Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Kamis, 15 September 2016

Dasar Tatwa Penunggun Karang

Oleh I Ketut Wiana

Menurut Lontar Siwagama, sepatutnya di setiap rumah umat Hindu di Bali seyogianya dibangun tempat pemujaan yang disebut  Kamulan Taksu sebagai ”Huluning Karang Paumahan”. Pelinggih Kamulan Taksu itu sebagai tempat memuja Dewa Pitara sebagai Bharata Hyang Guru. Menurut Lontar Purwa Bhumi Kamulan, setelah Upacara Atma Wedana seperti Nyekah atau Memukur kalau  dalam tingkatan yang besar disebut Maligia. Setelah Atma Wedana itu Atman disebut Dewa Pitara selanjutnya distanakan di  Kamulan Taksu sebagaimana dijelaskan secara terperinci dalam Lontara Purwa Bhumi Kamulan.



Letak Sanggah/Merajan Kamulan di utama mandala, sedangkan bangunan seperti Sakutus/Sakaulu, Bale Gede, Mundak, Sakanem, Pawon, dan lain-lain  di bangun  di  madya mandala. Sementara itu untuk  di nista mandala umumnya teba, tempat berbagai tumbuhan perindang sebagai paru-parunya rumah tinggal.

Rumah Umat Hindu di  Bali umumnya ditembok keliling. Pada tembok keliling itu  setiap sudut ada yang disebut “Padu Raksa.” Menurut Lontar Hasta Kosala Kosali ada dinyatakan sebagai berikut: Aywa nora padu raksa  bilang jungut, yan tan mangkana,hala sang maumah mabwat. Artinya:  Jangan tidak dibangun “padu raksa” di setiap sudut pekarangan rumah, kalau tidak dibangun akan tertimpa sial orang yang punya rumah itu. Saat Upacara Melaspas rumah itu, maka di sudut-sudut atau disebut Jungut itu distanakan Padu Raksa. Di sudut timur laut Padu Raksa disebut Sang Raksa sebagai manifestasi Bhatari Sri. Di sudut tenggara Padu Raksa disebut Sang Adi Raksa sebagai penjelmaan Bhatara Guru. Padu Raksa di barat daya berstana Sang Rudra Raksa sebagai penjelmaan Bhatara Rudra. Di barat laut  (Wayabya) Padu Raksa dijaga oleh Sang Kala Raksa manifestasi Bhatari Uma. Saat Melaspas itu juga di natar rumah ditanam Banten Resi Gana.Ritual ini dilatarbelakangi oleh Tattwa yang sangat dalam maknanya.Dari segi arti kata atau etimologi, kata Kala Raksa berasal dari bahasa Sansekerta dari kata kala dan raksa. Kala artinya  waktu dan energi. Raksa artinya menjaga, melindungi atau waspada. Mengenai kala atau waktu dan energi wajib kita pahami dengan benar, baik dan tepat. Kala jangan diartikan iblis, jin, setan yang tidak berasal dari budaya Hindu.
Canakya Nitisasttra IV.18 yang menyebutkan, melakukan sesuatu itu hendaknya diperhitungkan waktu yang tepat. Canakya Nitisastra III.11 menyatakan: Naasti jagarata bhayam, maksudnya, orang yang selalu waspada dan berhati-hati sangat kecil kemungkinannya tetimpa bahaya.
Istilah raksa atau sadar (terjaga) secara rokhani itulah yang harus dijadikan dasar mengelola waktu dan berbagai energi dalam hidup ini. Kaja Kauh sinah wenten Palinggih Tugu sane kewastanin Plinggih Panunggun Karang Tentang Pelinggih Penunggun Karang di Barat Laut atau Wayabya itu dalam Lontar Hasta Kosala Kosali ada dinyatakan: Wayabya natar ika ,iku Panunggun Karang paumahan.  Artinya: Di arah Barat Laut (Wayabya) dari natar perumahan itu tempat pemujaan Penunggun Karang.

Selain itu, dalam Lontar Sapuh Leger dalam salah satu versinya ada yang menceritakan orang bernama  Sang Sudha yang lahir pada hari Saniscara Kliwon Wuku Wayang yang disebut Tumpek Wayang. Seperti Bhisama Bhatara Siwa orang yang lahir Tumpek Wayang boleh jadi tadahan Bhatara Kala. Sang  Sudha merasa lahir pada Tumpek Wayang itu sangat ketakutan dan memang Bhatara Kala mengejarnya. Sang Sudha berlari dan berlindung di rumpun bambu yang sangat lebat. Sang Sudha punya adik bernama Diah Adnyawati. Sebagai adik tentunya sangat khawatir pada keselamatan kakaknya. Diah Adnyawati minta tolong pada Sang Prabhu Mayaspati yang bernama Sang Arjuna Sastrabahu. Sebagai Raaja tentunya berkewajiban melindungi rakyatnya.Demi rakyatnya, Raja Sang Arjuna Sastrabahu memerangi Bhatara Kala. Dalam perang tanding itu Bhatara kalah melawan Raaja Sang Arjuna Sastrabahu. Karena kalah Bhatara Kala menyerah dan Raaja Sang Arjuna Sastrabahu menugaskan Bhatara Kala dengan Pewarah-warah sebagai berikut: Duh Bhatara Kala mangke ring wayabya ungguhanta, wus kita angrebeda ring rat. Artinya: Hai Bhatara Kala sekarang  di Barat Laut (Wayabya) letak tugas menjaga anda jangan lagi mengganggu kehidupan manusia. Sejak  itu Bhatara Kala yang bestana di Pelinggih Penunggun Karang disebut Sang Kala Raksa yang memimpin Sang Raksa, Adi Raksa dan Rudra Raksa.

Sajian tulisan di Lontar itu memang sedikit mitologis. Tetapi mari maknai hal itu secara filosofi untuk diaktualkan dalam tataran kehidupam individual dan sosial. Manusia hidup bersama  ruang dan waktu. Dalam istilah Sansekerta disebut Bhutakala. Kata bhuta secara denotatif artinya ruang dan kala artinya waktu. Dalam waktu itu ada energi atau kekuatan. Swami  Satya Narayana pernah menyatakan pagi sekitar pukul 4.00 s/d 8.00 waktu membawa energi Satvika. Sekitar pukul 8.00 s/d 16 sore waktu membawa energi Rajasika. Dari pukul 16.00 s/d pkl 20.00 kembali waktu itu membawa energi Satvika. Dari pukul 20.00 s/d pkl 4.00 pagi membawa energi Thamasika. Karena itu manusia yang mengharapkan kehidupan bahagia wajib menyelaraskan perilakunya dengan ruang dan tiga waktu.

Upacara menyelaraskan perilaku inilah dalam wujud ritual sakral disebut “Mecaru” Kata “Caru” dalam bahasa Sansekerta artinya selaras atau harmonis, manis dan dalam pustaka Samhita Suara kata “Caru” artinya cantik.Ini artinya ritual sakral Mecaru itu dalam kehidupan sehari-hari harus diaktualkan dengan cerdas dan bijak, agar senantiasa selaras dengan keadaan ruang yang kita miliki dan waktu yang terus berproses dari hari ke hari. Tujuan Mecaru bukan untuk mengusir jin setan iblis. Dalam ajaran Hindu istilah itu memang tidak dikenal dalam Sastra-Sastra suci Hindu.
 Adanya Banten Resi Gana yg ditanam di natar pekarangan rumah bermakna untuk mengingatkan umat penghuni rumah tersebut agar dalam membina dan membangun rumah tangga mengedepankan perhitungan dan pemikiran yang cerdas dan  bijak. Pemikiran yang cerdas dan bijak itu diperkuat oleh ilmu pengetahuan. Kata ”Gana” dalam bahasa Sansekerta artinya berpikiran, berhitung. Karena itu Dewa Gana manifestasi Tuhan itu memiliki tiga fungsi sebagai Wigna-gna Dewa,Dewa Winayaka dan Dewa Wigneswra.

Agar hidup ini terhindar dari berbagai halangan gunakan pikiran dengan cerdas dan bijak sebagai dasar berhitung dalam menggunakan Indria. Apa lagi Manawa Dharmasasttra II.92 menyatakan bahwa pikiran itu adalah Indria yang kesebelas atau Ekadasendria Manah Jnyanam. Pikiran yang bijaksana atau Manah Jnyanam itu disebut juga Rajendria atau Rajanya Indria. Karena itulah dimana-mana umat Hindu memuja Tuhan sebagai Dewa Gana. Sebagai Wighna-wighna Dewa atau menghilangkan halangan dalam hidup. Kedepankanlah pikiran yang bijak atau Manah Jnyanam dalam mengendalikan Indria untuk menjalankan hidup.

Memuja Ganesa sebagai Dewa Wianayaka agar benar-benar hidup ini diselengarakan dengan bijaksana.Orang bijaksana adalah orang yang senantiasa menggunakan Manah Jnyanam sebagai dasar membangun kebijaksanaan. Demikian juga setiap orang adalah sesungguhnya pemimpin. Minimal memimpin dirinya sendiri. Untuk itu pujalah Ganesa sebagai  Wighneswara agar kita bisa jadi pemimpin  yang bijak.

Demikianlah rumah umat Hindu di Bali pancaran spiritual dipancarkan dari Sanggah Kamulan yang diyakini mendatangkan kekuatan untuk menggunakan waktu dan energi yang dikendalikan oleh pikiran yang cerdas dan bijak. Itulah  makna dari Sanggah Kamulan sebagai Huluning Karang Paumahan, Banten Resi Gana dan Padu Raksa yang dipimpin oleh Sang  Kala Raksa di Peliggih Penunggun Karang di Barat Laut atau Wayabiya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar