Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 10 Juli 2012

Meditasi di Saat Menyapu Sembari Membersihkan “Karang Diri”


I Nyoman Musna

Suatu ketika, seorang sahabat namanya Ibu Kyoko yang berasal dari Tokyo-Jepang. Sahabat saya ini sudah lama tinggal di Bali (Kuta), bahkan telah memeluk agama Hindu kurang lebih 25 tahun. Pada satu ketika Ibu Kyoko berkata pada saya, “Mengapa di saat saya menyapu di halaman rumah, saya merasakan kebahagiaan dan kedamaian yang mendalam. Kenapa demikian?”
Pertanyaan itu terasa sederhana, akan tetapi bila kita telusuri secara perlahan dengan tenang dan mendalam, ternyata mengandung sarat makna. Lebih jauh sahabat ini mengatakan, pada saat menyapu itu terasa imajinasinya seperti melukis di atas kanvas semesta. Garis – garis yang tergurat di tanah seperti irama kehidupan yang indah. Bergelombang seirama dengan konsep Rwa Bhineda (the beauty of Rwa Bhineda). Kehidupan itu terkadang mengesankan, terkadang membosankan. Siang – malam datang silih berganti. Suka-duka sebagai hiasan perjalalan hidup. Seiring dengan sangkakala memutar waktu. Sementara sampah yang terkumpul merupakan kekotoran badan, pikiran dan rasa. Nah, adakah perasaan yang sama pernah kita rasakan seperti apa yang sahabat itu rasakan?

Apabila kita telisik lebih jauh ke dalam relung hati yang dalam, mungkin akan ada jawabnya “ya benar”. Hanya saja kita sulit mengungkap suasana hati saat itu. Kita hanya membiarkan semua kesan sebagai kesan tanpa arti atau kita anggap biasa-biasa saja. Karena kita tidak mau merumitkan diri dengan konsep perasaan saat usai menyapu itu. Adalah memang benar menyapu merupakan landasan dasar untuk melakukan pembersihan diri, baik secara lahirian maupun batiniah. Secara lahiriah hasil yang nampak, yaitu pekarangan yang kita sapu akan nampak bersih, segar, dan nyaman. Sementara bila kita telusuri perasaan bathin kita akan ada perasaan indah, penuh kejernihan, segar dan kegembiraan menikmati suasana pekarangan bersih. Itu tentu tidak dapat kita pungkiri.

Mari kita coba alihkan pikiran kita sejenak pada suatu suasana. Ketika para calon bante atau bikkhu penekun spiritual kebudhaan melakukan kegiatan menyapu di suatu pesraman (bhiara) atau kuil, seperti sering kita lihat dalam film kungfu Shaolin. Pekerjaan menyapu di bhiara atau kuil merupakan sebuah kewajiban dilakukan setiap waktu. Dengan menggunakan bentuk dan kualitas sapu yang berbeda. Pekarangan yang agak kotor penuh sampah dan berlumpur digunakan sapu yang keras (sapu lidi). Pekarangan yang agak halus dibersihkan dengan sapu ijuk. Sedangkan ruang meditasi atau ruang pemaparan dhamma dibersihkan dengan sapu yang terbuat dari rumput halus. Makna apakah yang tersirat dari ketiga bentuk cara menyapu dengan alat yang berbeda tersebut? Secara tidak langsung, bahwa pelaku pembersihan itu diajarkan untuk selalu sadar untuk mebersihkan diri seutuhnya setiap saat.

Pertama, yang dibersihkan itu adalah tubuh (badan kasar), agar tetap terjaga kesehatan dan kesegarannya melalui mandi teratur sampai ke tingkat melukat, mandi matahari sambil melakukan gerakan asana surya namaskara, olah raga yang teratur dan makan makanan yang sehat (satwika). Sehingga dengan badan sehat dan kokoh akan dapat bertahan dari berbagai penyakit.

Kedua, yang dibersihkan adalah pikiran. Pikiran seharusnya dibersihkan dengan olah pikir dengan sadhana (meditasi) berdoa, ber-japa atau nama smaranam (mengulang-ulang nama Tuhan) setiap saat, sehingga rasa ego dan kemelekatan terhadap kepemilikan, kemampuan diri bahwa kita yang paling hebat, merasa paling pintar, bahkan sampai stress memikirkan sesuatu yang bernilai maya, dapat dihindari.

Ketiga, yaitu membersihkan perasaan dengan olah rasa. Perasaan itu sering diselimuti oleh kekotoran bathin. Seperti rasa sombong, benci, rasa dengki, iri hati, kecewa yang berlebih sampai depresi berat. Membersihkan perasaan dapat dilakukan dengan rasa beryukur, rasa welas asih, dan tepo selero terhadap kondisi dan situasi diri sendiri serta penderitaan orang lain.

Bilamana ketiganya telah mampu dibersihkan setiap saat, maka nilai-nilai keindahan, ketenangan dan kedamaian akan bertumbuh dengan sendirinya pada karang diri. Bukankah ini merupakan tahapan dasar sebuah perjalanan meditasi spiritual? Bila itu benar adanya, maka jangan hendaknya kita merasa malu untuk selalu melakukan kegiatan menyapu di karang diri. Baik itu menyapu secara sekala (kasat mata) guna membersikan badan dan lingkungan, atau menyapu secara spiritual (niskala) untuk membersihkan pikiran dan perasaan. Mari kita sadari bahwa “Bersih itu merupakan bagian dari iman”.
Membersihkan karang diri harus dimulai dari diri sendiri. Rawatlah selalu karang diri agar selalu bersih, indah dan penuh kedamaian. Ketika karang diri dapat tetap terjaga dari kondisi bersih lahir dan bathin, penuh harmoni, sadar dan bijak, maka cahaya mentari kesadaran spiritual akan selalu bersinar menerangi perjalanan kehidupan kita saat kini dan selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar