Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Jumat, 16 Juni 2017

Hebephrenia Politik Dalam Beragama

Oleh I Nyoman Tika
Saat ini konsepsi negara dan agama semakin sering diperbincangkan. Diskursus itu mendapat medium yang subur saat pilkada berlangsung. Seharus dengan sebuah  sesanti Bhinneka Tugal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah final, dan kita hanya membangun mengisi kemerdekaan  untuk mencerdaskan bangsa, mengejar ketertinggalan dengan bangsa lain di dunia. Namun masyarakat kita khususnya elit politik masih menjual isu agama dalam perpolitikan negara, maka muncullah-meminjam konsepsi J.P Chaplin (1968) sebagai  karakter “hebephrenia politik“ suatu sifat yang tampak ketolol-tololan yang penuh halusinasi.

Halusinasi pun merebak sebagai sebuah dimensi baru yang meminggirkan misi luhur  bahwa  agama dan negara adalah dua entitas yang sama-sama berfungsi bagi kehidupan manusia. Keduanya ibarat sayap-sayap burung merpati, keduanya harus bekerja sinergis. Jika negara berada pada dimensi kekinian manusia yang sekuler untuk memenuhi kebutuhan hidup di dunia, maka agama berperan pada dimensi relegius untuk menyeberang dari dimensi kekinian ke alam di masa datang, sehingga harmonisasi kehidupan terus berjalan dengan seimbang.
Namun hebephrenia politik muncul manakala kelompok yang non sekuler menganggap negara agama adalah sebuah perjuangan, sebab dalam realitasnya diharapkan agama dapat mengontrol kebijakan negara. Kondisi ini adalah halusinasi baru yang ingin merongrong fundamental  negara berdasarkan nilai fundamental agama tertentu.

Delusi ini secara nyata terus-menerus didengungkan, yakni elit penguasa berperan sebagai  tokoh rohaniawan negara, bukan  rohaniwan rakyat. Jika itu terjadi, maka berbagai persoalan turunannya muncul ke permukaan, karena berbagai alasan antara lain, (1) Banyak orang mengatas namakan agama  berdemonstrasi untuk menggugat kekuasaan yang sah. (2) Agama diperalat sebagai  strategi untuk meraih kekuasaan dengan  memicu  emosi  umat beragama. (3) Banyak orang saling benci dan membunuh atas nama penegakan  ajaran agama dalam suatu negara, (4) belum ada suatu negara berpaham agama bisa maju,  damai  dan makmur, sehingga konsep negara agama bersifat teoritis dan utopis.
Persoalan itu perlu diuraikan akar masalahnya, persolan pertama adalah banyak orang mengatasnamakan agama  berdemonstrasi untuk menggugat kekuasaan yang sah, karena kepentingan mereka tak terpenuhi atau  karena adanya ideologi lain yang mengusung bahwa negara sebaiknya didasarkan pada ‘suatu agama tertentu yang mayoritas, bukan  lagi cocok dengan dimensi sekuler, karena  sekularime kerap tak memberikan keuntungan yang berarti bagi agama tertentu yang mayoritas. Sering dituding bahwa negara sering menjadikan agama sebagai alat produksi guna menindas rakyat, menjustifikasi atas keputusan dan segala kebijakan yang tidak “populis” sekali pun dengan alasan-alasan ideologis, tuduhannya adalah  masyarakat menjadi tak berdaya di bawah tekanan, hegemoni makhluk yang bernama negara.
Aspirasi politik modern yang sudah terpengaruhi konsep politik model Barat, yakni ide nation state.  Konsep ini (nation state), dalam negara agama diikat oleh kesamaan agama dan nilai-nilai kitab suci yang kerap multi tafsir, sehingga timbul faksi-faksi yang mengaku paling benar. Adapun konsep nation state mengimplikasikan munculnya negara karena adanya persamaan kepentingan, etnologis dan geografis masyarakat, tanpa membedakan agama yang dianut, dan ini berasal dari konsep politik Barat. Akibatnya, konsep tersebut menimbulkan ketegangan konsepsional dan historis dengan komunitas masyarakat  golongan agama tertentu.
Dalam bingkai itu kita bisa bercermin di India , David Frowly (2017) menulis bahwa India telah mempertahankan tradisi beragamnya sejak zaman kuno, dengan banyak sekte Hinduisme, Jain dan Budha, dan gerakan Sikh yang lebih baru. Memang tampaknya ada lebih banyak agama di India daripada di belahan dunia lainnya. Hadiah spiritual India ke Planet. Orang-orang Barat di negara mereka sendiri dianggap progresif untuk mengikuti tradisi Yoga, meditasi dan penyembuhan India yang diidealkan sebagai jalan menuju era baru pencerahan. Mereka mengikuti tradisi dharma di Barat termasuk yang paling makmur dan berpendidikan tinggi dan memiliki persentase wanita yang tinggi. Banyak perkembangan mutakhir dalam pengobatan modern, psikologi dan fisika berakar pada pemikiran dharma dari tradisi India, Hindu, dan Budha.
Persoalan kedua adalah  agama diperalat  segelintir elit kekuasaan. Akibatnya, amatlah jauh dari esensi historisnya  bahwa  keberadaan agama dapat menjadi roh sekaligus inspirasi bagi demokratisasi. Terbukti kehadiran semua agama membawa imbas pada perombakan struktur masyarakat yang tercekam oleh kekuasaan despotik dan otoriter, menuju masyarakat baru yang demokratis. Akibatnya agama yang sering ditampilkan adalah agama atas nama kelompok, lembaga atau apa pun namanya dengan kecenderungan kaum elite agama tersebut cenderung menjadi corong penguasa, maka jadilah agama pada akhirnya yang tidak memiliki kekuatan apa pun.
Dalam koridor itu, tujuan negara untuk memakmurkan rakyatnya sejalan dengan tujuan agama Hindu, yakni dalam memperjuangkan tujuan hidup umat Hindu hendaknya dilandasi dengan dharma, baik dalam mencari artha maupun mencari kama. Kama akan memotivasi orang untuk berkerja dan berjuang lebih giat di dalam memperjuangkan tujuannya, sedangkan arta digunakan sebagai modal untuk melaksanakan ajaran darma, mencari kama. Bila hal tersebut diperjuangkan dengan landasan darma dan hidup selalu berpedoman dengan dhrarma niscaya akan memperoleh pala dari karma yang dilakukan di dunia ini.
Pada dimensi itu,  maka agama seyogyanya menarik garis pemisah yang jelas dari politik, agar tidak terkooptasi dan disubordinasi. Ketika di-kooptasi politik negara, agama hanya akan menjadi alat legitimasi penguasa. Agama pun akan membisu ketika ketidakadilan dan ketidakbenaran merajalela. Namun, di sisi lain agama sebagai sebuah institusi dalam masyarakat harus pula mengoreksi politik agar hakikat sejati politik tetap terpelihara. Hanya saja negara mempunyai tujuan mensejahterakan warganya secara kolektif, sedangkan pada  umat Hindu terliat tujuan tersebut merupakan tujuan peribadi. Karena bila dikaitkan dengan hak dan kewajiban dalam masyarakat Hindu lebih banyak merupakan tanggung jawab pribadi masing-masing. Ini berarti umtt Hindu dalam usaha mencapai tujuan hidupnya terutama jagadhita otomatis menjadi bagian yang membantu negara Republik Indonesia dalam rangka mencapai tujuan negara mengantarkan masyarakat Indoonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan dengan membangun masyarakat yang berkeadilan sosial di antaranya, terutama diri mereka sendiri dan lingkunagnya  dalam mewujudkan jagadhita tersebut.
Dalam Hindu, di samping menjadi tujuan hidup pribadinya, umat Hindu juga melaksanakan kewajibannya sebgai warganegara dalam mewujudkan tujuan negara. Salah satu marga yang dapat ditempuh dalam mewujudkan Catur Purusa Arta itu adalah Jnana Marga, Bhakti Marga terutama bhakti terhadap negara di samping berbakti terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Disadari atau tidak bahwa agama dan negara sesungguhnya memiliki fungsi yang sama bagi kehidupan manusia. Jika negara tugas pokoknya adalah mengatur dan memenuhi kesejahteraan manusia pada dimensi kekiniannya, maka agama berfungsi bagi manusia untuk bahagia dalam kehidupan kekinian dan masa depan bahkan sampai hidup lagi. Semestinya antara keduanya sejalan seiring. Namun, dalam perjalanannya justru terjadi kenyataan yang berbeda. Om Nama Siwaya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar