A. A. G. Oka Widana
Banyak insan yang berpendapat bahwa ilmu pengobatan, khususnya pengobatan tradisional hanya boleh “dipelajari” oleh orang-orang yang waskita saja atau orang yang telah tersertifikasi saja. Hal tersebut tentu perlu diluruskan, mengingat bidang pengobatan tradisional juga adalah rumpun ilmu, dimana ilmu pengetahuan mutlak dipelajari tentunya tanpa mengenyampingkan etika serta kaidah-kaidah yang ada. Jika tujuan mempelajari ilmu pengobatan justru diperuntukkan guna menyakiti sesama atau insan yang tidak bersalah tentu hal tersebut tidak diperkenankan, namun jika mempelajari ilmu pengobatan tradisional peruntukkannya guna membantu sesama dan menjaga kualitas kesehatan diri pribadi tentu merupakan sebuah langkah yang mulia.
Ditabukannya diri mempelajari ilmu pengobatan tradisional (Usada) tanpa alasan yang akurat dan secara tidak mendasar inilah yang menjadikan keberadaan acuan pokoknya berupa kesusastraan pengobatan klasik (Lontar-Lontar Usada) tersebut makin lama menjadi semakin usang dan lepas dari perhatian umat, yang pada akhirnya kesusastraan pengobatan tersebut hanya menjadi hiasan pada plangkiran rumah atau terhimpit rapi pada pojokan kamar suci. Setelah pada akhirnya dicoba untuk dibuka, kesusastraan tersebut sudah tidak terbaca lagi. Mubasirlah pada pada akhirnya guratan keilmuan yang telah tersimpan dalam “gudang tabu” tersebut. Tiada bermaksud menyindir siapa pun, namun demikianlah realitas yang terjadi.
Eksistensi karya sastra seperti halnya kesusastraan Usada Bali serta yang lainnya secara struktural telah terklasifikasikan dengan baik oleh para ahli atau sarjana. Naskah lontar yang merupakan naskah Nusantara memang sudah sewajarnya dijaga keberadaannya, mengingat kualitas ajaran yang terkandung berperan sentral dalam membimbing beragam aspek dalam kehidupan. Di dalamnya juga menyajikan dengan demikian spesifik tatanan ilmu pengobatan tradisional beserta teraphi-teraphi komplementer yang sangat bermanfaat dan ditampilkan dalam tatanan Bahasa Kawi yang sangat estetik (indah) serta dijiwai oleh nilai-nilai agama dalam tuntunan spirit yoga dan mantra. Banyak aspek pengetahuan Usada khususnya yang berbasis Komplementer yang termuat dalam kesusastraan Usada tersebut, seperti aspek teraphi spiritual healing (pendekatan dalam pengobatan penyakit dan perawatan kesehatan fisik, mental dan spiritual melalui pemanfaatan daya keyakinan pasien terhadap kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa), terafi yoga (melalui aktifitas meditasi, suryanamaskara, serta puasa), terafi herbal (teknik pengobatan yang menggunakan produk dari tanaman atau ekstrak dari tanaman yang bertujuan untuk pengobatan, pencegahan, mengatur dan meningkatkan kondisi kesehatan), teraphi preventif dan kuratif (yaitu teraphi pengobatan dan pencegahan), dan sebagainya. Menyadari hal tersebut tentu keberadaan kesusastraan atau lontar-lontar Usada klasik tersebut sangat layak untuk dipelajari, mengingat kandungan “berlian keilmuan” yang dibawanya sungguh mampu mencerahkan kehidupan umat manusia.
Pengkajian Lontar Usada atau pembelajaran Usada melalui sarana kesusastraan klasik juga memiliki dimensi fungsional yang cukup jelas, seperti; fungsi ekonomis yang terlihat pada guratan arahan penggunaan beragam sarana obat-obatan yang totalitas diperoleh atau berasal dari alam atau obat-obatan herbal yang bernilai ekonomis. Fungsi alternatif, terlihat pada arahan dalam lontar Usada yang juga menawarkan atau menyarankan penggunaan obat-obatan yang berasal dari alam guna mengobati beragam penyakit yang dialami oleh masyarakat. Fungsi etika pengobatan, yang seringkali terlihat dari ditemukannya kalimat-kalimat larangan atau seruan, seperti halnya kata “jangan, hati-hati, tidak boleh”, dan sebagainya. Dan yang paling terlihat adalah fungsi pelestarian tradisi, yaitu dalam hal pelestarian penggunaan sarana obat-obatan tradisional yang totalitas atau keseluruhan berasal dari alam, pelestarian penggunaan doa-doa (mantra) serta teknik terapi tradisional berupa lulur serta pijat.
Implementasi dari sarana pengobatan tradisional tersebut juga dipadukan dengan rangkaian prosesi yang berasaskan pada aspek psikologis, yakni keyakinan melalui tatanan simbolik berupa sajian upakara yang bersifat sakral dan bernuansa religius. Salah satu contoh kesusastraan Usada klasik yang masih diwarisi hingga saat ini, penulis ambilkan dari guratan Lontar Usada Cemeng Sari yang sangat indah menyampaikan bahwa: Iti mantra utama luwih, nga., tri-sakti wenang anggén padupdup yusa, pamagah ātmaning wong agering lama, pupug kadi iki, artinya “Ini mantra utama yang sangat luhur, namanya, Tri Sakti dapat dipergunakan memperpanjang umur, pemisah penyakit lama pada seseorang, maka pupug seperti ini.”
Banyak alasan sejatinya yang keluar dari masyarakat yang mewarisi atau memiliki serta menyimpan keberadaan sastra-sastra Usada tersebut selain karena dianggap tabu, di antaranya; memang belum paham teknik/ cara membaca kesusastraan klasik khususnya sastra Usada yang totalitas menggunakan aksara-aksara kuno, selain itu juga dikarenakan kurangnya apresiasi (penghargaan) dan motivasi bagi masyarakat untuk lebih intensif mempelajari sastra Usada.
Karenanya, adalah hal yang sangat penting bagi generasi milenial untuk kembali belajar atau berguru kepada sastra-sastra Usada klasik guna memperoleh bekal dalam menjalani kehidupan dan tidak hanya menyimpannya sebagai hiasan rumah semata. Informasi yang diperoleh melalui sastra Usada tersebut tentu berguna pula sebagai bahan masukan serta acuan bagi dunia kesehatan khususnya dalam mengembangkan ilmu kesehatan berbasis komplementer, yaitu bidang keilmuan yang memadukan antara penggunaan obat-obatan modern (kimiawi) dengan penggunaan terapi obat-obatan tradisional. (Penggores Pena)
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar