Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Jumat, 20 Oktober 2017

Gunung Agung Tongkat Langit Penyangga Sorgawi

Berdasarkan hal tersebut di atas lalu  muncul kepercayaan, bahwasanya gunung adalah jalan menuju sorga, karena gunung adalah tiang langit penyangga alam sorgawi. Dengan ini pula banyak pura (tempat suci Hindu di Bali) dibangun di gunung, karena gunung dipercaya memiliki nilai sakral. Sebutlah Pura Besakih di lereng Gunung Agung, Pura Batukaru di lereng Gunung Batukaru, Pura Lempuyang Luhur di puncak Gunung Lempuyang dan sebagainya.

Di India, Gunung Kailasa (Himalaya) bahkan jelas-jelas disebutkan sebagai kediaman Dewa Siwa dan saktinya Dewi Parwati. Himalaya adalah penyangga sorgawi di mana para yogi banyak bermukim melakukan disiplin spiritual untuk memperoleh pencerahan. Demikian juga Gunung Agung di Bali diyakini sebagai sthana Hyang Putrajaya atau Bhatara Hyang Mahadewa (Siwa).

Prof Arysio Santos, seorang arkeolog asal Brazilia dalam bukunya Atlantis The Lost Continent Finally Found.  menyebutkan dua buah gunung yang menurutnya merupakan pilar Herkules atau Atlas yang lebih tepatnya merupakan pilar Siwa dan Wisnu. Dua gunung berapi tersebut adalah Gunung Agung di Bali yang berketinggian 3 726 meter dan Gunung Rinjani di Lombok yang berketinggian 3 142 meter (Santos 278). Gunung Agung tidaklah berlebihan dikatakan sebagai pilar Siwa atau boleh disebut tongkat Siwa, karena bagi umat Hindu Bali, di gunung tersebut diyakini bersemayam  Dewa Shiwa (Mahadewa).


Secara mitos, kesakralan dan  kemagisan gunung di dalam kepercayaan Hindu sangat kuat. Kepercayaan ini berkaitan erat dengan kepercayaan Nusantara mengenai kesucian gunung yang dikaitkan dengan stana para dewa dan roh suci leluhur. Tidak saja di Bali, baik di India, Jawa, Flores (Gunung Tambora) kebudayaan seperti itu hidup, dimana gunung dianggap sebagai tempat peristirahatan roh-roh suci para leluhur. Dalam tradisi kerajaan di Jawa misalnya, pemujaan dan kegiatan ritual selain dilakukan di gunung seperti Gunung Merapi, Gunung  Lawu, Pegunungan Dieng, Semeru, Bromo dan lain-lain, juga kegiatan ritual dilakukan di candi-candi yang merupakan  replika gunung.

Dalam istilah Sansekerta-nya, gunung disebut sebagai Lingga Acala (lingga yang tidak bergerak). Karena gunung sebagai lambang lingga, maka gunung juga sesungguhnya sebagai lambang Dewa Siwa. Di Bali disebut Hyang-Hyang Parwata (Sanghyang Pasupati).
Dalam kitab Upanisad dikatakan, bahwa di dalam alam semesta (Bhuana Agung/jagat raya) di antara gugusan matahari, bintang, planet, bumi dan bulan menjadi isi alam semesta, gunung disebut sebagai rambutnya Tuhan. Kitab Brhad Aranyaka Upanisad menjelaskan, bhuana agung yang diciptakan Tuhan adalah pelukisan dari Tuhan itu sendiri yang dilukisan dalam wujud personafikasi yang abstraktif. Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan sloka seperti di bawah ini.

“Aum usa va asvasya medhyasya sirah suryas caksuh vitah pranah vyattam medhyasya, dyauh prstham, antariksam udaram prthivi pajsyam, disah parsve, avantaranisah parsavah rta vongani, masascardhmasas ca parvani ahoratrani prathesthah, naksa trany asthini nabho manusani, urvadhayam sikatah, smdhavo gudah, yakre ca klomanis ca parvatah, asodhayas ca vanaspatayas ca lomani. Udyan purvadhah, nmlocan jaghanardhah, yad vrjmbate tat vrdyotate, yad vidhunute tat, stana yati, yan mehati tad varsdati vag evasya vak.” (Brhad Aranyaka Upanisad, I.1.). Artinya: Aum sesungguhnya, fajar adalah kepala kuda yajna, matahari adalah matahari, agni adalah nafasnya, mulutnya yang terbuka adalah api vaisavarna; tahun adalah tubuh dari kuda yajna, langit adalah punggungnya, antariksa adalah perutnya, bumi adalah telapak kakinya, mata angin sebagai sisi-sisinya, mata angin antara adalah rusuk-rusuknya, musim adalah anggota-anggota tubuhnya, bulan dan tengah bulan adalah persendiannya, siang dan malam adalah kakinya, dagingnya makanan perut, sungai adalah urat darahnya, hati dan bintang-bintang adalah sebagai tulangnya, mendung sebagai paru-paru, adalah gunung-gunung, pohon-pohon obat, dan pepohonan adalah rambutnya. Matahari terbit adalah bagian depannya dan matahari terbenam adalah bagian belakangnya. Ketika ia menguap, maka terjadilah petir dan ketika ia menggoyangkan tubuhnya maka terjadilah geledeg, ketika ia membuang air kecil terjadilah hujan, suara sesungguhnya adalah suaraNya.
Berdasarkan petikan di atas, jelas jadinya penggambaran dunia itu yang merupakan gambaran dari tubuh Tuhan dalam personafikasi yang abstraktif. Bila demikian halnya, berarti Bumi yang kita tempati ini merupakan bagian kecil dari tubuh Tuhan.

Tuhan adalah jiwa dari jagat raya ini, sehingga Tuhan sering diberikan gelar Seru Sekalian Alam. Akibat Tuhan memberikan jiwa ciptaanNya maka Tuhan juga yang mengatur gerak atau peredaran alam semesta ini.

Menurut Dr. Relin, D.E., dosen di IHDN Denpasar, gunung demikian besar mempengaruhi kepercayaan masyarakat Hindu, apalagi gunung dilambangkan sebagai rambut Tuhan, maka secara etika kesucian gunung mempunyai posisi paling tinggi di antara “tubuh” Tuhan. Menurut etika, rambut ini sebagai simbol keindahan, kemagisan dan kesucian. Jika rambut di kepala ditata untuk keindahan maka sebagai lambang kecantikan dan kegantengan, ketika rambut dibiarkan mengurai menyeramkan, maka kesannya akan menjadi seram, ketika rambut ini diikat mengerucut di kepala, ia dilambangkan kesucian. Di sinilah salah satu mitologi, bahwa gunung sebagai rambut Tuhan mempunyai daya pesona kesucian dan kesakralan yang luar biasa. Hanya rambut berada di mahkota, sedangkan anggota tubuh lainnya berada di bawahnya. Lalu bagaimana mengatakan bahwa gunung tidak suci. “Gunung sebagai lambang kesucian dan kesuburan sehingga di masyarakat Bali kepercayaan tentang  gunung dituangkan dalam ajaran bakti dan jnana,” sebut Relin D.E., beberapa waktu silam.

Sebagai ajaran bakti gunung diwujudkan berupa banten seperti gebogan, dangsil, dan dalam bentuk upakara disimbolkan dengan tumpeng. Sedangkan dalam bangunan pelinggih disimbolkan dengan meru, candi dan sebagainya. Secara filsafat gunung disimbolkan dengan tumpukaning hati.
Di dalam upacara, penjor pun disebut sebagai lambang gunung sebagaimana disaksikan pada penggunaan penjor tertutama pada hari raya Galungan. Pada saat Galungan, penjor mengandung makna simbol gunung, segala hiasan penjor yang terdiri atas daun, bunga, buah, umbi, serta dilengkapi sesajen adalah persembahan kehadapan bhatara di Gunung Agung, yaitu Bhatara Giri Putri. Karena dengan diyakini dengan mempersembahkan penjor tersebut maka akan timbul kemakmuran.

Kepercayaan akan kesakralan gunung tidak terlepas pula dari mitologi Purana Bali yang menguraikan bahwa ketika Bali dalam keadaan anrawang-anruwung, maka datanglah Sanghyang Pasupati dari India membawa penggalan gunung Mahameru, sampai di Jawa tercecer bongkahannya paling bawah menjadi gunung Semeru, sampai di Bali tercecer bongkahan tengah menjadi gunung Agung dan sesampai di Lombok tercecer puncak gunungnya menjadi gunung Rinjani. Sehingga empat gunung yang dipercayai erat  sekali kaitannya dengan gunung Mahameru, gunung Semeru, gunung Agung dan gunung Rinjani. Segala mitos kegaiban dan kesucian muncul mengikutinya.

Dr. Relin menambahkan,  penyebaran agama Hindu ke Bali oleh Rsi Markandya dimulai dengan penanaman Panca  Datu di gunung Tohlangkir Gunung Agung). Hal ini lalu dikaitkan dengan kepercayaan masyarakat Bali zaman prasejarah sebelum pengaruh agama Hindu dan Budha masuk ke Bali, di mana masyarakat Bali telah mengenal sistem pemujaan dan kepercayaan seperti;
(a) Kepercayaan terhadap gunung sebagai tempat suci. Gunung sebagai tempat bersemayamnya roh nenek moyang yang telah disucikan.  (b) Sistem penguburan mempergunakan sarkopagus (peti mayat) dan setiap  orang  yang meninggal dikubur dengan kepala menuju ke gunung serta kakinya menuju arah laut. Hal ini memberikan suatu inspirasi kepada kita bahwa gunung dan laut melambangkan ulu dan teben atau laki dan perempuan serta  kepala dan kaki. (c) Kepercayaan adanya alam sekala dan niskala. Alam sekala (nyata) merupakan tempat hidup dan kehidupan kita dan alam niskala (tidak nyata) adalah alam yang dituju kelak dan kemudian hari setelah roh kita meninggalkan jasad atau badan kasar kita (mati). (d) Kepercayaan akan adanya penjelmaan (punarbhawa) yaitu menitis kembali ke  alam nyata ini. (e)  Kepercayaan bahwa roh-roh nenek moyang bersangkutan dapat memberikan perlindungan, petunjuk dan tuntunan kerohanian terhadap generasinya (priti    sentana).

Bukti-bukti peninggalan sejarah berupa kesusastraan, prasasti,dan bangunan-bangunan kuno mengingatkan kepada kita, bahwa agama Hindu pernah berpengaruh di Bali. Pustaka Markandya Purana menyatakan, bahwa untuk pertama kalinya ajaran agama Hindu di Bali disebarkan oleh Maha Rsi Markandeya. Beliau datang ke Bali diperkirakan pada abad 4-5 Masehi melalui gunung Semeru (Jawa Timur) menuju gunung  Agung (Tohlangkir), dengan tujuan hendak membangun penataran (asrama). Kedatangan beliau untuk pertama kalinya diikuti oleh 400 orang pengiring, diceriktakan kurang berhasil. Kedatangannya yang kedua kalinya diikuti oleh 2000 orang pengiring dan diceritakan telah berhasil menanam Panca Datu di kaki gunung Tohlangkir (Besakih) sekarang. Selanjutnya Beliau hendak merabas hutan untuk dijadikan sawah-sawah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan penggiringnya. Hutan tersebut diberi nama Desa Sarwada (desa Taro) sekarang. Di Desa Sarwada inilah beliau mendirikan bangunan suci Pura  Desa Taro. Di tempat suci Pura Desa Taro terdapat sebuah peninggalan berupa prasasti yang isinya menceritakan kebesaran jiwa maha Rsi Markandya.
Gunung mempunyai kekuatan suci karena mitologi yang demikian mendalam bagi masyarakat Hindu, sehingga penyebaran ajaran Hindu pun di mulai dari gunung. Kesucian gunung inilah yang menyebabkan banyak para pertapa datang ke gunung dan jarang ke laut. Gunung menyisakan misteri kesucian, kegaiban, dan kesakralan sehingga gunung tetap disucikan sebagai hulu dalam kepercayaan agama Hindu.       

Gunung Agung
Cerita Manik Angkeran dalam salah satu setingnya menyebut Naga Basukih yang tinggal dalam sebuah gua di Gunung Agung, Bali. Gunung ini adalah gunung berapi tipe stratovolcano yang memiliki kawah yang sangat besar dan sangat dalam yang terkadang mengeluarkan asap dan uap air. Dari Pura Besakih gunung ini nampak dengan kerucut runcing sempurna, tetapi sebenarnya puncak gunung ini memanjang dan berakhir pada kawah yang melingkar dan lebar.

Dari puncak gunung Agung dapat melihat puncak Gunung Rinjani yang berada di pulau Lombok di sebelah timur, meskipun kedua gunung tertutup awan karena kedua puncak gunung tersebut berada di atas awan, kepulauan Nusa Penida di sebelah selatan beserta pantai-pantainya, termasuk pantai Sanur serta gunung dan danau Batur di sebelah barat laut
Gunung Agung merupakan gunung tertinggi di Bali, yaitu 3.142 mdpl, terletak diantara Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali. Letak koordinat persisnya pada 8° 342’ LS dan 115° 508’ BT. Dari Pura Besakih gunung ini nampak runcing sempurna, padahal puncak gunung ini memanjang dan berakhir pada kawah yang melingkar dan lebar.

 Dalam lontar “Kusuma Dewa” diungkapkan tentang keberadaan Batara di Buwana Agung (jagatraya) yakni Gunung Mahameru (Gunung Agung), gunung tertinggi di Bali puncaknya menggapai angkasa, pangkal dasarnya menembus tujuh lapisan bumi (Sapta Patala). Tempat itulah merupakan lokasi pertemuan para dewata menciptakan baik (ayu) dan buruk (ala) menjaga jagat raya Pulau Bali.
(Putrawan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar