I Nyoman Sugiarta
Gerakan “Kedas Sampah Plastik” di Pura Besakih yang dimulai tanggal 2 Februari 2019 dalam rangka menyukseskan penyelenggaraan karya Panca Walikrama, menjadi ujian umat untuk lebih peduli dengan lingkungan. Gerakan bersih sampah plastik yang dimulai dari tempat suci diharapkan dapat membangkitkan kesadaran umat itu sendiri lebih mencintai lingkungan. Kualitas lingkungan yang baik memberi dampak pada kualitas kehidupan umat itu sendiri.
Ketika umat semakin mampu membangkitkan cinta terhadap lingkungan akan memberi nilai manfaat yang sangat besar bagi kelangsungan semua makhluk hidup itu sendiri. Sesungguhnya kualitas lingkungan berkorelasi positif dengan dinamika atas keberadaan makhluk hidup yang ada di alam ini. Ketika lingkungan sudah mengalami degradasi yang akut, oleh ulah manusia yang serakah, maka secara tidak langsung akan membunuh keberlangsungan kehidupan itu sendiri. Maka sudah tidak terhindarkan akan muncul bencana alam. Disamping itu akan dapat terputusnya ekosistem makhluk hidup yang ada. Misalnya mulai dari, banjir, tanah longsor, wabah, rapuhnya resapan air tanah, kekeringan berkepanjangan, muncul perubahanan cuaca yang ekstrem, punahnya binatang tertentu karena perburuan liar yang berlebihan atau habitatnya rusak, dan lain-lain. Sebaliknya ketika kualitas lingkungan semakin baik, maka kualitas interaksi mahluk hidup yang ada di dalamnya akan dapat tumbuh dengan baik.
Untuk itu munculnya gerakan yang padu mulai dari hulu sampai ke hilir dalam menjaga lingkungan yang lestari menjadi komitmen yang harus mampu kita wujudkan secara sadar penuh kesungguhan. Tentu bukan gerakan instan yang bersifat lips service belaka dalam upaya menarik simpati umat sesaat, misalnya menjelang pilkada, pileg, atau pilpres. Kita harapkan ini murni gerakan peduli sadar lingkungan untuk keberlangsungan hidup anak cucu kita atas gerakan “Kedas Sampah Plastik” dari Pura Besakih.
Tempat suci sebagai spirit of mind yang diharapkan mampu menyentuh kedalaman budi terhadap kelestarian lingkungan. Bagaimana umat mampu mengejawantahkan hubungan yang seimbang (balance of spirit ) antara tiga kekuatan dasar, yaitu, Tuhan, manusia, dan lingkungan (tri hita karana) dalam tiga dimensi yang saling menjaga dan memperkuat tata hubungan yang ada. Mampu mengharmoniskan tata hubungan yang bersifat vertikal (manusia dengan Tuhan sebagai sang pencipta) dengan yang bersifat horizontal (manusia dengaan manusia serta alam lingkungan sekitarnya) dalam menjalani kehidupan ini akan melahirkan lingkungan lestari yang tetap terjaga. Konsep hidup Tri Hita Karana menjadi warisan leluhur yang telah lama tumbuh, sebagai dasar menjaga keseimbangan hubungan, agar tercipta kualitas hidup yang semakin baik.
Tentu menjadi suatu keniscayaan, dimana ketika di tengah semarak masyarakat melakukan ritual upacara keagamaan, sementara di sisi lain keberadaan lingkungan terdegradasi sangat akut/parah. Mulai dari sampah bertebaran dimana-mana menjadi momok yang akut menghantui. Perilaku hidup mencintai lingkungan semakin rapuh di tengah tuntutan konsumerisme kehidupan mengancam. Masih menjadi renungan dimana munculnya timbunan sampah pada saat, atau setelah berakhirnya upacara keagamaan harus dicarikan solusi yang memadai.
Kalau kita perhatikan dimana negara kita menjadi penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah Cina. Kita menghasilkan 64 juta ton per tahun sampah plastik, dimana 3,2 juta ton dibuang ke laut. Dapat kita bayangkan dampak buruk terhadap keberadaan lingkungan, serta kelangsungan hidup kita bila tidak ada solusi yang memadai bersifat mendasar.
Keseimbangan Hubungan
Sungguh menjadi pemadangan miris, dimana ketika sedang melakukan persembahyangan di suatu pura, sementara di sekelilingnya sampah berserakan yang diunggah dimedia sosial (facebook) menjadi renungan kita bersama terhadap memaknai kebersihan. Membiasakan dalam setiap persembahyangan melakukan gerakan peduli lingkungan dengan memungut kembali bekas sampah yang telah digunakan dengan membuang pada tempat yang telah disediakan menjadi pembelajaran yang cukup penting sejak dini. Sekecil apa pun sampah yang telah dihasilkan, hendaknya mampu kita pungut kembali secara sadar sebagai bagian menjaga lingkungan itu sendiri. Apalagi ada upaya bersifat teknis lebih jauh dimana umat mampu memilah kemudian mendaur ulang antara sampah organik dan unorganik, menjadi produk yang bermanfaat/ekonomis. Keadaan kondusif ini akan melahirkan nilai manfaat ekonomi, sosial, dan budaya bagi umat sendiri. Ketika umat mampu menjaga tata hubungan yang seimbang , akan melahirkan hubungan yang saling berkontribusi. Ketika kita peduli dengan keberadaan lingkungan secara baik, maka lingkunganakan peduli pula kepada kita dengan memberikan hal serupa. Konteks hubungan hidup saling menguntungkan take and give (simbiosis mutualisme) dimulai dari tingkat kesadaran umat terhadap lingkungan itu sendiri.
Tentu kita tidak mau terjebak pada pemaknaan yang ambigu, dimana lebih menekankan hubungan yang bersifat vertikal (manusia dengan Tuhan), sementara disisi lain seperti lalai/mengabaikan hubungan yang bersifat horizontal (manusia dengan manusia atau dengan alam lingkungan). Tentu kita tidak mau dimana dalam itensitas ritual yang massif dilakukan umat, sementara di sisi lain lingkungan alam kita malah semakin merana/rusak. Sampah muncul dimana-mana, lingkungan ter-ekploitasi semakin marak/kebablasan, penjarahan dan pembakaran hutan semakin terorganisasi rapi dilakukan sindikat orang jahat, penggalian bahan tambang semakin liar yang melahirkan kubangan dalam menganga dibiarkan begitu saja.
Kalau kita perhatikan dengan seksama dalam Hindu, dimana philosofi kehidupan dengan alam sekitarnya sudah menjadi ikon dalam menjaga hubungan dengan lingkungan. Misalnya Tumpek Kandang yang jatuh pada hari Saniscara, Kliwon, wuku Uye, sebagai manifestasi Dewa Pasupati, perwujudan pencipta binatang/hewan, mengandung makna dimana manusia sebelum menikmati hasil harus memelihara hewan dengan baik sebelum dikorbankan/dipotong. Begitu pula pada Tumpek Bubuh, yang jatuh pada Saniscara, Kliwon, wuku Wariga, sebagai manifestasi Dewa Sangkara sebagai fungsi dewa tumbuh-tumbuhan. Ajaran agama sudah menuntun kehidupan kita untuk peduli dengan lingkungan alam kita secara utuh dalam ritual yang ada. Untuk itu perlu perenungan yang mendalam dalam kita memaknai keberadaan ritual upacara keagamaan tersebut, agar mampu memberi manfaat yang maksimal bagi keberlangusngan kehidupan ini.
Tumbuhnya pola hidup konsumerisme di tengah masyarakat memberi dampak perilaku ekploitatif terhadap alam sekitarnya. Dampaknya dimana lingkungan alam menjadi merana. Munculnya perilaku di tengah masyarakaat, dimana keberadaan benda dalam kehidupan bukan dianggap sebagai fungsi/guna yang selayaknya/sepatutnya dikedepankan, tetapi sudah muncul hasutan panggung prestise (adu gengsi) dalam kontestasi yang tidak perlu. Konstelasi kehidupan seperti ini memberi dampak buruk bagi kondisi kelestarian lingkungan hidup itu sendiri. Maka tidak terhindarkan muncul sikap dan sifat eksploitasi terhadap lingkungan alam secara berlebihan untuk memenuhi nafsu serakah/yang berlebihan (awidya) sudah tidak terhindarkan terjadi.
Adanya gerakan “Kedas Sampah Plastik” yang dimulai dari Pura Besakih, kemudian diperkuat dengan Peraturan Gubernur Nomor 97 Tahun 2018 menjadi titik balik (entry point) untuk lebih sadar mencintai lingkungan sekitar kita. Manifestasi kualitas kehidupaan umat yang ajeg sangat ditentukan oleh cara memandang lingkunganya sendiri. Merusak alam sama dengan membunuh diri sendiri
(Catatan : Penulis Peminat Masalah Sosial Masyarakat,
Staf Pengajar Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Bali).
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar