Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 10 Juli 2012

Upacara Wisuda Bumi dan Mecaru Umat Hindu Gunungkidul


Alunan gending jawa terdengar mengiringi perayaan piodalan Pura Bhakti Widi, Dusun Bendo, Beji, Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, pada Sabtu 5 Mei 2012 lalu. Ratusan umat Hindu dari Gunungkidul terlihat larut dalam prosesi sakral yang dihelat setiap tahun pada purnama ke 11 ini. Selain itu, yang istimewa dalam perayaan ini adalah adanya ritual wisuda bumi dan juga menolak bala (mecaru) pada resigana atau raja makhluk halus.
Perayaan Piodalan ini, merupakan sebuah ungkapan syukur yang dilaksanakan oleh umat Hindu setiap tahunnya, mereka memperingati ulang tahun pura sebagai tempat ibadah. Sebelumnya, perayaan demi perayaan seperti mlaspas atau pembersihan tempat dan bangunan baru yang dilakukan oleh para Wasi (pemuka agama). Air suci dipercikkan pada setiap titik-titik tempat dengan menggunakan daun kelapa muda (janur kuning). Sebelumnya, air dan juga sesembahan dan uba rampe juga didoakan dengan ritual khusus.

Ritual wisuda bumi yang didahului dengan acara pembakaran dupa yang wanginya menyeruak di sesaji yang sudah disiapkan. Sesaji (caru) yang disembahkan berupa daging, yang terdiri dari daging bebek, ayam, telur, dan juga anjing belang bungkem berwarna coklat polos dengan mulut warna hitam.

Sebelumnya pada upacara wisuda bumi dan ngresigana, para wasi melakukan pemercikan air pada sesaji yang akan disembahkan. Kemudian, diikuti dengan ritual dan alunan kendang serta bonang. Setelah semua selesai dilakukan. Beberapa orang menyalakan api atau obor. Setelah itu, kemudian beberapa pemuda berkeliling dan berlari, ada juga yang memukul tanah dengan tongkat. Setelah itu, semua sesaji yang ada di atas tongkat bambu dan di bawah dirusak.

Tak cukup hanya itu, pemuda kemudian membakar semua perlengkapan sesaji. Hal itu, dimaksudkan untuk menolak bala dan membersihkan diri. Peserta upacara juga bersorak saat bunyi-bunyian benda sesaji yang dibakar meletup, seiring kerasnya alunan musik.

Pendeta pemuput upacara, Romo Pudja Bratha Jati, menjelaskan bahwa upacara meresigana merupakan salah satu sedekah pada Betara Rudra atau Sang Hyang Rudrapati, yang menguasai Gempa dan musibah. "Maksudnya untuk menghentikan, menghilangkan, minimal mengurangi bencana yang ada seperti tsunami atau gunung meletus. Pencaruan yang kami lakukan untuk anak buah Rudra. Ada kelebihan caru yaitu berupa anak anjing belang bungkem," jelasnya.

Romo Pudja juga menuturkan bahwa wisuda bumi dimaksudkan untuk menetralisir dengan memberikan sedekah pada setiap penguasa bumi. Hal itu dimaksudkan agar dinetralkan dan dihilangkan dari bala atau musibah.

Ia juga menjelaskan bahwa upacara piodalan tersebut merupakan upacara sangat besar dan baru pertama kali dilakukan di lingkup Jawa Tengah. "Ini sangat besar dan khususnya di Yogyakarta ada upacara meresigana. Biasanya pura hanya mentok pada Manca Sata. Namun ini ada tambahan caru resigana," ungkapnya.

Menurut penjelasan Pendeta asal Jakarta ini, prosesi awal pencaruan dilakukan untuk menolak bala dan memberi sedekah pada yang menguasai dunia. Setelah itu, puncak utama yaitu dilakukan dengan melakukan Dewa Yadnya. "Dalam hal ini, ada doa dan kebaktian pada Tuhan Yang Maha Esa," tandasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar