Suka memperolok orang baik adalah tindakan yang tak patut dilakukan. Apalagi yang diperolok dan dilecehkan adalah orang suci. Balasan pasti akan diterima untuk perbuatan (karma) yang tidak baik itu. Bahkan bisa jadi orang lain ikut kecipratan dosa buruk.
Berikut kisah dari zaman Mahabharata setelah berakhirnya Bharatayudha, bagaimana perbuatan memperolok orang suci berakibat besar untuk sebuah kerajaan. Kisah ini diceritakan terjadi di Kerajaan Dwaraka, kerajaannya Sri Krishna. Saat itu Sri Krishna sudah berada di dalam kerajaannya, setelah selesai urusannya dengan para Pandawa dan sesudah penobatan Prabu Yudistira.
Diceritakan pada suatu hari ada rombongan tujuh resi agung melewati Kerajaan Dwaraka. Beberapa orang dari wangsa Yadawa, sebutan penduduk di Kerajaan Dwaraka, memperolok ke tujuh resi agung itu. Mereka ingin melecehkan para resi itu. Mereka mendandani seorang anak muda lelaki seolah-olah perempuan yang sedang hamil besar. Lalu kepada tujuh resi agung itu, seseorang bertanya: “Kapan bayi anak ini lahir dan apa kira-kira jenis kelaminnya?”
Orang-orang Yadawa berharap para resi akan menjawab anak itu lelaki atau perempuan. Apa pun jenis kelaminnya tentu tak penting bagi mereka, yang lebih penting para resi itu mau menjawabnya. Dan pastilah kalau jawaban para resi itu keluar, mereka akan tertawa terbahak-bahak, dan membuka kedoknya bahwa semua ini olok-olok karena orang yang seperti hamil itu adalah anak lelaki.
Ternyata tujuh resi agung itu serius berembug sebelum menjawab. Apa jawaban para resi? “Perempuan hamil ini akan melahirkan satu gada besar yang akan menghancurkan wangsa Yadawa dan menenggelamkan Kerajaan Dwaraka”. Orang-orang Yadawa kaget sebentar lalu tertawa terbahak-bahak. Ketika mereka mau memperolok para resi itu lebih lanjut, ternyata para resi sudah menghilang, tak tahu ke mana arahnya.
Tak berapa lama setelah wangsa Yadawa itu tertawa-tawa, tiba-tiba ada suatu keanehan yang mengagetkan mereka. Lelaki yang didandani seperti perempuan hamil itu, ternyata betul melahirkan sebuah gada baja. Mereka pun ketakutan dan bingung. Akhirnya gada yang keluar dari perut lelaki itu itu dibawanya kepada seseorang yang bernama Ugrasena, salah seorang tokoh dari klan Yadawa. Ugrasena lalu menggiling gada itu menjadi tepung dan membuangnya ke laut. Aneh tepung itu kembali lagi ke pantai dan berubah menjadi rumput ilalang yang setajam pisau. Sebagian serpihan gada yang dilempar ke laut ditelan oleh seekor ikan. Kemudian seorang nelayan yang bernama Jaras berhasil menangkap ikan itu. Jaras menemukan sekeping gada itu lalu diberikannya kepada sahabatnya, seorang pemburu. Kepingan gada itu dijadikan anak panah.
Inilah awal dari kehancuran wangsa Yadawa dan Kerajaan Dwaraka. Sri Krishna sudah tahu pertanda alam ini dan kepada Dewa Narada, Krishna sudah berpesan inilah saatnya tiba dia akan kembali ke alam dewata, kembali sebagai Wisnu setelah selesai menjalani tugas sebagai awatara.
Bagaimana wangsa Yadawa bisa punah? Berawal dari suatu pesta besar di tepi pantai. Tiba-tiba terjadi kerusuhan tanpa jelas sebabnya. Masing-masing orang saling menyerang menggunakan rumput ilalang menyerupai pisau itu. Perkelahian di antara para wangsa Yadawa menjadi demikian dasyat sehingga seluruh warga mati di tepi pantai itu.
Setelah mengetahui bahwa seluruh wangsa Yadawa telah meninggal, Sri Krishna pergi ke hutan dan berbaring di bawah sebatang pohon. Seorang pemburu sedang ada di hutan itu. Pemburu melihat jari kaki Krishna dan mengira itu seekor burung. Pemburu memanah “burung” itu, dan darah pun mengucur. Darah Sri Krishna. Pemburu kaget dan bersimpuh di depan Krishna memohon pengampunan. Krishna tersenyum dan memberi tahu pemburu itu bahwa itulah jalannya untuk kembali menuju alam dewa, dari panah yang berasal dari gada. Dan ia mengingatkan kepada pemburu, Kerajaan Dwaraka akan segera tenggelam oleh air bah dari laut.
Banyak hal yang bisa dipetik dari hikayat ini. Bahwa kehancuran sebuah kerajaan dan musnahnya sebuah bangsa (wangsa) bisa karena kejadian yang sangat sepele, memperolok-olok orang suci. Tetapi tentu semuanya sudah diatur oleh Sang Pencipta Yang Agung, kapan sebuah peradaban berakhir. Sekarang ini sopan santun kita kepada orang tua, termasuk kepada orang suci, sudah mulai luntur. Pelecehan kepada ulama, pendeta, orang suci, marak di media-media sosial. Apakah ini pertanda akan datang kehancuran? Mari kita introspeksi termasuk ofrang suci itu sendiri, jangan merendahkan kesuciannya.
(Mpu Jaya Prema)
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar