Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Minggu, 20 Agustus 2017

Dharma Tula Bersama Pandita Mpu Acharya Nanda di Pura Amrta Jati

Agama Hindu sebagai agama paling awal di muka bumi ini yang hadir ribuan tahun sebelum masehi dan dianut sampai dengan sekarang mengalami pemaknaan oleh penganutnya sesuai perkembangan zaman. Mulai dari zaman primitive sampai dengan zaman post modern. Dalam zaman primitif masyarakat memiliki budaya primitif yang ditandai oleh kepercayaan animisme, dinamisme, toteisme, dan lain-lain. Setelah itu masyarakat memasuki zaman pertanian.

Pada zaman pertanian ini pemaknaan agama Hindu menjadi lebih rumit. Zaman berikutnya yang dialui oleh Hindu adalah zaman Purana. Memasuki zaman modern agama dimaknai sebagai agama teater atau agama tontonan dan agama fungsional. Ketika memasuki post modern agama dimaknai sebagai agama spiritual, agama tanpa sekat, spiritual tanpa bingkai.

Karena melewati zaman yang begitu panjang, agama Hindu menjadi banyak makna, banyak simbol, beragam dalam pelaksanaan ibadah, beragam dalam ideologi, antara daerah satu dengan yang lainnya tidak sama. Oleh karena itu sikap yang bijaksana dalam beragama Hindu adalah kita harus mengetahui, kita harus mengakui, kita harus menghargai, dan kita harus menaati. Karena hanya komunitas yang mengetahui dan memiliki simbul yang akan bisa menghargai dan memuliakan sebuah simbol.
Urutan pemahaman agama adalah sraddha, tatwa, jnana, ideologi, sila. Hal yang paling hakiki adalah sraddha atau keyakinan. Panca sraddha berlaku secara universal, kapan pun dan dimanapun. Setelah sraddha tertanam baru dikembangkan tatwa yang mencakup nilai-nilai yang universal agar bisa menjadi orang yang bijaksana. Baru setelah itu akan menjadi filosofi kebijaksanaan. Selanjutnya adalah pada tataran ideologi agama. Pada tataran ideologi agama terjadi perbedaan pola pandang seperti lima orang buta yang ingin mengambarkan gajah dari sisi masing-masing orang yang memegang tubuh gajah.

Pada tataran ideologi inilah Hindu menjadi berbagai sekte, berbagai paksa, berbagai aliran. Untuk menjadi pribadi manusia dan masyarakat yang mulia harus ditaati nilai-nilai sila. Pada akhirnya umat Hindu harus menjadi bijaksana dalam beragama, yakni tidak mengaku benar sendiri dan tidak mudah menyalahkan orang lain, tetapi dilihat konteksnya pada tataran mana kita beragama dan pada tataran mana orang lain beragama, sehingga ada perbedaan.
Demikian kurang lebih rangkuman yang bisa ditangkap dari paparan Ida Pandita Mpu Acharya Nanda pada acara Dharma Tula yang digelar di wantilan Pura Amrtajati, Cinere, pada hari Minggu, 2 Juli 2017. Dharma tula ini dilaksanakan dalam rangka Piodalan Pura Amrtajati ke 32. Dharma tula yang mengambil tema “Strukturisasi dan Konstruksi Keberagamaan di Dalam Hindu” ini dihadiri kurang lebih 200 umat dari Jakarta Selatan dan sekitarnya. Umat sangat antusias menyimak paparan Ida Pandita Mpu Acharya Nanda yang berlangsung kurang lebih 4 jam yang dimulai dari jam 10.00 – 15.00 WIB. Tidak kurang 10 orang bertanya pada sesi tanya jawab, dan ketika waktu telah habis masih ada yang ingin bertanya.
Kegiatan dharma tula ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan yang diselenggarakan oleh Panitia Piodalan Pura Amrtajati Cinere yang dikomandani oleh Tempek Pondok Cabe. Kegiatan-kegiatan lain yang sudah dan sedang dilaksanakan, antara lain: olah raga gembira, pengobatan gratis, pelatihan serati banten, puja santi, dan puncak acara piodalan pada hari Sabtu Wage tanggal 8 Juli 2017.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar