Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 18 Januari 2012

Bertambah Tinggi akan Menenggelamkan


Ida Ayu Tary Puspa

Bali menempatkan tiga pilar dalam melaksanakan pembangunan. Ketiga pilar tersebut meliputi pertanian dalam arti luas, pariwisata, dan kerajinan/industri kecil. Akan tetapi kini paradigma itu terbalik dengan menempatkan pariwisata pada puncak pilar. Dampaknya pun ikut dirasakan karena pariwisata membawa gemerincing dollar.

Di satu sisi pariwisata membawa dampak pada penguatan kebudayaan Bali dalam hal tradisi termasuk berkesenian, karena orang Bali ingin menunjukkan jati diri sebagai orang yang suntuk mempertahankan budayanya. Di sisi yang lain pariwisata membawa dampak ikutan berupa pembangunan mega proyek dalam hal penyediaan fasilitas untuk wisatawan yang akan datang ke destinasi internasional ini. Pembangunan fasilitas pariwisata akan merambah lahan yang cukup luas, karena bangunan hotel dengan fasilitas yang serba lux termasuk lapangan golf. Bangunan pun dibuatkan aturan sedemikian rupa, yaitu setinggi 15 meter atau tidak melebihi pohon kelapa. Kalau melebihi aturan itu, maka bangunann tersebut akan dipangkas seperti yang pernah dialami oleh hotel Sol Elite Paradiso. Bukankah wisatawan yang datang ke sebuah destinasi ingin mendapatkan pengalaman yang alami di objek yang mereka kunjungi, seperti halnya kehidupan dalam rural tourism?

Sekarang mencuat satu gagasan untuk mengabaikan aturan tersebut dengan harapan bahwa bangunan bisa ditinggikan. Alasan lain pula adalah Bali itu kecil, sempit, lahan tidak luas. Banyak perndapat yang mengatakan Bali sudah penuh sesak, tapi adakah yang sudah melakukan kajian terhadap carrying capacity Bali, berapa sebenarnya daya tampung Bali, baik dilihat dari jumlah penduduk dan fasilitas hidup. Dewasa ini memang kita merasakan hidup yang serba cepat dan hidup dalam kesesakan. Dalam era globalisasi ini salah satu ciri yang menonjol sesuai yang dikatakan Apadurai, yaitu etnoscape. Kita tidak bisa menampik adanya perpindahan orang dan hal ini dapat dilihat dari masuknya orang-orang, termasuk wisatawn ke Bali. Selain perpindahan orang termasuk pula adanya perpindahan uang, teknologi, dan ideologi. Adanya ketakutan orang Bali yang tidak memiliki ruang untuk beraktivitas karena mesti bersaing dengan kaum pendatang, menyebabkan orang Bali apriori terhadap pendatang, tetapi orang Bali rela mengkonsumsi produk yang ditawarkan mereka . Serbuan mereka cukup signifikan, sebab berusaha dan berinvestasi aman di tanah dewata ini. Hal ini akan mempengaruhi tingkat hunian di pulau kecil ini. Muncullah keinginan untuk membangun ke atas karena kesulitan lahan ke samping.

Lahan di Bali semakin menyempit tidak terlepas dari peran orang Bali sendiri dalam profesi baru, yaitu sebagai makelar tanah. Hal ini dilakukan hanya untuk mengejar keuntungan semata, karena di zaman global ini manusia pun disebut sebagai homo economicus. Hal yang dilakukan itu turut memperparah keadaan Bali terutama ditinjau dari aspek palemahan-nya. Andai kita sadar bahwa tanah siapa yang telah dijualnya, kebanyakan adalah tanah warisan leluhur/ leluhur yang sudah tiada yang melihat perilaku sentana-nya melakukan perbuatan konyol. Kalau tanah hasil karya sendiri mungkin lebih ditoleransi, tetapi kita tidak pernah tahu kalau ibu pertiwi penuh isak tangis karena telah ditransaksikan oleh sentanan-ya sendiri.

Untuk memberikan pemerataan pembangunan, sebaiknya memang pembangunan dilakukan ke samping dan ketinggian tidak melebihi 15 meter. Tentu alasan tersebut penuh dengan argumen. Ada pendapat, bahwa agar Bali tidak oleng karena telah kelebihan muatan. Oleh karena itulah kajian kapasitas daya tampung mesti dilakukan. Kita akan melihat bagaimana Bali yang sarat beban dan kondisi tekstur tanah untuk menyangga bangunan-bangunan pencakar langit andai bangunan diizinkan melebihi 15 meter. Pengawasan dan perimbangan tentang bangunan tinggi seperti mall, hotel, atau ruko mesti dilakukan evaluasi. Hal tersebut agar tidak mematikan ketradisian kita dalam hidup. Kita bisa menghitung berapa masih bertahan dagang kopi yang secara tardisional dapat dijadikan ajang dalam hal mempererat tali persaudaraan antar sesama aggota masyarakat. Warung kopi telah berganti dengan cafe bahkan kalau diperhatikan dalam masa ini dengan kehadiran minimarket dan yang sejenisnya justru dijadikan tempat oleh teruna Bali untuk bergaul dengan teman--temannya sambil merokok dan meneguk sebotol bir. Ini bukan merupakan pemandangan luar biasa, karena gaya hidup yang dilakukan anak itu adalah hal yang biasa.

Kembali ke persoalan tinggi bangunan 15 meter akan memberikan ruang gerak yang lebih nyaman agar kita tidak melakukan alih fungsi yang berlebihan dan lebih selektif menerima pendatang. Kalau wisatawan mereka akan pulang kembai ke negranya, bagaimana dengan para buruh yang setelah pulang ke daerahnya, sekembalinya dari mudik kemudian balik tidak akan pernah sendiri melainkan akan mengajak pula saudara, teman untuk mengikuti jejak pendahulunya. Cara-cara yang dilakukan agar mereka bisa lolos masuk pintu Bali ada pula petugas yang memberikan keleluasaan walaupun tanpa identitas. Kita lebih sering mengutamakan mereka, baik sebagai tamiu maupun krama tamiu dengan tidak memberikan kewajiban apa pun kepada mereka sebagaimana halnya krama uwed. Dengan kelonggaran yang diberikan kepada mereka, betapa mereka tersenyum simpul dan bersiul untuk hanya mengeruk keuntungan dari bisnis maupun aktivitas yang dilakukan. Hal mini tentu berdampak kurang baik bagi krama uwed yang selalu berkutat dan bergelut dengan aktivitas adat, pekerjaan, dan kegiatan-kegiatan lain.

Kita boleh bercermin pada saudara kita sebangsa dan setanah air, yaitu Betawi yang termarginalkan di negerinya sendiri dan kelebihan kapasitas sebagai sebuah ibu kota dan kota metropolitan yang tentu disesaki dengan gedung pencakar langit lengkap dengan rumah kaca yang menjulang. Dari situ ada prediksi karena beban dan tekstur tanah tidak mampu menyangga beban yang sarat dan diprediksi tahun sekian Jakarta akan tenggelam. Sebelum hal tersebut terjadi pada Bali, mari pikirkan ke depan model bangunan mana yang cocok dengan keadaan Bali sekarang, agar pulau yang kita cintai ini masih bisa kita selamatkan tentu dengan keselamatan orang Balinya sekalian.
(Dr. Dra. Ida Ayu Tary Puspa, S.Ag.,M.Par. Sekretaris Program Magister Brahma Widya IHDN Denpasar).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar