Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Senin, 15 April 2019

Mengenal Candi Siwa Sebagai Tempat Suci Zaman Mataram Kuno

Putu Sari, Yogyakarta

Pada kesempatan ini saya sengaja mengangkat tulisan mengenai tempat suci peninggalan Kerajaan Mataram Kuno yang disebut candi, lebih spesifik Candi Siwa karena muncul beberapa pertanyaan teman-teman yang masih belum bisa membedakan beberapa candi peninggalan leluhur yang sempat dikunjunginya apalagi dalam kondisi runtuh dengan tumpukan batuan tidak beraturan.

Melalui tulisan sederhana ini saya berupaya mencari sumber dengan gambar yang memperkuat pemahaman hasil blusukan di lapangan, sehingga akan membuat kita semakin jelas, semakin mengerti gambaran sebuah Candi Siwa dan akhirnya pembaca budiman menjadi tergugah menyadari betapa hebatnya hasil karya para leluhur kita yang sudah diwariskannya saat ini. Kemudian saya akan mencoba mengurai sedikit sesuai pengalaman blusukan tentang apa saja yang terdapat di dalam sebuah Candi Siwa, sehingga kenapa menjadi begitu istimewa, sampai bisa kita warisi sekarang ini.

Harapan ke depannya setelah mengetahui sisi-sisi tersebut, mengetahui nilai-nilai luhur yang terdapat di dalam candi tersebut dapat dijadikan sebagai pengetahuan kepada siapa saja yang tertarik dengan Candi Siwa/Siwagraha untuk mempelajarinya lebih dalam lagi. Terutama generasi muda Hindu yang akan menjadi calon pemimpin di masa depan, sehingga tidak ragu-ragu lagi menyebut Candi/Siwagraha sebagai tempat suci. Tidak ragu-ragu untuk melakukan sembah sujud bhakti walaupun dalam reruntuhan batuan candi, tidak ragu-ragu memuja dan memuliakan leluhur di candi, karena semua itu adalah cara sederhana untuk mensyukuri (rasa terima kasih), berbhakti (rasa hormat) atas segala anugerah yang diberikan Hyang Siwa dan para leluhur.


Semakin mendalami dan mengetahui candi sebagai tempat suci, berarti menggugah kesadaran, perhatian dan rasa mencintai yang tulus kepada tempat suci tersebut, yang sampai saat ini masih bisa dilihat dan dikunjungi. Candi-candi tempat suci peninggalan leluhur dengan nilai estetika dan spiritual yang sangat tinggi tersebar bak cendawan di musim hujan membuktikan bahwa leluhur kita memiliki pemahaman pengetahuan seni budaya dan praktik spiritual yang mantap sebagai bentuk persembahan kepada Tuhan (Hyang Siwa) yang kemudian diwujudkan hampir disetiap tempat/lokasi yang dianggap bervibrasi kesucian.

Struktur Candi Siwa seperti gambar 1  paling banyak diketemukan di Jawa Tengah termasuk di Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga dikenal dengan candi gaya Jawa Tengahan.
Tiga Bagian dari bawah ke atas sebuah Candi Siwa melambangkan Triloka alam semesta ini yang sering disebut bhuwana agung, yaitu: Bhurloka (alam bumi), Bhwahloka (langit/alam untuk yang sudah disucikan), dan Swahloka (alam Dewata). Pada bagian atap (Swahloka) biasanya disthanakan dewata nawasanga atau dikpalaka yang merupakan manifestasi Hyang Siwa sebagai penguasa alam semesta sekaligus sebagai pelindung arah mata angin. Dewata Nawa Sanga tersebut antara lain: Iswara (Timur), Maheswara (Tenggara), Brahma (Selatan), Rudra (Barat Daya), Mahadewa (Barat), Sangkara (Barat Laut), Wisnu (Utara), Sambu (Timur Laut) dan Siwa (Tengah).

Pada badan candi bisa ditemukan gambar, relief dan hiasan-hiasan yang menggambarkan mahluk-mahluk sorgawi, seperti arca-arca dewa, wahana dewa, pohon-pohon/bunga sorgawi seperti parijata, mahluk-mahluk suci seperti kinara-kinari yang dipahatkan begitu indah oleh para seniman. Melihat penggambaran seperti di atas maka candi tepat disebut tempat pemujaan yang merupakan reflika Kahyangan. Kahyangan digambarkan sebagai tempat suci yang berada di puncak Gunung Mahameru.
Leluhur kita di Jaman Mataran Kuno sangat cerdas, beliau mengambil, menerjemahkan kemudian mengaplikasikan pengetahuan tentang tempat suci (candi) dari negeri asalnya (India) menjadi candi yang bergaya lokal Jawa(Nusantara). Hal ini menandakan bahwa leluhur kita tidak hanya cerdas, religius, dengan spiritual dan estetika tinggi,  tetapi bijaksana, memahami budaya dengan baik dan mumpuni dalam membuat sebuah karya, sehingga bisa bertahan ribuan tahun, bisa dinikmati oleh anak cucunya. Mahakarya luar biasa inilah yang membuat saya tertarik untuk mendekati, mempelajari, dan membagikannya kepada siapa saja yang memiliki ketertarikan yang sama. Jawa Tengah dan Yogya sangat istimewa dan ideal untuk belajar tentang tempat suci Agama Siwa di zaman Mataram Kuno.  Masih banyak misteri yang belum terungkap dari keberadaan bukti-bukti sejarah yang muncul di permukaan Ibu Pertiwi, tetapi di balik misteri, banyak hal juga yang menjadi menarik untuk dipelajari.

Pada zaman Mataram Kuno/Hindu, diperkirakan berlangsung dari abad ke-7 sampai dengan abad ke-10, kehidupan keagamaan yang berkembang pesat beraliran Siwa dan Budha. Raja Sri Sanjaya yang mewarisi estapet pemerintahan di akhir abad ke-6 dari seorang raja yang bernama Sang Sanna, yang tiada lain pamannya sendiri berhasil membawa kerajaan Mataram Kuno semakin berkembang, sehingga kehidupan keagamaan juga turut berkembang. Terbukti kemudian di masa Raja Agung Sri Sanjaya berkuasa, oleh karena beliau adalah penganut Siwa yang taat, beliaulah yang kemudian memerintahkan para ahli/seniman pembuat tempat suci di jaman itu, untuk mendirikan Siwagraha yang saat ini dikenal dengan nama candi.

Siwagraha/Siwasthana oleh para sarjana Belanda disebut candi merujuk hasil penemuan dan penelitian mereka dengan diketemukannya kata candika dalam prasasti dan literatur yang mereka kaji.Candika dengan kata dasar candi merupakan nama lain dari Dewi Durga.
Ada sumber lain yang mengatakan juga bahwa candi adalah nama lain dari Hyang Siwa sendiri, mengingat Beliau juga disebut dengan ribuan nama oleh para arif bijaksana. Penyebutan candi sebagai tempat suci sekarang ini, menunjuk pada tempat suci untuk memuja bagi dua  aliran atau agama besar Siwa dan Budha pada zaman Mataram Kuno, sehingga penyebutan Siwagraha/Siwasthana ini dirasa sangat tepat untuk membedakan dengan  tempat pemujaan aliran Budha dengan Budhasthana/Budhagraha.    Di dalam Siwasthana atau Siwagraha biasanya ditempatkan lingga yoni sebagai obyek pemujaan utama, dimana lingga yoni adalah simbol makrokosmos, Tuhan itu sendiri.

Lingga Yoni
Masuk ke dalam Candi Siwa pada umumnya akan bertemu dengan lingga-yoni. Lingga merupakan simbol Siwa (Tuhan) sendiri, Tuhan sebagai purusa sedangkan Yoni adalah simbol Dewi Durga/Parwati (Tuhan) sebagai pradana. Bersatunya aspek Tuhan dalam wujud purusa dan pradana inilah menyebabkan lahirnya alam semesta (Buana Agung), yang dikenal dengan penciptaan alam semesta beserta segala isinya.  Jadi lingga-yoni adalah simbol alam semesta dan alam semesta adalah Tuhan itu sendiri. Memuja lingga yoni berarti memuja Hyang Siwa, yang merupakan alam semesta itu sendiri (Makrokosmos).

Dalam kepercayaan lokal, Lingga menunjuk kepada Gunung sedangkan Yoni menunjuk kepada lautan. Inilah yang melahirkan konsep segara gunung, tempat suci yang menjadi sumber kehidupan yang tidak pernah habis  (amerta), dimana kedua tempat tersebut saling berhubungan erat seperti proses rantai yang tidak pernah terputus sebagai penganugrah sumber amerta (makanan dan minuman) bagi kehidupan makhluk di muka bumi ini.

Jika Lingga adalah akasa, maka Yoni adalah pertiwinya. Maka keberadaan akasa dan pertiwi inilah yang menjadikan alam semesta raya ini disebut buwana agung. Demikian hebat pengetahuan leluhur kita untuk menjelaskan alam semesta ini melalui simbol-simbol yang sangat sakral. Leluhur kita juga sangat cerdas dalam menggambarkan lingga-yoni tanpa menghilangkan budaya lokal yang sudah ada sebelumnya, sehingga terlihatlah lingga-yoni dengan ciri khas Nusantara yang sangat berbeda dengan tempat asalnya di India sana.

Mempelajari lingga-yoni lebih dalam, menurut I Made Titib dalam buku Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu (274: 2009) menyebutkan bahwa dalam ikonografi Hindu, lingga sebagai lambang api. Hal ini identik dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki seorang raja, sedangkan yoni merupakan lambang bumi. Kedua sifat itu saling bertolak belakang, namun bila keduanya bersatu akan melahirkan kekuatan atau energi. Penganut Agama Hindu percaya bahwa di dunia ini  ada tiga macam cahaya, yaitu matahari, kilat, dan api. Ketiga unsur inilah yang kemudian dijadikan dasar pembuatan lingga. Lingga yang dibuat manusia (manusalingga) terbagi atas tiga bagian, yaitu Rudrabhaga (lingga bagian atas) berpenampang garis lengkung, Visnubhaga (lingga bagian tengah) mempunyai bentuk segi-8 (Octagonal), dan Brahmabhaga (lingga bagian bawah) mempunyai bentuk persegi.

Lingga seperti inilah yang sangat banyak ditemui di wilayah Kerajaan Mataram Hindu terutama di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Bagian lingga yang sangat jelas tersebut juga menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan dimana letak manifestasi/perwujudan Tuhan/Siwa sebagai Brahma (Pencipta), Wisnu (Pemelihara), Rudra (Pralina) apabila lingga adalah simbol Tuhan dihubungkan dengan Rta hukum alam semesta yang tidak bisa lepas dari proses uttpati, sthiti, dan pralina.

Pada bagian depan yoni yang lengkap, di bawah cerat, leluhur kita (sang seniman) menggambarkan arca atau ukiran berwujud Kurma atau Badawangnala penopang cerat dan Naga Anantaboga di bawahnya. Kedua dewa tersebut pasti ada di setiap lingga-yoni yang ditempatkan di candi utama sebuah Candi Siwa. Hal ini membuktikan bahwa leluhur kita sangat cerdas dan arif dalam menggambarkan sebuah pengetahuan agama kemudian mentransfernya ke dalam simbol-simbol pada sebuah bangunan suci, memadukannya dengan budaya setempat yang sudah ada sebelumnya. Kura-kura -Badawangnala) dan Naga Ananta Boga juga terdapat di setiap Padmasana seperti halnya pada lingga-yoni sebuah Candi Siwa di zaman Mataram Kuno.

Dengan mengetahui candi dan bagian-bagian di dalamnya, semoga mulai mengikis keragu-raguan umat Hindu untuk memuja dan memuliakan Hyang Siwa dan para leluhur di setiap Candi Siwa yang dikunjungi.Tidak ada lagi alasan bahwa tidak memahami dan mengerti dengan dewata yang dipuja dan dimuliakan di Candi Siwa. Saatnya untuk memanfaatkan kembali untuk memuja dan memuliakan Hyang Siwa dan para leluhur sesuai dengan fungsi utama yang diharapkan oleh para leluhur ketika membuat Candi tersebut, sehingga vibrasi kesuciannya akan terjaga. Jika kesucian terjaga, Tuhan dan para leluhur pasti hadir untuk menganugerahkan perlindungan, pengayoman dan tuntunan kedamaian dan kesejahteraan kepada alam semesta dan mahluk hidup di dalamnya termasuk kita. Om Nama Siwaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar