Setelah lama tidak terdengar kabarnya, tokoh Hindu Prof. Dr. I Made Titib, Ph.D., kini dikabarkan sudah menerima keputusan hukum terkait dengan korupsi dana punia IHDN. Pada tingkat kasasi, di Mahkamah Agung (MA), MA memutuskan bahwa surat dakwaan penuntut umum batal demi hukum atau dinyatakan tidak diterima alias NO (Niet Ontvankelijk verklaard). Kepastian itu disampaikan koordinator Tim Pengacara Prof. Titib, I Wayan Bagiarta, S.H.,M.H. di Amlapura, April 2017 lalu.
Tahun 2015 yang lalu, mantan Rektor IHDN Denpasar tersebut divonis setahun penjara oleh Pengadilan Negeri Tipikor Denpasar. Keputusan itu jauh dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang saat itu menuntut terdakwa dengan 2 tahun penjara. Atas putusan tersebut, JPU mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Denpasar. Di tingkat PT, majelis hakim saat itu pun kembali menguatkan putusan pengadilan sebelumnya, dengan vonis satu tahun. Pada tingkat kasasi di MA, majelis hakim yang terdiri dari Prof. Abdul Latief, SH., MH., M. S. Lumme, SH dan DR. Artidjo Alkostar, SH., LL. M. akhirnya memutuskan perkara Prof. Titib ini dengan amar putusan NO (Niet Ontvankelijk verklaard) tertanggal 22 Februari 2017.
Amar putusan MA tersebut sesuai eksepsi tim pengacara Prof. I Made Titib saat sidang di PN Denpasar. Ketika itu tim pengacara yang terdiri dari I Wayan Bagiarta, Komang Darmayasa, Made Adi Seraya, I Wayan Sudarsa dan I Nengah Sidia pada simpulan eksespsinya memohon majelis hakim, agar dakwaan jaksa dinyatakan batal demi hukum atau dinyatakan tidak dapat diterima alias NO. Hal yang mendasari adalah, kasus yang menimpa Prof. Made Titib itu memang bukan termasuk kasus korupsi, karena uang dana punia itu tidak disetorkan ke kas negara, melainkan digunakan langsung untuk kepentingan pendidikan, terutama menunjang aktivitas mahasiswa IHDN Denpasar. JPU menilai pemungutan dana punia itu sebagai PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang harus disetorkan terlebih dahulu ke kas negara. Sebaliknya, tim pengacara berpendapat bahwa dana punia bukan PNBP, sebab menurut Wayan Bagiarta, penentuan PNBP itu perlu kajian dari Kementerian Agama untuk menentukan tarif seluruh penerapan PNBP itu sendiri. Jadi tidak serta merta penerimaan dana punia itu merupakan tindak pidana korupsi. Di persidangan pun, Prof. I Made Titib tidak terbukti menyalahgunakan uang dana punia untuk kepentingan pribadinya sepeser pun.
Pengacara lainnya, Komang Darmayasa menambahkan tidak semua pungutan dapat dikatakan PNBP dan wajib lebih dahulu ada payung hukum yang melandasi pemungutannya. Dana punia dimuat dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu seperti Bhagavadgita, Sarasamuccaya dan lain-lain. Selain itu, dalam Bhisama Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat tahun 2002 tentang dana punia, umat Hindu diwajibkan untuk berdana punia minimal 5 persen dari penghasilannya. Di IHDN, dana punia yang besarnya Rp 1 juta itu dipungut sekali selama kuliah (8 semester), dananya digunakan untuk menunjang berbagai kegiatan mahasiswa serta pelaksanaan upacara agama di tiga pura kampus IHDN, yakni Denpasar, Bangli dan Singaraja.
Sebelumnya pada tahun 2011 yang lalu, Prof. I Made Titib terbelit kasus pengadaan barang dan jasa IHDN. Pada saat itu, beliau menjabat sebagai KPA (Kuasa Pengguna Anggaran). Prof. I Made Titib dianggap tidak efektif melakukan fungsi pengawasan, karena beliau tidak mengetahui adanya penyimpangan di lapangan, dan sebagai pimpinan, beliau harus bertanggung jawab. Di persidangan, Prof. I Made Titib juga tidak terbukti menerima aliran dana dari pihak manapun ataupun melakukan mark up harga. Hal tersebut harus menjadi beban berat yang dipikul alumni Garukula Kangri University Hardvar India (1993) dan Program Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana (2005) tersebut.
Di temui di kediamannya, Prof I Made Titib menyatakan rasa haru dan penuh syukur atas putusan MA tersebut. Sebab, kasus yang terus bergulir sejak tiga tahun terakhir ini sangat menguras emosi dan mengubah hidup beliau dan keluarganya jadi semakin terpuruk. Prof. Made Titib sendiri sudah beberapa kali menjalani operasi. Sedangkan istrinya juga menderita stroke ringan. Kabarnya, rumah beliau juga hendak dijual, karena kesulitan ekonomi.
“Ternyata Sang Hyang Widhi, Ida Bhatara-Bhatari dan Ida Bhatara Kawitan sweca kepada saya, dan masih ada keadilan di negeri ini,” imbuhnya. Selanjutnya Prof. Made Titib menyampaikan terima kasih utamanya kepada seluruh keluarga besar, tim pengacara, tokoh-tokoh umat Hindu, para pandita dan pemangku yang mendoakan serta semua pihak yang telah memberikan dorongan untuk tabah menghadapi cobaan yang berat tersebut. “Lebih dari 50 orang pandita dan pemangku, serta tokoh-tokoh umat Hindu dari berbagai kalangan datang menjenguk saya di LP Kerobokan, banyak juga yang hadir di persidangan memberikan dukungan untuk senantiasa tabah,” tambah Jro Mangku kelahiran Karangasem ini.
Di LP Kerobokan, beliau diminta menjadi Penasehat Paguyuban Warga Binaan Umat Hindu. Selama disana, banyak pengalaman spiritual yang beliau alami, namun enggan untuk ditulis. “Tinggal di LP ibarat bertapa, jauh dari hiruk pikuk masyarakat dan kesenangan duniawi. Saya banyak berkontemplasi dan membaca buku-buku agama. Di sana saya merasakan putaran roda kehidupan bergulir, kadang di atas, suatu saat bisa di bawah. Apapun itu, kita syukuri saja. Tuhan sudah mengaturnya,” ucap mantan tentara ini dengan rendah hati.
Secara spiritual, hampir semua petunjuk niskala menyatakan beliau sisip (bersalah), karena tidak mau dan terus menunda-nunda untuk madiksa menjadi Pandita Mpu. Seharusnya beliau sudah harus ngiring sejak tahun 2008 yang lalu. “Dulu kalau ditanya untuk melinggih, saya selalu menjawab: pungkuran...pungkuran.. (belakangan/lain kali). Sekarang saya tidak berani lagi, saya sudah sadar, dan siap ngiring Ida Sesuhununan,” tutupnya dengan mata berkaca. (nar)
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar