I Nyoman Tika
Kalau ingin diperhatikan, maka perhatikan lebih dahulu.” Itu menjadi semacam nasihat yang tak luntur oleh zaman. Kata-kata itu menarik untuk melihat agar diperhatikan negara, maka perhatikan dahulu kebutuhan dan kepentingan negara Indonesia. Konsepsi itu saya coba memetakannya dalam konteks menyongsong Indonesia emas, dengan bonus demografinya.
Bagi Umat Hindu, menyongsong tahun 2045, tepatnya seratus tahun Indonesia merdeka, ulang tahun emas bagi Indonesia, dengan adanya bonus demografi. Indonesia akan mengalami bonus itu mulai tahun 2020 sampai 2035. Bonus itu berupa usia produktif 15-64 tahun jumlahnya lebih tinggi dibandingkan usia non produktif. Lalu langkah apa yang perlu dilakukan, adalah penyiapan sumber daya manusia yang unggul dengan pemerataan pendidikan yang luas dan berkeadilan.
Di bingkai itu tentu sangat menarik untuk ikut dipikirkan bagaimanakah umat Hindu dapat menyiapkan generasi mudanya dalam percaturan kehidupan yang semakin dinamis? Mengapa demikian? Dari sudut mana kita memulainya? Apakah kita harus menduduki jabatan yang tinggi, atau pendidikan tinggi terlebih dahulu baru bisa melakukannya? Jawabannya tidak. Dimanapun posisi kita, dan apapun pekerjaan kita dan apapun pendidikan kita, jika ada niat pasti ada jalan, dengan demikian memberikan porsi yang tinggi pada pemikiran bahwa ‘kita harus ikut terlibat membangun’ adalah sebuah konsep yang tinggi berdasarkan ‘kesadaran yang mantap untuk berderma dan bersedekah baik materi maupun pemikiran, atau ilmu bagi umat sedharma.
Mengapa demikian penting untuk berbuat seperti itu, kehidupan yang dinarasikan oleh Bhagawan Wararuci, menulis dengan indah, bahwa semua makhluk terperangkap dalam siklus hidup dan mati, masa hidup mereka lewati dengan penyakit, usia tua, dan kesedihan; namun umumnya tidak banyak orang yang sadar akan singkatnya masa hidup itu. Atas nasihat ini, kita perlu berbuat karma kebajikan pada alam semesta dan kehidupan yang ada, khususnya bagi umat Hindu. Memberikan sebuah bata pada bangunan Indonesia emas itu adalah kesempatan yang baik sekali. Menghadapi umat Hindu di seluruh Indonesia, selain tingkat penyebaran tinggi, dibutuhkan tenaga dan biaya yang sangat besar pula. Di bingkai itu dibutuhkan kesabaran yang luar biasa tingginya.
Di terminal itu guru saya selalu memberikan nasihat, yaitu, “Engkau harus bisa mencontoh perilaku yang ditunjukkan matahari, sebab matahari memancarkan sinarnya setiap hari kepada semua makhluk di bumi tanpa pilih kasih. Mataharilah yang menyebabkan adanya segala tumbuhan dan kehidupan lain. Sejatinya matahari adalah perwujudan Brahman.” Artinya, bila perasaan dan kesadaran kita belum tertransformasi seperti matahari, sungguh sulit untuk menerima nasihat tak pernah mempan untuk mengubahnya.
Lalu dalam memetakan kemampuan umat Hindu perlu diketahui jumlah umat Hindu. Umat Hindu yang jumlahnya kurang dari 10 persen dari populasi Indonesia, populasi yang memang relatif tidak banyak, dan menjadi diaspora di berbagai tempat, dan terkonsentrasi di Bali, walaupun demikian diaspora itu menjadi tantangan tersendiri baik dari bagi PHDI, maupun lembaga keumatan Hindu yang lain.
Dalam bingkai itu, menarik untuk memikirkan gagasan yang bisa ditempuh, agar bisa mengambil peran lebih, untuk membantu mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia dengan mengambil peluang yang ada.
Permasalahan yang muncul adalah: (1) kesadaran umat Hindu untuk saling membantu relatif masih sangat rendah khususnya masalah yang bersifat horizontal; (2) lembaga keumatan dalam pengelolaan bantuan dalam bentuk yayasan belum banyak yang terlibat, sehingga dana-dana sosial pemerintah maupun swasta belum optimal bisa disalurkan; (3) perpecahan secara internal kerap terjadi, belum ada kesadaran untuk ‘ikut menyebarkan nilai-nilai kehidupan dalam bentuk’ toleransi secara internal; ( 4) alam pikiran umat masih banyak dikuasai oleh ‘mistisisme’ dan belum banyak yang masuk ke wilayah beragama secara rasional.
Akar masalah dari permasalahan di atas adalah penyebabnya ada beberapa di antaranya: pertama, kesadaran umat Hindu membantu secara horizontal adalah karena, satu nilai yang menjadi pegangan adalah “ membantu orang kerap membuat orang yang dibantu malas, biarkanlah mereka hidup mandiri, sehingga menjadi generasi yang kuat, dan tangguh menghadapi tantangan kehidupan.” Kemudian, digunakan cermin usaha mereka, “Saya sendiri bangkit dan berjuang tak ada yang membantu. Kalau sudah maju kok enak banget orang lain minta bantuan?” Itulah sebuah dialektika dalam pemikiran orang Hindu, khususnya dari etnis Bali.
Di sisi lain, nilai kehidupan itu harus sepenuh diperjuangkan dengan sekuat hati, diri mereka sendiri. Nilai ini sangat baik, namun memiliki kelemahan, yaitu, tahap awal membutuhkan bantuan untuk tumbuh sehingga bisa mandiri, bila tidak kerap menimbulkan rasa frustasi. Frustasi ini bisa berkepanjangan, sehingga tetap tak bisa bangkit, lalu tetap menjadi komunitas miskin, terbelit dalam kehidupan duniawi yang menjerat sangat dalam kehidupan mereka. Kalau sudah demikian maka umat Hindu akan menjadi beban negara, kapan mereka bisa membantu negara, bila membantu diri sendiri saja tidak mampu, maka kontribusi untuk indonesia emas tak bisa diharapkan dari umat Hindu.
Contoh, bisa dihitung masih berapa banyakkah umat Hindu memberikan beasiswa untuk melanjutkan sekolah, atau membuat panti asuhan yang bisa mengangkat anak-anak miskin umat Hindu, sehingga mereka bisa mampu mandiri. Umat Hindu yang kaya lebih suka masuk ke ranah dana punia yang bersifat vertikal, misalnya untuk upacara yang besar dan megah. Memang ini tidak salah, namun bisa diseimbangkan untuk yang bersifat horisontal, membantu sesama dengan bijak. Disinilah perlu direnungkan bahwa kita tidak seharusnya kehilangan kepercayaan pada kemanusiaan. Kemanusiaan itu seperti lautan, jika beberapa tetes dari air laut itu kotor, lautan sendiri itu tidak akan menjadi kotor.
Yayasan atau lembaga swadaya masyarakat belum banyak yang ada,kalaupun ada orang tak banyak melirik, ada prasangka kecurigaan bahwa , konsepsi ‘Jro gede jro luh’ (kalau sudah besar , dimakan sendiri), sehingga membantu yayasan dan LSM keumatan sepi peminat, sepi dari uluran dana punia umat. Hanya orang-orang yang telah ‘memiliki kesadaran mantap, yang terus mantap menyumbangkan sedikit hartanya pada yayasan panti asuhan Hindu, sehingga tidak jarang yayasan membiayai sendiri. Oleh karena tidak mampu, sering yayasan Hindu menolak umat yang membutuhkan. Kondisi ini kerap dimanfaatkan oleh pihak lain dengan membantu, dan yang akhirnya ‘terjadi pergantian keyakinan ‘ secara perlahan.
Izinkan saya bercerita, ketika saya mengajar agama Hindu di kelas-kelas kuliah Agama Hindu di Undiksha, ada satu pokok bahasan pokok bahasan tentang etika dalam agama Hindu. Saya sering membuat tugas luar dalam bentuk implementasi pada mahasiswa agar bisa membuat kegiatan di Panti Asuhan Hindu yang ada di seluruh Bali, tentu sesuai dengan dari mana mereka berasal, ya dari Karangasem, melakukan kegiatan di Karangasem, yang dari Buleleng , ya buat kegiatan di Buleleng, begitu seterusnya. Kegiatannya, salah satu kegiatannya adalah membuat anak panti asuhan gembira. Salah satu yang menarik adalah ‘merayakan ulang tahun anak-anak di panti asuhan.’
Disini dalam membangun kegiatan membutuhkan kesabaran, sebab mahasiswa saya telah memaknainya dengan dalam seperti yang tergurat dalam ‘Sarasamuscaya, yakni, “Kekayaan utama adalah kesabaran hati, apa gunanya emas permata dibandingkan dengan kesabaran, sebab hanya kesabaran saja yang bisa menasehati orang dari kesesatannya, sedangkan emas dan permata hanyalah bagian dari bongkahan-bongkahan tanah yang membisu.”
Ketika merencanakan pada hari yang tepat dengan mencari data terlebih dahulu. Contohnya mencari tanggal yang pas hari ulang tahun dari penghuni panti asuhan tersebut. Ditemukan beberapa anak yang bisa dirayakan hari ulang tahunnya pada hari pas tanggal yang sama. Lalu dibuatkan acaranya, dengan membuat susunan acara, dumbumbui dengan menyisipkan sebuah nilai-nilai kemanusiaan, seperti membuat puisi untuk ayah dan ibu mereka, merencanakan cita-cita, dan terakhir mereka meniup lilin sambil bernyanyi bersama happy birthday to you setelah itu makan bersama, setelah itu, kegiatan terakhirnya yang sangat penting adalah menyampaikan pesan dan kesan tentang kegiatan yang dilaksanakan oleh mahasiswa saya itu. Ternyata, dari ungkapkan itu betapa mereka sangat membutuhkan sentuhan dan empati kita untuk bisa berdiri dan mengarungi kehidupan sama seperti mereka yang kebetulan memiliki ayah –ibu , serta ekonomi yang lebih baik.
Dalam mengemukakan rasa simpati dan syukur atau kesan dan pesan inilah saya sangat kagum, dan kadang meneteskan air mata, betapa anak-anak panti itu penuh syukur, dengan kegiatan yang dilakukan mahasiswa saya. Banyak ungkapan yang polos keluar dari bibirnya, sangat menyentuh hati sehingga menjadi semacam motivasi serta dapat mentransformasi bagi jiwa mahasiswa kami.
Disinilah kata-kata bijak Mahatma Gandhi menemukan dimensinya ”Ingatlah wajah-wajah orang yang mengalami kemiskinan dan orang-orang yang tak berdaya yang telah kamu lihat, dan tanya pada dirimu sendiri langkah apa yang akan kamu ambil untuk mereka.” Itulah pesan yang selalu diingat mahasiswa saya dan tidak sedikit dari mahasiswa kami ke depan mereka mulai sekarang sudah berpikir bahwa ketika kelak berusaha membantu, dan bisa membangun panti asuhan Hindu, sebuah cara transformasi diri yang luar biasa. Demikianlah sebuah dimensi indah yang kerap terlupakan dalam proses pendidikan Hindu, yang nampaknya bisa dimulai dari sekarang. Om Nama Siwa ya****
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar