kalau sakit seseorang merupakan serangan black magic dari si A atau si B. “Kalau memang fungsi kita sebagai penghusada, pengobat, maka tentunya balian, dasaran dan pengobat lainnya bertugas meringankan beban pasien, bukan menambahinya dengan beban dan teror psikologis seperti itu,” sarannya. Sebab dengan cara-cara demikian, bukan saja menambah derita si sakit karena dendam, sakit hati dan derita jiwa yang belum juga benar duduk persoalan yang dikatakan oleh oknum balian, namun metode seperti itu hanyalah memperkeruh kerukunan umat Hindu. Tu Aji meminta metode menunjuk-nunjuk seseorang sebagai penyebab suatu penyakit dihentikan, dan balian atau penghusada hendaknya berkonsentrasi mengobati penyakit pasien.

Hal inilah semakin mencemaskan di Bali, karena makin hari semakin banyak yang mengaku “Ngiringang pekayunan” Ida Bhatara, namun tingkat keharmonisan antarkrama Bali menjadi pertanyaan semakin serius. Fenomena lakunya perguruan ilmu gaib akan terus melonjak, jika sradha umat terhadap Ida Hyang Widhi terus merosot. Seperti yang dituturkan Tua Aji di akhir pembicaraan, bahwa ada orang padanya untuk meminta “Pirantai gaib” untuk jaga diri. Merespon permohonan itu Tu Aji menjawab, “Kenapa harus mencari penjaga diri lagi, kan sudah ada Ida Hyang Widhi yang mengayomi umatnya. Andai saja, Anda secara tulus berbhakti kepada Bhatara Hyang Guru di sanggah di rumah, maka ketenteraman Anda pasti terjamin,” sarannya pada orang pendamba jimat tersebut.
(Putrawan)

Selanjutnya......

ANTARA KESADARAN DENGAN KAWISESAN

Gede Agus Budi Adnyana


Perguruan kebatinan pada dasarnya dibentuk untuk olah batin itu sendiri, dan secara spesifik untuk menumbuhkan intuisi spiritual dan mengarah pada kesadaran jiwa dalam diri manusia. Sebab, jika intuisi manusia itu meningkat, maka untuk memahami hal-hal yang bersifat niskala, jauh lebih mudah. Olah batin itu sendiri sebenarnya untuk menumbuhkan pemahaman dan kekuatan dalam diri sendiri yang tentu saja bermanfaat bagi tubuh secara jasmani dan rohani. Tetapi, olah batin yang membutuhkan sebuah kedisiplinan spiritual, secara pasti akan mendatangkan efek samping berupa kekuatan yang kita sebut sebagai siddhi.
Kekuatan inilah yang merupakan kekuatan potensial yang dibangkitkan dalam diri yang dapat dipergunakan sesuka hati pemiliknya. Untuk sebab itulah, mengapa seorang yang memiliki kekuatan yang dihasilkan dari olah kebatinan, diperlukan pemahaman yang baik dengan menggunakan wiweka, agar kekuatan siddhi yang didapatkan, tidak disalahgunakan. Kekuatan ini dalam terminologi manusia Bali, disebut dengan ilmu kawisesan, dan ada banyak jenis ragamnya. Kemudian ini pun hanya dapat dipelajari dengan bantuan bimbingan guru, dan ini kita dapat temukan dalam perguruan kebatinan yang sekarang marak sekali.

Ada dua hal yang perlu kita sikapi dengan fenomena ini. Pertama adalah bahwa manusia kini sudah semakin sadar untuk menyelami kearifan nenek moyang kita, dengan mempelajari ilmu dan disiplin kebatinannya. Kemudian yang selanjutnya adalah untuk membangkitkan energi potensial itu agar berguna untuk hal apa saja, terumata yang paling kentara adalah untuk menjaga diri. Dari beberapa orang yang ditanya, mereka memberikan jawaban begini: (1) Seorang wirausahawan di pasar Gianyar, yang bernama Wayan Darmita, berumur 40 tahun yang sekarang masih berjualan dengan tekunnya, menyatakan bahwa dirinya mengikuti salah satu perguruan kebatian (untuk banyak alasan, nama perguruan itu dirahaiskan dalam tulisan ini).

Dia menyatakan bahwa mengikuti perguruan kebatinan untuk menjaga dirinya sendiri dari serangan gaib yang sewaktu-waktu dapat mengancam keselamatannya, baik dalam usaha ataupun dalam keluarga dan rumahnya. Ini dapat kita mengerti, sebab apa, mengingat kehidupan manusia terumata di Bali, kental dengan hal-hal berbau black magic: leak, cetik, teluh terangjana dan lain sebagainya. Tentu saja, ada sedikit rasa takut dengan hal semacam itu. Yakin dan tidak, itulah Bali. Bahkan ada juga persaingan yang sudah menjadi sebuah rahasia umum, dimana menggunakan banyak hal-hal gaib. Kita manusia Bali, kalau melihat saudaranya sukses berdagang, maka pastilah dagangannya di beri tetaneman, alias ranjau gaib, dan efek dari itu sangat berbahaya. Demikian terang Bapak Wayan ini, yang mengaku, dulunya pernah kena serangan gaib, dan sembuh karena mengikuti sadhana perguruan kebatinan.

(2) Informan kedua, seorang Tukang Ojek, yang bernama Pan Suta, yang sering mangkal di seputaran peteluan Gianyar, Klungkung dan Bangli, mengaku mengikuti perguruan kebatinan karena rasa jengahnya terhadap keadaan keluarga. Ia mengaku, dulu keluarganya sering mendapatkan hal-hal aneh, ular besar menyala pernah berada di halaman rumah, kemudian sakit kepala setiap hari kajeng kliwon dan galang tegeh. Kemudian suatu ketika, saka bale dangin-nya roboh tanpa sebab yang jelas. Setelah itulah dia kemudian mengikuti salah satu aliran kebatinan (Olah kanuragan) yang menyembuhkan semua penyakitnya, dan dari sana dia sudah mampu melindungi keluarganya dari gangguan gaib.

Pada intinya, kebatinan adalah olah batin, yang tentu saja bukan hanya energi dalam diri yang dibangkitkan, tetapi juga menarik energi alam semesta untuk masuk dan menjadi menyatu dalam diri sendiri. Jangankan kita manusia Bali, yang memang kekuatan alamnya sangat aneh dan besar, yang bahkan Ida Resi Markandeya pun harus tiga kali melakukan eskpedisi hingga mendapatkan panugrahan dari Ida Bhatara Hyang Tohlangkir. Betapa perkasanya kekuatan alam Bali. Seorang yogi berasal dari India pernah mengunjungi Bali, bernama A.B. Parimal Sharma. Ketika dirinya masuk dalam sebuah perguruan kebatinan tradisional Bali, dia sudah dikepung dengan kekuatan yang beragam. Dia sendiri menyatakan bahwa orang Bali kuat dan perkasa serta sakti-sakti.

Kekuatan yang mengepung dirinya adalah kekuatan yang berasal dari disiplinnya manusia yang berada di sana. Bukan berarti kekuatan ini buruk, bahkan sangat baik jika diolah. Inilah alasan mengapa seorang resi dapat bergetar ketika melihat seorang ahli tenaga dalam jika berhadapan. Yang perlu diperhatikan adalah ketika menyelami kebatinan atau olah batin ini, harus dilandasi dengan beberapa hal. Yakni dijalankan dengan orientasi melestarikan warisan leluhur dalam bentuk ilmu kawisesan. Kemudian yang ke dua adalah sebagai olah batin untuk menumbuhkan kesadaran dalam diri sendiri. Yag ketiga adalah sebagai tempat menyelami kekuatan yang mengarah pada intuisi untuk memahami Tuhan.

Inilah alasan sebelum belajar olah batin, maka seseorang harus mengetahui secara ontology, epistemology, dan aksiologinya. Apa olah batin itu, kemudian bagaimana olah batin itu, dan yang terakhir untuk apa dan bagaimana cara mengaplikasikannya agar bermanfaat bagi diri sendiri dan juga masyarakat. Sebab kurang tepat juga jika kita membiarkan kekuatan dalam diri ini tidak diolah dan dipergunakan dengan baik. Difinisi secara mendalam tentang kebatinan harus diberikan kepada orang yang akan belajar disiplin ilmu tersebut. Agar tidak kehilangan arah dan tujuan yang sudah digariskan sebagai mana mestinya.

Leluhur kita di dalam kitab nagarakertagama mengatakan, bahwa kebatinan itu ditujukan untuk mengayomi masyarakat dan melindungi negara. Itulah alasan mengapa aparatur negara dan yang menjalankan pemerintahan mereka ditempa oleh guru yang mahir dalam ilmu kanuragan. Kemudian setelah mengetahui hal tersebut, maka bagaimana ilmu itu berperan dalam diri sendiri, masyarakat dan juga untuk meningkatkan kesadaran kita. Hal inilah yang mesti juga diperhatikan. Setelah itu barulah untuk apa dan di mana ilmu itu dipergunakan secara praktis, agar memang benar-benar berguna. Seorang ahli kebatinan tidak akan memperlihatkan ke-siddhian-nya dengan sembarangan. Lebih banyak diam, dan menyatakan bahwa dirinya sebenarnya tidak tahu apa-apa.

Kitab kakawin Sumanasantaka sendiri menyatakan, seseorang yang mahir dalam kadyatmikan, akan berada dalam posisi seperti teratai yang mekar di malam hari. Tidak perlu dipertontonkan di hadapan masyarakat banyak. Cukup menjadi sebuah benteng diri sendiri, tetapi ketika masyarakat memerlukan kekuatan itu, maka dia hadir sebagai penolong yang tanpa pamrih. Jadi hilangkanlah paradigma, bahwa ketika kita belajar ilmu kadyatmikan, kita akan mahir dalam merubah wujud kita, maya-maya yang menghilang dengan segera sesuka hati kita kemudian mempergunakan ilmu itu untuk hal-hal yang tidak baik.

Hilangkan juga paradigma yang miring, bahwa orang yang belajar kadyatmikan, adalah orang yang bisa ngendih dan nyakitin timpal. Paradigma yang benar, adalah kadyatmikan untuk menumbuhkan kesadaran spiritual dalam diri melalui sebuah olah batin yang dibimbing oleh guru yang mumpuni.

Selanjutnya......

Banyak Motif Ikut Belajar Spiritual

I Wayan Miasa

Manusia di muka bumi ini memiliki agama dan kepercayaan yang beragam. Begitu juga tentang kegiatan keagamaan yang dilaksanakan hampir tiada hentinya. Apalagi kita di Bali, yang terkenal dengan Hindu walinya, kita melakukan banyak kegiatan ritual hampir setiap hari, baik untuk para bhutakala, manusia, dan lain sebagainya. Bahkan di Bali hampir segala aktivitas yang mereka lakukan dihubungkan dengan agama, misalnya saja saat ada lomba melayangan. Sebelum layangan tersebut dilombakan, maka layangan tersebut diupacarai. Berbagai alasan pun diungkapkan sebagai pembenar upacara pemlaspasan layangan tersebut. Hal ini akan sedikit berbeda bila layangan itu tidak dilombakan, tidak ada upacara khusus yang dilaksanakan, tidak ada argument tentang mensucikan bahan layangan, tidak ada alasan agar rare angon mau berstana di layangan, dan sebagainya.
Di masyarakat kita, khususnya di Bali, ada suatu fenomena yang sedang berkembang. Walaupun ada begitu banyak kegiatan ritual yang berhubungan dengan agama telah dilaksanakan, namun tidak disangkal lagi, bahwa di pulau ini ada banyak warga kita yang juga tertarik mengikuti kegiatan spiritual dengan berbagai jenisnya, misalnya ada yang ikut Kriya Yoga yang dipopulerkan oleh Paramahamsa Yoga Nanda, Art of Livingnya Shri Shri Ravi Sankar, Sai Baba, Hare Krishna, dan lain sebagainya. Selain praktek spiritual yang berasal dari negeri Bharata tersebut ada juga perguruan-perguruan spiritual yang berasal dari Nusantara ini, misalnya Ratu Bagus, Sapta Dharma, Bambu Kuning, Seruling Dewata, serta yang lainnya.

