Oleh I Nyoman Tika
Di bingkai itulah kepribadian manusia ditantang untuk berperilaku positif. Pendekatan ini melihat kejadian yaitu, bagaimana dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanisme biasanya menfokuskan pengajarannya pada pembangunan kemampuan yang positif. Kemampuan positif tersebut erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif. Emosi merupakan karateristik yang sangat kuat yang nampak dari para pendidik beraliran humanisme.
Pengendalian emosi sejalan dengan konsepsi Dana, Tapa, dan Yadnya dalam konsepsi Hindu untuk menapaki jejak kehidupan ini. Di bingkai itu nampaknya Tuhan akan mencintai umatNya yang melestarikan lingkungan. Kunci kesehatan masyarakat terletak pada kelestarian lingkungannya.
Kesehatan yang mengacu pada lingkungan merupakan salah satu sisi dimensi telaahan naturalisme simetri dengan ajaran Hindu bahwa alam menjadi sebuah koridor altar Tuhan, sebagai wujud pelaksanaan Tri Hitakarana, harmonisasi antara manusia dengan alam. Bentuk haromonisasi itu sejalan dengan aliran naturalisme, yaitu nature (alam) sebagai keseluruhan realitas. Lebih lanjut, natura adalah dunia yang diungkapkan kepada kita oleh sains alam. Istilah naturalisme adalah sebaliknya dari istilah supernaturalisme yang mengandung pandangan dualistik terhadap alam dengan adanya kekuatan yang ada (wujud) di atas atau di luar alam.
Dalam bingkai tersebut wilayah hulu sungai sejak dahulu memang menjadi kawasan suci bagi umat Hindu. Disana tempat melakukan penyucian dan tempat melukat yang keduanya membutuhkan niat dalam benak. Benak pikiran mengeluarkan vibrasi yang beresonansi menghasilkan vibrasi yang diwujudkan dalam bentuk kristal, seperti risetnya keajaiban air oleh Masoro Emoto dari Jepang.
Wilayah hulu kerap dijaga oleh hak ulayat adat, sehingga hutannya lebat dan juga panorama menarik menjadi incaran peminat spiritual untuk melakukan “nunas trita,” dan mencari vibrasi alam yang murni dan alami. Wilayah hulu menjadi wilayah yang sepi, cocok untuk melakukan inisasi bagi yang ingin merasakan “wana prasta”, sebuah keinscayaan bagi semua orang. Sebab fase itu dilalui semua orang, dan dibutuhkan kesiapan mental. Di wilayah hulu juga kerap menyimpan beragam kisah, karena perjalanan para orang suci, juga mengenang sebuah sejarah yang tergurat dalam beragam babad yang diwariskan secara lisan turun temurun.
Di wilayah hulu Tukad Jinah dan Tukad Bubuh, dikisahkan bahwa ketika terjadi perselisihan paham antara para raja yang berkuasa di Bali dengan berbagai intrik kerajaan. Sebuah intrik politik menerpa Dalem Tarukan, akibatnya beliau menyingkir ke wilayah utara Desa Tarukan menuju wilayah pegunungan. Atas kesetiaan Ki Pasek Poh Tegeh itu beliau aman di wilayah itu yang juga didampingi oleh Dukuh Bunga dan Dukuh Pantunan. Beliau aman membesarkan putra-putra beliau, yaitu I Dewa Bagus Dharma, I Gusti Gede Sekar, I Gusti Geda Pulesari, I Gusti Gede Bandem, I Gusti Gede Balangan, I Gusti Gede Dangin. Keberadaan beliau di wilayah hulu membuat kondisi wilayah itu aman dan damai, dibarengi dengan kemampuan Ida Dalem melakukan kependetaan dengan menyebarkan ajaran Weda. Antusiasme masyarakat di gunung dan hulu menaruh hormat yang luar biasa sampai saat beliau mangkat. Upacara pelebon yang membuat antusias warga dusun banyak ngaturang ayah dan inilah menyisakan uang kepeng, nasi, dan beras, sehingga kelebihan dan ada hingga membusuk serta uang kepeng yang bertumpuk dan karatan. Kelebiha makanan beras dan nasi dibuang ke tukad sebelah barat (tukad Bubuh) dan uang kepeng yang karatan di sebelah timur (tukad Yeh Jinah). Atas dua perlakuan itu, Dewi Laksmi (Sang Hyang Rambut Sedana) menangis dan mengutuk atas perbuatan itu.
Untuk menghilangkan kutukan itu, maka dilakukan mendak Raja Brana dengan rangkaian upacara ngenteg linggih di pura pusat pedharman Dalem Tarukan sekitar tahun 1975. Namun kini para dadia juga banyak yang melakukan “pemendakan raja brana untuk kalinggihang di masing-masing paibon.
Izinkan penulis berkisah pengalaman. Siang itu udara masih terasa sejuk, walaupun sang surya pelan dan pasti merakak menuju ke atas kepala terasa. Mengingat kembali masa 40 an silam menuju Pura Pulesari dengan berjalan kaki dari Desa Menanga. Kendaraan hanya sampai di Menanga. Menuju Pura Pulasari di wilayah jalan Pulesari Desa Peninjoan Bangli itu memang tampak berbeda, sebab pemujaan acara ritual yang disebut “Nunas Raja Brana“ dilakukan kembali. Kegiatan ini sudah pernah dilakukan sekitar di keluarga kami. Dan, semacam mengecas baterai, demikianlah alam pikir keluarga dan warga masyarakat kebanyakan bahwa prosesi nunas raja brana perlu dilakukan kembali serangkaian upacara pembangunan lumbung, maka kepada sang pemilik kekayaan, yaitu Dewi Laksmi perlu dilakukan setiap periode tertentu. Dan bagi para dadia di masih-masing keluarga juga kerap mengikuti upacara itu untuk ngalinggihang raja brana di masing-masing dadia, kemudian katunas ke masing-masing keluarga sebagai bentuk subhakti dan berjanji dengan tekad penuh keyakinan untuk melakukan kegiatan kerja yang produktif dan berjalan di jalan dharma. Menarik untuk dikisahkan selain juga untuk mengajak generasi penerus ikut merasakan indahnya alam yang juga dibarengi dengan menumbuhkan keyakinan bahwa segala materi di alam ini ada yang memiliki, dan itu adalah “sang Maha Agung” yang menjaga pelestarian lingkungan.
Kegiatan semacam ini menurut Dwivedi, seorang rofessor di Department of Political Studies, University of Guelph, Canada, dan Department of Environment, India bahwa etika lingkungan yang mendalam, dilestarikan dan terus digalakkan dari konsepsi Hindu, yaitu Satyagraha (Pencarian terus-menerus kebenaran). Hinduisme berpegang pada semua kehidupan adalah suci. Kedua, selama ribuan tahun dipraktikkan pertanian berkelanjutan dengan prinsip anti kekerasan (Ahimsa) terhadap hewan dan alam. Dwivedi berpendapat bahwa di dalam ratusan tahun terakhir Satyagraha kehilangan banyak efektivitasnya, namun perlu direvitalisasi. Om nama siwa ya.
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar