Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 18 Januari 2012

Bangunan Tinggi itu: Untuk Siapa


Perda No 16 Tahun 2009, tentang RTRWP Bali memang mencantumkan pasal pembatasan tinggi bangunan. Namun batas tinggi itu tak rinci. Adapun ketinggian bangunan yang dibatasi ada yang diberikan kekhusuan, namun itu pun masih juga tak rinci sehingga mudah menimbulkan berbagai tafsir. Maka, memang layak orang jadi bingung dan berkomentar macam-macam.Namun, ada pertanyaan besar pula yang perlu dijawab: untuk siapa sebenarnya bangunan tinggi itu? Kali ini Majalah Raditya menjaring pendapat lewat Facebook, hal yang pertamakali dilakukan.

Bagaimana sebenarnya bunyi lengkap isi pasal yang mengatur ketinggian bangunan 15 meter yang kini dihebohkan itu? Aturan itu ada di Pasal 93 ayat 2 huruf b. Bunyi lengkapnya begini:

Ketinggian bangunan yang memanfaatkan ruang udara di atas permukaan bumi dibatasi maksimum 15 meter, kecuali bangunan umum dan bangunan khusus yang memerlukan persyaratan ketinggian lebih dari 15 m, seperti: menara pemancar, tiang listrik tegangan tinggi, mercusuar, menara bangunan keagamaan, bangunan untuk keselamatan penerbangan, bangunan pertahanan keamanan, dan bangunan khusus untuk kepentingan keselamatan dan keamanan umum lainnya berdasarkan pengkajian dengan memperhatikan keamanan, kenyamanan dan keserasian terhadap lingkungan sekitarnya, serta dikordinasikan dengan instansi terkait.
Lalu pada ayat 3 berbunyi begini: Gubernur mengatur dengan peraturan gubernur.

Ada banyak hal yang tak jelas. Ketinggian bangunan itu diukur dari mana. Atapnya atau lisplang, baik yang beton maupun dari kayu. Kemudian batas nol dari bawah dalam Perda ini disebut selintas “permukaan bumi”. Kalau bangunan itu di tebing, atau di pinggir jalan tetapi di atas pebukitan, mana titik nolnya? Jalanan atau ketinggian tebing?

Perkecualian dalam Perda ini banyak sekali. Menara keagamaan tak kena aturan, jadi meru atau menara masjid tak masalah tinggi-tinggi. Begitu pula menara untuk telekomunikasi dan tiang listrik. Nah, bangunan untuk kepentingan keselamatan itu apa? Apakah rumah sakit boleh lebih tinggi dari 15 meter, bukankah itu untuk “keselamatan”? Bagaimana dengan sekolah, apa boleh dibangun tinggi-tinggi?

Setelah terjadi banyak penafsiran, ternyata ayat 2 ini disambung ayat 3 yang intinya, semua yang diatur itu akan dimasukkan dalam peraturan gubernur. Sampai saat ini belum ada Peraturan Gubernur soal ini.
Dalam situasi seperti ini, mari kita dengarkan apa komentar yang muncul di Facebook. Majalah Raditya menjaring pendapat lewat dua akun, yang satu akun Majalah Hindu Raditya, yang satu lagi akun Mpu Jaya Prema Ananda.

Ini komentar di akun Mpu Jaya
Wayan Mirka mengatakan, masalah tinggi bangunan tergantung pada penggunaan lahannya, kalau kita sebagai krama Bali, berapa persenkah perlu lahan sebagai tempat tinggal dan usahanya? Tidak banyak, jadi penyebab ektrimnya adalah para investor yang memerlukan bangunan tinggi itu.

Selain masalah investor yang ingin mengeruk keuntungan dari Bali, banyak yang mempermasalahkan pendatang. Nyoman Kurniawan, misalnya. Sempitnya lahan di Bali disebabkan banyaknya pendatang. “Masalah kelebihan penduduk di Bali tidak datang dari orang Bali, tapi dari serbuan pendatang dari luar Bali,” tulisnya di Facebook. Karena itu Kurniawan menyebutkan, dengan melarang bangunan tidak boleh lebih dari 15 meter, justru merupakan salah satu metode untuk menghambat serbuan pendatang ke Pulau Bali, dengan seluruh masalah yang akan mereka bawa.”

Namun, Made Gunarta setuju bangunan tingginya di atas 15 meter . Tapi hanya untuk rumah sakit pemerintah perkantoran pemerintah, sekolah. Bukan untuk hotel atau atau apartement dan tidak untuk kepentingan investor. Pendapat ini tentu sesuai dengan aturan di Perda.

Pendapat lebih panjang disampaikan Indra Prabudjati. Menurut dia, persoalannya adalah bila diterapkan boleh lebih dari 15 meter, apa dijamin tidak menimbulkan persoalan baru. Spekulan harga tanah tetap tidak berubah dan cenderung malah naik bukan menjadi lebih terjangkau menurut hitungan investasi. Jadi sama saja dengan tak boleh 15 meter.

Menurut Indra, persoalannya adalah melonjaknya harga jual dan sewa tanah di Bali tanpa rasio, sementara pemerataan ekonomi penduduk yang terus melambat. Keberanian pemerintah menentukan kawasan-kawasan baru, lebih suka ditentukan investor. Nampaknya lebih ketidakpercayaan pada soal keseriusan dan tanggung-jawab pengelolaaan bupati-bupati. Kalau diterapkan gedung tinggi sekalipun asal pengelolaan oleh bupatinya benar-benar untuk rakyat, tidak ada kolusi dan korupsi, pastilah didukung dan rakyat siap mengubah pandangan-pandangan tradisionalis ke industrialis tanpa merusak tatanan budaya dan agamanya.

Indra menyebut persoalan pendatang itu adalah alami, mengutuk pendatang sama dengan tutup mata dari kenyataan hidup. Ketegasan pemerintah mengelola kependudukan itu masalahnya.

Indra tentu saja benar, yang penting adalah mengelola administrasi kependudukan. Kalau pendatang dibatasi ke Bali, bagaimana dengan orang Bali yang keluar Bali, yang tentu saja dianggap pendatang di daerah itu. Yang penting adalah pendatang itu punya pekerjaan tetap dan diperlukan di daerah itu.
I Putu Dedy Aryawan menyoroti dari sisi lain. Mari sukseskan KB ala anak Bali. Empat orang lebih baik. Wayan/Gede/Putu/Gede, Made/Kadek, Nyoman, Ketut. Selain itu, semeton Bali tidak menjual tanahnya hanya untuk gengsi upakara. Masih banyak tanah untuk anak Bali, tidak perlu melanggar aturan leluhur, bangunan diperbolehkan maksimal setinggi pohon kelapa yang paling tinggi (15 meter).
Akan halnya Page Paradev, mahasiswa yang kini menempuh studi doktoral di Universitas Negeri Jakarta, aturan ketinggian bangunan tak boleh lebih dari 15 meter tidak masuk akal. “Mungkin ini dimaksudkan supaya kekhasan gaya Bali tetap terjaga demi pariwisata. Kalau begitu, harus ada program membuang penduduk Bali ke luar,” katanya.

Komentar di Akun Raditya
Di akun Majalah Hindu Raditya, komentar lebih banyak, namun banyak yang bercanda. Maklum, akun ini jumlah pertemanannya lebih dari tiga ribu dan banyak anak-anak muda. Namun, ada beberapa yang memang layak untuk didengar.

Made Sendem menyoroti masyarakat Bali yang masih jauh dari harapan sejahtra, makanya alternatif jual warisan menjadi pilihannya. Selain itu, kalau lahan yang tidak produktif juga dibiarkan, pemiliknya akan lebih berat lagi membiayai pajak. Sedangkan kalau digarap, biaya produksi dan hasil tidak sebanding. Maka banyak lahan dijual ke pendatang.

Gede Sugiarta menyoroti penduduk Bali memang akan meledak dan karena itu lahan sudah pasti tak cukup. Ia mengusulkan tiga hal. ‎1. Bali jangan ditambah lagi oleh penduduk “non Bali” (batasi pendatang) 2. Orang Bali pergi ke luar Bali, banyak pulau di luar Bali yang masih kosong. Jiwa petualang dan merantau ditingkatkan. 3. Banyak yang tidak berhak atas tanah Bali, ikut berebut makan dan hanya hancurkan tanah Bali.

Made Koriarta Detu berpendapat, hentikan bangun hotel dan perumahan, karena pemiliknya kebanyakan para spekulan, maksimalkan yang sudah ada. Bali terlalu banyak pendatang perketat aturan desa pekraman supaya pendatang yang benar-benar punya skill yang tinggal di Bali.

Ngurah Tirta juga sepakat masalah pendatang menjadi alasan supaya aturan ketinggian bangunan bisa lebih dari 15 meter. Pemerintah mestinya harus tegas membela rakyat, pemerintah yang pro rakyat itu baru pemerintah yang baik.

Ngurah Tirta memotivasi rakyat Bali untuk bisa berjaya di tanah sendiri. Orang Bali harus mampu ke depannya lebih baik.Tingkatkan kualitas diri dengan pengetahuan. Apakah sudah terlambat? Jawabannya tidak!

Komang Eka Diana berpendapat, peraturan jalur hijau dan tata ruangnya yang dipertahankan, jangan karena aturan bangunan tetap tak boleh lebih dari 15 meter, lalu menjadi justifikasi untuk melabrak aturan jalur hijau dan tata ruang. Indikasi meningkatnya kebutuhan properti sebenarnya lebih banyak karena faktor ulah spekulan properti, padahal kebutuhan riil tidaklah setinggi itu. Faktor kedua adalah banjir pendatang yang tidak tekendali, dalam arti segala jenis pendatang termasuk yang tidak berkualitas, bebas masuk. Jika desakan kebutuhan tersebut selalu dituruti bahkan dengan menabrak aturan (seperti halnya kebutuhan ruas jalan yg selalu meningkat), tidak akan pernah tercukupi selama kedua faktor itu tidak dikendalikan. Akibatnya adalah turunnya kualitas kehidupan dengan sesaknya wilayah. Jika aturan ditegakkan, pertumbuhan properti dan penduduk dapat dikendalikan, maka jumlah properti menjadi terkendali tapi nilainya mahal, otomatis hanya pendatang dengan kualitas tertentu yang berminat untuk datang dan tinggal. Hanya dibutuhkan sedikit pendatang di sektor informal, itupun jika mereka sanggup untuk bertahan.

Senada dengan Putu Arta Nugraha. Yang penting gubernur, para bupati, desa pekraman tegas bahwa penduduk Bali suba padat, nyame dauh tukad 9maksudnya orang Jawa) diberi tahu hal ini. Orang Bali harus saling bantu, kalau ada orang Bali miskin bantu oleh orang Bali juga. Sekarang kan gubernur sama bupati ribut soal Perda RTRW, gubernur ribut menuntut koran yang sama sama orang Bali. Seperti pepatah, ayam Bali tak berani sama ayam luar, beraninya sama ayam Bali saja.

Rai Indra menulis, kalau pun aturan ini dicabut, tak ada untungnya buat orang Bali. Mana ada orang Bali yang mampu bangun gedung lebih tinggi dari 15 meter. Paling ujung-ujungnya harga tanah jadi turun karena dengan lahan sedikit bisa bangun hotel dengan banyak kamar.

Nyompu Tami berkomentar, kalau bangunan maksimal 15 meter, maka mau tak mau orang membangun akan melebar ke samping, sehingga dibutuhkan lahan yang lebih banyak. Lama-lama bisa habis lahannya karena jumlah penduduk meningkat sedangkan lahan tetap atau bahkan dibebarapa lokasi bahkan mengecil karena digerus air laut. Di sini dibutuhkan kebijaksanaan kita dalam menyikapi masalah ini, 15 meter itu kan maksudnya supaya tak lebih tinggi dari pura kan? Di sisi lain teknologi diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Maksudnya kebutuhan tempat tinggal terpenuhi tapi juga kepentingan lain tidak terganggu salah satunya jalur hijau.
Kalau boleh saya usul, kata Nyompu Tami, di daerah-daerah yang ada pura terutama pura-pura besar seperti pura kahyangan dan sebagainya, disekitar itu saja tidak boleh ada bangunan tinggi sedangkan di daerah yang “tidak ada pura besar” mungkin dibolehkan tapi dengan persyaratan yang ketat agar tidak mengurangi kesucian pulau dewata.

Ngurah Tirta menanggapi, permasalahan kependudukan memang pelik! Walaupun tidak ada kahyangan jagad akan tetapi dis etiap desa ada kayangan yang dinamakan tri kayangan. “Setahu saya bangunan tidak boleh tinggi untuk menjaga kesucian pura itu sendiri!” katanya.
Pan Balang Tamak menyebut, kalau bangunan boleh tinggi orang Bali mau bangun rumah berapa tingkat untuk nampung keluarganya? Kebutuhan perumahan untuk orang Bali belum mendesak, justru yang nanti dibangun adalah hotel-hotel dan perkantoran. yang diuntungkan siapa?

Ngurah Tirta kembali menyoroti soal orang Bali dan pendatang, dikaitkan dengan kebutuhan lahan. Jika kita menelisik lebih dalam lagi, kata dia, kita orang asli Bali digencarkan untuk mengikuti program Keluarga Berencana, namun saudara kita yang lain mana mau mengikuti? Mereka mendapatkan keuntungan dari apa yang kita punya.

Pan Balang Tamak kembali menulis, menurut dia perkembangan penduduk di Bali asli tidaklah pesat, yang pesat adalah perkembangan pendatang. Itu yang harus dipikirkan. dan dipecahkan.

Ketut Suarata setuju pendatang dibatasi. Bila perlu tambah Perda larangan alih fungsi lahan persawahan, lihat aaja di sepanjang jalan Denpasar - Gilimanuk yang bertambah itu rata-rata orang luar.

Nyoman Kalem, setuju pendatang jadi masalah, tetapi dia sama sekali tak menyalahkan pendatang. Justru dia menyalahkan orang Bali. “Yang membuat pendatang itu memenuhi Bali karena orang Bali yang mengundangnya,” katanya.

Nyoman Kalem memberi contoh. Orang Bali hanya bisa membajak sawah, lalu menanam padi. Ketika panen padi, orang Bali tak mau memanen, mereka mencari orang Jawa. Nah, siapa yang mencari orang Jawa?

Orang Bali membangun rumah mencari tukang dari Jawa dan Lombok. Kalau tukang dari Bali dicari, rumahnya lama tak selesai karena setiap odalan dan hari raya berhenti bekerja. “Belum lagi etos kerja tukang Bali, jam sepuluh istrirahat setengah jam minum kopi, jam dua belas istirahat makan, jam tiga istirahat lagi minum kopi. Tukang dari Jawa hanya istirahat kalau makan siang saja,” tulis Nyoman Kalem.

Ia berpendapat, orang Bali hanya bisa menyalahkan pendatang tetapi sebenarnya sangat memerlukan pendatang. Ia memberi contoh pada saat lebaran, di mana pendatang pulang ke Jawa. Mencari makanan di Denpasar sulit sekali, semua pedagang pada libur. “Mana ada orang Bali jualan bubur ayam 24 jam, dan mana ada orang Bali jualan pecel lele, ayam bakar di pinggir jalan? Kalau belanja ke restoran kan mahal. Jadi pendatang sangat diuntungkan keberadaannya karena membuat orang Bali berhemat biaya makannya,” kata Nyoman Kalem. Ia bahkan dengan sinis menyebutkan, orang yang makan di “warung muslim” itu kebanyakan orang Bali. Coba kalau orang Bali tak ikut belanja di sana, bangkrut mereka dan tentu saja mereka pulang tanpa disuruh. Orang Bali jangan munafik.

Ya, demikian komentar-komentar yang berhasil dipantau Raditya dari dua akun yang ada. Tentu saja banyak sekali komentar lain, tetapi pendek-pendek dan intinya hanya menyetujui atau tidak setuju dengan sedikit guyonan. Semoga hal ini ada manfaatnya untuk melihat permasalahan yang sebenarnya, bagaimana harus bersikap.

Sekali lagi, Perda RTRW ini semuanya belum punya Keputusan Gubernur, lagi pula masalah ketinggian bangunan banyak ada kekecualiannya. Kalau membangun hotel lebih tinggi dari 15 meter asalkan keaslian terjaga dan ada kenyamanan, “bisa diatur”. Bukankah Hotel Grand Bali Beach di Sanur sudah menjadi contoh soal ini?

Tim Raditya.

Selanjutnya......

Silakan Bangun di Atas 15 Meter, Asalkan di Daerah Khusus

Kalau Perda No 16 Tahun 2009, tentang RTRWP Bali yang di antaranya mencantumkan larangan bangunan di atas 15 meter di Bali terus dipertahankan, maka bagaimanakah nasib lahan-lahan produktif di masa mendatang. Boleh jadi, Bali akan tetap terkesan beda dengan daerah lain, cuma pemukiman akan terus merayap ke samping sampai lahan di Bali habis menjadi hutan gedung.

RTRWP Bali yang telah di tetapkan menjadi Perda No 16 Tahun 2009, merupakan pedoman penting bagi semua pihak untuk dapat melakukan kegiatan pembangunan di Bali.

Kawasan pertanian dalam RTRWP Bali telah diberikan perhatian khusus, karena disepakati bahwa pertanian merupakan spirit dari munculnya kebudayaan Bali yang dilandasai agama Hindu. Nilai-nilai budaya itu telah menjadi modal bagi pengembangan kepariwisataan di Bali. Namun sayang, RTRWP itu terus diperdebatkan atas nama pemerataan pembangunan dan PAD.

Di dalam RTRWP Bali telah jelas diatur tentang kawasan (kawasan budidaya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan). Rencana kawasan peruntukan pertanian seluas 298.214 ha atau 52,9 persen dari luas Provinsi Bali. Di antaranya kawasan tanaman pangan ditetapkan 76.337 ha atau 13,5 persen, kawasan hortikultura seluas 108.511 ha atau 19,3 persen, dan kawasan perkebunan sebanyak 113.366 ha atau 20,1 persen. Sedangkan, kawasan budidaya peternakan tidak menyediakan lahan khusus, tetapi memanfaatkan lahan yang sesuai bagi kegiatan peternakan secara optimal, lahan kering atau kritis, lahan pekarangan, dan perpaduan pertanian dan peternakan yang dapat menjamin supplai pakan. Bila rincian peruntukan tersebut dapat diberlakukan, dengan catatan luas hutan dapat menjadi 30 persen dari luas Pulau Bali, maka kita dapat meyakini akan kelestarian Provinsi Bali di masa depan.

Larangan Bangunan di Atas 15 Meter.

Di antara isi perda yang baik itu, ternyata ada ketentuan kontradiktif yang melarang keras bangunan dengan ketinggian melebihi 15 meter. Larangan tersebut jelas akan berdampak kepada perluasan pemanfaatan lahan ke samping. Bila hal itu terus terjadi, dan ijin pertumbuhan bangunan kurang terkendali di semua pemerintah kabupaten kota, maka dapat dipastikan lahan pertanian di Bali akan semakin habis. Ketika lahan pertanian semakin habis akibat alih fungsi lahan, subak semakin hancur, tatanan kehidupan berubah total ke pragmatisme materialistis, maka di situlah erosi kulturalisme akan terjadi. Bila kultural Bali meredup, maka cepat atau lambat sektor pariwisata pun hanya akan tinggal kenangan.

Boleh Tinggi di Tanjung Benoa, Nusa Dua dan Bukit

Karena itu, saya sebagai Ketua DPD HKTI Bali berpendapat bahwa perlu ditetapkan kawasan bangunan yang diijinkan melebihi 15 meter. Usulan kami adalah kawasan Tanjung Benoa, Nusa Dua dan Bukit Jimbaran yang merupakan kakinya Burung Bali. Hanya di kawasan itulah yang boleh diijinkan bangunan melebihi 15 meter. Hanya dikawasan itu! Atas konsekuensi dari kesepakatan itu, silahkanlah para pemimpin Bali dan kabupaten Kota duduk bersama membagi kue rejekinya.
Pemerataan pembangunan yang diusulkan Kabupaten lain, harus berlandaskan potensi daerahnya masing-masing. Tidak semua Kabupaten harus menggebu mengembangkan sektor pariwisata. Berkembangnya sektor pariwisata akan mengundang tenaga kerja dari berbagai penjuru datang ke situ. Perlu diingat, statistik mengatakan bahwa sebagian besar tenaga kerja di sektor periwisata adalah orang luar, bukan orang Bali. Bagaimana akan mengendalikan dampak-dampaknya?.
Membangun atas nama pemerataan hendaknya sesuai dengan potensi ekonominya masing-masing. Mesti ada koordinasi dan sinkronisasi ekonomi antar semua kabupaten kota yang ada di Bali dalam kerangka Manajemen Provinsi Bali. Mari selamatkan Bali dengan cara berpikir yang jernih, paras paros selunglung sebayantaka, tidak untuk ngotot-ngototan. Hormatilah para leluhur kita yang telah menjaga dan mewariskan Bali dengan segala kelebihannya.

Ketahanan Pangan Terancam

Lahan pertanian yang diartikan sebagai tanah garapan untuk tujuan produksi pertanian kini telah semakin menyempit. Idealnya setiap KK petani dapat menggarap lahan seluas 2 hektar, namun kenyataannya kini hanya 0,35 hektar. Hal ini merupakan proses pemiskinan petani. Skala usahatani yang kecil itu disebut petani gurem atau petani rakyat. Kondisi tersebut berdampak kepada ketidakberdayaan petani dan ketidakseriusan petani menggarap lahan sawahnya. Bila pemiskinan itu terus terjadi, siapakah yang mau terjun menjadi petani profesional?. Akankah ketahanan pangan bisa berlanjut?.

Alih fungsi lahan pertanian antara tahun 1997-2007 telah terjadi sekitar 661 hektar atau sekitar 0,8% per tahun. Lahan tersebut kebanyakan difungsikan untuk fasilitas pariwisata yakni hotel, restoran, villa, serta pembangunan perumahan, perkantoran, industri, dan lain-lain. Di samping itu, alih fungsi lahan juga telah terjadi pada kawasan perkebunan atau tegalan dan kehutanan. Banyak lahan kebun atau tegalan yang berubah fungsi menjadi bangunan perumahan, bangunan peternakan, villa, atau menjadi tanaman industri yang jangka pendek yang daya resap airnya sangat kurang.

Bila kondisi tersebut dibiarkan tanpa kendali, maka dapat mengakibatkan degradasi sumber daya lahan dan air, semakin melemahnya daya saing petani, rendahnya efisiensi usaha, lemahnya pemasaran hasil, kurangnya keseriusan dan kemandirian petani, dan lemahnya penegakan hukum. Status kehidupan petani akan semakin terpuruk, dan mereka pasti akan mencari mata pencaharian lainnya. Dampaknya kini muncul petani sambilan, petani status yang senantiasa meratapi kemiskinannya.

Alih Profesi

Bila profesi sebagai petani tidak lagi menjamin kehidupan yang layak, maka generasi muda anak petani tentu akan berpikir untuk melanjutkan profesi orang tuanya. Bila ada profesi lain yang mampu memberikan tingkat kehidupan yang lebih baik, mengapa harus bertahan sebagai petani. Inilah fakta yang terjadi di Bali saat ini. Saat ini sebagian besar generasi muda petani sudah bekerja di sektor pariwisata, yakni sebagai karyawan Kapal Pesiar, hotel, restoran, perusahaan swasta dan yang jelas berbondong-bondong ingin melamar menjadi pegawai negeri (pegawai pemerintah). Fenomena ini haruslah terbaca oleh kita semua.

Di sisi lain saya setuju dengan berkurangnya jumlah petani, karena akan berdampak kepada luasnya lahan garapan petani. Semoga saja masih ada pemuda yang memang mempunyai hobi luar biasa (gila, red) di bidang pertanian. Mereka diberi kesempatan untuk tumbuh menjadi petani-petani profesional, petani dengan luas garapan optimal. Pemuda lainnya yang tidak mempunyai hobi di bidang pertanian, silahkan saja bekerja di sektor minat dan hobinya.
Persoalannya sekarang, fasilitas apa yang mampu disiapkan oleh pemerintah kepada anak bangsa yang mau dan mampu menekuni sektor pertanian?. Bagaimana jaminan kepastian lahan garapan mereka? Dan bagaimana pula kinerja pengolahan hasil dan pemasaran hasil pertaniannya?

Mengapa Terjadi Alih Fungsi Lahan

Kebijakan struktural dan pergeseran nilai-nilai sosial ekonomi telah menimbulkan keharusan dan keterpaksanaan bagi petani untuk menjual lahan garapannya. Perkembangan sektor pariwisata yang berlebihan, industri, perdagangan, dan lain-lain telah menjadi andil besar atas keterpaksaan itu. Kemajuan pembangunan sektor pariwisata, industri dan perdagangan telah menyebabkan harga tanah demikian meningkat tajam. Nilai Jaminan Obyek Pajak (NJOP) ikut meningkat, melebihi kemampuan petani untuk membayarnya. Tidak ada subsidi bagi petani pemilik lahan atas kewajiban pajaknya. Sulitnya memperoleh air, karena air irigasi tersumbat. Harga jual hasil yang tidak sepadan dengan biaya produksi. Meningkatnya peluang untuk bekerja di sektor jasa dan industri perdagangan. Semakin terancamnya keberadaan subak. Tidak adanya anak petani yang mau mengejakan sawahnya. Semua variabel itu telah mendorong niat petani untuk menjual lahan garapannya.

Setiap berdiri bangunan fasilitas sosial ekonomi yang baru akan terus mempengaruhi tingkat harga jual tanah berikutnya. Demikan seterusnya, maka lahan pertanian pun akan semakin habis. Akibat lainnya adalah terancamnya eksistensi subak yang merupakan inspirator budaya Bali, menurunnya minat generasi muda potensial untuk menjadi petani, dan pada akhirnya akan semakin melemahnya budaya Bali. Bila hal itu terjadi maka pariwisata Bali yang iconnya pariwisata budaya pun akan hancur berkeping-keping. Sadarlah akan kondisi yang memprihatinkan itu. (Prof. Dr. Nyoman Suparta, Ketua DPD HKTI Bali).

Selanjutnya......

Bertambah Tinggi akan Menenggelamkan


Ida Ayu Tary Puspa

Bali menempatkan tiga pilar dalam melaksanakan pembangunan. Ketiga pilar tersebut meliputi pertanian dalam arti luas, pariwisata, dan kerajinan/industri kecil. Akan tetapi kini paradigma itu terbalik dengan menempatkan pariwisata pada puncak pilar. Dampaknya pun ikut dirasakan karena pariwisata membawa gemerincing dollar.

Di satu sisi pariwisata membawa dampak pada penguatan kebudayaan Bali dalam hal tradisi termasuk berkesenian, karena orang Bali ingin menunjukkan jati diri sebagai orang yang suntuk mempertahankan budayanya. Di sisi yang lain pariwisata membawa dampak ikutan berupa pembangunan mega proyek dalam hal penyediaan fasilitas untuk wisatawan yang akan datang ke destinasi internasional ini. Pembangunan fasilitas pariwisata akan merambah lahan yang cukup luas, karena bangunan hotel dengan fasilitas yang serba lux termasuk lapangan golf. Bangunan pun dibuatkan aturan sedemikian rupa, yaitu setinggi 15 meter atau tidak melebihi pohon kelapa. Kalau melebihi aturan itu, maka bangunann tersebut akan dipangkas seperti yang pernah dialami oleh hotel Sol Elite Paradiso. Bukankah wisatawan yang datang ke sebuah destinasi ingin mendapatkan pengalaman yang alami di objek yang mereka kunjungi, seperti halnya kehidupan dalam rural tourism?

Sekarang mencuat satu gagasan untuk mengabaikan aturan tersebut dengan harapan bahwa bangunan bisa ditinggikan. Alasan lain pula adalah Bali itu kecil, sempit, lahan tidak luas. Banyak perndapat yang mengatakan Bali sudah penuh sesak, tapi adakah yang sudah melakukan kajian terhadap carrying capacity Bali, berapa sebenarnya daya tampung Bali, baik dilihat dari jumlah penduduk dan fasilitas hidup. Dewasa ini memang kita merasakan hidup yang serba cepat dan hidup dalam kesesakan. Dalam era globalisasi ini salah satu ciri yang menonjol sesuai yang dikatakan Apadurai, yaitu etnoscape. Kita tidak bisa menampik adanya perpindahan orang dan hal ini dapat dilihat dari masuknya orang-orang, termasuk wisatawn ke Bali. Selain perpindahan orang termasuk pula adanya perpindahan uang, teknologi, dan ideologi. Adanya ketakutan orang Bali yang tidak memiliki ruang untuk beraktivitas karena mesti bersaing dengan kaum pendatang, menyebabkan orang Bali apriori terhadap pendatang, tetapi orang Bali rela mengkonsumsi produk yang ditawarkan mereka . Serbuan mereka cukup signifikan, sebab berusaha dan berinvestasi aman di tanah dewata ini. Hal ini akan mempengaruhi tingkat hunian di pulau kecil ini. Muncullah keinginan untuk membangun ke atas karena kesulitan lahan ke samping.

Lahan di Bali semakin menyempit tidak terlepas dari peran orang Bali sendiri dalam profesi baru, yaitu sebagai makelar tanah. Hal ini dilakukan hanya untuk mengejar keuntungan semata, karena di zaman global ini manusia pun disebut sebagai homo economicus. Hal yang dilakukan itu turut memperparah keadaan Bali terutama ditinjau dari aspek palemahan-nya. Andai kita sadar bahwa tanah siapa yang telah dijualnya, kebanyakan adalah tanah warisan leluhur/ leluhur yang sudah tiada yang melihat perilaku sentana-nya melakukan perbuatan konyol. Kalau tanah hasil karya sendiri mungkin lebih ditoleransi, tetapi kita tidak pernah tahu kalau ibu pertiwi penuh isak tangis karena telah ditransaksikan oleh sentanan-ya sendiri.

Untuk memberikan pemerataan pembangunan, sebaiknya memang pembangunan dilakukan ke samping dan ketinggian tidak melebihi 15 meter. Tentu alasan tersebut penuh dengan argumen. Ada pendapat, bahwa agar Bali tidak oleng karena telah kelebihan muatan. Oleh karena itulah kajian kapasitas daya tampung mesti dilakukan. Kita akan melihat bagaimana Bali yang sarat beban dan kondisi tekstur tanah untuk menyangga bangunan-bangunan pencakar langit andai bangunan diizinkan melebihi 15 meter. Pengawasan dan perimbangan tentang bangunan tinggi seperti mall, hotel, atau ruko mesti dilakukan evaluasi. Hal tersebut agar tidak mematikan ketradisian kita dalam hidup. Kita bisa menghitung berapa masih bertahan dagang kopi yang secara tardisional dapat dijadikan ajang dalam hal mempererat tali persaudaraan antar sesama aggota masyarakat. Warung kopi telah berganti dengan cafe bahkan kalau diperhatikan dalam masa ini dengan kehadiran minimarket dan yang sejenisnya justru dijadikan tempat oleh teruna Bali untuk bergaul dengan teman--temannya sambil merokok dan meneguk sebotol bir. Ini bukan merupakan pemandangan luar biasa, karena gaya hidup yang dilakukan anak itu adalah hal yang biasa.

Kembali ke persoalan tinggi bangunan 15 meter akan memberikan ruang gerak yang lebih nyaman agar kita tidak melakukan alih fungsi yang berlebihan dan lebih selektif menerima pendatang. Kalau wisatawan mereka akan pulang kembai ke negranya, bagaimana dengan para buruh yang setelah pulang ke daerahnya, sekembalinya dari mudik kemudian balik tidak akan pernah sendiri melainkan akan mengajak pula saudara, teman untuk mengikuti jejak pendahulunya. Cara-cara yang dilakukan agar mereka bisa lolos masuk pintu Bali ada pula petugas yang memberikan keleluasaan walaupun tanpa identitas. Kita lebih sering mengutamakan mereka, baik sebagai tamiu maupun krama tamiu dengan tidak memberikan kewajiban apa pun kepada mereka sebagaimana halnya krama uwed. Dengan kelonggaran yang diberikan kepada mereka, betapa mereka tersenyum simpul dan bersiul untuk hanya mengeruk keuntungan dari bisnis maupun aktivitas yang dilakukan. Hal mini tentu berdampak kurang baik bagi krama uwed yang selalu berkutat dan bergelut dengan aktivitas adat, pekerjaan, dan kegiatan-kegiatan lain.

Kita boleh bercermin pada saudara kita sebangsa dan setanah air, yaitu Betawi yang termarginalkan di negerinya sendiri dan kelebihan kapasitas sebagai sebuah ibu kota dan kota metropolitan yang tentu disesaki dengan gedung pencakar langit lengkap dengan rumah kaca yang menjulang. Dari situ ada prediksi karena beban dan tekstur tanah tidak mampu menyangga beban yang sarat dan diprediksi tahun sekian Jakarta akan tenggelam. Sebelum hal tersebut terjadi pada Bali, mari pikirkan ke depan model bangunan mana yang cocok dengan keadaan Bali sekarang, agar pulau yang kita cintai ini masih bisa kita selamatkan tentu dengan keselamatan orang Balinya sekalian.
(Dr. Dra. Ida Ayu Tary Puspa, S.Ag.,M.Par. Sekretaris Program Magister Brahma Widya IHDN Denpasar).

Selanjutnya......

Kesucian Pura dan Tinggi Bangunan di Bali

I Nyoman Tika

Pulau Bali, pulau sangat kecil dibandingkan pulau lain di Nusantara ini, namun sinarnya terang memberikan warna tersendiri, mempesona dunia. Apa gerangan penyebabnya? Jawabannya karena pesona alam yang terjaga dengan sistem budaya yang mengagungkan harmonisasi dengan alam, Tuhan dan makhluk hidup. Ketiganya bersatu dengan vibrasi mantra pensuci lima komponen utama alam semesta, pertviyaptejo wayu angkasa mesyudantam, jyotir aham wiraja wipapma buyasam swaha.

Kini konsep itu, yang telah terlaksna ratusan tahun hendak disederhanakan, diredifinisikan ulang, dengan bahasa bijaksana mau diselaraskan dengan zaman, agar lebih modern, publik disodorkan sebuah wacana ketinggian bangunan di Bali perlu direvisi dan Bhisama atas kesucian pura pada RTRW Bali ditiadakan. Pada dimensi itu, Bali seakan tidak pernah sepi untuk dimutasi dengan sebuah gejolak. Saat ini gejolak itu berada di ranah “nilai kebalian” itu sendiri. Sebab deburan untuk mengubah ketinggian bangunan dan bhisama, telah membuka mata kita, bahwa ada sesuatu yang kian hilang, yakni sebuah konsep yang dikenal sebagai masihi samasta bhuwana, harmoni dengan alam semesta, sudah lagi menipis pada elemen masyarakat Bali.

Riuh dan silang pendapat muncul, menanggapi wacana ini. Ini adalah dialektika pendewasaan pemikiran orang Bali, yang selama ini, seakan terjepit antara ideologi fragmatisme, modern, tradisional, dan kapitalis. Para investor yang merupakan elemen kapitalisme, yang diduga kuat merangsuk dan menjepit manusia Bali, dan membawanya ke zone mabuk akan materialisme, seakan kembali ingin menohok. Dan celakanya yang diserang adalah “pemangku kebijakan publik”. Ketika mereka kosong akan dinamiki pemikiran keajegan kultur, dan hakikat pembangunan dengan nilai Satya bhakti Prabu, maka sulit bagi Bali untuk bertahan, sebab tokoh-tokoh publiknya semacam itu tak mampu menyatukan, sesuatu apa yang disebut Imanuel Khan, sebagai penyatuan rasionalisme dan empirisme, di alam pemikiran para legeslatif dan eksekutif yang ada saat ini.

Sebab jarang di antara pemimpin Bali yang hadir dengan jati diri dengan tingkat pemahaman yang maksimal dan meresapi pertanyaan bagaimana pengetahuan (ilmiah) adalah sesuatu yang eksis, dan bahwa akal budi serta pengalaman mempunyai kontribusi atas pengetahuan tersebut; itu tak pernah terimplementasi sebagai wacana dinamika kultur dalam kinerja di Bali. Atas dasar inilah solusi yang ingin ditonjolkan dari tulisan ini adalah sebuah pemikiran yang mungkin tidak memuaskan semua pihak, walaupun demikian dari pada tidak menyumbangkan pemikiran lebih baik menyumbangkan seadanya. Di wilayah itu kita umat Hndu saling berbantah dan juga bisa saling melakukan proses dialektika keilmuan terjadi, sehingga melahirkan kepekaan dan kekritisan terhadap segala bentuk kejadian yang mengarah pada perbaikan sistem .

Kembali ke ketinggian bangunan 15 meter, boleh atau tidak?, Solusinyanya ada pada diri kita semua, seperti mau kita buat apa Bali ini? Mau menjadi pusat bisnis atau menjadi pusat pariwisata berbasis kultural? Kalau jawabannya yang pertama, maka silahkan membangun apa saja di Bali, yang penting kita untung, ada pemasukan uang, dan masyarakat dapat untung, pemerintah untung, ketika itu Bali tidak ada identitas, hanya satu identitasnya adalah di Bali banyak uang.

Persoalannya kemudian adalah, apa yang menyebabkan para turis datang ke Bali, baik domestik maupun manca negara? Benarkah hanya keindahan alamnya? Belum tentu, sebab setahu saya, saya sering ke obyek wisata di Bandung Selatan, banyak memiliki lingkungan eksotik, mempesona jauh lebih indah dari Bali, namun tidak banyak turis datang ke obyek itu. Turis datang bukan semata-mata karena pesona alam, namun lebih pada kultur dan kreativitas masyarakatnya.

Masalah yang muncul saat ini adalah ketinggian bangunan 15 meter, perlu dipertahankan atau tidak di Bali? Sebab angka 15 meter menjadi sangat sakral, atau dibiarkan saja berapa pun orang ingin membangun. Untuk menjawab itu, mari kita bangun pemikiran seandainya dibiarkan saja tinggi bangunan berapapun dibiarkan di Bali? Apa yang akan tampak kemudian coba prediksi? coba bayangkan, apa yang mungkin terjadi. Begitulah pertanyaan yang saya ajukan pada mahasiswa yang saya beri kuliah. Saya kaget atas jawabannya.

Bangunan dengan 100 lantai akan dibangun di pusat kota Denpasar, bangunan 150 meter akan dibangun di pinggir pura Besakih, dan mungkin 200 meter dibangun di Ubud, kota Gianyar dan lain sebagainya. Berbagai kondominium kemudian menjamur di Bali. Lalu, bagaimanakah wajah Bali kalau sudah demikian? Kelam, Bali tidak bisa dibedakan dengan Surabaya, atau Jakarta, orang tidak ingin datang ke Bali, mungkin akan berhenti di Jakarta atau Surabaya. Banyak bangunan yang megah dan tinggi, tentu jumlah penghuninya pun beragam dan sangat padat. Bali menjadi pusat Bisnis. Pertanyaan kemudian mau membuat Bali berdasarkan kultur atau tradisi seperti sekarang, atau menjadi pusat bisnis dunia, atau menjadi pulau kota yang megah, sehingga tidak perlu ada sawah? Mahasiswa serentak menjawab tidak, Pak.

Taruhlah, asumsi kalau Bali menjadi pusat bisnis dunia, nampaknya kondisi ini bukan hal sulit, namun membuat manusia Bali bisa mengikuti iklim itu bukanlah mudah. Masyarakat Bali belum siap secara kultur memasuki wilayah demikian, karena kultur pertanian dan tradisi yang kuat belum bisa diajak lari pindah ke zona industri dalam waktu cepat, atau informasi, sehingga komunitas Bali tertinggal jauh, di Bali menjadi sangat mahal dan persaingan akan sangat ketat, dan persaingan itu sering menyisihkan komunitas lama, dan dimenangkan oleh pendatang, karena mereka lebih siap. Lebih-lebih saat ini kita kerap lupa untuk mengubah prilaku dan mind set orang Bali agar memiliki jiwa kompetisi yang unggul.

Pembangunan SDM menjadi titik orientasi agar SDM Bali bisa berkompetisi. Catatan kecil muncul, bahwa mendidik manusia saat ini berbeda jauh dengan ketika jaman dahulu. Kini, dunia termasuk di Bali lebih banyak dibangun oleh informasi, dan tentu juga oleh dunia maya. Visualisasi dunia maya, selain menghadirkan citra, tanda, gambar, menghadirkan pula teks. Hanya saja, pembacaan teks pada dunia internet sifatnya tidak linier seperti orang membaca buku atau koran. Melainkan, dalam istilah para penggagas studi-studi kebudayaan visual disebut bersifat hiper-teks. Teks itu berlapis-lapis, seperti dimungkinkan oleh teknologinya, sehingga kehampaan sering meliputi alam pikir kita, termasuk kita ingin membangun Bali dalam perspektif yang instan, tanpa memikirkan kultur yang menjawai diri kita. Om nama Siwaya****

Selanjutnya......

Lebih Baik Gedung Tinggi daripada Skidrow

I Wayan Miasa

Pulau Bali yang luasnya kira-kira cuma 0, 29 persen dari luas Indonesia merupakan pulau kecil yang sangat unik. Bali menarik setiap orang untuk datang ke pulau ini dengan berbagai tujuannya. Akibat perkembangan ekonomi dan pertambahan penduduk itu, tentu berimbas pada alam Bali, juga kompetisi dalam lapangan kerja serta meningkatnya kebutuhan akan perumahan dan akomodasi lainnya.

Khusus dalam hal kebutuhan akan pembangunan yang memerlukan tanah, entah itu untuk pembangunan gedung, perumahan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya, maka kita perlu berpikir secara komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai segi, agar pembangunan tersebut benar-benar selaras dengan desa, kala, patra masyarakat Bali, agar Pulau Bali tidak hancur lantaran tidak tertatanya pembangunan itu sendiri.

Sehubungan dengan adanya silang pendapat tentang tinggi bangunan di Bali, maka perlu kita rasanya mempertimbangkan daya dukung Pulau Bali ini, perlu rasanya ada pengertian dari semua pihak yang peduli akan Bali. Sebagai pulau kecil dengan mayoritas penduduknya beragama Hindu di mana konsep tentang “Rwa Bhinneda, suci leteh” dan konsep-konsep lainnya begitu mempengaruhi kehidupan warga Hindu Bali maka dalam pembangunan perumahan, gedung dan yang lainnya hendaknya disesuaikan dengan kondisi Bali itu sendiri.

Pembangunan gedung, perumahan di Bali itu perlu mencontoh pembangunan di negara-negara yang maju misalnya, negara Jerman. Di sana di beberapa wilayah negara tersebut gedung-gedung pencakar langit dibangun di wilayah tertentu dengan pertimbangan dan persyaratan yang harus dipenuhi dalam membangun gedung-gedung tersebut, misalnya bentuk atap rumah serta warna atap bangunan tersebut ditentukan oleh pemerintah sehingga bangunan di daerah tersebut bisa menjadi ciri khas wilayah tersebut. Dari bentuk serta warnanya bangunan suatu gedung atau rumah, orang sudah tahu dari daerah mana bangunan tersebut. Jarak bangunan yang satu dengan bangunan yang lain juga ditentukan jaraknya. Hal-hal yang berhubungan dengan pembangunan diatur secara rinci dan mendetail dan banyak persyaratan yang harus dipenuhi dalam membangun rumah atau gedung di negara tersebut. Pembangunan di sana benar-benar mempertimbangkan aspek keharmonisan antara manusia dan alam sekitarnya, aspek keselamatan, juga dipertimbangkan hal-hal yang bisa terjadi pada bangunan tersebut bila terjadi kebakaran apakah mudah dijangkau atau tidak, dan lain-lainnya. Bila saja pola pembangunan seperti bisa diterapkan di Bali maka pembangunan yang boros lahan dan pembangunan yang tak ramah lingkungan bisa dihindari.

Selama ini pembangunan di Bali kebanyakan berpacu dengan mode atau style. Banyak bangunan di Bali entah itu perumahan atau perkantoran yang tidak mencirikan Bali.

Pembangunan di Bali terkesan semaunya tanpa peduli akan keseimbangan dengan alam sekitarnya. Pertimbangan akan kondisi dan fungsi tanah tersebut sering diabaikan, misalnya di daerah dataran rendah yang menjadi tempat bermuaranya air di sana seharusnya terbebas dari bangunan karena sudah pasti daerah tersebut akan menjadi sasaran limpahan air saat hujan. Begitu juga sebaliknya daerah-daerah yang tandus atau kurang produktif seharusnya dioptimalkan pemanfaatannya sehingga daerah itu bisa bermanfaat dengan baik namun sayang hal ini sering terlupakan. Kita sering tidak bertoleransi dengan alam, misalnya tanah-tanah yang posisinya rendah kita timbun agar posisinya lebih tinggi sehingga hal tersebut berimbas pada tatanan keseimbangan di lingkungan sekitarnya.

Melihat kenyataan yang sudah terjadi di Bali khususnya di Bali bagian selatan seperti Badung, Denpasar, Gianyar di mana lahan-lahan pertanian, lembah, jurang, tebing telah banyak dialihfungsikan untuk berbagai keperluan, maka bila hal ini terus berlangsung tentu suatu saat pulau ini akan hancur. Terlebih lagi Bali sebagai tujuan wisata yang mengandalkan daya tarik alamnya. Sebelum kerusakan lebih parah terjadi, maka kita bersama-sama perlu memikirkan solusi terbaik untuk Bali terutama dalam pembangunan di pulau ini.

Untuk mengurangi alih fungsi lahan yang berlebihan perlu rasanya dibuatkan suatu zone-zone tertentu untuk perumahan, perkantoran atau kebutuhan yang lainnya. Di wilayah-wilayah yang dijadikan perumahan, perkantoran dan lain sebagainya di sana bangunan boleh tinggi namun tetap memperhatikan aspek keharmonisan dengan alam Bali, misalnya bangunan-bangunan di wilayah tersebut harus berisikan ornament style Bali. Begitu juga di muka rumah disediakan ruang untuk tanaman, sehingga bangunan itu terkesan tak terpisah dari alam. Tambahan pula seharusnya bangunan rumah-rumah itu diberi jarak antara bangunan keluarga yang satu dengan yang lainnya, seperti yang terjadi sekarang ini di daerah pemukiman baru. Setiap pemilik tanah sering lupa memikirkan ruang terbuka di sekitar bangunan rumahnya. Setiap jengkal tanah diisi bangunan sehingga bangunan tersebut berdesak-desakan dengan yang lainnya. Bangunan seperti tentu memiliki banyak resiko misalnya bila terjadi kebakaran api akan cepat merambat ke bangunan lain, saat hujan air akan sulit mengalir dan sudah pasti mereka mengalirkan air tersebut ke jalan dengan resiko air meluap di jalanan.

Ancaman Skidrow

Akan percuma saja kalau kita berdebat mengenai batas ketinggian bangunan bila pembangunan gedung, perumahan atau yang lainnya tidak diharmoniskan dengan keadaan alam Bali. Suatu contoh saja di suatu wilayah di Denpasar dengan penduduknya begitu heterogen (bercampur) dengan tingkat hunian yang padat. Bila bangunan di wilayah tersebut tidak diatur maka akan terjadi “skidrow” atau daerah-daerah kumuh di mana-mana. Dan hal ini akan lebih buruk kelihatan daripada bangunan gedung-gedung tinggi.


Sebelum terlambat kita perlu membangun gedung-gedung bertingkat dengan ketinggian tertentu agar alih fungsi lahan produktif bisa dikurangi. Bangunan-bangunan tinggi itu bisa disewakan atau dikontrakkan kepada para pendatang dari luar Bali, sehingga kontribusi para pendatang tersebut bisa kita rasakan dan bila perlu kita harus kelola dengan manajemen yang profesional dengan melibatkan masyarakat di daerah tersebut. Begitu juga setiap warga pendatang dari luar Bali yang mau membangun di Bali diharuskan mengikuti tatanan wilayah setempat, dengan demikian mau tidak mau masyarakat luar Bali harus mengikuti gaya bangunan dengan Bali style, kalau tidak maka bentuk bangunan tersebut akan seenaknya.

Akan sangat lucu bila kita masyarakat kita diwajibkan mempertahankan keasrian bangunan mereka dengan sytle Bali-nya, sedangkan para pendatang boleh membangun rumah, pertokoan seenaknya dengan mengabaikan ciri khas bangunan style Bali. Ingatlah Pulau Bali ini sangat kecil luasnya dan sangat percuma saja kita ribut-ribut mengenai batas ketinggian bangunan di Bali. Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana membangun di pulau ini secara efisien dan bagaimana memberdayakan alam kita secara maksimal dan mampu mensejahterakan masyarakatnya.

Masyarakat Bali seharusnya tidak mempersoalkan mengenai ketinggian suatu bangunan tetapi hal yang mendesak untuk diselesaikan adalah bagaimana caranya agar masyarakat kita tidak menjadi obyek di daerahnya. Misalkan saja di desa-desa di daerah Denpasar yang memiliki “Pelaba pura”, manfaatkan “laba” tersebut untuk perumahan dan sewakan kepada para pendatang dan bukan menjualnya. Dengan mengoptimalkan pemanfaatan “tanah duwe” ini maka laju pembangunan perumahan bisa direm karena semua masih dalam kendali warga sendiri. Hal ini akan berbeda bila tanah itu sudah berpindah kepemilikan. Apalagi sang pemiliknya orang luar Bali yang cuma mau mengeruk keuntungan di Bali, maka jangan harap mereka akan peduli akan kelestarian Bali karena mereka lebih mementingkan keuntungan ekonomi dengan semboyan “berkorban sedikit-dikitnya dan mendapat untung yang sebesar-besarnya”, “Bali hancur kita kabur”.

Bangunan Tinggi atau Bangunan Sempit, Sumpek, Semrawut?

Janganlah kita berpikir kalau bangunan tinggi itu bisa merusak Bali, bisa menghancurkan pulau ini dan sebagainya. Marilah kita berpikir bagaimana caranya mengerem pembangunan yang mencaplok tanah yang berlebihan. Marilah kita buat zone-zone pembangunan gedung, pemukinan sesuai kondisi keadaan sekitar kita. Kalau di sekitarnya ada Pura Kahyangan Jagat, ya janganlah membuat bangunan yang melebihi ketinggian pura tersebut bukan karena “leteh” karena Tuhan itu tak tercemar tetapi atas pertimbangan etika saja. Bangunan-bangunan tinggi berupa apartemen bila dibangun di wilayah tertentu dengan hiasan style Bali akan kelihatan menarik. Hal ini akan berbeda bila bangunan tersebut terletak di wilayah “skidrow” walau tidak tinggi tapi kurang sedap dipandang mata. Cobalah lihat sekali-sekali di wilayah yang penduduknya begitu padat seperti Denpasar. Disana ada banyak bangunan yang melebihi S3, mungkin saja S4 (sempit, semrawut, sesak, sumpek) atau lebih.

Nah kalau begitu, apa salahnya kalau kita membangun bangunan tinggi yang lebih tertata tanpa melupakan tatanan keharmonisan dengan lingkungan sekitar kita. Begitu juga mengenai kehigienisannya bisa ditata, kebersihannya bisa kontrol. Janganlah kita selalu berdalih dengan alasan kesucianlah, tidak Bali-lah dan seterusnya. Mengenai kesucian itu tergantung dari nilai rasa kita dan ingatlah mengenai sifat Tuhan bahwa Beliau tidak tercemar, tak terkeringkan, tak terbasahkan dan lain sebagainya. Sekarang kita perlu mempertimbangkan apakah membiarkan tanah di Bali terus dialihfungsikan karena kebutuhan perkembangan jaman atau mengerem alihfungsi lahan dengan mengijinkan pendirian bangunan tinggi di suatu wilayah, yang sudah tentu mempertimbangkan aspek estetika, etika, sosial, budaya dan lain-lainnya.

Selanjutnya......

Peradaban Veda Tak Anti Bangunan Tinggi

Gede Agus Budi Adnyana

Ada yang menyatakan, bahwa struktur bangunan tinggi tidak dibenarkan oleh Veda. Tapi sebatas sepengetahuan saya, belum pernah saya membaca sloka dan Mantra Veda yang menyatakan demikian. Saya tidak berbicara masalah lontar-lontar Nibandha, yang saya garis bawahi adalah Veda dan itu pun dalam kesusastraan Purana. Mari kita tengok sejenak peradaban-peradaban besar Veda yang menghasilkan bangunan raksasa megah tinggi menjulang dengan kontruksi bertingkat.

Pertama kota tua Mohenjodaro dan Harappa. Kedua kota ini mencerminkan sebuah peradaban Veda yang mengagumkan. Kota dengan sistem pengelolaan limbah yang tertata rapi, kemudian menunjukkan sisa radiasi nuklir (radioaktif) level tinggi, dan ini mengindikasikan bahwa peradaban Veda mengenal teknologi sehebat itu. Kontruksi dari sebagian besar reruntuhan kota, setelah diteliti adalah bertingkat dengan menjulang tinggi ke langit. Rumah penduduk bertingkat tinggi dengan kontruksi dasarnya yang sangat kuat. Ada beberapa jembatan layang melintang di jalan utama sebagai jalur transportasi umum.

Kemudian kota kuno Dvaraka yang reruntuhannya diteliti oleh Dr. Rao, kota peradaban Veda yang tenggelam karena Tsunami dalam kitab Mausala Parva ini memiliki gambaran bertingkat-tingkat seperti yang dinyatakan dalam Vishnu-Purana dan Bhagavata Purana. Rumah-rumah penduduk tinggi-tinggi dengan istana utama tepat Balarama yang bagaikan menara pencakar langit sebagai istana utamanya. Kemudian kota ini memiliki benteng tinggi yang kuat dan ruang bertingkat untuk prajurit Narayani yang siap bertempur menggunakan senjata mereka.

Lalu peradaban India Maya, yang juga merupakan peradaban Veda, memiliki konstruksi bangunan bertingkat yang menjulang tinggi ke langit. Kuil yang terdapat di dalam salah satu Piramid Maya, bahwa tertulis “Suryavamsi Rama” yang diinterpretasikan sebagai kuilnya Rama. Ini memiliki kontruksi yang hampir setara dengan sebuah gunung. Lain lagi, jika kita berbicara masalah bangunan kota-kota tinggi yang dalam kitab-kitab Purana dinyatakan sebagai “Sakha Nagari”, sudah sangat jelas kota dengan ketinggian luar biasa. Bahkan seseorang dapat menyaksikan kendaraan dewata naik turun dan berbicara sejajar dengan makhluk yang berpergian dengan pesawat udara kuno.

Nah, itu dijaman Veda, kemudian bangunan itu juga merupakan sebagian besar tempat suci. Sekarang di Bali ada sebuah kecemasan, bahwa jika bangunan dan gedung tinggi itu dibuat dan membanjiri Bali, maka eksotisme Bali bisa hilang. Ini dapat kita terima sebagai sebuah keharusan yang memang semestinya demikian. Yang menjadi masalah adalah, penolakan bangunan dan gedung tinggi itu bila mengatasnamakan Veda, sebab sampai sejauh ini saya sendiri tidak dapat dan tidak pernah membaca penolakan seperti itu dalam Veda.

Saya tidak berbicara masalah Nibandha, namun jika lontar Nibandha yang dijadikan acuan, maka itu juga sah-sah saja, mengingat lontar di Bali juga merupakan “Juklak dan Juknis-nya umat Hindu di Bali melakukan ritual, dan kehidupan sosial lainnya. Tujuannya tidak lain adalah untuk menjaga Bali agar tetap terlihat indah.

Nah, dari pada berdebat apakah boleh tinggi atau tidak, toh juga Bali kewalahan untuk membendung pendatang, perubahan jaman, perkembangan yang pesat, maka sebaiknya, bangunan itu dibuat turun ke bawah (ruang bawah tanah). Ada banyak hal yang kecenderungannya mengarah ke sana, dari pada harus berdebat mengenai tinggi dan tidak. Saya sendiri merasa sangat sedih jika harus kehilangan Bali yang eksotis ini, namun jika ingin menjadikan hal ini sebagai sebuah pemikiran yang logis, maka sebaiknya dicarikan jalan keluar yang bijak.

Tetapi, sekali lagi, peradaban Veda tidak anti terhadap bangunan tinggi. Itu disebabkan karena Veda sendiri sering menguraikan tentang kota-kota elit yang bahkan tak terjangkau oleh logika kita. Tri Pura adalah kota yang dibangun oleh arsitek terkenal bernama Hyang Danvantari, kota itu memiliki ketinggian bangunan rumah penduduk yang hampir seperti menara, dan itu dilukiskan dengan sangat indah oleh Bhagavan Dvaipayana Vyasa. Sebab Hindu sendiri memiliki Dewa Arsitek terkemuka, dan dengan demikian alangkah konyolnya jika kita menyatakan bahwa Veda menentang bangunan tinggi. Peradaban yang saya sebutkan di atas adalah peradaban Veda yang berada di tempat kering dan tandus serta ditempat yang dikelilingi samudra, seperti kota Dvaraka. Maka mustahil bagi Hyang Visvakarma untuk membangun ruang bawah tanah. Maka dari itu, tempatnya dipertinggi.

Saya sendiri sangat setuju dengan adanya sebuah ketentuan bangunan tidak boleh melebihii 15 meter di Bali, dengan tujuan tetap menjaga keindahan Bali. Tetapi, jangan dinyatakan Veda sebagai dasar penolakan itu, sebab Veda adalah sebuah kitab holistik yang tidak pernah mengekang sebuah pradaban dan kemajuan ilmu pengetahuan seperti yang dinyatakan Annie Besant. Jika boleh saya berikan sebuah saran, maka sebaiknya, bagunan itu dibuat di tempat yang sudah mendapatkan pemeriksaan inten terhadap kepadatan tanah, letak dengan kawasan suci, mata air, dan pesisir pantai, atau dengan kata lain jangan melebihi 15 meter dalam kawasan tertentu.

Selanjutnya......

Antara Jiwa dan Ketakjuban Arjuna

Luh Made Sutarmi

Air sungai mengalir mencari tempat yang selalu bersahabat dengan dirinya. Daun juga sama, menjulur ke arah datangnya sinar, karena dia mendapatkan kebajikan dengan sinar itu, mendapatkan makna kehidupan. Dalam bingkai itu, orang bijaksana mendidik dirinya untuk mengalir bersama aliran-aliran kehidupan. Bekerja, berusaha, berdoa tentu saja dilakukan. Namun berapa pun kehidupan menghadiahkan hasil, mereka selalu berkata, sambutlah semuanya dengan senyuman. Itu pertanda keikhlasan. Dalam bahasa orang bijak, keikhlasanlah yang membuat kehidupan istirahat dalam keabadian.

Atas pemaknaan keikhlasan itu, jiwa akan bertemu dengan konsep kehidupan mikrokosmos, yaitu Tuhan bersemayam dalam badan kita sendiri. Dalam bahasa Sanskerta, sarira berarti yang mudah binasa, yaitu badan. Tuhan disebut Sarira, yaitu yang tinggal dalam badan yang tidak kekal. Ia disebut juga Dehi, artinya yang mengenakan wujud sementara. Kshetrajña 'yang mengetahui Ksetra' yaitu yang tidak bergerak dan tidak mengetahui dirinya sendiri. Untuk menembus tirai kebodohan yang menutupi kebenaran dirimu, engkau harus berusaha menemukan Tuhan Yang Kekal yang bersemayam cemerlang dalam badan kasarmu. Engkau juga harus berusaha menemukan Tuhan yang bersemayam sebagai dasar segala ciptaan penghuni kelima unsur yaitu, ether, udara, api, air, dan tanah. Dalam renungan kali ini kita ingin mengulas ketakjuban Arjuna saat perang Bharatayuda.
****
Cahaya temaram lampu di padang Kuruksetra selalu hadir membuat jiwa Arjuna gelisah, perang juga semakin berkecamuk, dan belum ada tanda-tanda berakhir. Hati Arjuna gudah mengapa susah mendapatkan menang dalam pertempuran siang tadi. Lalu dia mendatangi Krishna berkata dengan suara agak serak dan sendu. “Kakak mengapa sulit menemukan celah untuk kita mengalahkan pasukan Kurawa di bawah Guru Drona?”

Krishna menjawab: Untuk mendapatkan intan, engkau harus menggali jauh ke dalam tanah. Engkau tidak menemukannya bergantungan di pohon. Begitu pula engkau tidak akan menemukan permata yang sangat berharga ini yaitu Tuhan, tergeletak di luar dan mudah dilihat oleh semua orang. Dengan bantuan ajaran para jiwa-jiwa Agung, engkau harus berusaha mencarinya di dalam dirimu. Badan kita bukan barang biasa. Ia adalah pura Tuhan atau kereta yang membawa Tuhan. Dalam dunia yang boleh dianggap sebagai desa yang besar, Tuhan diarak dalam kereta yang disebut badan (raga) ini. Setelah engkau menghayati itu semua engkau akan mudah mengalahkan Pasukan Kurawa, siapa pun pemimpinnya, semua yang bisa dilihat dengan mata, akan binasa, termasuk Drona, Bisma, Karna dan Duryodana.

“Kakak aku bersedih, dan sering tidak menghiraukan badan ini, padahal dengan tubuh ini perang itu harus terjadi. Bagaimana menjelaskan ini, aku belum mengerti?” Sambil duduk dengan pandangan tajam, Krishna berkata, “Arjuna tidak baik bila engkau tidak mempedulikan badan atau mengabaikannya atau menggunakannya secara tidak pantas atau untuk berbuat jahat. Badan ini harus digunakan hanya untuk melakukan kegiatan yang suci dan tidak mementingkan diri sendiri. Engkau harus menjaganya dengan baik serta menyucikannya dengan menggunakannya untuk melakukan tugas-tugas suci. Sudah tentu badan ini lembam, tetapi di dalamnya hidup aspek kesadaran suci. Badan bisa dibandingkan dengan perahu yang dapat menolongmu menyeberangi lautan samsara 'lautan kehidupan duniawi'. Badan ini tidak kau dapat dengan mudah. Karena kebajikan yang tak terhingga banyaknya dan kelahiran-kelahiran dalam wujud yang lain, engkau dapat memperoleh wujud badan manusia ini. Jika badan tersebut tidak digunakan sebagaimana mestinya, berarti engkau menyia-nyiakan seluruh kebajikan yang telah kau peroleh dalam kehidupan-kehidupan sebelumnya yang tak terhitung lagi banyaknya.”

Sambil tersenyum Krishna mengutarakan janji suci sebagai awatara, “Arjuna, bagiKu engkau adalah bagian dariKu, merupakan kemujuran yang luar biasa bahwa engkau lahir sebagai manusia. Karena itu, perahu suci yang dapat membawamu ke tempat tujuan ini harus digunakan dengan seksama, sehingga dapat menyeberangi lautan samsara dengan selamat. Dalam samudra ini, hidup buaya-buaya yang amat mengerikan, serta berbagai makhluk lain yang menakutkan dan berbahaya bagimu.”

“Kakak aku selalu menganggap pengalaman itu sebagai sebuah kejadian yang menyedihkan, bagaimana ini?” tanya Arjuna.

Krishna menjawab: Sebagian besar pengalaman yang kau hadapi dalam hidup ini lebih merupakan wujud penyakit daripada wujud kebahagiaan. Misalnya penyakit kelaparan, makananlah obat penyakit itu. Bila engkau memberikan makan sebagai obat lapar, maka penyakit itu akan lenyap. Engkau menganggap makan adalah suatu kenikmatan, tetapi sebenarnya adalah obat. Engkau memasak bermacam-macam makanan yang enak dan beranggapan bahwa rasanya memberi kenikmatan, tetapi itu tidak benar. Kadang-kadang obat diberikan dalam bentuk campuran yang mengandung sesuatu yang enak supaya rasanya manis. Demikian pula untuk penyakit lapar engkau mendapat campuran bermacam-macam makanan, tetapi sesungguhnya makanan apa pun juga adalah obat belaka.”

Arjuna sadar, bahwa dirinya telah mendapatkan rahmat yang agung dari penguasa alam, yang lahir dekat dengan dirinya, yakni Krishna, Tuhannya Yoga. Om Gam ganapataye namaha.”

Selanjutnya......

Krishna: Bapak Komunisme

Jauh sebelum Karl Marx, Lenin dan Mao, sosok figur historik di India berjuang melawan penindasan, memperjuangkan hak kaum miskin, menolak dogma agama dan spiritualitas kosong, dan berusaha menginspirasi perilaku budiman dan tanpa pamrih di masyarakat. Ajaran dasar komunisme menyatakan bahwa semua adalah sama dan mereka yang mengeksploitasi dan menindas mesti dihukum berat. Ajaran yang melawan dogma-dogma publik, dan menyokong rasa peduli dan berbagi. Tujuannya adalah menciptakan masyarakat yang bebas dari keakuan, autokrasi, aristokrasi dan semua bentuk penindasan terhadap orang.

Hidup dan pesan Krishna memperlihatkan bahwa dia meneguk, mengajar dan berjuang untuk prinsip-prinsip disebut di atas, lebih dari 5000 tahun lalu. Senyatanya, analisis obyektif atas Bhagavad Gita akan mengungkapkan bahwa Krishna adalah seorang komunis yang lebih baik dari Karl Marx! Kita malah bisa lebih jauh mendeskripsinya sebagai Founder sejati Komunisme! Krishna tumbuh di kalangan pengembala sapi, yang sekarang bisa disebut sebagai para OBC (Other Backward Classes – kelas terbelakang). Dia sendiri adalah seorang pengembala, dan bekerja untuk memberdayakan kaumnya. Di kemudian hari ia membunuh Kansa – pamannya sendiri, namun seorang raja penindas – dengan demikian membebaskan seluruh rakyat Mathura dan Brindawan dari tirani. Sepanjang hidupnya, Krishna peduli kepada mereka yang miskin dan lemah. Pada perang Mahabharata, ia sebenarnya bisa saja berpihak pada Kaurawa yang berkuasa, namun memilih Pandawa yang tak memiliki apa-apa kecuali maksud baik dan hati murni. Ia bekerja untuk mereka, dan sebagai duta besar perdamaian mereka.

Jadi misinya benar-benar diarahkan kepada yang miskin dan tertindas – korban para aristokrat. Karena itu ia dijuluki Deenabandhu atau Deenavatsala – teman si miskin. Cerita tentang Sudama, Brahmana miskin, adalah episode yang dikenal luas dalam kehidupan Krishna. Orang-orang sering berpikir bahwa kaum Brahmana adalah para penindas. Senyatanya, kaum Brahmana selalu miskin! Kita tidak mendengar contoh-contoh atau cerita-cerita Brahmana kaya dalam sejarah atau Purana. Cinta dan rasa welas asih Krishna sedemikian rupa sehingga ia menghormati Sudama; dengan demikian meretas pembatas antar-golongan.

Krishna melawan praktek-praktek keagamaan dogmatis di jamannya. Sekarang pun tetap dikenal luas bahwa saat itu seluruh masyarakat menghentikan puja korban yang dilakukan untuk Indra, sebaliknya atas saran Krishna beralih untuk memelihara sapi dengan baik (Pooja Govardhan) dan menjunjung pengetahuan Diri (“Govardhan” juga berarti menjunjung pengetahuan). Sebagai tambahan, Krishna mempromosikan “Annakoot” – makanan untuk semua.

Dia juga melawan mereka yang selalu berargumentasi mengatasnamakan Weda. “Yamimam pushpitam vacham… Veda vada ratah Partha…” (…Bhagawad Gita, Bab 2). Ia mengatakan bahwa mereka yang disetir oleh keinginan-keinginan sepele, mereka yang mengambil hati dewa ini atau itu, dan mereka yang terperangkap dalam ritual-ritual kecil dan keserakahan, adalah para pandir (moodha). Ia juga mengatakan , “Mereka yang menyembah banyak dewa dan melakukan banyak ritual adalah mereka yang intelegensinya kurang.” Akhirnya, setelah menjelaskan secara rinci tentang seluruh aspek kehidupan, pengetahuan dan kewajiban, ia berkata, “Sarva dharman parityajya mamekam sharanam vraja” – tinggalkan semua dharma dan berlindunglah padaku, berlindunglah pada Diri Yang Agung. Ini betul-betul revolusioner! Karl Marx juga mengatakan untuk menanggalkan agama: “Agama adalah madat kaum kebanyakan.”

Melampaui agama adalah pencarian akan kebenaran. Jadi bagaimana caranya orang untuk melangkah lebih jauh? – Krishna membimbing Arjuna dan orang-orang ke dalam pengalaman spiritual – sesuatu yang hampir tidak ada di Komunisme kekinian. Untuk menembus agama, orang perlu memahami apa itu agama. Dengan hanya membenci agama, Anda/kamu tidak akan menjadi non-religius – sebaliknya, kamu malah akan terperangkap di dalamnya dalam bentuk lain, dan inilah yang terjadi di dunia saat ini. Karl Marx tidak mengetahui spiritualitas India. Yang ia lihat adalah keyakinan buta dan aturan otoriter institusi-institusi agama yang ada di Rusia pada masa itu. Berbeda dengan Krishna yang membawa kita melampaui agama. Krishna juga mengatakan untuk melepaskan agama, namun perbedaannya adalah Krishna membawa seseorang pada keterjagaan spiritual, pengetahuan, kebenaran dan keindahan.

Kepercayaan diri yang terbangun pada orang-orang yang mengetahui kedalaman dan rahasia ciptaan adalah begitu mengagumkan dan indah – tanpanya, hidup menjadi kering. Jadi buatlah transisi dari agama menuju spiritualitas. Inilah yang tak ada pada prinsip Karl Marx. Krisnha, sebaliknya, memperlihatkannya secara jelas, dan ia memberikannya kepada dunia dalam bentuk Bhagavad Gita. Bagaimanapun Komunisme tidak bisa menolak Krishna karena ia adalah perwujudan dari prinsip-prinsipnya secara lebih berarti. Kalau kita tidak bisa melihat kenyataan, kebenaran ini, dengan pikiran terbuka maka kita hanya menggantikan agama lama dengan agama baru yang bernama komunisme. Karena itu kita mesti sadar – kita mesti terjaga – untuk beradaptasi dengan perubahan jaman.

Saya heran kenapa para komunis belum “mengakui” Krishna! Dalam Gita, Krishna sering berkata, “Yo mam pasyati sarvatra” – ia yang melihat saya di setiap orang, ia yang melihat dirinya di setiap orang, adalah ia yang melihat Kebenaran. Ini adalah prinsip dasar Komunisme – melihat setiap orang sebagai diri sendiri.

Ia berkata bahwa kulit pisang hanya berarti selama masih ada pisang di dalamnya. Ketika kamu memakan pisangnya, kulit tidak ada artinya lagi. Demikian halnya agama tidak bisa membawa orang ke kebenaran sejati, ke tujuan; agama hanya bisa sampai pada jarak tertentu. Adalah spirit penyelidikan diri – watak ilmiah seseorang – yang mengantar seseorang ke kedalaman. Agama tertinggal di belakang, sementara seseorang bergerak ke dalam alam humanisme murni atau Keilahian murni – ini adalah tonggak ajaran-ajaran Krishna.

Tidak seperti di Barat di mana para ilmuwannya dulu disiksa, dan mempertanyakan kitab-kitab religius dilarang, India justru mendukung pengkritisan dan perenungan. Terbukti kebanyakan kitab-kitab di India berformat tanya-jawab. Setelah mengutarakan pendapat, Krishna memberitahu Arjuna untuk berpikir secara independen dan mempertanyakan. Ia memberitahu Arjuna bahwa Arjuna memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak pendapatnya. Ia tidak pernah memaksakan idenya. Walau komunisme menyokong pemikiran rasional, kita mendengar banyak kaum komunis yang tidak memberikan kebebasan kepada orang lain untuk menyatakan ideologi yang berbeda. Di saat bersamaan, Krishna juga menginspirasi Arjuna untuk bertempur, dan menolak penindasan – sesuatu yang lagi-lagi juga dikatakan oleh kaum komunis. Krishna menyarankan Arjuna untuk bertempur, tanpa kemarahan dan kebencian, namun dengan kecerdasan, ketenangan hati dan kebijaksanaan.

Satu lagi prinsip komunisme adalah berbagi. Sebagai bocah, Krishna berbagi mentega dengan kawan-kawannya. Di kemudian hari ia berbagi kekayaan. Di dalam Srimad Bhagavatam, disebutkan bahwa di hari-hari akhirnya, setiap pagi Krishna memberikan hadiah kepada orang-orang. Fitur menonjol dari komunisme adalah bekerja untuk masyarakat. Sangat menentang konsumerisme dan keserakahan. Ini dijelaskan oleh Krishna dalam Karma Yoga: “Karmanye vadhikaraste…” Lebih jauh ia juga mengatakan bahwa orang yang betul-betul bijaksana melihat semua manusia sama dan tidak membedakan antara Brahmana dan pariah, atau yang berilmu dan yang tidak: “Vidyavinaya sampanna…” Komunisme sering menentang sistem kasta, tetapi suka tak suka, sistem ini telah lama dipraktekkan di seluruh dunia. Bahkan sampai sekarang, dalam bentuk kelompok profesi. Sebagai contoh, kamu tidak akan bisa masuk ke kelompok Angkatan kalau kamu bukan seorang tentara; atau kamu tidak bisa masuk ke Asosiasi Dokter India kalau kamu bukan seorang dokter! Sistem kasta yang telah ada jauh sebelum jaman Krishna, kurang-lebih sama dengan kelompok profesi kini – bukan berdasarkan kelahiran, tetapi berdasarkan alamiah dan pekerjaan seseorang: “Guna karma svabhawaavaja…”

Ada banyak contoh mereka yang terlahir ke dalam kasta tertentu, tetapi menjadi bagian kasta lain karena profesi. Veda Vyasa, contohnya, yang lahir dari seorang ibu nelayan, tetapi dihormati sebagai pemegang otoritas Veda. Fakta yang paling mengherankan adalah dari seribu rishi (rsi) hanya segelintir yang lahir dari apa yang disebut-sebut sebagai kasta tinggi. Satu sanggahan dari pernyataan – “para shudra adalah kaki dari para purusha” – karena berupa penghinaan. Patut dicatat di sini bahwa segala bentuk penghormatan dan pemujaan ditujukan pada kaki (semisal Pada Pooja, Padanamaskara.) Kalau tujuan memang untuk tidak menemukan harmoni, tetapi menyebarkan kebencian dan kemarahan, kamu akan senantiasa menemukan sesuatu yang tak disetujui pada apa dan siapa saja!

Banyak yang berbicara tentang komunisme, tetapi mereka melakoni hidup kapitalistik. Tetapi Krishna tidak pernah melakukan hal itu. Ia tidak pernah menjadi raja, walaupun disebut Dwarkadheesh. Ia tetap menjadi pelayan dari raja Dwarka; ia adalah raja tanpa mahkota. Ia berjuang untuk kepentingan kaum miskin. Ia melihat kesamaan pada siapa saja. Karena itulah Krishna dikenang selama berabad-abad. Sekarang tiba-tiba menjadi semacam kebiasaan untuk melihat Ramayana atau Mahabharata sebagai epik, dan bukan sebagai sesuatu yang betul-betul terjadi! Ini betul-betul menggelikan karena sesuatu yang hanya berupa legenda tidak mungkin bisa berpengaruh sedemikian kuat ke seantero benua dan lebih jauh lagi. Tanpa teknologi atau bentuk komunikasi modern, Ramayana dan Mahabharata memberi pengaruh yang begitu besar pada peradaban. Kata Sansekerta “itihasa” (sejarah) berarti terjadi seperti itu adanya; demikianlah kejadiannya.
Diterjemahkan dari salah satu booklet wejangan Yang Mulia Sri Sri Ravi Shankar (Pendiri the Art of Living Foundation) berjudul Krishna – Absolute Joy oleh I Gusti Raka Panji Tisna

Selanjutnya......

Calon Tuhan

Page Paradev-Jakarta


Di antara semua jenis calon yang ada di dunia ini, calon Tuhan adalah yang paling Tinggi. Mungkin judul itu tampak bombastis, tapi itu tidak mengada-ada. Merupakan fakta bahwa penganut Hindu sebagian memang menginginkan menjadi Tuhan, dan sekarang mereka sudah merasa menjadi calon Tuhan, atau minimal bakal calon Tuhan.

Sekarang, sebagian calon Tuhan ini sangat aktif di forum-forum diskusi dunia maya. Mereka seperti mendapat penyaluran akan kebanggaannya akan “tattva” yang dipahaminya. Pengalaman saya, beberapa kali saya terlibat “kontak senjata” dengan mereka (berdebat). Lucu juga, ketika mereka sudah terpojok mereka membuat olok-olok bahwa saya ini “haker”, jongos, budak, atau kacungnya Krishna. Mereka tertawa, saya juga tertawa.

Saya tidak pernah merasa keberatan dengan istilah-istilah itu karena saya menerima kenyataan bahwa sejatinya saya adalah pelayan. Saya adalah Jiva. Dalam kedudukan dasarnya, Jiva adalah pelayan kekal Tuhan. Pelayanan kepada Tuhan adalah “dharma” sang Jiva sehingga ia disebut makhluk hidup (living entity), seperti halnya rasa manis adalah dharma suatu benda, sehingga ia disebut gula, atau rasa asin adalah dharma dari benda, sehingga ia disebut garam. Dikatakan bahwa jivera svarupa haya krsna nitya dasa, kedudukan dasar sang Jiva adalah sebagai pelayan kekal Tuhan Sri Krishna (CC Madya-Lila 20.108). Ekale isvara krsna ara saba bhrtya, pengendali hanya satu yaitu Tuhan Sri Krishna, semua yang lain adalah para pelayan-Nya (CC Adi-Lila 5.142).

Kenyataan kalau Jiva adalah pelayan Tuhan inilah yang paling tidak bisa diterima oleh sebagian orang. Mereka keberatan untuk menjadi pelayan. Mereka tidak mau menjadi bawahan. Mereka ingin menikmati sebagai penguasa. Padahal “pembangkangan” inilah yang menjadi pangkal penderitaan di dunia material.

Penyebab Sang Jiva Jatuh ke Dunia Material

Sang Jiva jatuh ke dunia material karena salah menggunakan kebebasan kecil/sedikit yang ada padanya. Kebebasan dimaksud adalah kebebasan memilih, yaitu melayani Tuhan atau tidak. Ia iccha: ingin menikmati sendiri tanpa bergantung kepada Tuhan Krishna. Ia dvesa: tidak suka melayani Tuhan Krishna di dunia rohani. Maka ia sarge yanti: di tempatkan di dunia material agar bisa (secara palsu) merealisikan cita-citanya menikmati dan berbahagia sendiri (Bg.7.27, iccha dvesa samutthena dvan dva mohena bharata...sarge yanti parantapa). Ia na bhajante: tidak mau mengabdi kepada Tuhan Krishna dan avajananti: tidak senang kepada-Nya, dan ingin hidup terpisah dari-Nya. Maka sthanad bhrastah patanti adhah, ia jatuh dari kedudukannya sebagai pelayan Tuhan di dunia Rohani dan terus masuk ke dunia material (Bhag.11.5.3).

Rupanya penyebab dari bermunculannya calon Tuhan ini adalah dua adagium yang sangat populer, yakni: Aham Brahmasmi yang mereka maknai aku (Atman) adalah Brahman (Tuhan Yang Maha Esa); Brahman Atman Aikyam bahwa Brahman dan Atman itu Tunggal. Oleh karena itulah mereka ingin moksha (menyatu dengan Tuhan).

Jiva dan Tuhan adalah Sama dan Berbeda

Jiva dan Tuhan sama dan berbeda? Iya, dalam hal kualitas, Jiva dan Tuhan adalah sama-sama merupakan “unsur” Ketuhanan, tetapi secara kuantitas berbeda. Jiva hanyalah percikan terkecil dari Tuhan yang yang walaupun kekalnya sama dengan Tuhan, tetapi selamanya tidak akan pernah menjadi Tuhan.

Tuhan memiliki tiga jenis tenaga atau shakti yaitu cit-shakti, tatastha-shakti, dan Maya-shakti. Jiva dapat dipengaruhi oleh Maya, tetapi Tuhan tidak. Walaupun Jiva dapat dipengaruhi Maya, tidak ada komposisi material di dalamnya. Sekalipun Jiva dapat jatuh dalam pengaruh Maya, namun Jiva sama sekali bukan hasil ciptaan Maya-shakti. Karena itulah Jiva dikatakan berbeda dengan Maya. Demikian pula Jiva juga tidak sama dengan Tuhan (dalam hal kuantitas). Dia tetap berbeda dengan Tuhan bahkan dalam tingkat pembebasan sekalipun.

Jiva sebagai percikan-Nya ada dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya. Para Jiva ini memiliki jati diri masing-masing yang juga kekal. Antara Jiva satu dengan Jiva yang lain adalah berbeda. Begitu pula Maya yang mengkhayalkan juga beraneka warna karena merupakan pantulan yang terputar balik dari tenaga rohani yang asli yang beraneka warna. Dengan demikian ada perbedaan antara energi duniawi yang satu dengan energi duniawi yang lain. Perbedaan ini diuraikan oleh Madhvacarya sebagai titik tolak dari dvaita-vedanta.

Jika Maya tidak ada urusan dalam pembentukan komposisi dari Jiva, apakah cit-shakti yang menciptakan para Jiva? Bukan! Cit-shakti merupakan shakti yang sempurna dari Tuhan, sedangkan para Jiva terwujud dari Jiva-shakti Tuhan. Cit-shakti adalah kekuatan yang lengkap dan sempurna, cit-shakti juga dikenal sebagai svarupa-shakti, energi yang mewujudkan ketuhanan dari Tuhan Sendiri, sedangkan Jiva-shakti adalah manifestasi kekuatan yang tidak lengkap.

Para Jiva dibagi menjadi dua kategori. Golongan pertama adalah nitya-mukta atau nitya-siddha yang terbebas secara kekal dan yang kedua adalah nitya-baddha yang terikat secara kekal. Mereka yang tergolong dalam nitya-mukta atau nitya-siddha selalu sadar akan Krishna dan mereka mengabdi dalam pelayanan cinta bhakti rohani kepada kaki padma Tuhan Yang Maha Esa. Mereka adalah sahabat-sahabat dan pelayan kekal Tuhan. Mereka menikmati kebahagiaan rohani yang kekal dalam melayani Tuhan.

Selain Jiva-Jiva yang terbebaskan selamanya, ada Jiva-Jiva yang terikat yang selalu berpaling dari pelayanan rohani kepada Tuhan. Mereka terus-menerus terikat di dunia material ini dan mereka menjadi sasaran atas kesengsaraan material, yang terbawa bersama dengan penerimaannya atas berbagai bentuk badan jasmani dalam keadaan yang bagaikan neraka. Karena menunjukkan sifat penentangan yang mereka miliki terhadap Kesadaran Tuhan, Jiva-Jiva yang terikat dihukum oleh jahatnya tenaga luar yang mengkhayalkan atau Maya. Mereka tersiksa oleh penyakit, usia tua, kematian, sikap permusuhan dari makhluk hidup lainnya dan bencana-bencana alam dan lain sebagainya.

Dengan memahami kedudukan dasar Jivatma sebagai bagian percikan kecil dari Tuhan, maka dapat pula dimengerti bahwa kecenderungan alamiah dari bagian adalah melayani keseluruhannya (Tuhan). Dalam sebuah lingkaran: ada bagian tengah, pinggir, dan luar. Apabila Atman berada di posisi pinggir (marginal), maka dia akan cenderung tertarik ke salah satu sisi, sisi rohani (dalam) atau sisi khayal (luar). Dalam sisi rohani dia akan berlindung kepada cit-shakti, dan membuatnya kebal dari kedukacitaan maupun kesukacitaan yang bersifat semu. Di wilayah ini jati diri dari sang Jiva sepenuhnya berada dalam kesempurnaannya sebagai dasa (pelayan), hamba, yang berhubungan dengan Tuhan dalam berbagai bentuk ikatan cinta kasih (mohon istilah pelayan atau hamba ini jangan dibayangkan seperti budak, jongos, kacung, atau TKI di luar negeri). Bila dia memilih sisi khayal (luar) atau sisi duniawi maka dia akan menerima sebentuk tubuh material yang menyelubungi jati diri sejatinya. Di sisi ini karma, hukum sebab akibat akan mengikatnya. Ia akan berjuang keras hanya demi mendapatkan setitik kesenangan yang bersifat sementara.

Jalan karma memberikan seseorang kesenangan dengan perantaraan hukum sebab akibat. Kebahagiaan yang diperoleh tidak akan pernah kekal adanya, karena didasarkan atas pemahaman akan jati diri sejati yang salah. Jalan jnana atau yoga, mengantar sang Jiva sampai kepada pembebasan dari Maya, namun di sini dia terangkat sampai tingkat marginal. Pada keadaan pembebasan yang demikian, jati diri sejati sang roh diabaikan atau bahkan dilenyapkan (nirvana). Keadaan kekosongan, sunyata. Tetapi hal ini pun tidak kekal, karena sekali lagi dia dapat melihat kedua sisi dunia yang berbeda. Kemungkinan untuk jatuh kembali ke dalam alam Maya selalu ada. Hanyalah jalan bhakti yang dapat menempatkan sang Jiva dalam jati diri sejatinya yang kekal. Sehingga kesempurnaan tertinggi bagi sang Jiva hanya dimungkinkan dicapai melalui bhakti yang murni.

Sebagai penutup tulisan ini saya akan kutipkan sebuah komentar (pertanyaan) sahabat saya, Dasan Vrangarajan dalam sebuah forum diskusi sebagai berikut. (1) Jika moksa itu bersatu dengan Tuhan, apakah itu artinya saya akan kembali menjadi Tuhan? Jika iya, apa yang menyebabkan dulu Tuhan kok bisa jadi saya? (2) Jika tidak menjadi Tuhan, lalu setelah bersatu dengan Tuhan saya jadi apa? (3) Atman katanya percikan kecil dari Brahman. Nah, jika Atman=Brahman, mengapa disebut percikan-percikan segala? (4) Mengapa Brahman dulunya memercik-mercik segala cuma untuk membuat percikannya jadi satu dengan Dia? (5) Mengapa ada saya, anda, dia, mereka jika semua adalah satu dan sama dan nantinya juga menjadi satu?

Selanjutnya......

Menghitung Umur Dewa Brahma dan Alam Semesta

Made Mustika

Selamat datang tahun 2012. Dan selamat berlalu tahun 2011. Sebagaimana tahun-tahun yang lewat, tahun 2012 ini juga penuh dengan tantangan. Krisis ekonomi masih terjadi di berbagai belahan dunia. Pemilukada juga berpotensi menimbulkan konflik jika tidak dikelola baik. Namun di balik tantangan-tantangan itu, juga terselip sejumlah asa. Maka dari itu, janganlah terlalu pesimis. Apalagi meyakini bahwa tahun 2012 terjadi kiamat. Percayalah, alam semesta masih akan berumur sangat panjang.

Setahun, bahkan dua tahun lalu, banyak orang resah menyambut datangnya 2012. Mereka mengalami keresahan karena tahun ini diyakini sebagai tahun kiamat. Artinya, Bumi beserta isinya dikatakan akan sirna. Lenyap entah kemana?

Sebagai seorang penganut Hindu, kita seharusnya tidak ikut-ikutan khawatir sebagaimana mereka. Mengapa? Sebab dalam kosmologi Hindu, alam semesta masih akan berusia sekitar 155 triliun tahun lagi. Masih banyak hal yang dapat diperbuat dalam rentang waktu sebanyak itu? Dari manakah perhitungan itu didapat?

Berdasarkan uraian sejumlah Upanisad dan Purana, awalnya Tuhan bertapa untuk menciptakan alam semesta. Mula-mula tercipta Brahmanda (telur Brahman). Brahmanda adalah benih alam semesta dan benih kehidupan itu sendiri. Tuhan itu Mahakuasa, sehingga alam semesta yang diciptakan sangat luas. Tak terhitung banyaknya, dan tak terukur luasnya. Sebagai contoh, Bumi yang kita huni ini adalah bagian dari Sistem Tata Surya. Pusat edar sistem Tata Surya adalah Matahari. Jumlah matahari tidak satu, tetapi milyaran atau triliunan. Gugusan matahari yang sedemikian banyak membentuk galaksi-galaksi.

Tata Surya kita berada dalam satu gugus yang dinamakan Galaksi Bima Sakti (Milky Way Galaxy). Sesungguhnya bintang-bintang yang oleh mata nampak teramat kecil itu adalah bola padat berukuran raksasa yang memencarkan energi sangat tinggi seukuran Matahari atau lebih besar. Jadi, bintang-bintang itu adalah matahari yang letaknya amat jauh dari Bumi. Setiap matahari (bintang) di Galaksi Bima Sakti, menjadi titik pusat edar beberapa planet, seperti yang terjadi di sistem Tata Surya kita. Jika satu galaksi memiliki banyak sistem tata surya, lalu berapakah luas alam semesta itu kalau jumlah galaksi mencapai milyaran buah? Dapatkah kita menghitungnya? Pertanyaan-pertanyaan itu tak dapat kita jawab secara meyakinkan. Sekadar menebak pun kita tak mampu.

Menurut kosmologi Hindu, Tuhan tidak langsung menciptakan alam semesta ini. Melainkan Tuhan lebih dulu menciptakan makhluk-mahkluk hebat untuk diberi kuasa “mengurus” sebagian ciptaan-Nya. Makhluk-makhluk hebat itu tiada lain adalah dewa. Untuk Galaksi Bima Sakti, proses penciptaannya diserahkan kepada Dewa Brahma (jangan dikelirukan dengan Brahman. Dewa Brahma dan Brahman memiliki pengertian yang jauh berbeda). Jadi Dewa Brahma itu banyak adanya. Setiap galaksi memili Dewa Brahma masing-masing. Misalnya Dewa Brahma di Galaksi Andromeda berbeda dengan Dewa Brahma junjungan kita. Prinsipnya, masing-masing galaksi memiliki Dewa Brahma berbeda.

Para dewa adalah makhluk-makhluk yang hebat. Salah satu kehebatannya adalah berusia panjang. Dewa Brahma yang menciptakan galaksi kita (Bima Sakti) berusia 311,4 triliun tahun. Bayangkan, satu siang Dewa Brahma saja sepanjang 4,32 milyar tahun. Malam hari beliau juga sebanyak itu. Satu tahun dewa adalah 360 hari dewa. Berarti satu tahun dewa sama dengan 360 x 4.320.000.000 x 2 = 3.110.400.000.000. Sedangkan usia Brahma 100 tahun ukuran dewa. Jadi angka perkalian di atas tinggal dikalikan lagi 100, maka hasilnya adalah 311 triliun dan 40 milyar tahun menurut standar atau perhitungan waktu kita di Bumi. Mencengangkan bukan? Tak perlu heranlah. Sama seperti bakteri diperbandingkan dengan kehidupan manusia. Andai kita bisa berkomunikasi dengan bakteri, lantas kita sampaikan kalau umur manusia bisa mencapai 70 tahun bahkan lebih, sedangkan dirinya hanya dapat hidup selama 30 menit, betapa berkenyit dahi mereka mengetahui usia manusia sepanjang itu. Berapa generasi bakteri harus dilahirkan sampai mencapai sepadan dengan usia manusia?

Jadi, saat Dewa Brahma tutup usia seluruh alam di Galaksi Bima Sakti ini pralaya atau mengalami kelenyapan tersedot kembali ke Brahman. Itulah yang disebut peleburan universal (wikalpa pralaya). Tegasnya, peleburan universal akan berulang setiap 311 triliun dan 40 milyar tahun. Usia Dewa Brahma sekarang 51 tahun atau baru setengah umur lebih sedikit.

Selain peleburan universal, juga dikenal peleburan sebagian (kalpa pralaya). Penjelasannya begini. Semasa hidup Dewa Brahma akan terjadi penciptaan dan peleburan silih-berganti. Saat siang Dewa Brahma, terjadi penciptaan sebagian dan alam semesta di Galaksi Bima Sakti ini terwujud. Saat malam Dewa Brahma terjadi peleburan sebagian. Begitu berulang-ulang. Berapa tahunkah usia satu hari Dewa Brahma? Bukankah kita sudah menghitung di atas. Yakni satu siang Dewa Brahma 4,32 milyar tahun. Malam harinya juga sepanjang waktu tersebut. Dengan demikian penciptaan dan peleburan sebagian terjadi setiap 4,32 milyar tahun. Artinya peleburan sebagian lebih cepat daripada peleburan universal.

Terus kapan kita mengalami peleburan sebagian (kalpa pralaya)? Yang jelas tidak di tahun 2012 ini. Sebab, ibarat kita di Bumi, waktu yang dilewati Dewa Brahama masih pagi, baru sekitar jam 10. Untuk mencapai siang, sore, dan petang masih relatif lama untuk ukuran manusia di Bumi. Siang hari yang dilewati Dewa Brahma mungkin baru 35 persen, sehingga masih tersisa sekitar 65 persen-nya. Sehingga kiamat sebagian masih akan terjadi sekitar 3,4 milyar tahun lagi.

Dari mana perhitungan-perhitungan itu didapat, mungkin ada pembaca yang bertanya demikian. Ketahuilah, zaman menurut perhitungan kosmologi Hindu dikenal dengan istilah yuga. Yuga itu dibagi menjadi empat. Masing-masing adalah Satyayuga yang berlangsung 1.728.000 tahun, Tetrayuga berlangsung 1.296.000 tahun, Dwaparayuga memiliki rentang waktu 864.000 tahun, dan Kaliyuga 432.000 tahun. Jika keempat yuga berlalu maka waktu yang dihabiskan mencapai 4,32 juta tahun. Berarti satu kali putaran empat yuga setera dengan satu per seribu usia satu siang Dewa Brahma. Dengan kata lain 1000 kali putaran empat yuga baru akan menghasilkan satu siang Dewa Brahma (4,32 milyar tahun). Begitulah hitung-hitungannya.

Atas karunia Tuhan, selain diberi kemampuan menciptakan Galaksi Bima Sakti, Dewa Brahma juga diberi mandat untuk mengajarkan Kitab Suci Weda kepada dewa yang lebih rendah, yaitu Dewa Matahari (Surya). Karena itu Dewa Brahma juga dikenal sebagai Weda Garbha, sumber pengetahuan Weda. Dari Dewa Surya (dikenal juga dengan nama Dewa Wiwaswan), pengetahuan Weda diajarkan kepada Manu (leluhur manusia), selanjutnya dari Manu kepada Ikswaku, raja pertama di Bumi. Barulah dari Ikswaku Weda diajarkan kepada umat manusia.

Jadi di Hindu memiliki perhitungan waktu yang sangat komplit, tidak hanya tahun menurut di Bumi, tapi juga memperhitungkan waktu dewa. Sebenarnya masih banyak yang perlu dikupas berkenaan dengan proses penciptaan dan peleburan jagat raya. Namun karena ruang yang tersedia terbatas, maka baru sebagian kecil yang bisa diulas. Mudah-mudahan di kesempatan lain, penulis bisa memaparkan lebih jauh lagi. Satu yang patut kita catat bersama, tahun 2012 ini tidak akan ada pralaya (peleburan) alam. Meskipun demikian, kita perlu menguatkan sradha setiap saat dengan rajin sembahyang sambil mohon perlindungan dari-Nya. Mari kita sambut tahun 2012 dengan optimistis. Jangan percaya akan ramalan-ramalan yang tak memiliki landasan dan dasar sastra yang jelas. Dari uraian ini, jelas sekali kalau Hindu merupakan agama yang lengkap dan jauh melampaui yang lainnya. Karena itu tekunlah mempelajari teologi Hindu agar tumbuh kebanggaan dalam diri kita.

Selanjutnya......

Sistem Siwa-Sisya sebagai Sarana Meredam Konflik Adat dan Agama di Bali

Kepercayaan terhadap sistem siwa-sisya di Bali masih sangat kental, terutama di beberapa desa pakraman. Demikian juga implementasi pemahaman klan atau soroh masih saja ada yang diadopsi secara fanatik, tidak mau masuk ke dalam kebersamaan kendatipun dalam satu wadah desa pakraman. Maka tidak jarang dijumpai banjar eksklusif di Bali. Demikian pula masih ada setra klan tertentu maupun pura dalem klan tertentu. Secara otomatis karena setra maupun pura dalem dimiliki/dibangun oleh satu klan tersendiri, maka klan yang lain tidak mau terlibat atau dilibatkan dalam kegiatan di setra-setra maupun pura dalem tersebut, kendatipun penduduknya berada dalam satu wilayah desa pakraman.

Demikian pula sistem siwa-sisya yang secara ketat dan fanatik diberlakukan setiap karya atau yadnya harus dipuput oleh siwa-nya sendiri, misalnya dari griya A. Karena fanatiknya terhadap sistem, terkadang griya A, sulinggihnya sudah camput (tidak ada sulinggih penerus), toh kegiatan harus melalui petunjuk griya A, demikian pula jenis upakara apa dan siapa yang menyiapkannya atas keputusan griya A.

Sebagaimana diketahui bahwa pada saat ini di satu desa pakraman, tidak hanya dijumpai satu jenis pe-siwa-an pe-sisya-an namun terkadang lebih, dan masing-masing bila melaksanakan yadnya harus mendapat bimbingan dari siwa-nya sendiri. Dan terkadang karena fanatiknya satu sama lain tidak mau dalam kebersamaan ketika muput yadnya yang menjadi milik bersama seperti di pura kahyangan tiga desa pakraman.

Jangankan bersama-sama, karena fanatisme sempit sulinggih-sulinggih tertentu masih belum mau muput bersama-sama dalam satu bale pawedan dan kalau mau muput bersama-sama sulinggih yang seperti itu memberi persyaratan harus duduk di hulu, tirta-tirta pemuput tidak boleh dicampur, dan sebagaimana hal ini saya rasakan sendiri di tahun 1999 waktu Karya Manca Wali Krama di Besakih, Karya di Ulun Danu Songan, sampai-sampai karena fanatiknya tidak mau muput bersama, bale pawedan disuruh memotong-dipisahkan jadi dua. Sedangkan yang diupacarai adalah milik bersama. Apalagi di kayangan tiga desa pakraman termasuk setera adalah milik bersama. Pura desa/dalem apapun namanya (terkadang mengadopsi nama satu banjar adat), bagaimanapun sejarahnya, toh pada saat ini menjadi milik bersama. Dan kalau sudah saling mengklaim menjadi milik kelompok-kelompok sendiri, otomatis yang lain merasa keberatan kemudian melawan dan terjadilah konflik.

Kalau kita ingin damai dan santhi dalam desa pakraman maupun dalam penerapan agama Hindu di manapun juga, maka kembalilah kedalam konsep kebersamaan dengan membuang perbedaan sejauh-jauhnya. Ingatlah falsafah Agama Hindu “Brahman atman aikyam”, dan falsafah-falsafah lain, maka tidak ada alasan terjadinya friksi-friksi seperti itu. Sistem siwa-sisya jangan dibaca terlalu dangkal, sehingga agama menjadi dogmatis dan fanatik. Kajilah sistem siwa-sisya dengan lebih dalam. Seperti saya sendiri seorang pandita adalah sisia dari siwa (guru nabe). Siapa pun yang sudah menjadi pandita, apalagi guru nabe, adalah berwenang memberi petunjuk-petunjuk bagaimana falsafah dan implementasi beragama. Cobalah kembali pada sejarah di jaman Mpu Kuturan, bagaimana sekte-sekte agama disatukan menjadi sistem Tri Murti, dan implementasinya kahyangan tiga di desa pakraman.

Bila sistem siwa-sisia diartikan dangkal seperti itu, bagaimana saudara kita di luar Bali melaksanakan yadnya, misalnya harus dipuput oleh sulinggih/pedanda dari griya A, sedangkan di daerahnya itu hanya ada pandita dari luar pe-siwa-annya. Apakah harus ke Bali mencari siwa-nya. Dalam pergaulan selama ikut PHDI, justuru ada oknum pengurus PHDI yang belum memahami masalah ini.

Dari uaraian di atas jelas sekali akar permasalahan terjadinya berbagai friksi di desa pakraman. Jadi kalau mau menyelesaikan berbagai konflik di desa pakraman termasuk setra, dan agar jangan terjadi lagi di masa depan, maka tugas menyelesaikan konflik tidak hanya tugas pemerintah saja atau desa adat seperti yang sudah-sudah. Namun seharusnya diajak juga pandita-pandita yang diyakini/dipercaya menjadi siwa oleh kelompok-kelompok desa satu pakraman sendiri. Malah jangan-jangan yang menjadi kunci utama pemecah masalah, terutama berperan dalam memberi arahan, nasehat sesuai ajaran agama. Apa yang terjadi di desa pakraman adalah milik bersama, seperti ujar-ujar kuno: “Ratu tan pa wiku wrug ikang jagat, wiku tan pa ratu taler wrug ikang jagat”. Jadi libatkanlah semua pandita yang diakui menjadi siwa oleh kelompok-kelompok di desa pakraman yang konflik.

Semogalah pandita-pandita yang masih dipercayai oleh masyarakat ditempat-tempat seperti itu mau bergabung bersama-sama, melepaskan fanatisme sempitnya demi kesejahteraan umat Hindu keseluruhan. Kehadiran seorang pandita tidak hanya sebatas muput, tetapi juga membantu memberi pencerahan kepada umat agar umat dapat hidup rukun, saling merhargai, guyub dan damai. Damai dan santhilah semua umat Hindu.
(Pandita Mpu Jaya Dangka Ramana Putera, Jl. Jaya Pangus 7 Denpasar)

Selanjutnya......

Pemlaspasan Pura Purohita Diiringi Tarian Kosmik dan Kerauhan

Pada Minggu, 11 Desember 2011 lalu diadakan pemlaspasan Pura Purohita yang terletak di Desa Unggahan, Seririt, Singaraja. Upacara ini, disaksikan Pinisepuh Puri Agung Gharma Giri Utama, I Gusti Agung Yudhistira, juga para pengempon Puri Agung Dharma Giri Utama, dan prajuru desa serta umat Hindu sekitar. Upacara ini di-puput oleh Jero Mangku Pasek Mukti Murwo Kuncoro.

Sebelum di-plaspas terlebih dahulu dilaksanakan mendem pedagingan dengan upacara yang sangat sederhana. Diawali nedunang taksu Leluhur Hyang Maha Guru Bhatara Agung Mpu Kutura. Upakara-nya dilakukan sangat praktis, sehingga hanya mengunakan pejati saja.

Purohita dibangun di areal 1,5 hektar dikelilingi bebukitan yang sangat tinggi, berada di wilayah Desa Unggahan Kecamatan Seririt-Singaraja. Dari Kota Seririt bisa ditempuh kurang lebih 1 jam perjalanan menaiki bebukitan dengan kendaraan. Di lingkungan Purohita juga terdapat 11 sumber mata air sakral, yang ke depannya akan dibuatkan kolam Tamba Urip yang akan dibangun oleh Peguyuban Puri Agung Dharma Giri Utama yang nantinya diharapkan berkhasiat menyembuhkan penyakit setelah dipasupati oleh pinisepuh.

Pada tahap pertama ini, pelinggih Pura Purohita yang sudah selesai dikerjakan dan di-plaspas adalah Padma dan Genah Pratima. Sedangkan tempat melukat Astha Gangga sedang dikerjakan, yang akan dilanjutkan dengan tempat Pemujaan Tridharma, Pesraman.

Suasana meriah dan terasa sakral ketika pratima Siwa dan Durga diusung memasuki area pura. Sepanjang kurang lebih 500 meter berjalan menelusuri pingiran sungai menuju pura terdengar sayup-sayup suara gambelan dan ketika itu para pemedek yang menari mendak Ida Bhatara, banyak di antaranya yang mengalami histeris kerauhan karena sentuhan energy-Nya.

Menurut Jero Mangku Pasek Mukti Murwo Kuncoro, bahwa pada awalnya pembangunan tempat suci ini adalah puri, namun konsepnya adalah pura. “Berawal mendapat amanah dari sesuhunan di Silayukti, akhirnya pura ini dapat dibangun. Tujuannya adalah untuk memfasilitasi dan mendekatkan masyarakat sekitar untuk melakukan kegiatan sembahyang, yoga semadhi serta kalau ada yang melukat bisa di sini. Jadi tempat ini diperuntukkan untuk umat dalam meningkatkan diri dalam segala aspek kehidupan,” ungkapnya di sela-sela memberi sambutan di hadapan umat. (Aa.nanda)

Selanjutnya......

Anggota PKK Bukan Hanya Kaum Ibu

Laporan I Gede Sukra Darmayasa

Biasanya selama ini kalau mendengar kata PKK pasti identik dengan ibu-ibu, namun kemarin ketika ada lomba PKK yang diselenggarakan Kamis 3 November 2011 di kantor Lurah Cempaga, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Sudah sangat ditegaskan sekali oleh salah satu tim penilai sekaligus pengerak PKK Kabupaten Bangli yang kerap di panggil Ibu Luh, bahwa anggota PKK tidak hanya ibu-ibu namun juga bapak-bapak, muda-mudi, dan semua lapisan anggota keluarga bisa ikut menjadi anggota PKK.

Sesuai dengan kepanjangan dari PKK, yaitu Program Kesejahteraan Keluarga, untuk lebih mudah mensejahterakan anggota keluarga, maka tentunya tidak hanya ibu-ibu saja yang perlu bergerak, namun perlu didukung oleh seluruh anggota keluarga. Sebab ketika PKK dari lingkungan Kelurahan Cempaga yang ikut lomba hanya ibu-ibu saja, sehingga dikritik oleh para juri, mengapa peserta lombanya hanya ibu-ibu saja, di mana bapak-bapaknya. Dan disarankan untuk ke depannya, ketika ada lomba PKK agar diikutsertakan seluruh lapisan keluarga dan yang tidak kalah penting juga, bapak-bapaknya harus ikut serta ketika ada perlombaan PKK.

Lomba drama simulasi yang bertemakan ‘Bela Negara’ ini sangatlah seru sekali bila disimak, karena ketika pelaksanaan lomba drama simulasi tersebut peserta lombanya dibagi ada menjadi pemain, moderator, seketaris, nara sumber, tokoh dan juga ada sebagai penonton. Di dalam teknis permainan lomba tersebut sudah disiapkan kertas berisi pertanyaan, tetapi soalnya diundi dengan menggunakan sebuah dadu yang di kocok oleh peserta yang menjadi pemain, pertanyaan yang didapatkan itu langsung ditanggapi oleh pemain yang mendapatkan giliran mengocok dadu tersebut. Setelah itu baru ditanggapi oleh pemain lain dan peserta lomba. Tak hanya itu, penonton juga boleh berpendapat.

Seperti biasa ketika berpendapat pasti ada yang pro (setuju) dan kontra (tidak setuju) begitu juga dalam pelaksanaan lomba drama simulasi itu ada yang setuju dan juga tidak setuju, yang membuat suasana menjadi lebih semangat dan seru. Tetapi pertanyaan yang diperdebatkan itu dipertengahi atau diluruskan oleh nara sumber dan tokoh agar pertanyaan tersebut mendapatkan benang merahnya.

Pada saat itu pertanyaan yang dapat dipecahkan sebanyak empat buah dalam waktu 30 menit. Pertanyaan-pertanyaan yang dibahas saat itu semua permasalahan sosial di masyarakat yang sedang terjadi dewasa ini. Misalnya, ada warga masyarakat yang kaya namun sombong dan tidak mau mengikuti peraturan yang ada, kurangnya rasa nasionalisme masyarakat atas produk-produk dalam negeri. Disinggung juga mengenai seringnya terjadi tawuran di masyarakat saat ini dan juga tentang kenakalan remaja yang marak terjadi belakangan ini.

Selain memperdebatkan pertanyaan juga diselingi hiburan dengan menyanyikan lagu bernuansa Bela Negara yang berjudul ‘Merah Putih Benderan Titityange’. Lagu ini dijadikan sebagai hukuman kepada pemain yang mengocok dadu namun di dalam kertas soal itu tidak bersi pertanyaan, sehingga pemain itu harus menyanyikan satu lagu wajib yang ada. Nampak semua peserta lomba sangat semangat dan senang mengikuti lomba tersebut, terlihat dari raut wajahnya yang penuh dengan senyum dan kasih sayang seorang ibu.

Semoga dengan adanya lomba PKK yang diisi drama simulasi yang diikuti oleh PKK kelurahan Cempaga bisa menjadi tonggak awal, agar seluruh PKK yang ada di seluruh Bali bisa mengetahui bahwa anggota PKK tidak hanya harus ibu-ibu saja. Dan semoga seluruh PKK bisa bangkit dan maju.

Selanjutnya......

Ngaben Massal di Buleleng Dijadwal Tiga Tahun Sekali

Laporan Made Mustika

Sebelum berbicara, Nyoman Sutrisna mengguap kecil. Rona wajahnya sedikit pucat. Maklum, dia melewati malam minggu hingga subuh. Apakah Sutrisna seorang remaja yang menghabiskan malam minggunya sampai larut panjang? Atau menonton siaran langsung sepak bola Liga Eropa? Oh, tidak.

Ir. Nyoman Sutrisna, M.M. adalah seorang tokoh adat dan sekaligus seorang birokrat di Buleleng, Bali. Jabatan formalnya adalah Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buleleng. Selain itu dia juga dipercaya sebagai kelian Desa Adat Buleleng yang mewilayahi belasan kelurahan di Singaraja. Masing-masing kelurahan itu, secara administrasi desa adat, adalah sebuah banjar.

Pada Sabtu, tanggal 3 Desember 2011, dia sangat sibuk hingga malam hari. Karena Sutrisna harus memastikan semua pekerjaan yang di hadapinya berjalan dengan baik. Pekerjaan apakah yang dihadapinya saat itu? Ini pekerjaan besar menurut tradisi beragama di Bali, yaitu ngaben. Apalagi yang dihadapainya ngaben massal, ngaben yang melibatkan banyak orang. Pengabenan itu diikuti 621 sawa. Masing-masing sawa dikenakan biaya Rp 1 juta.

Ngaben tunggal saja sudah menguras energi banyak, apalagi ngaben massal. Karena itu Sutrisna bersama segenap panitia harus kerja keras demi suksesnya gawe besar itu. “Suara saya sampai serak karena begadang,” katanya ketika ditemui di setra Buleleng, Minggu 4 Desember 2011 lalu. Hari itu merupakan puncak acara ngaben massal.

Suasana setra Buleleng saat itu seperti pasar tradisional menjelang Hari Raya Galungan. Lautan manusia, yang umumnya berbusana serba putih, tumpah ke setra. Tentu ada beberapa di antaranya menggunakan baju warna lain. Mereka mengerahkan seluruh energinya untuk kemuliaan roh leluhurnya.

Tentu seluruh panitia dan peserta ngaben massal itu perlu kerja keras dan begadang. Itulah sebabnya rata-rata mereka mengaku kecapian. Sebab ngaben, sebagaimana dimaklumi, dipandang sebagai kewajiban keagamaan terberat bagi umat Hindu di Bali. Sampai-sampai ada yang tak sanggup mengabenkan leluhurnya yang telah lama meninggal dunia.

Ngaben massal itu merupakan kali pertama yang dilaksanakan oleh Desa Adat Buleleng. Salah satu alasan diselenggarakan ngaben massal tersebut, sebagaimana disebutkan Sutrisna, karena ingin membantu umat yang tak mampu. Sebab banyak umat yang tidak mampu ngaben mandiri lantaran tak cukup uang. Ngaben mandiri butuh biaya besar. Itulah sebabnya banyak umat yang “angkat tangan” terhadap kewajibannya yang satu ini. Kondisi itu tak pelak memancing pertanyaan banyak orang, mengapa urusan kematian di Bali sangat ribet dan mahal? Tidakkah dapat lebih disederhakan?

Jawaban sementara atas pertanyaan itu adalah ngaben massal. Kalau tidak ada ngaben massal, tentu banyak umat Hindu yang terbebani oleh kewajiban ritual itu. Bukankah agama diturunkan untuk meringankan umat manusia? Dengan kata lain, keyakinan suatu masyarakat hendaknya tidak untuk menambah beban hidup.

Kelian Desa Adat Buleleng mengaku telah mengacu pada sastra agama dalam melaksanakan ngaben massal tersebut. “Ngaben ini tidak mengacu pada tradisi semata, kami sudah disesuaikan dengan sastra agama,” kata N. Sutrisna.

Selanjutnya......

Jejak Hindu di Lampung dalam Gamolan Pekhing

Laporan Aris Biantoro (Ketua BEM STAH Lampung

Pada hari Selasa dan Rabu, tepatnya 7-8 Desember 2011, 25 mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Hindu Lampung mengikuti even tingkat Nasional dalam rangka memecahkan Rekor MURI (Museum Rekor Dunia Indonesia) memainkan Gamolan Pekhing (Cetik). Nama-nama mahasiswa yang turut tercatat dalam Rekor Muri tersebut antara lain: Aris Biantoro, Dwi Septiawan, Wayan Suparta, Nyoman Mokoh, Made Waisnawa Putra, Dewa Made Suriana, I Ketut Atma Jiwa Panggih, Edi Arisdianton, Eko Bambang Saputro, Kadek Sukerte, Matha Riswan, Nyoman Sastrawan, Wayan Murtayasa, Wayan Agus Ferianto, Wayan Agus setiawan, Zoles Liurta, I Gede Oka Aditia, Komang Putra Yasa, Dewa Made Ariwijaya, Wayan Agus Ariawan, Gusti Made Sutama, Agung Adi Sudarman, Ida Bagus Rawi Bujana, Komang Sudane, Putu Wistra, Dwi Atmoko.

Pagi itu tepatnya pukul 11.00 WIB, tetabuhan Gamolan menggema di sekitar Lapangan Korpri Bandar Lampung. Dalam even pemecahan rekor Muri tersebut, dengan semangat yang tinggi meskipun waktu latihan yang kurang maksimal hanya dua hari tetapi mahasiswa STAH Lampung dapat tampil secara maksimal. Dengan memainkan alat musik Gamolan pekhing tersebut selama 60 menit, dari pukul 11.00 WIB-12.00 WIB. Mahasiswa STAH Lampung merupakan salah satu tim di antara 25 Tim lain yang terdiri dari 25 lembaga pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar Sampai Perguruan Tinggi. Even pemecahan Rekor Muri yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Lampung (Dinas Pendidikan) diikuti 25 Penabuh, 25 group dan selama 25 jam non stop.
Menurut sejarahnya, Gamolan pekhing ini sudah ada sejak abad ke-4 masehi. Gamolan pekhing ini pada mulanya diteliti oleh seorang Prof. Margareth J. Kartomi dari Australia yang sudah meneliti keberadaan seni dan budaya Lampung selama 27 tahun, salah satunya yang menurut penuturannya, yang paling menarik adalah Gamolan Pekhing. Ada tiga hal yang menurut Prof. Margareth J. Kartomi berkesimpulan seperti itu, antara lain, Suara Gamolan terdengar begitu manis dan bagus meskipun hanya terdiri dari 6 nada: Do, Re, Mi, Sol, La, Si dan tidak memiliki nada Fa, tetapi ketika dimainkan, alat musik yang terbuat dari bambu dan hanya terdiri dari satu instrument ini enak untuk didengarkan. Faktor kedua adalah, namanya Gamolan dia mengira sama dengan Gamelan yang ada di Jawa, tetapi tidak ada hubungannya sama sekali, yang terakhir adalah yang paling menarik ditemukan relief Gamolan di candi Borobudur. Sebuah relief di Candi Borobudur bentuknya mirip dengan Gamolan, sehingga dapat diperkirakan Gamolan itu sudah ada sebelum candi tersebut didirikan.

Sangat menarik, setelah kami dari STAH Lampung mengikuti acara tersebut muncul banyak asumsi dari kami, jika dikaitkan dengan sejarah perkembangan Hindu di Indonesia. Keberadaan kebudayaan Lampung yang salah satunya adalah Gamolan Pekhing ini adalah peninggalan pada masa-masa kerajaan Hindu dahulu pada abad ke-empat. Berarti pada abad itu sudah ada peradaban yang cukup maju di Lampung, khususnya di daerah Lampung Barat dan Way Kanan yang dikatakan oleh Prof. Margareth J. Kartomi sebagai daerah asal Gamolan pekhing tersebut.

Selain hal itu masih banyak sekali budaya Lampung yang setelah kami amati memiliki kaitan erat dengan Hindu, antara lain: Tari Bedayo (Tari Sakral), Tari Sembah (Sekapur Sirih), kemudian dalam acara pemecahan Rekor MURI tersebut ada bangunan adat Lampung yang mirip dengan balai pawedan yang selalu ada setiap perayaan maupun Upacara Hindu. Bangunan tersebut hampir mirip dengan konsep Panca Dewata, terdiri dari Lima Tiang Penyangga di sebelah selatan (Brahma), timur (Iswara), utara (Wisnu), barat (Mahadewa) dan tengah (Siwa). Yang unik lagi dan sangat identik denga Hindu, bangunan tersebut dibalut dengan kain putih-kuning (Wastra), menggunakan tedung putih dan kuning di sebelah kanan dan kiri bangunan tersebut. Di samping itu pada badan bangunan juga dibalut dengan kain warna berumbun (Putih, merah,hitam kuning) sangat identik dengan Hindu.

Ini yang menandakan bahwa kejayaan Hindu dahulu masih meninggalkan budaya yang sampai saat ini masih melekat di setiap upacara maupun acara adat daerah setempat. Khususnya daerah Lampung, bukan tidak mungkin, dengan mulai diangkat kembali ke permukaan adat, tradisi dan budaya tersebut merupakan langkah awal kebangkitan Hindu. Perlu penelitian yang lebih mendalam terhadap budaya setempat khususnya oleh generasi Hindu.

Selanjutnya......