Melihat begitu banyaknya perguruan spiritual yang berkembang di Bali, timbul suatu pertanyaan, mengapa masyarakat kita mengikuti kegiatan spiritual lagi, padahal mereka sudah memiliki agama, untuk apa mereka mengikuti kegiatan tersebut? Adakah sesuatu yang salah pada tatanan beragama kita di Bali, sehingga warga kita harus mencari sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan rohaninya.

Menurut beberapa orang yang penulis tanyai, mengapa warga kita “ekstra” mencari kegiatan spiritual, ternyata ada berbagai alasan yang mereka ungkapkan. Dari jawaban yang diungkapkan oleh mereka itu, terungkap bahwa ada berbagai alasan mengapa warga mengikuti kegiatan spiritual tersebut. Misalnya, ada masyarakat yang mengikuti kegiatan perguruan itu karena ingin mencapai kesembuhan setelah lama menderita suatu penyakit. Mereka mengatakan bahwa dengan mengikuti methode yang diajarkan di padepokan itu, mereka berharap bahwa mereka bisa tersembuhkan dari penyakit yang dideritanya.

Ada juga warga kita yang ikut kegiatan di suatu kelompok/perguruan karena ingin mendapatkan “kesaktian” seperti kebal terhadap senjata tajam, disegani oleh banyak orang, dan lainnya. Menurut penuturan pini sepuh perguruan tersebut, bahwa dengan mengikuti kegiatan di perguruannya, maka dalam waktu tertentu para pengikutnya akan mendapatkan suatu ilmu yang bisa dipakai untuk menjaga dirinya dan bisa digunakan untuk menolong orang lain. Bahkan katanya, bila para muridnya bisa menguasai ilmu tersebut dengan baik, mereka akan bisa minum air aki dan mereka tidak akan keracunan, dan lain sebagainya.

Selain itu ada juga warga yang mengikuti kegiatan olah rohani karena mereka ingin mendapatkan pembebasan kelak setelah mereka meninggal nanti. Mereka percaya bahwa dengan mengikuti prinsip-prinsip yang diterapkan di padepokan tersebut mereka akan segera diselamatkan dari siklus kelahiran dan kematian dan tinggal di dunia yang abadi tanpa ada lagi penderitaan. Menurut warga yang mengikuti perguruan ini, mereka percaya akan terbebaskan dari segala reaksi dosa dengan jalan mengikuti cara yang dianjurkan oleh yang memiliki otoritas. Menurutnya, mereka mengikuti kegiatan itu karena percaya, bahwa ada banyak cara mencapai Tuhan, namun jalan yang diajarkan di pesramannya adalah jalan yang sesuai di jaman kali ini. Mereka cukup mengucapkan nama suci Tuhan berkali-kali dan tak perlu lagi membuat upacara yang ruwet dengan berbagai jenis prasarana upacaranya. Mereka cukup mengikuti aturan yang ada di perguruan tersebut, misalnya hidup vegetarian, tidak berspekulasi, tanpa mengkonsumsi bahan-bahan yang membuat ketergantungan dan tidak selingkuh dan inilah cara istant (prejani) mencapai Tuhan.

Belajar dari Paramahamsa Yogananda
Menurut pengalaman yang dilakukan oleh guru-guru spiritual yang telah mendunia seperti Osho, Shri Aurobindo, Ramana Maharsi, Paramahamsa Yogananda, Srila Parbhupada, Sai Baba, Sri Sri Ravi Sankar, dan yang lainnya, bahwa perjalanan spiritual tersebut seharusnya dilakuan berdasarkan kesadaran dan melalui proses pencarian berlangsung lama dalam proses yang panjang sampai orang itu menemukan pilihannya, misalnya Paramahamsa Yogananda. Dalam pencarian perjalanan spiritualnya Beliau berpetualang dari pesraman ke pesraman yang lainnya dan Beliau bertemu dengan berbagai guru spiritual dengan berbagai keahliannya. Misalnya beliau bertemu dengan Swami Pranabananda (guru spiritual yang bisa memperbanyak dirinya menjadi dua), bertemu dengan Sohong, guru yang bisa menaklukan macan, juga bertemu guru yang bisa melayang di udara, yaitu Nagendra Nath Bhaduri. Begitu juga Paramahamsa bertemu guru yang bisa mengeluarkan bau wangi dari tubuhnya dan lain sebagainya. Dari perjalanan mencari guru spiritual tersebut Paramahamsa akhirnya bertemu dengan guru yang cocok dengan suasana hatinya dan Paramahamsa Yogananda mendapatkan suatu karunia, yaitu kemampuan mempraktekkan Kriya Yoga secara baik. Dengan kemampuan Kriya Yoganya, saat kematiannya tubuhnya tidak kaku dan membusuk selama berminggu-minggu.

Hal lain ditunjukkan oleh Srila Prabhupada, dimana Beliau mendapatkan perintah dari guru kerohanian beliau untuk menyebarkan ajaran kesadaran terhadap Tuhan atau apa yang dikenal dengan Hare Kṛṣṇa keseluruh dunia. Dalam usia yang sudah mendekati umur tujuh puluhan beliau melaksanakan perintah gurunya dan mampu melaksanakanperintah tersebut dengan baik, sehingga sekarang hampi di setiap Negara ada gerakan ini.

Dari contoh yang dilakukan oleh para praktisi spiritual yang telah mendunia tersebut kita bisa belajar bahwa kegiatan spiritual itu hendaknya dilakukan atas dasar kesadaran yang tinggi dengan melalui proses yang panjang. Spiritual adalah suatu kegiatan yang tidak harus dipertontonkan kepada umum, namun suatu kegiatan pencarian jati diri untukmencapai kedamaian dan mengisi kekosongan rohani.

Hafal Sloka Suci, tapi Etika Konyol
Namun tak jarang dalam kegiatan spiritual terjadi suatu kontradiksi dalam kehidupan masyarakat kita. Misalnya ketika orang mengikuti kegiatan spiritual dengan tujual akan kebal, anti senjata, dan lain sebagainya. Bila tujuan semacam ini telah tercapai, biasanya orang yang memiliki kemampuan seperti ini cenderung menyimpang dari tujuan semula. Saat dia ikut kegiatan itu pertama kalinya, dia ingin melindungi dirinya, membantu orang lain dan seterusnya. Namun karena merasa sudah menjadi jagoan maka dia lupa tujuan sebenarnya untuk spiritual. Dari tujuan bhakti menjadi mencari sidhi atau kesaktian.

Begitu pula bila kegiatan spiritual yang dilakukan karena frustrasi, kegagalan ekonomi, ingin cepat mendapatkan kebebasan dan lain sebagainya, maka ada suatu kecenderungan bagi para pelaku kegiatan berspiritual semacam ini dimana mereka lebih banyak terpaku pada sloka-sloka yang ada dalam buku suci tanpa melakukan suatu tindakan yang nyata. Mereka ini sering mengumbar sloka atau tattwa yang dikuasai, namun sayangnya dalam pelaksanaannya hampir nol besar. Misalnya di dalam ajaran spiritual itu kita hendaknya terbebas dari laba, puja, pratista. Namun apa yang terjadi, setiap apa yang dilakukannya harus mendapatkan pujian, sanjungan, gila hormat dan sebagainya. Mereka beranggapan bahwa tanpa kehadirannya, suatu kegiatan tak akan sukses, tak akan meriah dan lain sebaginya. Seharusnya kalau mereka benar-benar melaksanakan ajaran kerendahan hati, toleran terhadap semua makhluk, maka tak akan terjadi ada perasaan tinggi hati dan mereka akan tahu kedudukannya dengan baik.

Kegiatan spiritual yang cuma mengedepankan penampilan luar seperti cara berpakaian, tattwa tanpa disertai pembangunan etika, cenderung menghasilkan orang-orang yang cuma pandai berceloteh seperti tape recorder, tanpa tindakan nyata. Hal ini akan sangat berbahaya bila mereka suatu saat menjadi tukang kritik kehidupan sosial di masyarakat. Dan lebih berbahaya lagi bila sikap fanatiknya berlebihan dan menganggap warga lain lebih rendah derajatnya di hadapan Tuhan daripada mereka yang mengikuti kegiatan spiritual itu.

Mengikuti kegiatan spiritual seharusnya dilakukan dengan kesadaran penuh dan jangan terpaku pada hasil akhir yang ingin diperoleh. Kegiatan spiritual adalah kegiatan yang memerlukan ketekunan, ketabahan, kepasrahan diri. Bila tujuan spiritual untuk mencapai kesembuhan, kesukseksan dan lain sebagainya, hendaknya usaha spiritual itu disertai tindakan nyata. Bukan sekedar berkhayal dan terpaku pada ajaran-ajaran kerohanian saja, sebab ajaran apa pun yang kita ikuti bila ajaran tersebut tidak diikuti dengan tindakan nyata, maka ajaran tersebut akan menjadi racun bagi diri kita sendiri dan kadang bisa menjadi bumerang bagi kita.

Paramahamsa Yogananda pernah mendapatkan contoh nyata dari guru spiritual beliau, yang mana beliau saat itu diberi obat untuk menyembuhkan suatu penyakit. Guru Beliau berpesan padanya bahwa benda yang diberikan tersebut cuma alat untuk menyembuhkan dan kesembuhan tersebut datang dari Tuhan. Pesan ini ditegaskan kepada Paramahamsa Yogananda, karena ada banyak yang beranggapan bahwa benda yang diberikan kepada Paramahamsa Yogananda itu bisa ditemukan dengan mudah di sekitar kita dan orang mengira bahwa benda yang sama seperti itu memiliki khasiat yang sama untuk semua.

Dari penegasan yang disampaikan oleh guru spiritual Paramahamsa Yogananda itu, kita seharusnya belajar spiritual itu tidak terpaku pada keadaan nyata, baik berupa benda, buku-buku, namun lebih menekankan implementasinya dalam kehidupan nyata kita. Artinya yang perlu diingat adalah mengejewantahkan ajaran tersebut ke dalam kehidupan nyata kita. Kegiatan spiritual yang dilakukan tanpa implementasikan akan membuat kita menjadi seorang penghafal.

Selanjutnya......

Dharma Manusia

A.A. Gede Raka

Dharma manusia berbeda dengan dharmanya binatang.Tetapi manusia tidak bisa membedakan antara keduanya. Dharma manusia adalah untuk menegakkan asas-asas dari kebenaran, tanpa kekerasan dan kasih sayang. Manusia tidak akan bisa mendapatkan kedamaian dan rasa aman selama ia tidak membuang sifat kebinatangannya. Makan, tidur, merasa takut, dan menghasilkan melahirkan anak adalah hal yang wajar bagi manusia dan binatang. Lalu, apakah dharmanya manusia?

Berfikir bahwa kita adalah umat manusia hanyalah setengan bagian dari kebenaran. Bagian yang lain dari kebenaran terletak pada pemahaman manusia bahwa diri kita bukanlah binatang. Kita harus terus mengingatkan diri sendiri bahwa kita adalah manusia, bukan binatang. Jangan pernah berhenti pada tahap ini. Selidiki lebih lanjut pada tahapan kehidupan yang mana kita berada saat ini, apakah kita sedang menjalani kehidupan seorang Brahmachari, Grihastha, Vanaprastha atau Sanyasin (membujang, berumah tangga, pertapa atau melepaskan diri dari keduniawian). Ikuti dan jalankan dharma sesuai dengan tahapan kehidupan kita masing-masing.

Bila kita membujang, tidak boleh mengikuti dharma orang yang berumah tangga. Akan ada penurunan dalam moral yang akan meningkatkan masalah dan kekacauan apabila manusia tidak mampu melaksanakan dharma yang sesuai dengan tahap kehidupannya.

Manusia sekarang ini tidak mampu memahami dasar dari dharma yang berhubungan dengan masing-masing dari keempat tahapan kehidupan tersebut. Manusia seharusnya tidak membuat kesalahan dengan berpikir, bahwa dharma adalah sama bagi semua orang tanpa mempedulikan tahapan kehidupan mereka. Penyebab dari adharma sekarang ini adalah karena manusia mencoba mengikuti dharma yang tidak sesuai dengan umur atau tahapan kehidupannya. Masing-masing harus mengikutinya dengan tegas Dharma yang sesuai dengan usia dan tahapan kehidupan mereka.

Dharma manusia terdiri dari tiga lipatan. Itu berhubungan dengan tubuh, pikiran, dan Atma-nya. Perbuatan baik, pikiran baik, dan kebahagiaan yang didapatkan karena keperayaan akan Tuhan yang merupakan ekspresi dari tiga lipatan dharma ini. Merujuk pada cahaya yang menerangi ketiga dunia harus dipahami dengan cara ini.

Sama seperti tujuh warna yang terdapat dalam sinar matahari, ada tujuh segi dari dharma. Ini adalah kejujuran, karakter yang baik, perbuatan yang benar, penguasaan indera, penebusan dosa, penolakan akan hal-hal keduniawian, dan tanpa kekerasan. Semua ini segi dari dharma ini telah diletakkan sebagai pelindung individu dan bagi seluruh masyarakat. Ketujuh segi dharma ini telah hadir sejak zaman kuno apakah itu zaman Krita,Tretha, Dwapara, dan Kali Yuga. Akan tetapi, masing-masing zaman atau yuga memiliki praktik yang paling sesuai dengan zaman tersebut. Sebagai contoh, dalam Krita Yuga pelaksanaan spiritual yang paling tepat adalah meditasi; dalam Tretha Yuga pelaksanaannya adalah Yadnya atau pengorbanan; dalam Dwapara Yuga pelaksanaannya adalah upacara pemujaan; dan dalam zaman Kali Yuga ini yang paling tepat adalah pengulangan dari nama-nama suci Tuhan. Dalam zaman Krita juga terdapat pengaruh Kali, jadi dalam zaman Kali ini juga terdapat pengaruh dari Krita, begitu juga zaman-zaman yang lain. Jadi, dalam zaman Kali ini ada orang-orang yang melakukan meditasi, ada orang yang melakukan penebusan dosa, dan ada orang yang melakukan upacara pemujaan. Begitu juga dalam zaman Krita ada orang yang mengumandangkan nama Tuhan.Tetapi pelaksanaan dasar tergantung pada karakter umum dan suasana pada masa itu.

Apakah dharma dari manusia? Derma semata tidak mewakilkan dharma. Derma sedikit berbeda dengan dharma (kebenaran).Tindakan keduniawian yang bersifat sementara tidak bisa disamakan dengan dharma.Dharma dalam pengertian yang sebenarnya merujuk pada sesuatu,yang abadi. Atma Dharma (dharma dari jiwa) melampaui semua tindakan keduniawian. Semua orang harus mengingat asalnya. Ikan lahir di air. Itu tidak bisa bertahan bahkan untuk sekejap tanpa air. Itu hanya akan merasa bahagia bila ia ada di dalam air, tempat asalnya. Apakah sumber asal dari manusia? Manusia merupakan percikan dari Tuhan. Ia berasal dari asas Atma. Lahir dari Atma, manusia harus selalu merenungkan Atma. Jadi, jangan pernah melupakan Atma, sumber asal kita. Percaya pada Atma. Perlakukan Atma sebagai dasar dari hidup .Ini adalah dharma yang harus diikuti oleh manusia. Manusia bisa saja mendapatkan kekuasaan, kekayaan, dan kemakmuran, tetapi tidak satu pun dari mereka yang bisa melindungi dirinya sendiri. Hanya keyakinan pada diri yang bisa menyelamatkan hidup kita masing-masing.
Apakah dharma dari manusia? Sebuah kehidupan pengorbanan yang berdasarkan pada moralitas integritas adalah dharma dari manusia. Bagaimana caranya dharma dilaksanakan? Melalui kemurnian pikiran, perkataan dan perbuatan (Trikarana Suddhi).Umat manusia didasarkan pada harmoni dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Sekarang ini karena tidak ada kesatuan dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan di antara manusia, dharma (kebenaran) telah menghilang. Sebagai hasilnya,sains (vijnana) telah kehilangan bentuk aslinya. Kesejahteraan dan kemakmuran bangsa telah dihacurkan. Rasa aman telah menjadi suatu hal yang langka.Moralitas dan integritas telah menghilang. Pemujaan atas dewa kekayaan menduduki tempat yang paling tinggi. Dalam pengejaran kekayaan yang tidak waras ini, manusia kehilangan moralitas dan integritas mereka. Uang yang didapatkan dengan jalan yang tidak jujur tidak akan memiliki arti apa pun.

Menimbun kekayaan tidak akan memiliki faedah. Kekayaan yang didapat dengan cara yang tidak halal, bukanlah milik kita. Ada empat elemen ketamakan yang menunggu untuk mendapatkan kekayaan tersebut.Yang pertama adalah pemerintah. Atas nama pajak dan hukum, pemerintah akan merampas timbunan harta tersebut.Yang kedua adalah api; dengan satu cara atau yang lainnya, api akan menjangkau kekayaan yang didapat dengan cara yang tidak jujur tersebut dan menghancurkannya.Yang ketiga adalah pencuri.Para pencuri akan mengincar harta yang disembunyikan. Mereka akan berusaha mencurinya.Yang keempat adalah penyakit.

Untuk mencabut seseorang dari uang didapatkannya, penyakit membekapnya dan membuatnya menghabiskan uangnya untuk biaya pengobatan. Orang kikir, yang bahkan tidak akan memberikan satu sen pun untuk pengemis, akan mengeluarkan uang untuk dokter dan obat dalam jumlah yang tidak terhitung banyaknya.Ini adalah cara-cara uang yang didapatkan dengan cara tidak jujur akan diambil.

Oleh karena itu, siswa dan pemuda yang merupakan harapan bangsa pada masa depan, harus berusaha dengan keras untuk menghindari mendapatkan uang dengan cara yang tidak jujur. Sebaliknya mereka harus meningkatkan moralitas dan integritas dalam kehidupan professional dan menegakkan dharma melalui kasih dan kejujuran dan melayani bangsa. Hanya dengan cara ini bangsa bisa mengembalikan kehebatan dan keagungannya. Merupakan suatu hal yang mustahil bila seseorang ingin menghapus kebenaran dasar yang tertanam dalam kebudayaan dan tradisi para leluhur.

Selanjutnya......

Pentas Calonarang Bebrak Berlin, Jerman

Pementasan drama tari ‘Calon Arang’ yang ditampilkan mahasiswa dari Universitas Hindu Indonesia berhasil memukau ribuan masyarakat Jerman di Taman Dunia atau Garten der Welt Marzan, Berlin. Dinginnya udara Berlin yang hanya sekitar 12 derajat Celsius tidak menyurutkan minat warga Jerman untuk menyaksikan ‘Calon Arang’, kata Sekretaris III-Penerangan, Sosial dan Budaya KBRI Berlin Purno Widodo kepada ANTARA London, Selasa, 7 Mei 2012 silam. Dikatakannya dalam cuaca mendung tersebut tidak kurang dari seribu orang berdesakan ingin melihat dari posisi terdepan menyaksikan jalinan cerita dalam suatu dialog dan gerakan tari memikat diiringi gamelan Bali yang dinamis nan mistis
Tabuhan gamelan Bali yang memang menghentak dan terdengar seperti sensasi magis, ditambah wangi dupa dan taburan bunga-bunga sesaji menambah semarak acara Balinese Temple Fest yang diusung Perhimpunan Masyarakat Hindu Indonesia di Berlin. Nyama Braya Berlin bekerjasama dengan pihak pengelola Taman Dunia Berlin serta didukung Kedutaan Besar Indonesia di Berlin serta Kementerian Agama RI yang mendatangkan 61 Mahasiswa Universitas Hindu Indonesia untuk menunjukkan keelokan dan keagungan budaya Bali kepada masyarakat Jerman.
Purno Widodo mengatakan pentas Drama Tari Calon Arang merupakan sajian pamungkas dari acara Balinese Temple Fest yang diselenggarakan di Taman tersebut. Sebelumnya berbagai tarian Bali seperti tari Kebyar Duduk, Jauk Manis hingga Legong Keraton dipertunjukkan dan mendapat sambutan meriah dari pengunjung taman. Dua hari sebelumnya berbagai tarian tersebut juga dipentaskan di Museum Etnologi Berlin.
Dubes RI untuk Republik Federal Jerman dalam sambutannya yang dibacakan Kuasa Usaha ad Interim Diah Rubianto menyambut baik acara yang bukan hanya dinilai sebagai pertunjukan budaya, tetapi juga merupakan bagian dari diplomasi guna memperkokoh pondasi persahabatan dua masyarakat yang berbeda latar belakang budaya tersebut. Tepat 60 tahun yang lalu Indonesia dan Jerman secara resmi mengikat diri memasuki babak baru dalam satu hubungan diplomatik dan membangun jembatan untuk mempromosikan rasa saling pengertian dan mengembangkan semangat kerja sama. ”Saya merasa sangat senang bahwa berbagai upaya tersebut membuahkan hasil dengan dilangsungkannya acara budaya seperti yang disaksikan hari ini,” kata Dubes Pratomo.

Selanjutnya......

Apakah Ilmu Gaib Sama Dengan Spiritual?

I Ketut Sandika


Kemunculan banyaknya perguruan di Bali yang mengikrarkan dirinya sebagai perguruan yang ahli dalam kekuatan gaib menjadi hal yang menarik diwacanakan. Kemunculan perguruan ini berlatar belakang dari kehausan manusia akan sensasi dari sebuah kekuatan yang ada di luar diri. Keingintahuan manusia sesungguhnya sebagai daya pendorong yang kuat untuk manusia berkeinginan mengenal, mengetahui bahkan merasakan daya kekuatan itu yang sering kita sebut kekuatan gaib. Menjelaskan tentang terminologi “gaib”, sangat susah kita mendefinisikannya sebab gaib merupakan sesuatu yang undefinitely (tak terdefinisikan).
Mengingat susahnya menterminologikan kata gaib, maka banyak orang yang salah kaprah memahami kekuatan gaib itu. Sehingga terkadang kekuatan gaib diidentikkan dengan kedigjayaan, kawisesan dan celakanya memiliki kekuatan dan sekaligus mengenal dunia gaib, seseorang sudah merasa sakti. Kesaktian selalu diidentikkan pula dengan kawisesan, sehingga dengan kekuatan itu seseorang dapat mengungguli lawan dalam segala hal. Hal yang demikian menyebabkan banyak masyarakat yang mendalami ilmu gaib sekaligus menenggelamkan dirinya dalam dunia gaib hanya untuk tujuan dengan kualitas yang rendah. Menjamurnya perguruan yang berbau gaib di Bali tidak lepas juga dari pemahaman tentang kekutan gaib yang keliru.
Advaita Vedanta (filsafan non dualisme) berpandangan bahwa gaib adalah kekuatan kreasi dari Brahman yang menutupi seluruh jagat raya ini. Kekuatan ini dipersonifikasikan sebagai sakti dari Brahman yang menutupi kesejatian dari semuanya. Vedanta lebih mendekatkan pada pemahaman, bahwa gaib lebih dekat dengan maya. Demikian hebatnya kekuatan gaib, sehingga menutupi realitas sejati dari semuanya ini. Kekuatan gaib ini pulalah menyebabkan ilusi semesta beserta isinya, sehingga munculnya sekat dan pembatas esensi dari realitas duniawi. Dan materi terbentuk dari tumpangan fenomena yang berulang-ulang, dimana materi itu sesungguhnya adalah “sama” secara esensi. Yang Menyebabkan materi itu berbeda akibat dari kekuatan gaib yang menutupi segala substansi material. Sama halnya ketika kita melihat ular pada seutas tali pada senja hari. Seutas tali kita kira ular akibat dari pengulangan tumpangan fenomena, yang dikelirukan oleh kekuatan gaib tersebut.

Kekuatan tersebut adalah kekuatan yang nyata dalam ketaknyataan, sama ketika melihat fatamorgana di gurun pasir. Kekuatan itu akan menjadi daya pencerahan, jika kita memahami dengan baik apa yang eksis dan non eksis di dunia ini. Di Bali kekuatan gaib diidentikan dengan dimensi dunia niskala, suatu dimensi alam yang tak terlihat tetapi diyakini ada. Sesungguhnya konsep tersebut sejalan dengan filsafat advaita di dalam memahami realitas yang dapat dilihat dari dua sudut pandang, yakni yang tanpa bentuk dan berbentuk. Yang berbentuk ini adalah tidak nyata, sebab nantinya akan kembali kepada tidak berbentuk, dan tak berbentuk itulah sesugguhnya tetap eksis. Namun orang Bali masih rancu memahami dimensi ruang niskala dan niskala masih dipahami dalam perspektif kaca mata klenik, sehingga hal yang niskala atau gaib menjadi sangat dekat dengan hal-hal yang berbau mistis.

Sesungguhnya mempelajari ilmu gaib atau hal-hal yang bersifat mistikisme secara fundamental adalah untuk mengetahui yang benar-benar nyata di balik ketaknyataan ini. Melalui laboratorium diri, seseorang hendaknya menyelami, mengerti dan memahami bahwa fenomena duniawi yang dapat kita indra melalui pengindraan ini adalah bersifat sementara. Bukan sebaliknya belajar ilmu gaib justru pohon keegoan tumbuh subur dalam diri. Kawisesan yang didapat dalam mempelajari ilmu gaib adalah efek rendah yang akan menghambat seseorang untuk mendapatkan pencerahan rohani. Seseorang yang terbuai dalam kekuatan itu justru akan menjadi terikat oleh kekuatan gaib tersebut, sehingga segala sesuatu selalu diidentikkan dengan kekuatan gaib. Sakit karena tidak bisa menjaga dengan baik kesehatan diri, dikatakan “kesalahang niskala” (dihukum dunia niskala).

Kekuatan gaib sebagai kreasi Brahman inilah yang harus dapat disingkap untuk menemukan yang benar-benar nyata di balik delusi dan melepaskan diri dari keterikatan. Penyingkapan inilah yang hendaknya dituju bagi para penekun ilmu gaib, sehingga pada akhirnya akan sampai pada pemahaman yang benar. Pengkeliruan pemahaman terhadap kekuatan gaib justru akan menjadi racun yang mematikan bagi pohon kesadaran. Kekutan gaib yang nirbatas ini dapat dijadikan alat untuk menyingkap delusi yang menutup Sang Diri sejati. Keluarkanlah duri yang ada dalam tubuh menggunakan duri yang sama, demikian pula di dalam menyingkap kerudung gaib yang menyebabkan kita terbelenggu, kekuatan gaib inilah adalah sarana yang tepat.

Mendalami dan mengenal kekuatan gaib untuk pencapaian kualitas diri yang lebih baik itulah spiritual. Demikian pula, mendalami kekuatan gaib untuk penyadaran akan Sang Diri sejati itulah yang disebut spiritualis. Tidak serta merta orang belajar ilmu gaib dapat dikatakan spiritualis, jika masih dalam dirinya ada motif akan uang, kemasyuran, kesaktian, kekebalan, anti senjata, anti ilmu hitam, anti santet dan sejenisnya. Kesidhian (kekuatan) yang didapat dari menekuni ilmu gaib sesungguhnya adalah penghambat seseorang untuk mencapai kesadaran, dan kesidhian itu hanyalah bagian terkecil dari efek kekuatan gaib. Sedangkan bagian yang terbesar dari kekuatan itu adalah ketika kekuatan gaib itu mampu melenyapkan kebodohan (avidya), sehingga akan muncul kesadaran kosmis.

Selanjutnya......

Keberadaan Perguruan Gaib dan Pencarian Ilmu

I Nyoman Tika

Kehidupan beragama Hindu dengan fenomena sosialnya, memang perlu dicermati seiring perkembangan jaman. Tujuannya adalah untuk membantu memberikan prediksi dalam hal penerapan model pembinaan umat Hindu di masa yang akan datang. Kajian saat ini yang hangat adalah menjamurnya perguruan gaib di Indonesia, khususnya di Bali, bak jamur di musim hujan. Apakah yang salah dengan fenomen ini? Benarkah tidak ada masalah? Apakah fenomena ini dapat membantu menguatkan srada dan bhakti kepada Hyang Widhi? Atau malah sebaliknya dapat mengendurkan semangat yadnya masyarakat Hindu, dan menjadi makhluk apatis, kondisi ini sungguh sangat berbahaya. Masih perlu dikaji secara mendalam, paling tidak menjamur perguruan gaib di Bali memendam potensi konflik, sehingga harus ada aksi perekayasaan kultur bagi masyarakat. Jika tidak dicermati dengan matang, alih-alih mendapatkan pencerahan justru dapat menjadi lahan empuk missionaris untuk menggarap umat Hindu, dengan segala macam dalih.
Dalam koridor pembinaan umat, apakah yang menjadi akar penyebab maraknya perguruan gaib di Bali? Paling tidak ada beberapa yang menjadi penyebab, yaitu, (1) dangkalnya pemahaman umat Hindu terhadap aspek ketuhanan dalam kitab suci Wedha, (2) tingkat kompleks kekhawatiran yang berlebihan dari masyarakat Hindu di Bali, karena serbuan pendatang, yang membuat kehidupan tidak berjalan normal, dengan persaingan yang sangat panjang antara pendatang dengan penduduk lokal. (3) Masyarakat Bali sudah tidak percaya lagi dengan peradaban modern yang selalu menginduk ke Barat, (4) Hindu di Bali sudah kehilangan figur kepemimpinan yang mumpuni. Pemimpin agama, birokrasi dan dalam segala aspek bidang belum menunjukkan kebijaksanaan, semua bertopeng, dangkal, dan berlagak seperti “Pedanda Baka, hanya mengisap ‘darah rakyat’ demi uang. Lalu apa solusi yang perlu disodorkan untuk mengatasi itu.

Pertama, penguatan terhadap pengkajian kitab suci dengan segala tafsir kekinian perlu dilakukan dengan segera. Kondisi ini untuk menjawab bahwa Bali yang sangat toleran dengan hal-hal gaib, dengan mudah menerima kondisi itu terjadi. Kultur Hindu yang mentoleransi akulturasi budaya animisme dan dinamisme seakan mendapat tempat di Bali. Artinya masyarakat Hindu belum sepenuhnya menguasai kitab suci Weda. Nalarnya masih dipengaruhi oleh pola-pola keyakinan animisme dan dinamisme. Kondisi ini muncul, karena bekunya analisis terhadap kitab suci. Penguasaan kitab suci sering dimaknai agar mampu mengatasi hal-hal magis, pengetahuan untuk membongkar kitab suci harapan khalayak adalah mendapat kesaktian bukan kebijaksanaan. Pengkajian Weda difasilitasi dengan baik Bhagawad Gita menyebutkan bahwa “Tad viddhi praņipātena, Paripraśneņa sēvayā, Upadekşyanti te jñānam, Jñāninas tattva darśinah (Kejarlah kebijakan itu dengan kerendahan hati, dengan bertanya-tanya dan dengan pengabdian, Orang bijaksana yang melihat kebenaran itu akan memberi petunjuk padamu tentang pengetahuan itu). Artinya mencari kebijaksanaan dalam kitab suci, dan menjadi orang bijaksana.

Kedua, membangun kebijakan pada pemerintah untuk membangkitkan pengetahuan dan stimulus untuk dapat bersaing dalam ekonomi global. Masyarakat Hindu yang ada di Bali saat ini berada dalam ketidakmampuan berkompetisi dengan amukan kultur luar dalam arti membendung deras eksploitasi terhadap kultur Bali dan tanah Bali. Manusia Bali akhirnya terjebak dalam berpikir irrasionalisme, nalar tidak berkembang. Di sisi itu, teriakan cendekiawan Perancis, Rene Descrates, semakin berkurang pengikutnya di Bali. Alasannya, orang tidak lagi percaya terhadap kemampuan nalar sendiri. Seperti Descartes bilang “Tidak akan pernah mau menerima atau menganggap benar sesuatu yang saya tidak tahu dengan jelas itu memang benar.” Artinya tujuan pemikiran Decrates adalah agar manusia tidak terperangkap dengan semua pengetahuan yang salah yang diterimanya selama ini dari luar dan berusaha untuk mencari kebenaran yang pasti dengan nalar yang dimiliki manusia itu sendiri, sehingga tidak ada lagi kemungkinan manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang salah.

Namun ketika manusia berada dalam ruang di bawah nalar, gaib, maka zona yang mempengaruhi manusia adalah bukan nalarnya sendiri, dia mencari ruang yang semakin menjauhkan kemampuan dirinya. Penyebabnya adalah manusia Bali telah jenuh dengan fase modern yang sebenarnya tidak memberikan kebahagiaan yang hakiki pada kehidupan manusia. Manusia masuk dalam perangkap kehidupan yang mendewakan teknologi. Di bingkai itu manusia Bali sudah meninggalkan zaman modern yang semakin membuat dirinya teralineasi.

Mengapa demikian, post Modern menurut Pauline Rosenau (1992) adalah merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas, yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat (industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat). Prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. Serta ada kecenderungan menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya.

Artinya, masyarakat kita yang agraris kini masuk ke abad informasi dengan sifat egalitariannya memunculkan fenome shockculture, yang semakin menjemukan. Oleh karena itu masyarakat cenderung mencari pengetahuan dalam ruang yang tidak bersifat rasional. Masyarakat lebih mudah menerima, sebuah ketegangan dalam pemikiran magis, green area, itulah sebabnya Bali adalah wilayah subur kehidupan perguruan magis.

Ketiga, Parisada Hindu Dharma Indonesia harus membuat ruang pengkajian kitab suci secara sistematis dan terukur dengan melibatkan para cendekiawan Hindu secara maksimal, sehingga dapat memberikan penafsiran yang lebih lugas dan kekinian tentang jaran Hindu.

Keempat, PHDI dan pemda harus membantu menyedakan beasiswa untuk mencetak manusia Hindu yang cerdas dalam bidang agama Hindu. pendidikan menjadi salah satu tumpuan untuk mengubah paradigma masyarakat, menuju pencerahan. Om Nama Siwaya.****

Selanjutnya......

Gangga Pratistha di Pantai Padanggalak


Sebuah perhelatan upacara yadnya bertajuk “Gangga Pratistha” digelar di campuan Pura Windu Segara, pantai Padanggalak, Kesiman, Denpasar pada 17 Juni 2012, tepat di hari perayaan Banyu Pinaruh. Gangga Pratistha adalah sebuah upacara tradisi Hindu khas Bali, yaitu ritual air suci (melukat), namun, Gangga Pratistha bersifat lebih akbar (Mahutama).Upacara ini diselenggarakan oleh Geriya Bang Swarga Manuaba bersama sisya geriya untuk mengemas tradisi melukat (Penyucian diri) supaya nantinya biasa membawa semangat kebersamaan dan universalisme. Gangga Pratistha adalah melukat dengan disertai upakara banten bebangkit dan sulinggih yang munggah untuk muput berjumlah tujuh pendeta. Universalisme yang hendak disemai adalah diharapkan pada masa mendatang “Gangga Pratistha” menjadi brand ritual khas Bali, yang bisa diikuti oleh segala lapisan usia, bangsa, suku, bahkan diharapkan wisatawan asing banyak
Ida Pedanda dari Geriya Bang Swarga Manuaba, JL. Muding Indah III/3, Kuta Utara, Badung ini menyebutkan, upacara Gangga Pratistha ini bisa diikuti oleh semua kalangan, bahkan yang masih berada di dalam kandungan pun bisa disucikan lewat upacara ini.

Penyelenggaraan Gangga Pratistha secara khusus pada hari Banyu Pinaruh baru pertamakalinya diadakan dan ke depannya direncanakan menjadi kalender ritual tetap dengan melibatkan semakin banyak komponen. Pada 17 Juni 2012 itu, para peserta sudah nampak memenuhi pantai Padanggalak, tepatnya di campuan Pura Windu Segara, Kesiman sekitar jam 6.30. Kamum laki dan perempuan,m tua muda, dengan pakaian sembahyang membawa sebuah pejati, dua buah kwangen dengan punia sukarela. Mereka secara antusias mengikuti upacara melukat Ganagga Pratistha, di mana masing-masing peserta diguyur seluruh tubuhnya oleh pendeta, sebagai bagian dari prosesi upacara sakral itu.

Tak kurang dari ribuan peserta hadir pada acara pagi itu hingga matahari di timur semakin meninggi. Ida Pedanda Bang Buruan pada beberapa hari sebelum acara ini digelar mengatakan, Bali sudah memiliki upacara penyucian diri yang khas Bali. Jika di India ada Kumbhamela, maka di Bali dikenal istilah upacara melukat. Nah, untuk lebih menggemakan upacara lokal ini ke tingkat global, maka dikemaslah upacara melukat yang lebih besar dan diberi nama “Gangga Pratistha.” Selain itu, dengan tingkatan upacara melukat yang lebih besar memungkinkan banyak umat yang terlibat, ribuan atau puluhan ribu melukat secara bersamasama. Dengan demikian akan semakin terjalin rasa persaudaraan sesama umat maupun sesama peserta yang berasal dari bangsa lain. Sedangkan dari sisi kesucian, hasrat untuk meningkatkan kesucian yang dilakukan secara bersama-sama akan memperkuat vibrasi dari ritual itu, daripada dilakukan sendiri-sendiri.

Swamiji dari Sri Ranggam Ikut Mepuja
Sebagai sebuah acara yang diperuntukkan memeiliki gaung internasional, maka hal ini sudah terbukti dengan ikutnya seorang Swamiji (Rsi) dari India melantunkan doa-doa saat upacara dilangsungkan di pantai Padanggalak. Dewanatha Acharya Swamiji juga disediakan bale pawedan tersendiri sebagai tempatnya mepuja. Kehadiran beliau ke Bali adalah dalam rangkaian acara World Hindu Summit yang digelar pada 9-12 Juni 2012. Kemudian beliau diberi informasi, bahwa Ida pedanda Gede Nabe Bang Buruan Manuaba bersama sejumlah pendeta lainnya akan memimpin upacara penyucian Gangga Pratistha pada 17 Juni 2012. Untuk mengetahui upacara apa yang dimaksud, maka pada Kamis, 14 Juni 2012, Swamiji berkesempatan berkunjung ke Geriya bang Swarga Manuaba, di Jalan Muding Indah III/3, Kuta Utara, Badung. Swamiji yang datang ditemani oleh Prabu Sundara kemudian mendapat penjelasan mengenai Gangga Pratistha, sehingga Swamiji menyatakan kesediaannya ikut memimpin upacara yang dipimpin tujuh pendeta tersebut.
Swamiji dari Sri Ranggam Temple ini menyatakan ketertarikannya berpartisipasi menyukseskan festival air suci ala Bali, sehingga semakin terjalin interaksi positif dan persaudaraan yang semakin kental antara budaya Hindu Bali dengan budaya Hindu India. Ini sesuai dengan amanat World Hindu Summit untuk semakin mempererat persaudaraan inter umat Hindu maupun dengan masyarakat global dalam rangka merealisasikan spirit Hindu yang bersifat satyam, siwam, sundaram.

(Putrawan)

Selanjutnya......

MODERNITAS DAN AGAMA

Ida Pandita Mpu Acharyananda

Patut diakui bahwa rekayasa iptek telah mengantarkan manusia pada sebuah revolusi besar dalam kehidupannya. Pergeseran-pergeseran sikap hidup dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan zaman terjadi di berbagai sendi kehidupan. Banyak hal positif yang dapat dinikmati dari hal modernisasi ini, namun di sisi lain banyak pula dampak negatifnya, salah satunya adalah sikap modernomaniak yakni kegila-gilaan untuk mengadakan modernisasi. Institusi pendidikan telah berhasil dan sukses mencetak orang terpelajar yang pintar namun sebagian kecil yang terdidik. Hal ini dibuktikan dari penyelewengan yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk korupsi yang dilakukan secara beramai-ramai oleh orang-orang yang memiliki katagori pemimpin dan terpelajar.
Realita ini tentu sulit dipahami oleh orang awam, bagaimana mungkin orang yang terpelajar (pintar) dapat terseret menjadi manusia yang tersesat (keblinger). Jika demikian, adakah kepandaian atau pendidikan itu berfungsi untuk membimbing kehidupan, sehingga manusia terpelajar itu tidak tersesat jalan? Jika tersesat, berarti pendidikan itu belum menjadi bagian dari kebudayaan yang seyogyanya memiliki peran fungsional bagi kelangsungan hidup manusia. Atau bahkan diposisikan sebagai rival dari agama karena pendidikan dianggap telah menjerumuskan manusia, sehingga tidak lagi menjadi manusiawi alias menjadi robot.

Jika iptek sebagai embrio lahirnya modernitas tak memberikan keterangan tentang arti dan makna kehidupan, yang merupakan salah satu dimensi dari misteri hakikat kehidupan manusia, lantas institusi apa yang dapat menjelaskannya? Agama di kedepankan sebagai institusi yang dapat menguak rahasia terdalam dan sarat misteri dari kehidupan umat manusia itu. Kendati, agama yang dimaksudkan bukan pada kelembagaannya, tetapi lebih pada dimensi spiritualitas keberagamaan. Selain agama yang yang berdimensi spiritual menunjuk pada aspek kesenian dan kesusasteraan, karena dapat dipandang memberikan sentuhan pada kehalusan budi dan prilaku manusia sekaligus memberi nuansa metafisik bagi kehidupan manusia sebagai suatu yang tidak dapat diberikan oleh iptek.

Menurut sejarah perkembangan dunia secara umum hubungan antara iptek yang melahirkan modernitas dengan agama sering mengalami pasang surut (khusus bagi agama rumpun Yahudi). Padahal penganut agama tersebut dengan fanatiknya mengatakan bahwa apa yang tersurat dan tersirat dalam kitab sucinya merupakan wahyu Tuhan, bukan rekayasa manusia dan bersifat absolut. Sehingga apa yang menjadi produk iptek selalu ditanggapi negatif. Sejarah menyatakan saat ilmu pengetahuan menyatakan dunia ini bulat, ternyata terjadi kepanikan yang luar biasa bagi kaum agamawan, mengingat kitab suci agama rumpun Yahudi menyatakan dunia ini datar seperti piring. Padahal kenyataanya bumi ini bundar. Kitab suci mengatakan bumi adalah pusat alam (geosentris), langit dan bintang hiasan bumi, bumi statis mataharilah yang bergerak mengelilingi bumi. Sedangkan ilmu pengetahuan menyatakan sebaliknya. Apa akibatnya bagi pelopor di bidang ilmu pengetahuan seperti Galileo-Galilei yang membuat analisisnya bertolak belakang dengan kitab suci tersebut. Dan masih banyak fakta serta pendapat yang bertolak belakang antara ilmu pengetahuan dan agama (khusus bagi rumpun agama Yahudi).

Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas seolah-olah ada sesuatu yang membatasi antara agama dan ilmu pengetahuan, bahkan ada jurang pemisah yang begitu dalam. Bahkan terjadi justifikasi terhadap tokoh-tokoh ilmu pengetahuan oleh agamawan dengan legitimasi Extra Ecclesia Nulla Salus, di luar Gereja dan jama’ah Kristiani tidak ada keselamatan. Agama berpijak pada kebenaran wahyu yang berasal dari Tuhan yang bersifat statis/langgeng, ilmu pengetahuan berdasarkan atas akal manusia atau sebagai hasil penelitian empiris yang bersifat dinamis. Karena sifatnya berbeda, sehingga sering terjadi dialektika bahkan konflik sekalipun.

Lantas bagaimana dengan Hindu, adanya mahawakya “Satyam-Jnanam-Anantam-Anandam Brahman,” artinya Tuhan Yang Maha Esa adalah; Kebenaran, Ilmu Pengetahuan, Kebahagiaan, dan Tidak Terbatas. Lebih lanjut adanya figur Dewi Saraswati sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan adalah saktinya Dewa Brahma, Dewa Pencipta memberikan makna kepada kita bahwa; ilmu pengetahuan adalah syarat utama bagi suatu penciptaan. Tanpa ilmu pengetahuan tidak akan ada sesuatu apapun. Tanpa Saraswati, Brahma tak akan dapat berbuat apa-apa. Bahkan dalam Candogya Upanisad lebih rinci diuraikan; tanpa ilmu pengetahuan tak akan ada penciptaan, tanpa penciptaan tidak akan ada kemajuan, tanpa kemajuan tidak akan ada kebahagiaan.

Setiap kerja memerlukan olah pikir (ide), lebih-lebih dalam melakukan perbuatan yang baik atau sesuatu yang agung, maka peranan ilmu pengetahuan atau sakti yang merupakan kekuatan tidak boleh diabaikan. Sebab kemakmuran dan kebahagiaan dalam bidang material dan spiritual tak akan terwujud jika ilmu pengetahuan diabaikan. Tanpa ilmu orang disebut Awidya. Orang yang awidya adalah orang yang hidupnya sia-sia. Hindu mengajarkan umatnya untuk tidak menjadi orang yang sia-sia dalam hidup ini. Melalui ilmu pengetahuanlah hidup ini diproses untuk dapat memberi makna dan arti. Bahkan dalam sistem untuk mempercepat kebahagiaan spiritual /moksa, modernitas merupakan bagian tak terpisahkan dalam mempercepat tujuan tertinggi tersebut. Dengan demikian modernitas produk dari iptek merupakan subsistem dalam evolusi kosmik dalam merealisasikan tujuan hidup yang tertinggi. Akan hal tersebut Taitteriya Upanisad menyatakan bahwa ada 5(lima) tahapan dalam tangga kosmik yang disebut dengan Panca Maya Kosha yang tersusun secara bertingkat:

1. Anna Maya Kosa (anorganik/fisikis)
2. Prana Maya Kosa (biologis)
3. Mana Maya Kosa (psikis)
4. Wijnana Maya Kosa (logika mental/intelektual)
5. Ananda Maya Kosa (kebahagiaan spiritual).
6.
Berdasarkan tangga kosmik di atas modernitas adalah produk dari Wijnana Maya Kosa atau logika mental yang membawa pada situasi yang mengglobal. Dalam penziarahan hidup manusia dalam konsep Hindu semua tangga kosmik tersebut wajib dilalui dan dituntaskan untuk mencapai tujuan yang sesungguhnya. Dengan demikian modernitas bukanlah suatu tujuan. Kapan modernitas itu dianggap sebagai suatu tujuan, maka tidak akan membawa peningkatan terhadap peradaban manusia. Tetapi justru sebaliknya menyebabkan manusia mabuk. Orang mabuk adalah orang yang tidak ingat apa-apa. Untuk tidak menjadi mabuk akibat pengaruh modernitas, ada baiknya didengarkan nasihat Deva Siva kepada Arjuna sebelum ia meninggalkan Gunung Indrakila setelah mendapatkan anugrah senjata Pasupati analog Iptek dengan Cadu Sakti analog modernitas. Di mana Arjuna dinasihati agar jangan sampai mabuk akibat anugrah dari Dewa Siwa tersebut. Hal ini disuratkan oleh Mpu Kanwa dalam kakawin Arjuna Wiwaha XXXV.7 sebagai berikut.

“Perluaslah cakrawala pikirannmu, jangan sampai ananda berganti haluan ketika telah mendapat anugrah itu. Hendaklah pikiran ananda tetap ajeg seperti saat bertapa dahulu, tidak lupa akan puja samadhi, sebagai halnya pendeta besar walaupun telah mencapai astaguna namun beliau tetap rendah hati dalam kederhanaan hidup. Jika nafsu yang memabukkan itu selalu diumbar akibatnya ananda akan jatuh ke derajat orang bodoh, dan karenanya harus dimulai dari permulaan. “

Dengan demikian modernitas belumlah cukup menjadikan dunia ini sebagai sorga di mana manusia dapat hidup bebas, aman, penuh cinta kasih dan persaudaraan. Maka kewajiban berikutnya adalah menuntaskan evolusi kosmik sampai pada tingkat ananda atau dalam kakawin di atas disebut dengan samadhi, yang memiliki tujuan kebahagiaan spiritual. Adanya kesadaran untuk menuntaskan evolusi kosmik tersebut, maka modernitas takkan mengakibatkan terjadinya penghancuran diri (self destruction), justru sebaliknya yakni pengisian diri (selft fullfilmen). Proses pengisian diri adalah cara hidup dalam Hindu disebut dengan Samskriti atau dapat disamakan dengan kebudayaan. Manusia yang berbudaya adalah manusia yang mengalami proses penghalusan sehingga ia memiliki makna hidup yang sejati, transformasi diri di mana orang lebih merasa menjadi manusiawi.

Modernitas adalah sebuah ontologis yang harus dibudayakan sebagai sebuah epistimologi untuk mencapai kemahardikaan diri sebagai aksiologinya yang merupakan goal yang harus dicapai. Ketiga hal tersebut akan bersinergi apabila modernitas sebagai produk iptek, budaya sebagai cara hidup dan agama sebagai pelindung hidup (The Sacred Canopy) memiliki dimensi fungsional dan dimensi pemerdekaan diri.

Selanjutnya......

Kerukunan Umat Beragama dalam Perspektif Membangun Bhudi Pekerti Luhur

I Gusti Ngurah Sudiana

Sesungguhnya semua ajaran agama menuntun umatnya agar berpikir, berkata dan berprilaku yang dapat menyebabkan kedamaian semua mahluk (sarwa bhuta hita). Namun tidak semua umat beragama mampu menghayati dan menerapkan ajarannya agamanya dalam praktek sehari-hari dengan baik karena widya/kebodohan, sehingga di dalam kehidupan beragama ada berprilaku menyimpang dari ajaran itu sendiri. Prilaku yang menyimpang itulah dapat membuat ternodanya kesucian agama.
Dalam tataran etika penyimpangan pemahaman terhadap ajaran itu diharapkan tidak sampai menimbulkan goncangnya kerukunan umat beragama. Oleh karena itu masing-masing umat beragama dapat memelihara kerukunan yang didasari oleh ajaran agama masing-masing. Aplikasi kerukunan itu dapat diamati dari suasana kehidupan umat yang penuh bersahaja, tenang, damai, hidup paras paros sesama umat baik intern maupun intern. Interaksi perilaku yang dapat mendukung kerukunan di suatu tempat bisa terlihat dari perilaku umat yang saling bersahabat, merasa bersaudara, senasib-sepenanggungan sebagai anak bangsa dalam kepercayaan yang berbeda (Bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa).


Di Bali, bukti kongkrit kerukunan telah berjalan dengan baik dan sudah dibuktikan oleh sejarah. Hal ini disebabkan oleh masyarakat beragama di Bali sudah mampu sampai sekarang memelihara rasa persaudaraannya. Hal ini akan berlanjut asalkan masing-masing mempunyai tujuan yang baik tanpa ditunggangi oleh unsur kepentingan lain, baik secara intern dan eksteren umat beragama, sehingga kerukunan dapat terus berjalan normal. Sangat berbahaya jika simbol kerukunan diperalat untuk kepentingan di luar kerukunan, jika itu terjadi maka akan terjadi disfungsi ajaran sebagai faktor penghambat kerukunan itu sendiri. Perilaku yang perlu dikembangkan oleh umat beragama baik diintern maupun extern umat adalah prilaku yang tidak merendahkan harga diri seorang atau kelompok di mana ia berada. Demikian juga dengan antarumat beragama secara personal mampu mengendalikan prilaku egosime yang menyebabkan terganggunya perasaan rukun antarumat beragama. Banyak bukti yang dapat diperhatikan sebagai aplikasi kerukunan yang patut mendapatkan penghargaan dan teladan bagi semua pihak.

Aplikasi kerukunan tersebut dapat ditemui dalam berbagai simbol kerukunan pada masyarakat beragama di Bali. Simbol yang sudah menjadi tradisi maupun yang baru disosialisasikan. Secara tradisi bukti itu banyak ditemui dalam kehidupan menyamabraya di Bali, misalnya dalam usaha pertanian, subak, ekonomi, keagamaan, dan upacara. Di dalam pertanian misalnya, kebanyakan buruh memetik cengkeh, kopi dan sebagainya di kebun umat muslim adalah umat Hindu. Seperti dijumpai di kampung sindhu sidemen, demikian sebaliknya buruh memetik, mencangkul/membajak di sekitar umat Hindu adalah kebanyakan yang menjadi buruh adalah dari umat muslim. Mengerjakan tanah/Nyakap milik warga Hindu di wilayah itu kebanyakan dari nyama Islam.

Demikian juga di dalam struktur organisasi Subak Saren Kecicang, Bhudakeling Karangasem dan Yeh Sumbul, Negara, semua anggota mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam berbagai bidang berkaitan dengan fungsi subak sebagai lembaga pengairan. Bercampurnya umat dalam lembaga tersebut antara umat muslim dengan Hindu tidak menjadi halangan dalam menjalankan roda organisasi pengairan itu. Di kota Denpasar juga dapat ditemui simbol kerukunan itu terdapat dalam bidang ekonomi. Banyak umat Hindu yang menjadi karyawan di toko milik umat muslim, Kristen, Katolik dan Bhudha.

Demikian sebaliknya banyak pula umat muslim, Kristen menjadi buruh di perusahan orang Hindu. Walaupun sekedar menjadi karyawan, namun pengaruh kedekatan keluarga dan desa asal karyawan demikian besar yang mampu menjadi isolasi kerukunan. Begitu pula dapat diperhatikan dalam tradisi di pedesaan, terbukti kerukunan itu dapat ditemukan dalam pelaksanaan upacara keagamaan. Misalnya di Karangasem dikenal ada istilah Ngejot. Apabila hari raya Galungan sebagai hari rayanya umat Hindu maka umat Hindu Ngejot ke umat muslim. Sebaliknya jika hari lebaran, umat muslim memberikan Jotan kepada umat Hindu. Kebiasaan itu sudah berjalan bertahun-tahun, tradisi itu memberikan makna bahwa kerukunan bukan dalam tingkat wacana saja namun sebuah bukti praktek kerukunan. Di dalam bahasa tradisi mereka pelaksanaan Ngejot tersebut dilaksanakan sebagai rasa menyama ketika Galungan nyama Hindu dan Galungan nyama Islam.

Dalam kontek kerukunan melalui ranah tradisi yang sudah terpelihara, patutlah semua pihak menghormati dan diharapkan memberikan dukungan agar suasana kerukunan itu dapat terpelihara menjadi semakin subur, bukan sebaliknya ada yang memanas-manasai sehingga kerukunan/rasa menyama semakin pudar itu sangat berbahaya bagi mereka di masa depan. Sebab kerukunan itu merupakan salah satu cermin ketaatan akan ajaran agamanya. Bukan karena hapalnya dengan isi kitab suci menjamin perilakunya lebih baik dari yang melaksanakan ajaran dalam tingkat yang sederhana. Namun perilaku kasih sayang itu jauh lebih penting dari sekedar hapalan belaka. Jika kebiasaan yang sudah terpelihara itu digunakan sebagai media mengukuhkan persaudaraan, maka hal itu akan sangat bermanfaat bagi kepentingan semua umat beragama. Tradisi kerukunan tersebut akan semakin kental apabila ditambah lagi dengan membangun tradisi kerukunan baru walaupun memerlukan waktu, tenaga serta pemahaman yang lebih dewasa di antara umat beragama.

Pertanyaanya adalah mengapa pemelihara kerukunan dalam tradisi itu perlu diberikan penghargaan, sebab secara teori, tradisi itu diciptakan oleh masyarakat sendiri tanpa adanya tekanan dari pihak manapun. Perilaku itu bebas dari hegemoni siapa pun. Artinya kerukunan yang terpelihara dalam tradisi masyarakat setempat merupakan nilai lebih dari sebuah institusi sosial/social invest masyarakat yang dapat disumbangkan sebagai contoh cara memelihara kerukunan. Keadaan tersebut akan lebih kuat bertahan apabila mendapat dukungan/tenaga baru dari institusi keumatan yang mampu menghargai dan memanfaatkan tradisi kerukunan walaupun dalam bentuk wadah yang baru. Artinya wadah kerukunan yang sifatnya intlektual secara umum akan mampu memberikan sumbangan berupa pengetahuan/teori untuk memelihara kerukunan beragama dalam samudra tradisi akan bisa menjadi lebih baik. Maknanya, bentuk kerukunan secara tradisi akan bertambah kuat apabila disertai dengan pengetahuan dan pemahaman akan pentingnya sebuah suasana hidup yang damai dan rukun.

Aplikasi dan apresiasi kerukunan akan dapat terpelihara dengan baik dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, jika masing-masing institusi keagamaan bekerjasama dengan berbagai pihak, di mana masing-masing mampu sekuat tenaga untuk berusaha membangun mental spiritual umatnya. Pembangunan mental dapat dimulai dari masa anak- anak sampai orang tua. Materi yang disampaikan tentunya ajaran yang dapat menanamkan nilai-milai bhudi pekerti. Mental umat beragama yang berbudhi pekerti luhur merupakan tujuan dari seluruh ajaran agama, sebab bhudi pekerti yang luhur sebagai cerminan kearifan sebuah bangsa. Bangsa yang beradab akan dapat ditunjukan dari cara mereka membangun dan memelihara masyarakatnya agar tetap mempunyai bhudi pekerti yang luhur.

Memang sangatlah sulit untuk sampai pada tingkatan itu, tetapi jalan itu harus dimulai dari institusi keagaman dan kesadaran umatnya masing-masing mulai dari sejak dini secara terus menerus tanpa keterputusan. Cara itu dapat ditempuh melalui tradisi pendidikan dan memelihara tradisi kerukunan yang sudah ada. Media membangun buhdi pekerti sebaiknya dimulai dari tokoh-tokoh agama. Baru kemudian keluarga umatnya masing-masing. Bhudi pekerti yang luhur ini salah satu harapan sekaligus jawaban dapat terpliharanya kerukunan umat beragama yang dimulai dari kesadaran diri seorang umat beragama yang taat akan kesucian agamanya. Sehingga pembangunan bhudi pekerti ini nantinya mampu mendukung suasana penghuni suatu wilayah mampu hidup berdampingan satu dengan yang lainnya.

Ada beberapa hal yang bisa dijalankan agar pemikiran setiap umat beragama mampu mempunyai bhudhi yang luhur. Pertama tokoh agama membangun pendidikan formal dan informal yang didukung oleh sistem pengajaran yang membuat anak didik menjadi seorang fanatik luas terhadap agamanya.

Kedua, tokoh agama mampu menyampaikan misi ajaran dengan baik dan benar, maksudnya bisa menerangkan ajaran agama yang isinya mampu menyejukan dan membuat prilaku umat beragama semakin penuh kedamaian dalam berinteraksi sesama umat.

Ketiga, pemerintah memberikan dorongan sepenuhnya kepada perjalanan institusi/tokoh agama lembaga agama dengan tidak memihak pada kelompok tertentu yang menguntungkan dirinya dan merugikan umat.

Keempat, tokoh agama mampu dijadikan contoh oleh umatnya di dalam bertindak maupun berbicara. Kelima, tokoh agama di dalam ceramahnya tidak memanas-manasi umatnya. Ketujuh, tokoh agama mampu menanamkan rasa kebangsaan yang sekarang hampir luntur. Kedelapan, tokoh agama mampu menanamkan perbedaan ajaran agama dalam kebersamaan. Kesembilan, tokoh agama mampu memelihara dan membangun simpul-simpul atau wadah kerukunan beragama, baik dalam bentuk tradisi/budaya yang sudah ada di dalam wilayah yang campuran. Kesepuluh, tokoh agama mampu memberikan pemahaman bahwa agama adalah alat untuk mencapai Tuhan. Melalui hal tersebut pembangunan bhudi pekerti sebagai bhukti dasar memelihara kerukunan akan tercapai dengan baik tanpa hambatan yang berarti.

Selanjutnya......

PERANG MELAWAN HAWA NAFSU

I GN Nitya Santhiarsa

“Karena itu, O Arjuna, kendalikanlah pancainderamu dan basmilah nafsu yang penuh dosa, perusak segala kebijaksanaan dan kabajikan”
Bhagawadgita III-41
Kama (hawa nafsu) pastilah ada pada setiap orang. Kama inilah menggerakkan orang untuk melakukan atau berbuat sesuatu, yaitu untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan masing-masing. Kama merupakan suatu kekuatan atau energi yang membuat orang hidup dinamis, hidup lebih bergairah dan bersemangat. Kama jika dipandang dari aspek kemanusiaan, merupakan hal yang alamiah, manusia sejak lahir sudah dilengkapi dengan kama, kama merupakan bagian integral dari sosok manusia.
Jadi, kama adalah sesuatu yang netral adanya. Kama jika dipandang dari sudut moral, kama ada yang bersifat positif yaitu kama yang terkendali. Kama yang dikuasai oleh dharma, tidak masalah kama itu besar atau kecil, asalkan terkendali oleh kebijaksanaan, maka kama ini tergolong suatu hal yang baik dan benar. Sebaliknya, jika kama menjadi suatu hal yang buruk jika kama tersebut tidak terkendali oleh kebijaksanaan dan kesadaran. Kama yang tidak terkendali inilah yang dimaksud dan menjadi bagian dari Sadripu, enam musuh tersembunyi yang ada pada setiap orang. Lima lainnya adalah kroda (emosi kemarahan), loba (ketamakan), moha (kebingungan), mada (kemabukan) dan matsarya (kedengkian).

Untuk mengatasi atau mengendalikan kama dibutuhkan kekuatan srada dan pengendalian diri yang baik. Hal ini dapat kita kaji dari analogi berikut. Orang yang memiliki cita-cita, tekad dan ambisi yang besar, serta hawa nafsu yang besar, untuk memuaskan dirinya atau agar mampu meraih apa yang dibutuhkan dan diinginkan maka dia harus punya ketahanan tubuh yang prima sekaligus mental yang lebih kuat dibandingkan orang pada umumnya, ditambah lagi punya kemampuan disiplin diri yang baik. Coba bayangkan sebuah mobil yang besar seperti bus atau truk, kendaraan yang besar dan berat ini untuk dapat melaju dengan baik memerlukan daya yang lebih besar dan juga memerlukan alat pengendali atau pengekang yang lebih kuat pula, dibandingkan dengan mobil-mobil yang lebih kecil ukurannya. Analogi yang lain, untuk tekanan yang lebih tinggi pada suatu bejana tertutup maka diperlukan dinding yang lebih kuat agar dapat menahan tekanan tersebut, sehingga alat pun berfungsi dengan baik.

Untuk meningkatkan kama dalam diri sudah tentu lebih mudah bila dibandingkan bagaimana meningkatkan kemampuan pengendalian diri. Kama dalam Sarasamuccaya diibaratkan sebagai api, jika di tambahkan sedikit minyak ke dalamnya, maka dengan cepat api akan membesar, jika api sudah membesar, masalah pun mulai muncul, yakni betapa sulitnya mengendalikan api yang sudah membesar. Fenomena seperti inilah bagaimana setiap orang berperang melawan kama yang ada dalam dirinya. Jika manusia kalah dan dikuasai oleh hawa nafsunya maka dia akan musnah tetapi bila dia mampu mengendalikan kobaran api hawa nafsunya niscaya dia selamat sampai tujuan.

Perang melawan hawa nafsu? Dari percakapan antara Sri Krisna dan Arjuna (Krisnarjuna samwada) yaitu tertulis pada Bhagawadgita sloka III-36,37 dimana Arjuna bertanya kepada Sri Krisna tentang apa penyebab orang-orang berbuat dosa walaupun ditentang oleh hatinuraninya. Hal ini dijawab oleh Sri Krisna, bahwa penyebab orang berbuat dosa adalah karena orang itu dikuasai oleh nafsu (kama) dan amarah (kroda) yang lahir dari sifat rajas guna, keduanya merupakan musuh setiap orang. Adapun tafsir dari sloka ini adalah setiap orang mempunyai kewajiban (swadharma) untuk memerangi musuh-musuh yang ada diri manusia, di antaranya hawa nafsu.

Bagaimana upaya kita untuk memerangi hawa nafsu? Sri Krisna dalam Bhagawadgita telah memberikan cara atau upaya untuk melawan dan mengendalikan hawa nafsu, yaitu pertama, dengan disiplin melakukan kebiasaan yang baik (abhyasa) dan yang kedua berusaha melaksanakan usaha pembebasan diri atau tidak terikat pada keinginan (wairagya).

“Tidak dapat diragukan lagi, O, Arjuna, pikiran itu berubah-ubah, sukar ditaklukkan, tetapi ia bisa dikendalikan dengan membiasakan diri dan ketidakterikatan.” (Bhagawadgita-VI-35).

Pengendalian nafsu dapat dilakukan melalui pengendalian pikiran, pikiran itu seperti disebutkan pada sloka di atas mudah berubah-ubah dan liar, mudah dipengaruhi oleh indera-indera. Dengan pengendalian pikiran, pikiran menjadi lebih tenang dan kesadaran terjaga, dengan demikian pengaruh hawa nafsu dapat diatasi oleh pikiran yang sadar. Kebiasan yang baik itu antara lain dengan rutin menjalankan puja, doa,yoga, dhyana dan japamantra, pada waktu tertentu menjalankan tapabrata seperti puasa, melaksanakan dharmadana dan bertirtayatra mengunjungi tempat suci.

Usaha kedua, yaitu usaha pembebasan diri antara lain dengan cara perenungan diri (refleksi diri) tentang hakikat hidup, menjalankan pola hidup sederhana, dan mengamalkan ajaran bekerja dengan ikhlas seperti yang dianjurkan dalam Bhagawadgita. Perang melawan hawa nafsu sudah dilakukan secara kolektif sejak dahulu oleh umat Hindu, yaitu melalui perayaan rangkaian hari raya Galungan dan Kuningan. Selama tiga hari menjelang Galungan, umat Hindu mengalami godaan hawa nafsu, jika berhasil mengatasi godaan tersebut, maka umat Hindu bersukacita merayakan kemenangan perang melawan hawa nafsu, di mana hari itu disebut hari kemenangan atau hari Galungan.

Demikianlah, perang melawan hawa nafsu sebenarnya sudah menjadi bagian dari tradisi umat Hindu, namun perlu diingat hawa nafsu itu bukanlah musuh yang mudah dikalahkan, hawa nafsu itu selalu ada, dan tetap menjadi ancaman bagi siapa pun jika tidak dapat dikendalikan. Satu pesan bijak yang perlu diingat kita semua “Sa sukhi yas trsnaya mucyate” yang artinya, dia yang tidak dikuasai hawa nafsunya ialah orang yang beruntung. Om Namo Siva Buddhaya!

(I GN NItya Santhiarsa- Ketua Forum Peduli Dharma)

Selanjutnya......

Upacara Wisuda Bumi dan Mecaru Umat Hindu Gunungkidul


Alunan gending jawa terdengar mengiringi perayaan piodalan Pura Bhakti Widi, Dusun Bendo, Beji, Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, pada Sabtu 5 Mei 2012 lalu. Ratusan umat Hindu dari Gunungkidul terlihat larut dalam prosesi sakral yang dihelat setiap tahun pada purnama ke 11 ini. Selain itu, yang istimewa dalam perayaan ini adalah adanya ritual wisuda bumi dan juga menolak bala (mecaru) pada resigana atau raja makhluk halus.
Perayaan Piodalan ini, merupakan sebuah ungkapan syukur yang dilaksanakan oleh umat Hindu setiap tahunnya, mereka memperingati ulang tahun pura sebagai tempat ibadah. Sebelumnya, perayaan demi perayaan seperti mlaspas atau pembersihan tempat dan bangunan baru yang dilakukan oleh para Wasi (pemuka agama). Air suci dipercikkan pada setiap titik-titik tempat dengan menggunakan daun kelapa muda (janur kuning). Sebelumnya, air dan juga sesembahan dan uba rampe juga didoakan dengan ritual khusus.

Ritual wisuda bumi yang didahului dengan acara pembakaran dupa yang wanginya menyeruak di sesaji yang sudah disiapkan. Sesaji (caru) yang disembahkan berupa daging, yang terdiri dari daging bebek, ayam, telur, dan juga anjing belang bungkem berwarna coklat polos dengan mulut warna hitam.

Sebelumnya pada upacara wisuda bumi dan ngresigana, para wasi melakukan pemercikan air pada sesaji yang akan disembahkan. Kemudian, diikuti dengan ritual dan alunan kendang serta bonang. Setelah semua selesai dilakukan. Beberapa orang menyalakan api atau obor. Setelah itu, kemudian beberapa pemuda berkeliling dan berlari, ada juga yang memukul tanah dengan tongkat. Setelah itu, semua sesaji yang ada di atas tongkat bambu dan di bawah dirusak.

Tak cukup hanya itu, pemuda kemudian membakar semua perlengkapan sesaji. Hal itu, dimaksudkan untuk menolak bala dan membersihkan diri. Peserta upacara juga bersorak saat bunyi-bunyian benda sesaji yang dibakar meletup, seiring kerasnya alunan musik.

Pendeta pemuput upacara, Romo Pudja Bratha Jati, menjelaskan bahwa upacara meresigana merupakan salah satu sedekah pada Betara Rudra atau Sang Hyang Rudrapati, yang menguasai Gempa dan musibah. "Maksudnya untuk menghentikan, menghilangkan, minimal mengurangi bencana yang ada seperti tsunami atau gunung meletus. Pencaruan yang kami lakukan untuk anak buah Rudra. Ada kelebihan caru yaitu berupa anak anjing belang bungkem," jelasnya.

Romo Pudja juga menuturkan bahwa wisuda bumi dimaksudkan untuk menetralisir dengan memberikan sedekah pada setiap penguasa bumi. Hal itu dimaksudkan agar dinetralkan dan dihilangkan dari bala atau musibah.

Ia juga menjelaskan bahwa upacara piodalan tersebut merupakan upacara sangat besar dan baru pertama kali dilakukan di lingkup Jawa Tengah. "Ini sangat besar dan khususnya di Yogyakarta ada upacara meresigana. Biasanya pura hanya mentok pada Manca Sata. Namun ini ada tambahan caru resigana," ungkapnya.

Menurut penjelasan Pendeta asal Jakarta ini, prosesi awal pencaruan dilakukan untuk menolak bala dan memberi sedekah pada yang menguasai dunia. Setelah itu, puncak utama yaitu dilakukan dengan melakukan Dewa Yadnya. "Dalam hal ini, ada doa dan kebaktian pada Tuhan Yang Maha Esa," tandasnya.

Selanjutnya......

Meditasi di Saat Menyapu Sembari Membersihkan “Karang Diri”


I Nyoman Musna

Suatu ketika, seorang sahabat namanya Ibu Kyoko yang berasal dari Tokyo-Jepang. Sahabat saya ini sudah lama tinggal di Bali (Kuta), bahkan telah memeluk agama Hindu kurang lebih 25 tahun. Pada satu ketika Ibu Kyoko berkata pada saya, “Mengapa di saat saya menyapu di halaman rumah, saya merasakan kebahagiaan dan kedamaian yang mendalam. Kenapa demikian?”
Pertanyaan itu terasa sederhana, akan tetapi bila kita telusuri secara perlahan dengan tenang dan mendalam, ternyata mengandung sarat makna. Lebih jauh sahabat ini mengatakan, pada saat menyapu itu terasa imajinasinya seperti melukis di atas kanvas semesta. Garis – garis yang tergurat di tanah seperti irama kehidupan yang indah. Bergelombang seirama dengan konsep Rwa Bhineda (the beauty of Rwa Bhineda). Kehidupan itu terkadang mengesankan, terkadang membosankan. Siang – malam datang silih berganti. Suka-duka sebagai hiasan perjalalan hidup. Seiring dengan sangkakala memutar waktu. Sementara sampah yang terkumpul merupakan kekotoran badan, pikiran dan rasa. Nah, adakah perasaan yang sama pernah kita rasakan seperti apa yang sahabat itu rasakan?

Apabila kita telisik lebih jauh ke dalam relung hati yang dalam, mungkin akan ada jawabnya “ya benar”. Hanya saja kita sulit mengungkap suasana hati saat itu. Kita hanya membiarkan semua kesan sebagai kesan tanpa arti atau kita anggap biasa-biasa saja. Karena kita tidak mau merumitkan diri dengan konsep perasaan saat usai menyapu itu. Adalah memang benar menyapu merupakan landasan dasar untuk melakukan pembersihan diri, baik secara lahirian maupun batiniah. Secara lahiriah hasil yang nampak, yaitu pekarangan yang kita sapu akan nampak bersih, segar, dan nyaman. Sementara bila kita telusuri perasaan bathin kita akan ada perasaan indah, penuh kejernihan, segar dan kegembiraan menikmati suasana pekarangan bersih. Itu tentu tidak dapat kita pungkiri.

Mari kita coba alihkan pikiran kita sejenak pada suatu suasana. Ketika para calon bante atau bikkhu penekun spiritual kebudhaan melakukan kegiatan menyapu di suatu pesraman (bhiara) atau kuil, seperti sering kita lihat dalam film kungfu Shaolin. Pekerjaan menyapu di bhiara atau kuil merupakan sebuah kewajiban dilakukan setiap waktu. Dengan menggunakan bentuk dan kualitas sapu yang berbeda. Pekarangan yang agak kotor penuh sampah dan berlumpur digunakan sapu yang keras (sapu lidi). Pekarangan yang agak halus dibersihkan dengan sapu ijuk. Sedangkan ruang meditasi atau ruang pemaparan dhamma dibersihkan dengan sapu yang terbuat dari rumput halus. Makna apakah yang tersirat dari ketiga bentuk cara menyapu dengan alat yang berbeda tersebut? Secara tidak langsung, bahwa pelaku pembersihan itu diajarkan untuk selalu sadar untuk mebersihkan diri seutuhnya setiap saat.

Pertama, yang dibersihkan itu adalah tubuh (badan kasar), agar tetap terjaga kesehatan dan kesegarannya melalui mandi teratur sampai ke tingkat melukat, mandi matahari sambil melakukan gerakan asana surya namaskara, olah raga yang teratur dan makan makanan yang sehat (satwika). Sehingga dengan badan sehat dan kokoh akan dapat bertahan dari berbagai penyakit.

Kedua, yang dibersihkan adalah pikiran. Pikiran seharusnya dibersihkan dengan olah pikir dengan sadhana (meditasi) berdoa, ber-japa atau nama smaranam (mengulang-ulang nama Tuhan) setiap saat, sehingga rasa ego dan kemelekatan terhadap kepemilikan, kemampuan diri bahwa kita yang paling hebat, merasa paling pintar, bahkan sampai stress memikirkan sesuatu yang bernilai maya, dapat dihindari.

Ketiga, yaitu membersihkan perasaan dengan olah rasa. Perasaan itu sering diselimuti oleh kekotoran bathin. Seperti rasa sombong, benci, rasa dengki, iri hati, kecewa yang berlebih sampai depresi berat. Membersihkan perasaan dapat dilakukan dengan rasa beryukur, rasa welas asih, dan tepo selero terhadap kondisi dan situasi diri sendiri serta penderitaan orang lain.

Bilamana ketiganya telah mampu dibersihkan setiap saat, maka nilai-nilai keindahan, ketenangan dan kedamaian akan bertumbuh dengan sendirinya pada karang diri. Bukankah ini merupakan tahapan dasar sebuah perjalanan meditasi spiritual? Bila itu benar adanya, maka jangan hendaknya kita merasa malu untuk selalu melakukan kegiatan menyapu di karang diri. Baik itu menyapu secara sekala (kasat mata) guna membersikan badan dan lingkungan, atau menyapu secara spiritual (niskala) untuk membersihkan pikiran dan perasaan. Mari kita sadari bahwa “Bersih itu merupakan bagian dari iman”.
Membersihkan karang diri harus dimulai dari diri sendiri. Rawatlah selalu karang diri agar selalu bersih, indah dan penuh kedamaian. Ketika karang diri dapat tetap terjaga dari kondisi bersih lahir dan bathin, penuh harmoni, sadar dan bijak, maka cahaya mentari kesadaran spiritual akan selalu bersinar menerangi perjalanan kehidupan kita saat kini dan selamanya.

Selanjutnya......

Rekomendasikan Pembentukan World Hindu Parisadha Tahun 2013

World Hindu Summit 2012 yang berlangsung di Bali selama 3 hari, mulai Sabtu 9 Juni 2012 hingga Senin 12 Juni 2012 akhirnya melahirkan rumusan Bali Charter (Piagam Bali). World Hindu Summit sepakat menjadikan Bali sebagai World Hindu Centre dan Bali Charter juga mengamanatkan selambat-lambat tahun 2013 sudah bisa terbentuk World Hindu Parisadh (WHP).
World Hindu Parisadh (WHP) akan berperan menyatukan dan mengorganisasikan berbagai aktivitas spritual Hindu secara menyeluruh di dunia. WHP juga akan bertindak dalam mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam ajaran-ajaran suci Hindu dan juga yang masuk di dalam Satyam, Siwam, Sundaram, yakni kebenaran, kesucian, dan keindahan.

Untuk mewujudkan lahirnya World Hindu Parisadh, maka sebelumnya akan dibentuk, World Hindu Center di Kota Denpasar, Bali. Lembaga ini akan bertugas merancang pertemuan tahunan World Hindu Parisadh yang penyelenggaraannya bersamaan dengan Pesta Kesenian Bali (PKB) setiap pertengahan Juni.

Guna merealisasikan amanat Bali Charter ini, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) akan membentuk tim panitia yang beranggotakan 11 orang yang bekerja untuk mewujudkan target terbentuknya lembaga – lembaga Hindu dunia di Indonesia, khususnya di Bali.

WORLD HINDU SUMMIT 2012
BALI CHARTER


We, the delegates of World Hindu Summit 2012 held at Denpasar Bali, 9 June thru 12 June 2012, after profound deliberations, declare and resolve:
• To unify the spiritual and seva activities of Hindu globally.
• To promote the human values expounded by Hindu Dharma Shashtras (scriptures) and imbibed in Hindu Culture namely, Satya (Truth), Shivam (Wisdom), and Sundaram (Purity) universally.
• To Promote Equal Respect among various Religions.
• To work to establish Mutual Respect for Harmonious world.
• Need to set up “World Hindu Parishad” an organization to unify Hindu, coordinate activities and propagate Hindu Dharma globally.
• Need to set up “World Hindu Centre” at Denpasar Bali to fulfill the above objective.
• We also agree to hold annual “World Hindu Wisdom Meeting” at Denpasar Bali under the auspice of World Hindu Centre.
• To give opportunity to Parisada Hindu Dharma Indonesia to assume responsibility to establish Working Committee with two main tasks:
1. Preparing World Hindu Wisdom Meeting 2013
2. To design the organization of the World Hindu Parisadh.

Selanjutnya......

Hindu Banyumas: Dari Kaki Wayah Menjadi Hindu

Keberadaan umat Hindu yang jumlahnya minoritas di Desa Klinting, Kecamatan Somagede, Banyumas, Jawa Tengah, ternyata dapat berdampingan dengan harmonis dengan umat muslim setempat. Hal ini dapat terlihat pada saat berbagai perayaan hari suci keagamaan yang diwarna kebersamaan saling Bantu membantu.
Pemangku Budi Santosa menerangkan hal itu, berdasarkan pengalamannya yang telah lewat. Ia menceritakan, masyarakat Desa Klinting yang mayoritas beragama Islam tapi toh demikian, mereka dapat menerima keberadaan umat Hindu.

"Kami dapat hidup berdampingan secara damai dan saling bergotong royong," kata dia sembari menyebutkan jika ada 63 keluarga penganut agama Hindu di Desa Klinting. Menurut dia, penganut agama Hindu di Desa Klinting sebagian menganut Hindu Jawa dan sisanya Hindu Bali.

Dalam hal ini, kata dia, doa-doa yang dibacakan oleh penganut Hindu Jawa cenderung berbahasa Jawa. "Kalau dalam Hindu Bali menggunakan bahasa Sansekerta yang mengambil dari Weda. Kalau saya gabungan, mengambil dari Weda maupun bahasa Jawa," katanya.

Tokoh Ranameja
Kepala Desa Klinting Sudir mengatakan, selama ini tidak pernah ada konflik antaragama di Desa Klinting. Bahkan, kata dia, seluruh masyarakat Desa Klinting dapat hidup rukun dan saling membantu tanpa membedakan agama.

"Kalau sedang ada kerja bakti di mushala, masyarakat yang beragama Hindu pun turut membantu," katanya. Seorang warga Klinting yang menganut agama Hindu, Siwon mengakui adanya kebersamaan di antara masyarakat meskipun terdapat kelompok minoritas yang beragama Hindu. "Kami saling menghargai perbedaan agama yang dianut masyarakat Desa Klinting. Dengan demikian, kami dapat hidup rukun dan damai tanpa adanya konflik," katanya.

Informasi yang dihimpun, para penganut agama Hindu di Desa Klinting yang berada di pegunungan Kendeng, Banyumas, semula merupakan penghayat kepercayaan, yakni Kepercayaan Wayah Kaki. Oleh karena pemerintah orde baru membekukan aliran kepercayaan, seorang tokoh Kepercayaan Wayah Kaki bernama Ranameja saat menjalankan semedi mendapatkan wangsit dari Wayah Kaki (leluhur) yang menyarankan agar para penghayat kepercayaan tersebut bernaung kepada agama Hindu, yang memiliki kemiripan dalam tata cara sembahyangnya. Wangsit tersebut disampaikan kepada para penghayat Kepercayaan Wayah Kaki.

Selanjutnya, Ranameja berusaha menghubungi Parisada Hindu Dharma Provinsi Jawa Tengah untuk minta di-sudiwedhani-kan (dibaptis) sebagai pemeluk agama Hindu. Bahkan, dia juga datang sendiri ke Bali menemui Pedanda dan minta di-sudiwedhani-kan.


Setelah sekian lama mendalami agama Hindu di Bali, dia kembali ke kampung halamannya. Sekembalinya di Desa Klinting, para penghayat Wayah Kaki di desa tersebut menyatakan ingin masuk agama Hindu. Ranameja pun membangun Pura Pedaleman Giri Kendeng, sekitar 22 tahun lalu. Bahkan, tidak hanya penghayat Wayah Kaki di Desa Klinting yang ingin di-sudiwedhani-kan masuk agama Hindu, tetapi dari daerah lain di Banyumas, Purbalingga, dan Banjarnegara.

Kendati demikian, jumlah penganut agama Hindu di Desa Klinting cenderung berkurang karena sebagian di antara mereka berpindah agama setelah menikah.
Dalam hal ini, kaum perempuan atau laki-laki yang beragama Hindu berpindah agama karena mengikuti agama yang dianut oleh calon suami atau istri mereka.

(Beritadaerah.com)

Selanjutnya......