N. Putrawan
Darah yang mewakili unsur kehidupan dalam banyak sistem relegi kemudian penumpahannya direkayasa sedemikian rupa, sehingga aroma ngeri kekejian perang sedikit diperindah. Darah sengaja ditumpahkan dengan alasan agama, mengusir roh jahat atau penolak bala lainnya. Selanjutnya dibuatkan filsafatnya yang indah, sehingga mencucurkan darah, baik darah diri sendiri atau darah hewan kurban tidak terkesan ngeri lagi. Bahkan di sebagian wilayah kebudayaan, darah menjadi menu makanan istimewa yang hanya hadir saat upacara suci masyarakat tersebut.
Karena itu menyebut persembahan darah yang dilakukan para penganut sistem religi tertentu sebagai sesuatu yang “kurang beradab” nampaknya perlu direnungkan ulang. Persembahan darah atas nama agama, baik itu dalam bentuk pemujaan atau penyiksaan diri hingga berdarah-darah selintas memang terkesan menyeramkan, biadab, dan bernuansa purba. Seolah-olah kegiatan macam ini malah terkesan anti agama. Namun, konklusi sederhana dan cepat itu tidak juga memberi jawaban kuat untuk menghindarkan umat manusia terbebas dari tragedi penumpahan darah atas nama kekerasan di alam realitas.
Agama-agama pecinta kedamaian pun kemudian di antara pengikutnya mengembangkan kekerasan model baru berselubung faham keagamaan. Bom meledak atas nama agama menewaskan lusinan orang setiap waktunya. Sekali lagi darah tumpah. Namun di antara ceceran darah tumpah itu ada yang memaknainya sebagai pengorbanan suci, persembahan atau sebaliknya tanda dari kekejaman, kebiadaban dan kebengisan. Yang pasti sepanjang apa pun alasan yang dibuat, faktanya darah terus saja mengalir membasah bumi. Misteri tanpa jawab yang tak bisa diselesaikan hanya dengan marah-marah.
Dalam kitab Perjanjian Lama ada perintah menyembelih domba untuk meresmikan penggunaan bangunan sebagai tempat suci. Bahkan dalam kekristenan misalnya, darah Yesus diyakini sebagai penebus dosa umat manusia. Demikian juga dalam perayaan Asyura oleh kaum Syiah di Iran, ribuan umat melukai tubuh mereka hingga berdarah-darah yang dipandang sebagai pengorbanan suci untuk mengenang Imam Husein yang tewas di padang Karbala. Lebih dari itu, dalam keadaan yang sulit, di mana kondisi normal terlampaui, pilihan kekerasan yang harus dipilih sebagai jalan memecahkan masalah juga penuh ceceran aroma darah “yang disucikan.” Perang jihad misalnya dimaknai sebagai pengorbanan suci di medan perang sebagai jalan persembahan di jalan Allah. Bagi orang Bali semangat perang Puputan pun dimaknai serupa. Bahkan dalam Bhagavadgita Shri Krishna menyabdakan panjang lebar tentang keutamaan menumpahkan darah di medan perang Kuruksetra. Dan perang Bharata Yuda yang di mana perang terbuka yang berlangsung selama 18 hari itu mencucurkan berliter-liter darah manusia ke muka bumi. Toh, bagi para kaum ksatria, tumpahnya darah mereka di medan laga diyakininya sebagai persembahan tertinggi, puncak tertinggi dari dedikasinya sebagai ksatria.
Selanjutnya di dunia ritual, begitu banyak jejak persembahan darah yang ditujukan untuk keuatan-kekuatan supernatural, entah itu untuk roh-roh, makhluk kasat mata maupun persembahan atas nama Tuhan. Dalam tradisi Jawa, kini masyarakatnya masih mempraktikkan persembahan darah. Berbagai jenis ritual dengan darah (binatang) itu meliputi upacara tiban, pelebon, petik laut.
Pelebon adalah upacara pengorbanan berupa binatang yang sudah disembelih atau tidak yang dipersembahkan kepada penunggu suatu tempat yang dianggap angker (Bhuta yadnya), seperti di gunung, sumber air, pertemuan sungai. Ada kalanya pelebon binatang berupa kambing hitam dilakukan saat proses pembangunan jembatan, karena pembangunan ini dianggap memotong sungai, sehingga gaib di tempat tersebut harus diberi persembahan. Demikian juga saat pembangunan pabrik-pabrik berskala besar, seperti pabrik gula dan sebagainya, juga dilakukan pengorbanan binatang yang disembelih. Biasanya hewan yang digunakan meliputi sapi, kambing, kerbau, ayam. Upacara ini biasanya dipimpin oleh seorang dukun dengan memilih hari baik dan dikomunikasikan dulu dengan gaib yang akan diberikan sesembahan. Sesajennya menyesuaikan dengan keadaan.
Tradisi persembahan darah lain adalah darah manusia yang dilakukan dalam upacara tiban yang masih lestari di Banyuwangi dan sekitarnya. Tiban adalah pertumpahan darah manusia dengan cara bertarung yang ditonton secara massal atas motivasi menumpahkan darah sebagai persembahan dengan harapan setelah persemabahn ini dilakukan hujan akan turun. Masing-masing petarung dipersenjatai semacam pecut berduri yang saling dipukulkan ke tubuh lawannya hingga darah mengucur ke bumi. Memang luka yang diderita pelaku ritual itu tak sampai membahayakan nyawanya, namun ini hanya mempertegas betapa persembahan darah itu demikian universal sifatnya. Ritual tiban ini akan digelar bila hujan tak kunjung datang setelah musim kemarau berlangsung lama.
Persembahan darah dalam situasi darurat memang dapat menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah secara cepat. Contohnya pertumpahan darah dalam Bharata Yuda yang dapat menyelesaikan kisruh konflik berkepanjangan di keluarga Kuru tersebut. Demikian juga saat kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang dijatuhi bom atom oleh tentara Amerika Serikat pada Agustus 1945, lantas Kekaisaran Jepang buru-buru menyatakan berdamai dengan Amerika dan menyatakan menghentikan perang.
Persembahan darah, terutama yang ditujukan untuk makhluk-makhluk bawah (bhutakala), maka hal itu perlu dikomunikasikan oleh orang pintar dengan makhluk yang akan diberi persembahan itu. Misalnya, kalau gaib di suatu tempat minta gadis berkulit kuning sebagai korban, maka manusia biasanya menggantinya dengan persembahan ayam kuning.
Mungkin kita tak perlu terlalu repot mencari alasan mengapa persembahan darah begitu universal di muka bumi ini. Karena dengan melihat fakta bahwa tradisi ritual ini memiliki sejarah panjang dan tua, maka pastilah hal tersebut fungsional. Belum ada tradisi yang dapat bertahan begitu lama, bersifat massal selama ribuan tahun. Karena itu, tradisi tersebut pastilah ada apa-apanya, bukan ritual sembarangan.
Pada era mutakhir ini, persembahan atau ritual aroma darah ini mulai dievaluasi, bahkan ditiadakan oleh pihak-pihak tertentu. Terutama di Bali persembahan darah dalam bentuk caru misalnya sudah ada yang menggantinya dengan benda lain yang berasal dari tumbuhan dengan diberi warna yang sama. Misalnya nasi barak, tepung barak dan seterusnya. Tetapi, untuk tradisi menumpahkan darah dari tubuh manusia masih terus berlangsung. Misalnya tradisi megeret pandan di Tenganan.
Memang ada masyarakat yang kini mensubstitusi persembahan darah dengan benda, maka hal itu dilaksanakan berdasarkan pertimbangkan pikiran, bukan hasil komunikasi dengan makhluk-makhluk halus yang akan diberi persembahan itu. Baginya, hal itu tak apa-apa, dengan catatan semua orang berada pada level pikiran yang sama. Bila kesadaran pikiran kita sudah meningkat, maka kekuatan-kekuatan bawah tidak berdaya lagi ‘nadah’ (memangsa) manusia yang memiliki kualifikasi pikiran yang telah sadar. Memang hukum spiritualnya seperti itu bahwa kekuatan-kekuatan seperti itu (bhuta) mencari sasaran untuk ‘nadah’ manusia yang ‘lupa’ atau tak memiliki kesadaran, atau mereka yang berada jauh dari ajaran agama.
Hanya saja di sini kita perlu untuk jujur pada diri sendiri dan juga memiliki kesadaran umum bahwa apakah kualifikasi masyarakat secara massal itu sudah semuanya berada dalam level kesadaran beragama yang baik? Karena justru di sini masalahnya bahwa tidaklah semua orang selalu dapat menjaga pikirannya dalam kualifikasi spiritual, karena itulah manusia juga disebut makhluk “lupa” dan “lemah.” Bila kondisinya demikian, maka darah dibutuhkan sebagai media untuk ‘menundukkan’ kekuatan-kekuatan bawah itu. Oleh sebab keberadaan raksasa, pisaca, detya, danawa, dan lain-lain itu sudah ada di dunia sebelum manusia ada, maka bagaimanapun manusia tidak mudah melangkahi mereka. Dan hubungan dua dimensi alam ini bisa dibuat menjadi harmonis dengan media darah sebagai pendamai. Nah, itu untuk persembahan ke “bawah”.
Sementara untuk urusan evolusi naik, menumpahkan darah diri sendiri untuk membela prinsip-prinsip kebenaran dinilai sangat mulia dan utama. Karena oleh banyak kalangan, kebenaran identik dengan Tuhan, sehingga banyak ksatria ingin darahnya tumpah dalam keberpihakannya terhadap kebenaran. Dalam keyakinannya, mati membela kebenaran adalah mati atas nama Tuhan. Demikianlah gejolak darah memberi gairah di semua arah.
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar