Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Jumat, 10 November 2017

Rahasia Energi Bulan Secara Spiritual

Purnama dan Tilem, selain dihitung berdasarkan siklus 15 hari, juga tandanya dapat dilihat di alam, yaitu bila Purnama ditandai bulan bersinar penuh (full moon), sedangkan tilem adalah puncak bulan mati. Lantas, mengapa Purnama-Tilem demikian penting dalam tradisi Hindu?

Dalam komposisi matahari, bulan, dan bumi terdapat dua waktu peralihan (sandhya), yaitu Purnama sebagai titik kulminasi bulan penuh beralih ke proses bulan mati (uwudan), sedangan Tilem adalah peralihan dari puncak bulan mati menuju bulan penuh (dari enyitan hingga purnama). Dua masa peralihan waktu berdasarkan posisi posisi bulan, bumi dan matahari ini selanjutnya dijadikan patokan untuk melakukan ritual jenis tertentu di Bali.

Rupanya, bukan tradisi di Bali saja yang memandang purnama dan tilem sebagai waktu keramat. Namun sejumlah penelitian di zaman modern ini telah memberikan jawaban, bahwa ada pengaruh gelombang pasang air laut saat Purnama dengan gejolak mental manusia yang akhirnya memicu terjadinya banyak kejahatan pada menjelang hingga puncak bulan Purnama.
Tentang keberadaan bulan dalam bingkai spiritual disebutkan dalam Bhagavadgita sebagai berikut.
Agnir jyotir ahah suklah
Sanmasa uttarayanam
Tara prayata gachchhanti
Brahma brahmavido janah

Artinya:
Di kala api, cahaya, Siang hari, purnama. Dan enam bulan musim matahari ada di Utara, Apabila saat itu ajal tiba, maka Orang yang mengetahui Brahman akan pergi kepada Brahman.
(Bhagavadgita VIII. 24)

Dhumo ratris tatha krishnah
Sanmasa dakshinayanam
Tatra chandramasam jyotir
Yogi prapyu nivartate

Artinya:
Di kala asap, malam hari, bulan mati, Dan enam bulan matahari di selatan. Apabila saat itu ajal tiba, Yogi yang mencapai cahaya bulan kembali lagi
(Bhagavadgita VIII. 25)


Srila Prabhupada memberikan keterangan sebagai berikut. Bila api, cahaya, siang dan dua minggu menjelang bulan purnama ada dewa-dewa yang berkuasa di atas segala unsur itu. Dewa-dewa itu mengatur perjalanan sang roh sesudah meninggal. Pada saat meninggal, pikiran membawa diri seseorang menempuh jalan menuju hidup baru. Kalau seseorang meninggalkan badannya pada saat-saat tersebut di atas, baik secara kebetulan maupun diatur, maka dimungkinan ia mencapai Brahmajyoti yang tidak bersifat pribadi. Para ahli kebatinan yang sudah maju dalam latihan yoga dapat mengatur waktu dan tempat untuk meninggalkan badannya. Orang lain tidak dapat mengendalikan hal-hal itu, namun kalau kebetulan mereka meninggal pada saat yang menguntungkan, mereka tidak akan kembali pada peredaran kelahiran dan kematian, tetapi kalau tidak demikian, kemungkinan besar mereka harus kembali lagi.

Selanjutnya untuk penjelasan sloka 25, Prabhupada mengatakan, dalam skanda ketiga dari Srimad Bhagavatam, Kapila Muni menyebutkan, bahwa orang yang ahli dalam kegiatan yang dimaksudkan untuk membuahkan hasil atau pahala dan cara-cara korban suci di bumi mencapai planet bulan sesudah meninggal. Roh-roh yang sudah maju seperti itu dapat hidup di bulan selama kurang lebih 10 000 tahun (menurut perhitungan para dewa) dan menikmati kehidupan dengan minum soma rasa. Akhirnya mereka harus kembali ke bumi. Ini berarti, bahwa di bulan ada golongan-golongan makhluk hidup yang lebih tinggi, walaupun makhluk-makhluk itu tidak dapat dilihat oleh indria-indria yang kasar.

Pengaruh Purnama Pada Emosi
Ada kesadaran kuno berkenaan dengan pengaruh bulan purnama terhadap keseimbangan mental dan emosional. Kesadaran itu memberi kita kata lunatic (orang gila), lunacy (kegilaan) dan loony (gila). Semuanya berasal dari kata latin Luna, Luna adalah nama Dewi Bulan.

Di Britania, masalah ini sedemikan meluas sehingga pada tahun 1824 mereka menciptakan Lunatic Act, yang menyatakan bahwa orang akan didenda bila berbuat gila-gilaan ketika bulan sedang penuh. Kegilaan-kegilaan ini muncul dengan berbagai cara, berikut ini adalah daftar dari beberapa pengaruh bulan purnama pada manusia, yang dapat didokumentasikan: (1) Unit kecelakaan dan unit gawat darurat rumah sakit menerima pasien 14 persen lebih banyak; (2) Peningkatan signifikan kunjungan pasien ke praktisi medis untuk konsultasi terjadi setelah bulan Purnama; (3) Peningkatan serangan ayan, tukak lambung dan perdarahan terjadi lebih banyak di saat bulan Purnama; (4) Peningkatan yang dramatis penderita gangguan mental yang masuk rumah sakit; (5) Banyak pasien gangguan mental menjadi sangat terganggu; (6) Bulan purnama mempengaruhi perilaku pasien secara negative; (7) Terjadi lebih banyak kecelakaan pesawat terbang di saat bulan Purnama; (8) Kriminalitas dan kekerasan meningkat di saat Purnama; (9) Pembunuhan-kebanyakan yang tanpa motif- meningkat tiga kali lipat; (10) Pembakaran rumah meningkat 100 persen; (11) Tingkat bunuh diri juga meningkat; (12) Konsumsi alkohol juga meningkat di awal sampai akhir siklus Purnama; (13) Lebih banyak pengemudi mabuk, lebih banyak tabrakan, lebih banyak orang yang menderita sakit karena terlalu banyak minum alkohol; (14) Ovulasi—dan hasrat seksual—memuncak di saat Purnama; dan lain-lain.
Beberapa ahli percaya pengaruh bulan pada perilaku manusia, terutama tidur, hari seolah kembali siang di mana itu adalah sumber penting cahaya. Bentangan kecerahan pada waktu malam hari dapat mempengaruhi hormon-hormon tertentu biasanya diatur oleh ritme sirkadian kita, jam internal tubuh. Atau mungkin hanya karena karena orang-orang yang bergadang, mereka menjadi kurang tidur dan ini sudah cukup untuk memicu mania atau kejang pada mereka yang sudah rentan.
Profesor Jim Horne dari Loughborough University, mengatakan telah diadakan penelitian “kuat” menyoroti efek yang dapat dimiliki bulan pada pola tidur. “Hal ini mungkin hanya disebabkan oleh berlimpahnya cahaya, atau bisa juga bahwa manusia diprogram untuk merespon perubahan pasang surut sebagaimana yang terjadi pada binatang laut.”

Bulan Sabit di Kepala Dewa Siwa
Rahasia spiritual energi bulan lebih jelas dapat ditemukan dalam simbol bulan sabit yang menghiasi rambut Dewa Siwa. Siwa memiliki rambut ikal berwarna merah yang digelung. Karena memiliki rambut ikal berwarna merah yang digelung itu, maka Ia dipanggil dengan nama Kapardi. Siva dinyatakan sebagai Agni bermata tiga (tri netra), phalanetra, Agnilocana, Trilocana. Karena fakta-fakta tersebut di atas Siva disebut yang dapat menghancurkan segala sesuatu yang berkaitan dengan Agni.

Siwa juga membawa senjata Trisula dan senjata lain, yaitu Pinaka, sehingga Ia dipanggil dengan sebutan Pinakapani. Disamping memegang Pinaka, Siva juga memegang tongkat bernama Khatvatiga, juga busur bernama Ajagava, seekor menjangan, tasbih, tengkorak, damaru (gendang kecil) dan benda-benda suci lainnya.
Selanjutnya Ganggadewi dan Ardhacandra (bulan sabit) bertengger di kepalanya. Juga untaian kalung di lehernya terbuat dari tengkorak manusia. Siva mengenakan busana dari kulit macan dan kulit gajah untuk selimutnya. Ia juga mengenakan hiasan seekor ular di lehernya. Sebenarnya apakah makna bulan sabit di kepala Dewa Siva?
Suatu kali Parvati bertanya pada Siva, “Tuan, mohon diceritakan mengapa Anda memakai bulan sabit di dahi Anda. Apakah yang melatarbelakanginya?” Siva kemudian memberitahunya, bahwa pada masa lampau, di mana Parvati masih dalam inkarnasi sebagai Sati, putri Raja Daksa. Waktu itu Sati menikah dengan Siva. Pada suatu hari Raja Daksa menghina Siva yang menyebabkan Sati merasa malu dan kemudian membunuh dirinya.

Setelah kematian Sati, Siva tidak lagi mendapatkan kebahagiaan dalam hal apa pun. Beliau kemudian tinggal di hutan dan melakukan tapa. Saking hebatnya tapanya, maka segala pepohonan di sekitarnya menjadi hangus jadi abu. Ketika Siva pindah tempat, kejadian serupa terus terulang. Hal ini membuat para dewa tercengang kemudian pergi menghadap Brahma untuk minta saran.
Brahma bersabda, “Sebaiknya kita membawa Dewa Bulan, Candra dan menghadiahkannya pada Siva. Sinar Candra yang menyejukkan itu akan membuat Siva tenang.”
Para dewa kemudian menaruh Candra dalam sebuah kendi Amrta. Mereka juga membawa sebuah kendi lain yang berisikan racun. Dengan membawa kedua kendi itu, para dewa menghadap Siva. Brahma yang turut serta pada kejadian itu bersabda kepada Siva, “Para dewa membawakan Anda dua kendi ini sebagai hadiah, mohon terimalah.”

Pertama-tama Siva mengambil kendi yang berisikan Amrta. Segera setelah kendi itu dibuka, Candra yang berwujud bulan sabit itu segera menempel di dahi Siva. Karena bulan sabit yang ada di dahinya, maka Siva juga bergelar Candrasekhara. Setiap kali Siva melihat bulan itu, Ia menjadi terhibur.
Cerita tersebut memberikan pesan tentang kedamaian spiritual yang dijanjikan oleh energi bulan. Purnama dipandang sebagai titik kulminasi cahaya bulan paling terang yang kemudian digunakan untuk mengafiliasi energi kedewataan melalui persembahyangan dan puja lainnya ke hadapan dewata. Sementara itu tilem atau bulan mati penuh dipandang sebagai puncak paling gelap dari malam dan dijadikan sebagai kesempatan baik untuk meneteralisir sifat-sifat asuri sampad pada diri manusia. Hal tersebut pula menjadi alasan upacara mecaru, tawur, dan Bhuta Yajna lainnya diselenggarakan pada saat tilem (bulan mati), saat puncak energi bulan yang dingin menguasai semesta dineteralisir dengan puja-puja, agar kembali pada cahaya.
(dirangkum dari berbagai sumber) Putrawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar