Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Senin, 21 Agustus 2017

Rahasia Kekereb Bhuta Siu Antara Mistik, Gaib dan Sakti

Pangiwan atau sering disebut dengan “jalan kiri” diidentikan dengan hal-hal yang kiri atau kejahatan lawan dari kebaikan. Berbeda dengan “jalan kanan” yang diidentikan dengan kebaikan lawan dari kejahatan. 


Pangiwa maupun Panengen  dalam ranah olah batin sesungguhnya, keduanya merupakan penyimpangan dari konsep penyatuan dalam Tantra,  sebab keduanya tidak akan dapat mengantarkan sadhaka pada akhir, yakni penyatuan atau kelepasan. Terlebih penekun pangiwan yang merasa enak dalam dunia siddhi, maka ia akan enggan meninggalkan dunianya. Padahal, siddhi merupakan efek kecil dari sadhana. Suksesi sadhaka harusnya melampaui siddhi, sakti melalui siddha dan menjadi saddhu gunawan. Demikian juga panengen yang menjalankan kadyatmikan besar kemungkinan “mabuk” pengetahuan sehingga menjadi “aku”, dan “merasa” diri sakti. Justru orang yang mabuk pengetahuan lebih berbahaya dari orang yang belajar, paham dan mengetahui  ajian deluh desti terang jana. Demikian dipaparkan oleh seorang budayawan muda, I Ketut Sandika, S.Pd.H., M. Pd., ketika diminta pandangannya seputar praktik Tantrisme di Bali, pada 22 Juli 2017 lalu di Denpasar.


Ia menambahkan, terlepas dari hal tersebut, baik dunia pangiwan dan panengen sesungguhnya ilmu yang tidak terbatas hanya pada siddhi atau sakti dalam artian harfiah. Pelampauan keduanya itu dapat dilakukan dengan mendalami keduanya, sehingga tidak ada kiri mengungguli kanan dan kanan mengungguli kiri. Artinya, orang boleh saja mendalami panengen tetapi sebaiknya terlebih dahulu mendalami pangiwan. Dengan demikian seseorang akan mampu berada di antaranya (madyama marga Tantra).
“Sama halnya, bagaimana kita mengetahuai jalan kiri, jika kita tidak pernah berada di jalan kiri. Begitu juga sebaliknya di jalan kanan. Kembali lagi, semua membutuhkan keseimbangan dalam proporsi yang tepat,” jelasnya.  Ia melanjutkan, salah sedikit saja dalam mempraktikkan Tantra, maka kedua jalan ilmu ini akan membahayakan sadhaka.
Berkenaan dengan hal tersebut, kiranya sangat menarik menelisik dunia pangiwan terlebih dahulu. Mulai dari menemukenali atribut yang digunakan si penekun pangiwan sebelum dilanjutkan dengan menelisik sisi pengetahuan pangiwan lebih mendalam. Salah satu atribut penekun pangiwan yang menarik ditelusuri adalah kekereb.
Kekereb atau dalam bahasa Indonesiannya disebut dengan kerudung. Kekereb dalam dunia pangiwan ini jarang orang ketahui. Orang-orang pada umumnya hanya mengetahui bahwa kekereb diperuntukan bagi Ida Sesuwunan Barong dan Rangda. Padahal dalam dunia pangiwan, kekereb memiliki fungsi yang sangat penting. Biasanya bagi para pangiwan yang sudah tinggi tingkatan ilmunya, maka kekereb adalah media yang digunakan sebagai penutup kepala saat ia akan berubah wujud (ngelekas/memurthi/nyuti rupa) sesuai dengan tingkatan ilmunya.
Selain itu, kekereb adalah peranti sangat penting digunakan dalam dunia siat peteng (pertarungan tengah malam), dimana siat peteng adalah ajang kontestasi ilmu. Sebelumnya antara penantang dan yang ditantang sudah berjanji akan menentukan hari dan waktu pertarungan. Lazimnya waktu yang dipilih, yakni pemagpag kajeng keliwon atau malam hari sebelum kajeng keliwon. “Tempat yang dipilih biasanya penguluning setra atau tempat yang berada diantara campuan sungai dan sawah yang ada temukuan aya (tiga aliran air ke petak sawah). Sebab di tempat itulah, pintu antara sekala dan niskala terhubungan sehingga pelaku pengiwan dapat mengkoneksikan ilmu mereka hingga sampai titik puncak,” imbuh ilmuwan muda yang juga undagi Barong-Rangda asal Kulungkung tersebut.
Kekereb yang digunakan dalam dunia pangiwan ada berbagai bentuk. Aksara dan bentuk rajah nya yang menjadikan kekereb tersebut berbeda. Penggunaanya pun sesuai dengan spesialisasi dan tingkatan ilmu mereka.
Masih menurut Sandika, kekereb yang paling tinggi adalah menggunakan rajah Bhuta Siu dan rajah Durga Bhairawi Murthi atau sering pula disebut rajah Durga Bhairawi. Kemudian Dasaksara, Dasaguna dan Dasabayu ditempatkan sesuai dengan formulasi mistik Tantra yang kuat dan nan rahasia. Biasanya hanya orang yang ngerajah atau sadhaka saja yang mengetahuinya. Sebab aksara dalam kekereb adalah pasword untuk menghubungkan aksara dalam kekereb dengan aksara dalam tubuh si penekun, dan tidak boleh diketahui orang lain (pingit akna).
Kekereb Durga Bhairawi Murthi misalnya, digambarkan dengan sosok Bhatari Durga yang sedang krura atau murka. Memiliki tiga kepala dan beberapa tangan yang memegang senjata. Api atau gni murub meliputi seluruh badanNya. Semua citra yang ada pada rerajahan tersebut menunjukkan kekuatan dari energi Panca Kertya Sakti, yakni lima kekuatan dari Durga, yakni pencipta, pemelihara, pengabur, pendaur ulang dan pemberi anugerah. Kemudian penggambaran Beliau yang Krura Raudra adalah menunjukkan dari energi emosional yang tinggi untuk memutus “rasa” takut. Selama ketakutan itu masih berkecamuk dalam diri seseorang, maka ia tidak akan menemukan makna dan arti dari Sakti yang sesungguhnya sebagai Bhairawi.
Kemudian aksara Dasaksara, Dasaguna dan Dwiaksara (Ang-Ah) serta Ongkara Sumusang ditempatkan pada tempat-tempat tertentu. Semua aksara tersebut memiliki makna penunggalan dari bayu dan guna. Keduanya disatukan pada aksara Ang-Ah hingga lebur menjadi Ongkara Sumusang atau Ongkara Terbalik. Terbalik bukan berarti “buruk” seperti anggapan orang-orang. Makna terbalik di sini adalah rahasia kata yang menunjukkan makna “bawa balik ke dalam.”
Bagi penekun pangiwan yang ngelekas dan melakoni siat peteng, kekereb akan dijadikan angkeb atau penutup kepala. Ia yang ngelekas maka kuburan akan menjadi tempat yang baik melakukan pengerehan/pengelekasan. Adapun yang melakoni siat peteng, maka bale semangen dijadikan tempat praktik yang demikian. Meskipun ada beberapa penekun yang menggunakan tempat lain tidak menjadi soal. Asalkan tempat tersebut sangat rahasia dan steril dari gangguan sekala. Untuk itu, biasanya penekun terlebih dahulu memasang ilmu sesirep panyengker dan penangkeb, pengalah wong dan pengimpas-impas. Kemudian di balik kekereb itulah ia nunggalang semua aksara tersebut menjadi Ongkara Sumusang (terbalik). Pada saat yang sama, Ongkara Sumusang di bawa kembali (balik) pada bilik ujung jantung (tuntungin papusuhan) dari sanalah Ongkara mamurthi menjadi Durga Bhairawi dengan segala kekuatanNya. Menyebar dan merangsuki semua sel-sel tubuh dan partikel zat yang terkecil. Aliran prana pada semua cakra yang semula putarannya ke kanan di putar ke kiri. Singkatnya, ia yang ngelekas maka akan nyuti rupa sesuai dengan yang dikehendaki dan yang melakoni siat peteng maka badan astral akan terpisah dari badan wadag atau fisiknya untuk siap melakoni pertarungan dunia malam. Tentunya tidak semudah itu, dan ada banyak hal yang rahasia sifatnya untuk dilakoni dan dijalani.
Sekali lagi, celakanya banyak penekun yang terjebak dan terpesona oleh daya gaib atau siddhi dari apa yang dilakoninya. Sesungguhnya kekereb tersebut adalah “kaca pembesar” untuk menyerap energi Hyang Bhatari Bhairawi dalam mencapai kelepasan. Kelepasan dalam hal ini bukan saja lepas meninggalkan duniawi. Kelepasan yang dimaksud adalah lepas dari segala ketertindasan dan tekanan hidup yang semakin kompleks. Jadi mereka para penekun pangiwan di abad modern adalah mereka yang mampu menyerap engergi Hyang Bhatari Bhairawi agar dapat survive dan fighting melawan kerasnya persaingan global. Menggunakan kekereb adalah untuk mencapai sakti. Sakti yang dimaksud adalah sarwa karya dan sarwa jnana, yakni memiliki soft skill dan berpengetahuan.
(Putrawan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar