Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Minggu, 13 Agustus 2017

Ritual Keagamaan dalam Jaring Kapitalisme

 Oleh I Nyoman Agus Sudipta, S.Pd., M.Si

Perkembangan zaman sekarang yang serba instan membawa pengaruh terhadap pola kehidupan manusia. Segala hal ingin diatur secara cepat, singkat, simple, sederhana, irit dengan dasar efektif dan efisien. Dalam segala bidang hal ini diatur sedemikian rupa, mengingat pemikiran manusia bahwa waktu adalah uang. Perubahan ini sangat berbeda sekali dengan kehidupan masyarakat zaman dulu yang masih terpola pada kehidupan budaya agraris yang bergerak pada sektor pertanian. Dengan berkembangnya industri modern, maka mata pencaharian manusia mulai berubah.

 Manusia semakin berpacu dengan waktu dan berkutat pada pemenuhan duniawi. Hal-hal yang bersifat sakral sudah semakin dikesampingkan. Jangan heran agama di zaman sekarang seakan menjadi labelitas, agar diakui dalam sebuah komunitas. Mengapa tidak, karena banyak ajaran agama yang sudah tidak dijalankan sesuai dengan fungsi dan tujuan manusia beragama.
Dalam arus globalisasi keberadaan agama bukan menjadi sesuatu yang disakralkan lagi, apabila paham materialistik dan kapitalis mulai merangsuki diri manusia. Dengan kata lain, manusia sudah berpikir untung dan rugi, sehingga rasa kesadaran yang tulus ikhlas sudah mulai memudar. Tidak bisa dipungkiri segala hal akan diukur dengan materi. Bahkan rasa tamak menimbulkan keinginan untuk mengedepankan keuntungan pribadi, sehingga manusia berlomba-lomba memperkaya diri sendiri.
Dalam ajaran Catur Purusa Artha sudah ditegaskan bahwa tujuan hidup manusia untuk mencapai Moksa (kebebasan abadi), mengisi Kama (keinginan) dan mencari Artha (materi/kekayaan) semestinya didasari oleh Dharma (kebenaran) yang bersumber pada ajaran agama. Namun kenyataan yang terjadi justru terbalik, karena semakin banyak orang  yang dipengaruhi kapitalisme dan materialisme mengutamakan Artha dan Kama, setelah itu baru melaksanakan kewajiban Dharma dengan tujuan mencapai Moksa. Hal ini memang sering dijumpai dalam praktik kehidupan beragama terutama dalam melaksanakan ritual.


Mungkin sebagian besar umat beragama  baru mampu melaksanakan kewajiban untuk beryadnya dalam bentuk ritual atau upacara bila sudah memiliki materi (Artha). Bahkan tolak ukur dari sebuah ritual atau upacara selalu didasari dengan modal materi yang dimiliki. Bila belum memiliki modal materi yang cukup, maka keberanian untuk melaksanakan ritual sangat sulit dilakukan. Perubahan pola pikir yang terjadi juga memunculkan sebuah paradigma baru dalam melaksanakan ritual, yaitu sarana upacara dalam wujud banten sekarang semua dibeli. Disinilah muncul sebuah pemahaman bahwa bisnis sudah mulai merambah pada wujud bhakti dalam bentuk ritual terutama banten. Apakah dalam bisnis ini tidak ada untung dan rugi? Apakah rasa ngayah dan wujud bhakti umat telah berubah dan diukur dengan materi? Sekarang kembali kepada kesadaran pada masing-masing umat tentang dasar dari sebuah yadnya dalam wujud ritual. Apakah sudah didasari dengan lascarya (tulus ikhlas) ataukah ada unsur pamerih di dalam pelaksanaannya. Begitu juga apakah yadnya yang dilakukan dalam wujud ritual itu ada unsur pamer, ego dan jor-joran? Ataukah memang yadnya yang dilakukan didasari sebagai wujud persembahan kepada Tuhan beserta manifestasi-Nya dengan mengedepankan sradha dan bhakti yang tulus.
Perkembangan yang terjadi sesungguhnya tidak mampu menampik perubahan dalam ritual keagamaan. Bahkan perubahan tatanan kehidupan dan mata pencaharian sesungguhnya telah membentuk pola pikir dalam kehidupan masyarakat. Kalau zaman dulu mayoritas masyarakat bekerja dalam bidang agraris sebagai petani, maka untuk membagi waktu terutama kewajiban dalam wujud ngayah sangat mudah. Tetapi dalam perkembangan sekarang dengan berbagai jenis latar belakang mata pencaharian serta pengaturan waktu kerjanya yang berbeda, maka sangat sulit mewujudkan waktu ngayah yang bersamaan. Maka disinilah pentingnya fleksibelitas untuk mampu mengatur semua itu, terutama kesadaran untuk saling memahami keadaan.
Tanggung jawab dan kewajiban sebagai umat untuk melaksanakan kegiatan agama dalam bentuk ritual dapat diselesaikan menyesuaikan keadaan. Misalnya adalah sarana dalam bentuk banten yang dipersiapkan untuk upacara (ritual) dalam pemenuhannya dilakukan dengan cara membeli. Hal yang terpenting adalah kesadaran untuk melaksanakan kewajiban dalam bentuk ritual didasari dengan lascarya (tulus ikhlas). Materi yang dipergunakan untuk membeli berasal dari proses pengumpulan yang didasari oleh dharma. Mengedepankan rasa manyama braya sebagai perwujudan ajaran tatwam asi. Konsep utama dalam proses yadnya tersebut yang tidak bisa dipisahkan adalah proses pembelajaran untuk menumbuhkembangkan kesadaran dan yasa kerti dalam kehidupan.
Tantangan yang terjadi dalam penerapan semua ini adalah apakah ritual yang dilakukan dengan membeli banten terbebas dari jaring kapitalisme? Inilah yang perlu diluruskan kembali bahwa sesungguhnya yadnya itu adalah persembahan yang tulus ikhlas. Terlepas dengan adanya untung dan rugi pastinya bila berbicara tentang konsep jual-beli, maka semua itu tidak bisa dihindari. Pemahaman yang perlu dibangun adalah umat yang melaksanakan yadnya sudah memiliki kesadaran secara ikhlas melalui yasa kerti untuk melaksanakan kewajiban dalam beryadnya. Mengenai untung dan rugi semua itu diserahkan kembali kepada yang menjual banten, apakah di dalamnya ada rasa ngayah dan mempersembahkan semua itu dengan tulus ikhlas. Ataukah aktifitas menjual banten itu sebagai bisnis yang didasari rasa tamak (lobha) untuk mencari keuntungan setinggi-tingginya sehingga paham materialisme dan kapitalisme menguasai. Kembali semua itu bermuara kepada Sang Pencipta untuk memberikan phala (hasil) dari setiap karma (perbuatan) yang telah dilakukan. Oleh sebab itu, bayang-bayang kapitalisme dalam pelaksanaan ritual keagamaan dapat kita tepis dengan kesadaran diri untuk beryadnya dengan lascarya (tulus ikhlas) yang didasari oleh yasa kerti pada diri masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar