Pura Pemacekan lebih lengkapnya bernama Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita ini, terletak di Dukuh Pasekan, Dusun Keprabon, Desa Karangpandan, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Pura ini juga sering disebut dengan Pura Kepasekan, barang kali disebabkan oleh letaknya di Dukuh Kepasekan. Setahu penulis, setiap pujawali atau saat piodalan yang diselenggarakan pada Purnama Sasih Ketiga, warga Pasek setiap Kabupaten seluruh Bali secara bergantian tangkil ke Pura ini.
Pada tanggal 1 September dilaksanakan kerjabakti lanjutan, membersihkan debu-debu yang ditimbulkan oleh pengeseran dan atau pembangunan pelinggih baru, membuat banten untuk nuhur tirta, memasang pengangge, dan mempersiapkan keperluan acara-acara selanjutnya. Pada tanggal 2 September melakukan nuhur tirta ke Candi Ceta, dan tanggal 3 September pada pagi hari membuat dan memasang penjor, sedangkan sore harinya dari pukul 14. 15 WIB hingga pukul 17.00 WIB dilakukan pemlaspasan pelinggih baru, dilanjutkan persembahyangan bersama kapuput oleh lima pendeta Mpu. Ibu Yayuk (salah seorang yang ikut acara mengelilingi pelinggih-pelinggih) menuturkan, bahwa ketika para pelaku upacara melaksanakan acara mengelilingi pelinggih, dua orang (pria dan wanita) di antaranya kerawuhan dan yang priangandika (berkata) “Bape seneng pada guyub rukun”. Pemlaspasan diiringi dengan karawitan gender wayang yang pengrawitnya didatangi dari Denpasar, yaitu okan (putra) dan keponakan Ida Pendeta Mpu Jaya Putra Pemuteran, sementara gendernya dipinjam dari milik Pura Bhuwana Agung Saraswati UNS Surakarta.
Pada tanggal 4 September sore dilakukan persembahyangan di Pura Beji, yang terletak di belakang Petilasan yang kapuput dua pendeta Mpu, dilanjutkan dengan persembahyangan bersama. Usai persembahyangan bersama, perwujudan Ida Bhatara diusung (dikirab) dengan diiringi karawitan Kalaganjur menuju Petilasan. Ketika sampai di depan Candi Kurung (berhadapan dengan Sanggar Agung), saat dihaturkan sesajen, tiga orang dari puluhan peserta kirab juga kerawuhan. Dengan diperciki tirta, mereka berangsur-angsur sadar kembali, kemudian diajak masuk ke dalam Petilasan. Upacara di Pura Beji selesai sekitar pukul 17. 30 WIB.
Pada pukul 19.30 WIB, acara dilanjutkan dengan pementasan tari-tarian di Jaba Tengah (Madya Mandala). Tepat pada hari H (piodalan), di Madya Utama, pada pagi hari dilaksanakan puja wali yang dipuput oleh beberapa Mpu, kemudian persembahyangan bersama. Usai persembahyangan dilanjutkan dengan acara seremonial berupa sambutan oleh ketua pengempon dan wakil dari warga Pasek Kabupaten Badung, yang pada Puja Kali ini mendapat giliran mempersiapkan upakara. Seperti biasanya Ida Bhatara nyejer selama dua hari yaitu tanggal 6-7 September untuk memberi kesempatan kepada para umat yang belum sempat tangkil. Upacara nyineb/nyimpenyang disertai persembahyangan bersama dilakukan tanggal 8 September.
Upacara nyineb kali ini agak berbeda dengan piodalan tahun-tahun sebelumnya. Karena sebelum nyineb, pada pagi hari sekitar pukul 0.8.00 dilaksanakan upakara penganyaran banten aturan yang kebagian giliran Kabupaten Buleleng, kapuput oleh tujuh pendeta Mpu. Suasananya juga ramai (Utama Mandala pebuh pemedek) seperti pada hari piodalan, sehingga persembahyangan dilakukan dua gelombang. Pak Kusumanata (salah seorang pemedek dari Buleleng) menuturkan, bahwa para pemedek dari Buleleng saja ada sekitar 600 orang berangkat ke Jawa dengan 15 bus. Penulis juga sempat berbincang-bincang dengan pemedek lainnya, bahwa yang tangkil pada saat Penganyaran ada yang dari Kabupaten Tabanan,dan Kabupaten Badung. Setelah upacara Penganyaran, seperti biasa dilakukan persembahyangan bersama. Usai upacara Penganyaran dilakukan pawitenan pemangku untuk Pura Pemacekan yang dipimpin oleh pendeta Mpu dari Gianyar, diteruskan dengan upacara Penyineban. Setelah upacara Penyineban selesai, dilanjutkan dengan ngelungsur dan melepaskan sebagian pengangge hingga pukul 15.00. Kendati sudah nyineb, namun para pemedek masih berdatangan.
Pelinggih Baru
Pada piodalan kali ini, terdapat tiga pelinggih baru, yaitu Meru tumpang tujuh, dua buah pelinggih Pemelik. Sebuah pelinggih Pemelik dibangun di dalam Pura, dan yang sebuah lagi dibangun di Pura Beji. Meru dan Pemelik di dalam Pura merupakan pelinggih lama yang posisi dan bahannya diperbaharui, sedangkan Pemelik di Pura Beji merupakan pelinggih tambahan. Wujudnya nyaris sama, hanya ukuran Pemelik di Pura Beji sedikit lebih kecil. Posisi Meru dan Pemelik yang dulu berbeda dengan sekarang. Perbedaannya terletak pada, kalau yang dulu Meru terletak di belakang bagian kanan Pemelik, sedangkan sekarang Meru berada di sisi belakang kiri Pemelik. Kedua pelinggih tersebut yang semula dibuat dengan ukiran pasir, sedangkan sekarang dari batu alam berwarna hitam (batu selem). Kalau dilihat dari posisinya, yang sekarang jauh lebih baik dari posisi yang dulu. Begitupula jika dilihat dari bahannya, yang sekarang nampaknya lebih kokoh/kuat.
Jro Mangku Jaya Kusuma (Sepuh) menuturkan, bahwa dana yang dihabiskan mencapai enam ratus juta rupiah termasuk ongkos tukang yang seluruhnya dari Bali. Di samping membangun tiga pelinggih baru, juga dilakukan pengecatan total untuk seluruh tembok, Balai Kulkul, Gedong Petilasan, Candi Bentar maupun Candi Kurung. Pengecatan yang sebagian besar menggunakan cat mas (prada) yang harganya sangat mahal, menurut Mangku Sepuh menelan biaya mencapai tiga ratus Juta rupiah termasuk ongkos tukang yang juga semuanya dari Bali. Kadek Pardila(sekretaris Pangempon) menuturkan seluruh beaya dipenuhi oleh warga Maha Gotra Pasek Sapta Rsi yang sekretariatnya berpusat di Bali.
Berbagai Tarian
Di tengah-tengah pembelajaran anak-anak sekolah sudah di mulai, tidak menyurutkan niat bagi anak-anak sekolah SMP dan SMA yang tergabung dalam Sanggar Waras asal Kuta Selatan untuk ikut ngayah.Mereka sejak tanggal 4 pagi sudah berada di lokasi (Karanganyar), berarti mereka meninggalkan bangku sekolah paling sedikit selama empat hari. Menurut info yang mendampinginya, mereka berangkat dengan dua bus pada tanggal 3 September pukul 10 pagi, dan kembali ke Denpasar tanggal 5 September (siang hari). Untuk perjalanan paling sedikit butuh waktu satu hari lagi. Niat dan semangat mereka seperti itu, patut diapresiasi. Mereka sejak tanggal 4 September mulai pukul 19. 30 mempersembahkan berbagai tarian lepas seperti tari Sekar Jagat, Margapati, Tenun, Cendrawasih, dan Terunajaya. Kemudian dilanjutkan dengan dramatari Topeng yang mengisahkan keberadaan warga Pasek dan cikal bakal berdirinya Pura Pemacekan Karangpandan. Dramatar Topeng selesai pukul 23.00 WIB.
Pada hari H (piodalan) pada tanggal 5 September, di tengah-tengah para Sulinggih mepuja dipersembahkan tari Rejang dan tari Topeng Siddhakarya di Madya Mandala. Sebetulnya persembahan tari Rejang dan tari Topeng, Siddhakarya lebih patut di Utama Mandala. Namun, oleh karena di Utama Mandala sudah penuh sesak oleh umat yang akan bersembahyang, maka tiada jalan lain, maka tarian tersebut dipersembahkan di Madya Mandala. Di Ujung rentetan acara pada hari piodalan, masyarakat setempat yang dikordinir oleh Mangku Yono (salah seorang pemangku Pura Pemacekan) juga mempersembahkan tari Gambyong. Menurut kebiasaan masyarakat Jawa, tari Gambyong digunakan untuk menyambut tamu penting (agung).
Dengan dilakukan renovasi dan pembangunan tiga pelinggih baru dan pengecatan secara total, pura/petilasan kelihatan semakin megah. Kemegahan ini terutama dapat dilihat dari candi Kurung maupun candi Bentar yang ukurannya lumayan besar dan tinggi, juga penuh dengan ukiran yang dicat dengan prada. Di samping itu, pada piodalan kali ini dipentaskan berbagai tarian baik sebagai persembahan maupun hiburan, sehingga suasana sangat meriah. Kemegahan dan kemeriahan ini, sangat diharapkan memotivasi warga Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi agar semakin banyak tangkil ke Pura, dan semakin solid terutama warga pengempon setempat. Seperti yang diserukan oleh Pandu Lagosa lewat artikelnya berjudul “IDE ‘PASUPATI’ PAmikukuh SUadarmaning PAsek SujaTI” bahwa “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, semeton Pasek pegang teguh semangat persatuan”(majalah Suara Pasek, Edesi 67 Agustus 2017: 4).Sebagaimana pula pengandikan (perkataan) Ida Bhatara lewat yang kerawuhan, bahwa “Bape seneng pada guyub rukun.” Semoga.
(I Ketut Yasa adalah dosen ISI Surakarta).
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar