A. A. Gde Oka Widana
Secara historis dimensi kesehatan dalam konteks pengobatan di Indonesia telah dimulai dari teknik pengobatan tradisional, seperti penggunaan terapi pijat, lulur (boreh) dan bahkan jamu tradisional (loloh) untuk menjaga kesehatan dan bahkan menyembuhkan penyakit. Seiring dengan perkembangan jaman dan teknologi, eksistensi jamu tradisional bahkan telah dikembangkan dalam wujud atau kemasan yang lebih praktis, seperti pengolahan jamu ke dalam bentuk serbuk dan bahkan kapsul. Seiring perkembangan waktu, teraphi tradisional dengan menggunakan sarana obat-obatan yang bersifat natural seperti jamu tradisional (loloh) yang sempat redup manakala memasuki era modern, telah mulai digemari kembali dalam format obat-obatan herbal yang berlisensi, sehingga menambah kepercayaan masyarakat untuk kembali menggunakan obat-obatan tradisional.
Kembalinya masyarakat terhadap obat-obatan tradisional belum dibarengi dengan penghargaan yang layak terhadap keberadaan atau eksistensi ilmu pengobatan tradisional di zaman modern. Padahal Organisasi kesehatan Dunia atau WHO telah merekomendasikan penggunaan obat tradisional termasuk herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama untuk penyakit kronis. Masyarakat di era kekinian masih memandang bahwa identitas pengobatan tradisional tersebut cukup diberikan penghargaan yang “tradisional” saja, sedangkan pengobatan modern yang “canggih” itulah yang lebih pantas diberikan penghargaan yang “canggih” pula. Tentu hal tersebut terlihat diskriminatif, meskipun (mungkin) tiada maksud untuk “mendiskriminasi.”
Bagi masyarakat Hindu, khususnya di Bali, eksistensi ilmu pengobatan tradisional tersebut lebih dikenal dengan istilah Usadha. Jika dicermati dari sisi historis, keberadaan ilmu Usadha di Bali sungguh merupakan tonggak pembangkit ilmu pengobatan tradisional yang memiliki cakupan yang holistik, karena tidak hanya menampilkan solusi bagi pengobatan medis, namun juga memberikan solusi bagi pengobatan non-medis. Bahkan di dalam Veda, eksistensi Usadha klasik telah tersusun apik sejak masa lampau dalam ruang keteraturan ilmu pengobatan yang dikenal dengan istilah Ayurveda. Eksistensi Usadha di Bali juga lebih dikenal dalam konteks subyektif, yaitu profesi Balian sebagai pelaku yang menerapkan konsep pengobatan tradisional atau Usadha. Keberadaan para Balian (Dukun atau Tabib) telah sejak jaman dahulu memiliki peranan yang sangat penting bagi keberlangsungan kesehatan masyarakat. Karenanya, ilmu-ilmu Usadha (pengobatan tradisional) dari para nenek moyang tersebutlah yang seyogyanya dapat dihargai dengan jalan senantiasa digali dan diwariskan menjadi sebuah tradisi dalam hal aktifitas pengobatan.
Sebagaimana yang telah diketahui bersama, dasar dari ilmu pengobatan atau usadha yang dijalankan oleh umat Hindu (khususnya di Bali) adalah ilmu Usadha yang tersurat dalam lontar-lontar klasik yang secara spesifik menyajikan beragam jenis ramuan tradisional guna difungsikan untuk mengobati segala jenis penyakit medis ataupun non-medis. Keberadaan Usadha Bali secara umum juga dapat dikatakan berada dalam ranah Spiritual Healing, yaitu pendekatan dalam pengobatan penyakit dan perawatan kesehatan fisik, mental dan spiritual melalui pemanfaatan daya keyakinan atau sraddha (keimanan) terhadap kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa dan pengelolaan kekuatan prema atau kasih sayang untuk membangun harmoni tubuh dan jiwa. Teraphi yang diberikan dalam Usadha Bali secara fundamental bersifat mendekatkan pasien kepada Sang Sangkan Paraning Dumadi, dengan menciptakan kesembuhan bagi dirinya sendiri serta mengalami dan merasakan apa yang disebut sebagai hubungan yang selaras atau harmonis antara pikiran dengan tubuh.
Permasalahan yang selama ini muncul di masyarakat terkait dimensi Usadha Bali adalah perspektif mengenai eksistensi pengetahuan perihal kesehatan dalam konteks tradisional diposisikan pada tataran wilayah pemikiran yang tabu atau tidak pantas untuk dibicarakan serta tidak boleh dipublikasikan. Tentunya pemikiran tersebut semakin mempersempit ruang pemahaman masyarakat serta mempersempit ruang penghargaan terhadap peran dari Usadha Bali yang telah sangat membantu sejak zaman lampau. Karena bagaimanapun juga, keberadaan bidang Usadha klasik memiliki peran yang signifikan, minimal sebagai acuan pembanding bagi bidang pengobatan modern yang muncul setelahnya.
Peran yang lebih mengagumkan lagi adalah eksistensi Usadha Bali mengajarkan kepada umat guna mewujudkan konsep harmonisasi atau keselarasan pada bidang atau ruang yang lebih lengkap, di antarannya pada lingkup Parhyangan, Pawongan dan Palemahan. Penggunaan beragam mantra-mantra atau sloka religius yang ditujukan pada berbagai manifestasi Tuhan dalam proses pengobatan merupakan konsep keselarasan dengan Tuhan Yang Maha Esa atau Parhyangan. Menyelaraskan pikiran, hati serta perilaku dengan penuh keyakinan atau dengan sraddha yang tinggi kepada para penyembuh (balian, dukun, tabib) guna memperoleh keharmonisan raga dalam bentuk kesembuhan diri merupakan implementasi konsep keselarasan dalam lingkup Pawongan. Penggunaan beragam ramuan tradisional yang mayoritas menggunakan tanaman-tanaman obat yang berasal dari lingkungan alam merupakan bentuk harmonisasi umat dengan unsur alam merupakan konsep keselarasan dalam lingkup Palemahan. Demikian lengkap dan nyata manfaat dari eksistensi Usadha Bali sejatinya wajib memperoleh penghargaan yang setinggi-tingginya dari umat dalam dunia pengobatan.
Alangkah indahnya manakala Usadha Bali dengan ilmu pengobatan modern memperoleh penghargaan yang selaras tanpa adanya “diskriminasi” guna mewujudkan keseimbangan (balance) antara ruang pengobatan kimiawi dengan ruang pengobatan spiritual yang membumi. Dan alangkah indahnya jika eksistensi pengobatan tradisional Usadha Bali juga memperoleh pengakuan yang sama sebagaimana halnya dengan kekaguman umat terhadap obat-obatan kimiawi yang konon lebih mumpuni. Sebagaimana halnya dengan keindahan doa para pengusadha di Bali dalam lantunan sloka Paraskara Grhyasutra, 2.6 yang berbunyi “Om tvam jiva saradah satam vardhamanah, Tvam ayusman varcasvi tejasvi bhuyah, Om svasti, Om svasti, Om svasti”, yang berarti “Semoga Tuhan memberikan hidup seratus tahun dan selalu berkembang, semoga engkau memiliki hidup panjang, penuh dengan keceriaan, termasyur sejahtera dan sehat, semoga kesejahteraan selalu berada di pihakmu”. (Penggores Pena)
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar