Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 18 Januari 2012

Jejak Hindu di Lampung dalam Gamolan Pekhing

Laporan Aris Biantoro (Ketua BEM STAH Lampung

Pada hari Selasa dan Rabu, tepatnya 7-8 Desember 2011, 25 mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Hindu Lampung mengikuti even tingkat Nasional dalam rangka memecahkan Rekor MURI (Museum Rekor Dunia Indonesia) memainkan Gamolan Pekhing (Cetik). Nama-nama mahasiswa yang turut tercatat dalam Rekor Muri tersebut antara lain: Aris Biantoro, Dwi Septiawan, Wayan Suparta, Nyoman Mokoh, Made Waisnawa Putra, Dewa Made Suriana, I Ketut Atma Jiwa Panggih, Edi Arisdianton, Eko Bambang Saputro, Kadek Sukerte, Matha Riswan, Nyoman Sastrawan, Wayan Murtayasa, Wayan Agus Ferianto, Wayan Agus setiawan, Zoles Liurta, I Gede Oka Aditia, Komang Putra Yasa, Dewa Made Ariwijaya, Wayan Agus Ariawan, Gusti Made Sutama, Agung Adi Sudarman, Ida Bagus Rawi Bujana, Komang Sudane, Putu Wistra, Dwi Atmoko.

Pagi itu tepatnya pukul 11.00 WIB, tetabuhan Gamolan menggema di sekitar Lapangan Korpri Bandar Lampung. Dalam even pemecahan rekor Muri tersebut, dengan semangat yang tinggi meskipun waktu latihan yang kurang maksimal hanya dua hari tetapi mahasiswa STAH Lampung dapat tampil secara maksimal. Dengan memainkan alat musik Gamolan pekhing tersebut selama 60 menit, dari pukul 11.00 WIB-12.00 WIB. Mahasiswa STAH Lampung merupakan salah satu tim di antara 25 Tim lain yang terdiri dari 25 lembaga pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar Sampai Perguruan Tinggi. Even pemecahan Rekor Muri yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Lampung (Dinas Pendidikan) diikuti 25 Penabuh, 25 group dan selama 25 jam non stop.
Menurut sejarahnya, Gamolan pekhing ini sudah ada sejak abad ke-4 masehi. Gamolan pekhing ini pada mulanya diteliti oleh seorang Prof. Margareth J. Kartomi dari Australia yang sudah meneliti keberadaan seni dan budaya Lampung selama 27 tahun, salah satunya yang menurut penuturannya, yang paling menarik adalah Gamolan Pekhing. Ada tiga hal yang menurut Prof. Margareth J. Kartomi berkesimpulan seperti itu, antara lain, Suara Gamolan terdengar begitu manis dan bagus meskipun hanya terdiri dari 6 nada: Do, Re, Mi, Sol, La, Si dan tidak memiliki nada Fa, tetapi ketika dimainkan, alat musik yang terbuat dari bambu dan hanya terdiri dari satu instrument ini enak untuk didengarkan. Faktor kedua adalah, namanya Gamolan dia mengira sama dengan Gamelan yang ada di Jawa, tetapi tidak ada hubungannya sama sekali, yang terakhir adalah yang paling menarik ditemukan relief Gamolan di candi Borobudur. Sebuah relief di Candi Borobudur bentuknya mirip dengan Gamolan, sehingga dapat diperkirakan Gamolan itu sudah ada sebelum candi tersebut didirikan.

Sangat menarik, setelah kami dari STAH Lampung mengikuti acara tersebut muncul banyak asumsi dari kami, jika dikaitkan dengan sejarah perkembangan Hindu di Indonesia. Keberadaan kebudayaan Lampung yang salah satunya adalah Gamolan Pekhing ini adalah peninggalan pada masa-masa kerajaan Hindu dahulu pada abad ke-empat. Berarti pada abad itu sudah ada peradaban yang cukup maju di Lampung, khususnya di daerah Lampung Barat dan Way Kanan yang dikatakan oleh Prof. Margareth J. Kartomi sebagai daerah asal Gamolan pekhing tersebut.

Selain hal itu masih banyak sekali budaya Lampung yang setelah kami amati memiliki kaitan erat dengan Hindu, antara lain: Tari Bedayo (Tari Sakral), Tari Sembah (Sekapur Sirih), kemudian dalam acara pemecahan Rekor MURI tersebut ada bangunan adat Lampung yang mirip dengan balai pawedan yang selalu ada setiap perayaan maupun Upacara Hindu. Bangunan tersebut hampir mirip dengan konsep Panca Dewata, terdiri dari Lima Tiang Penyangga di sebelah selatan (Brahma), timur (Iswara), utara (Wisnu), barat (Mahadewa) dan tengah (Siwa). Yang unik lagi dan sangat identik denga Hindu, bangunan tersebut dibalut dengan kain putih-kuning (Wastra), menggunakan tedung putih dan kuning di sebelah kanan dan kiri bangunan tersebut. Di samping itu pada badan bangunan juga dibalut dengan kain warna berumbun (Putih, merah,hitam kuning) sangat identik dengan Hindu.

Ini yang menandakan bahwa kejayaan Hindu dahulu masih meninggalkan budaya yang sampai saat ini masih melekat di setiap upacara maupun acara adat daerah setempat. Khususnya daerah Lampung, bukan tidak mungkin, dengan mulai diangkat kembali ke permukaan adat, tradisi dan budaya tersebut merupakan langkah awal kebangkitan Hindu. Perlu penelitian yang lebih mendalam terhadap budaya setempat khususnya oleh generasi Hindu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar