Sebuah konferensi internasional tentang Hindu telah dihelat di Pulau Dewata, Bali, pada 22 Desember 2018, bertempat di Gedung Wiswa Sabha Utama, Kantor Gubernur Bali.
Konferensi tingkat Asia Pasifik itui merupakan bentuk kolaborasi antara Global Hindu Indonesia dan Prajaniti Hindu Indonesia, mengambil tema yang cukup menarik, yaitu The Hindu,s Temples as Center of Excellence atau Pura Hindu sebagai Pusat Unggulan. Peserta konferensi berasal dari sejumlah negara di Asia Pasifik, yaitu Amerika Serikat, India, Bangladesh, Malaysia, Singapura, Nepal, dan tentu saja Indonesia sebagai tuan rumah. Indonesia, sebagai tuan rumah menghadirkan peserta dari berbagai elemen Hindu, yaitu Sulinggih, Dirjen Bimas Hindu Budha, PHDI, Gubernur, Konsulat Jenderal India, Majelis Desa Pekraman dan Kapolda Bali.
Walau bertemakan soal pura, namun yang banyak disuarakan pada kesempatan itu adalah Hindu dalam bahaya, Hindu dalam kepungan. Di beberapa tempat (daerah/negara) jumlah umat Hindu semakin menyusut. Walau para peserta konferensi “berteriak” soal Hindu dalam bahaya akibat dikepung oleh berbagai pihak yang menjadi saingan kita, namun tak ada rumus jitu yang bisa ditawarkan dalam mengatasi berbagai masalah itu. Kebanyakan pembicara mengatakan, atau mengusulkan, agar setiap keluarga memperkuat keyakinan agamanya dan memberikan pemahaman Hindu yang baik dan benar kepada anak-anaknya. Apakah saran itu saja dipandang sudah cukup? Apakah keluarga-keluarga Hindu telah mempelajari Weda dan mengimplementasikan dalam ritual?
Ketua Panitia dalam konferensi itu adalah I Made Dwija Suasana. Dalam sambutannya, Dwija Suasana menyampaikan bahwa tujuan diadakannya konferensi itu adalah bagaimana memperkuat kehinduan kita dan mempersiapkan generasi Hindu di masa depan.
Begitu juga sambutan dari KS Arsana selaku Ketua Prajaniti Hindu Indonesia menyatakan bahwa berdasarkan Rekomendasi Pesamuan Agung PHDI 2008, pura tidak hanya sebagai pusat suci spiritual umat Hindu, tapi juga sekaligus sebagai tempat penggemblengan sumber daya manusia. Dipilihnya Bali sebagai tempat konferensi sekaligus membawa harapan bahwa Bali akan menjadi pelopor kebangkitan dharma di seluruh dunia. Astungkara.
Gubernur Bali dalam sambutannya yang diwakili oleh Kepala Pengembangan Sumber Daya Manusia, Dr. Ida Bagus Sedawa, S.E., menyampaikan, terkait tema konferensi bahwa karakteristik pura sebagai satu kesatuan mandala (wilayah) dan konsep kesemestaan yang meliputi Parahyangan, Palemahan, dan Pawongan. Selain itu pura juga dimaksudkan sebagai pusat pengembangan karakter bagi umat Hindu.
Sebelum konferensi dibuka, didahului dengan penandatanganan MoU oleh Aliansi Hindu Global, yaitu Global Hindu Foundation, Prajaniti Hindu Indonesia, World Hindu Foundation, Peradah, ICHI, KMHD, serta Dirjen Bimas Hindu Budha. Konferensi ini terbagi atas dua sesi, dan masing masing sesi mengambil subtema yang berbeda, dengan panelis/pembicara yang berbeda pula. Berikut rangkumannya pada sesi satu, dengan Subtema: Hindu dalam Kepungan? Bertindak selaku moderator adalah Ma Archana.
Pembicara pertama Dato Pradip Kumar Kukreja (Ketua Global Hindu Foundation) dalam presentasinya yang singkat Dato Pradip menyampaikan data-data dan fakta tentang populasi Hindu di dunia, di mana negara atau wilayah yang memiliki penganut Hindu dalam jumlah besar, semakin menurun dari tahun ke tahun. Hindu seluruh dunia yang berada di India, Nepal, Iran, Pakistan, Bangladesh, Afganistan, Indonesia, Malaysia dan banyak negara lain berada dalam kepungan konversi agama lain. Untuk itu peran pura menjadi tempat pengembangan diri harus lebih ditingkatkan.
Pembicara kedua, Guruji Anand Krishna. Dalam pemaparan materi, Guruji Anand Krishna mengambil poin yang sangat penting yaitu mengajak seluruh umat Hindu untuk kembali ke dharma, yaitu transformasi total pada mindset umat. Kenapa kembali pada dharma? Karena semakin berkurangnya wilayah Hindu di dunia. Keprihatinan, mengambil contoh kasus Champ Bolomon di Vietnam, dimana penganut Hindu yang awalnya mencapai jutaan orang, sekarang hanya tersisa 11.000-an saja. Yang terjadi di Vietnam adalah selama adat istiadat dijalankan, tidak peduli agamanya apa. Dan hal ini bisa terjadi juga dimana-mana, termasuk di Indonesia, khususnya Bali.
Menyinggung tentang konversi, Guruji menanyakan kenapa konversi bisa terjadi? Guruji Anand Krishna mengungkapkan karena umat Hindu tidak bisa menjelaskan bahwa Sanatana Dharma bukan ‘isme.’
Dalam sistem kepercayaan, yaitu yang disebut agama percaya pada kitab suci, dan kitab suci adalah kebenaran yang mutlak, tidak bisa diganggu gugat. Sedangkan dharma, berdasarkan pengalaman pribadi, personal Sadhana. Sadhana seorang Hindu adalah dharma, untuk menemukan Tuhan di dalam diri dan dalam semesta. Tuhan, manusia, dan alam semesta adalah satu kesatuan.
Guruji Anand Krishna mengungkapkan peran seorang Pandit Narendra Sastri yang sangat berjasa dalam menjadikan Hindu diakui sebagai agama resmi di Indonesia, tetapi tidak banyak orang Hindu Indonesia yang mengetahui beliau dan perannya. Banyak hal yang diungkapkan oleh Guruji Anand Krishna, salah satunya adalah tentang Panca Yadnya, bahwa hal penting dalam beryadnya adalah Manava Seva, Madhava Seva. Sembah sujud kepada Hyang Widhi adalah dengan melakukan pelayanan kepada sesama umat manusia. Terakhir, di zaman Kali ini, Guruji Anand Krishna menyatakan bahwa satu-satunya sumber kekuatan adalah ‘Sangha’, persatuan yang kuat pada generasi muda Hindu yang mau mendedikasikan hidupnya untuk Dharma.
Memperkuat Sangha
Selanjutnya Prof. I Ketut Widnya (Dirjen Bimas Hindu Indonesia) dalam pemaparan materinya sependapat dengan Guruji Anand Krishna bahwa umat Hindu harus memperkuat persatuan, memperkuat Sangha. Umat Hindu yang awalnya terkonsentrasi di Bali akhirnya menyebar di seluruh Indonesia. Di Papua saja saat ini sudah ada 33 pura yang tersebar di seluruh wilayah Papua. Berbicara tentang jumlah penganut Hindu di Indonesia, ada perbedaan dalam angka. Versi BPS dan Versi PHDI. Perbedaan tersebut harus dicari kebenarannya, agar kita mengetahui kondisi riil dalam masyarakat kita.
Dibangunnya Sekolah Tinggi Agama Hindu yang jumlahnya semakin tahun semakin bertambah, sebagai bentuk perhatian pemerintah terhadap kebutuhan warga negaranya. Lalu mengapa jumlah umat Hindu semakin menyusut? Jawabannya karena dua hal, yaitu perkawinan dan konversi. Banyak contoh kasus, dimana laki laki yang memperistri wanita non-Hindu, kemudian si wanita mengikuti sang laki laki (suami). Tapi karena sang suami tidak bisa menjelaskan kepada sang istri tentang Hindu, akhirnya si istri memilih untuk kembali ke agama asal.
Konversi yang massif terjadi di Bali, untuk mencegahnya adalah dimulai dari keluarga, keluarga yang mendapat pendidikan yang cukup lewat pasraman. Penyebaran dan pembagian buku Hindu juga perlu lebih intensif dilakukan.
Tampil juga sebagai pembicara Wisnu Bawa Tenaya (Ketua PHDI Pusat). Pada kesempatan itu Wisnu Bawa Tenaya mengatakan, pernyataan Hindu dikepung menuai pertanyaan siapa yang mengepung? Hindu kuat karena nilai-nilai Veda. Nilai-nilai ini dipakai dan dipelajari di seluruh dunia. Dan ia setuju dengan Guruji Anand Krishna, agar kita memperbanyak buku Veda dan menyebarkannya. Contohnya filosofi Tri Hita Karana. Agar Hindu bisa keluar dari kepungan, solusinya adalah kembali pada keluarga, karena keluarga yang mendidik anak, menanamkan nilai nilai Panca Sradha. Keberadaan pura harus dirawat dengan baik. Umat Hindu seluruh dunia harus bersatu, tidak ada lagi istilah Hindu Bali, Hindu India, Hindu Amerika, Hindu Eropa, semuanya bersatu dalam satu Hindu.
Hal cukup menarik diungkapkan Aswani Kumar, perwakilan dari Nepal. Hal menarik yang disampaikan Aswani Kumar adalah bahwa tujuan semua orang dalam keluarga Hindu adalah menjadi ‘Arya’ atau kemuliaan. Tetapi karena adanya penjajahan, baik oleh Barat maupun Timur Tengah, banyak sejarah yang dikaburkan dan dimanipulasi, sehingga masyarakat Hindu melupakan tujuan asalnya. Menurutnya, pertemuan semacam ini adalah untuk menggali sejarah yang sebenarnya dan mengingat kembali tujuan semua adalah untuk menjadi seorang Arya/Mulia. Bisa dikatakan bahwa kembali kepada dharma adalah jalan yang harus ditempuh saat ini.
Hadir juga pembicara Mohan Murugan mewakili Persatuan Hindu Pulau Penang, Malaysia. Ia menceritakan tentang kasus yang terjadi di Malaysia, yaitu adanya buku-buku yang mendeskreditkan Dewa dan Dewi Hindu, pelecehan simbol-simbol agama Hindu dan adanya upaya konversi dengan penyediaan finansial dan kebutuhan pokok bagi masyarakat yang membutuhkan. Solusi yang ditawarkan adalah agar seluruh umat Hindu bekerjasama. Pura difungsikan dan lebih banyak kegiatan anak-anak muda, mengedukasi orang tua Hindu agar bisa menjelaskan tentang Hindu kepada anak-anaknya.
Lemah Karena Dogma
Sementara itu Made Mangku Pastika (Ketua World Hindu Parisad) dalam paparannya juga berbicara tentang Hindu dalam kepungan. Mantan Gubernur Bali ini menyatakan, untuk bisa lolos dari kepungan, maka hal harus dilakukan adalah disiplin. “Hindu terkepung? Siapa yang mengepung? Untuk apa dikepung? Kenapa bisa terkepung?” tanyanya.
Apakah benar Hindu terkepung? Berdasarkan jumlah umat memang berkurang, tapi nilai Hindu yaitu the Way of Life justru meluas, karena Hindu adalah Sanatana Dharma, The Eternal Truth, selalu abadi. Kenapa umat Hindu bisa terkepung, karena umat Hindu lemah, tersesat terlalu jauh. Umat Hindu tidak tahu bedanya Hindu Religion dan Hindu Dharma. Religion penuh dogma, ancaman, menakuti, apologi, sedangkan Hindu Dharma bersifat universal, fleksibel, logis, dan scientific. Karena kita tersesat terlalu jauh, saatnya pulang kembali ke Dharma. “Terjadinya konversi juga karena kesalahan umat Hindu sendiri yang tidak peduli dengan kebutuhan sesamanya,” sebuat Made Mangku Pastika.. Ia mengajak umat Hindu yang berpunya untuk membangun sekolah, rumah sakit, panti asuhan, alih-alih mengeluh oleh banyaknya umat yang terkonversi akibat ketidakpedulian kita.
Pemberdayaan Pura
Sedangkan rangkuman pada sesi kedua, dengan subtema Pemberdayaan Pura, dengan jumlah pembacara 6 orang. Pembicara pertama adalah Ida Pedanda Gede Putra Telabah yang tidak memaparkan materi banyak memakan waktu. Beliau mengajar peserta berdoa bersama karena konferensi diadakan bertepatan dengan hari Purnama. Menurut Ida Pedanda, setiap pura memiliki kebanggaan sendiri bagi para penyungsungnya. Taksu pura yang disebut sebagai kekuatan pura, inner power dari pura, yang tidak hanya dimiliki oleh pura, tapi juga dalam hati setiap orang.
Menyusul Jero Bendesa Majelis Umum Desa Pekraman yaitu Jero Gede Putus Upadesa Putu Suwena sebagai pembicara. Menurutnya, untuk memberdayakan pura dengan segala sumber dayanya, maka ada lima elemen pura yang perlu diperhatikan sebagai kekuatan pura itu sendiri, yang disebut 5 P. Kelimanya itu terdiri atas: (1) Pura: Pura itu sendiri, sebagai elemen utama’ (2) Puri: Otoritas yang dimiliki oleh pura, (3) Purohita: Pemangku Pura, sebagai pemimpin setiap pura, (4) People: Penyungsung pura, masyarakat umum, (5) Purana: petunjuk upacara.
Menurutnya, jika kelima elemen ini bersinergi dengan baik, maka apa pun kegiatan di pura akan lebih bermakna bagi setiap orang, sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan, tidak hanya sebagai destinasi wisata saja.
Pembicara ketiga, Gede Sutarya (PHDI Bali). Menurutnya, turisme di Bali tidak boleh menjatuhkan nilai-nilai yang dianut dalam pura dan masyarakat, karena itu masyarakat diajak untuk menjadikan pura sebagai pusat budaya dan spiritual. Wisatawan yang berkunjung ke pura, tidak hanya melihat wujud pura saja, tapi mendapatkan pengalaman meditasi dan yoga yang sangat khas Hindu.
Hal lain disampaikan oleh pembicara keempat, Dr. Gede Md Sadguna (Ekonom). Menurutnya, selama ini pura hanya dianggap sebagai tempat sembahyang dan ritual saja, oleh karena itu, Dr. Sadguna mengusulkan adanya perluasan fungsi pura yang nantinya dibagi menjadi tiga zona, yaitu: pusat spiritual, pusat pengetahuan, pusat ekonomi.
Sementara itu Mr. Saman Samarji (Sekjen Sanatana Maitri Sangha, Bangladesh) mengisahkan tentang saat-saat umat Hindu Bangladesh terdesak karena krisis kemanusiaan dan politik yang terjadi di Bangladesh tahun 2003. Sanatana Maitri Sangha ini terbentuk secara spontan di antara umat Hindu Bangladesh, dan sampai sekarang masih eksis membantu saudara-saudara se-dharma di bidang pendidikan, religius, penelitian, dan budaya.
Pembicara terakhir, Krishna Raj Mohanji (Aktivis, Malaysia) menyebutkan dirinya memiliki angan-angan, yaitu bagaimana sebuah pura bisa menjadi one stop solution bagi umatnya. Pura, diharapkan bisa mengayomi masyarakat, sebagai pusat untuk mentransformasi diri, tempat belajar, tempat menempa karakter unggul masyarakat. Pura, bisa menjadi rumah dan pusat pelayanan bagi semua masyarakat.
(Ni Komang Trijesi)
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar