Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Sabtu, 20 Mei 2017

Ratu Kidul Kini Menjaga Pantai Bali

Ada sebuah pura yang besarnya terbilang lumayan. Letaknya di pinggir laut. Karena letaknya yang demikian, maka sangat baik unutuk menyepi atau meraih ketenangan. Meski demikian, jarang orang bisa melihat pura ini. Mengapa demikian? Ya, karena letaknya yang berbatasan dengan laut itu menyebabkan akses untuk melihat pura tersebut setiap saat menjadi terkendala. Apakah tidak ada jalan yang dibuat untuk menjangkau pura tersebut? Apakah pura itu terletak di daerah perbatasan yang terpencil? Tidak. Pura itu masih berada di wilayah Provinsi Bali. Namun terletak di pulau tak berpenghuni. Tidak ada jalan beraspal. Karena itu, sepeda atau sepeda motor juga tak ditemukan di sana. Apalagi mobil.

Dapatkah Anda menebak nama pura berikut lokasi keberadaannya? Ya, pura dimaksud adalah Pura Klenting Sari yang terletak di Pulau Menjangan. Kadang pulau tersebut disebut sebagai Gili Menjangan. Gili artinya pulau kecil. Secara kewilayahan, pulau yang luasnya kira-kira seukuran 10 lapangan sepak bola itu termasuk wilayah Kacamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. Gili Menjangan juga termasuk kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB).
Pura itu didedikasikan untuk pemujaan leluhur, khususnya bagi mereka yang punya kaitan dengan kerajaan besar Abad XIV, yakni kerajaan Majapahit. Di sana dibuatkan satu bangunan khusus untuk Arca Gajah Mada, sebagai tembat berstana roh Gajah Mada.
Pura itu dibangun, konon atas dasar pawisik (bisikan dari alam gaib). Anda percaya atau tidak, itu soal lain. Bahwa dalam pawisiknya itu, konon roh Gajah Mada meminta agar dipindahkan dari Jawa ke Bali. Sebagaimana kita ketahui melalui buku sejarah, Kerajaan Majapahit adalah kerajaan besar di Nusantara sekitar Abad XIV yang pusat kerajaannya terletak di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.
Pembangunan pura tersebut dirintis pendiriannya pada tahun 1999. Perintisnya adalah Drs. Nyoman Sudiartha (62), mantan Kepala Bagian Keuangan Setwilda Buleleng. Nyoman Sudiartha-lah yang mendapat pawisik itu sekaligus yang memimpin pembangunan pura tersebut. Awalnya, tempat suci itu sangat sederhana. Hanya dipancangkan beberapa batang kayu sebagai penanda bahwa di sana akan dibangun tempat suci.
Kini Sudiartha bergelar Prabhu Tri Bhuana, sekaligus sebagai sulinggih utama bagi pura tersebut. Ia dibantu beberapa pemangku yang bergiliran bertugas di Gili Menjangan. Sedangkan Prabhu Tri Bhuana, karena tinggal di Singaraja, biasanya dua minggu sekali ia datang ke sana, saat Tilem dan Purnama. Atau pada kesempatan lain di luar Purnama-Tilem, misalnya, pada hari-hari tertentu sesuai kalender Bali.


Atas alasan apa sehingga roh Gajah Mada minta hijrah ke Bali? Mungkin begitu pertanyaan para pembaca. Tidak dijelaskan detail dalam pawisiknya. Mungkin saja roh Gajah Mada semacam ditelantarkan di pusat kerajaan yang dulu membesarkannya. Maklum, agama masyarakat di sekitar kerajaan Majapahit kini dominan mengunut agama non-Hindu.
Merespon pawisik tersebut maka, yang pertama-tama didirikan adalah pelinggih Gajah Mada, yang sekarang lebih dikenal sebagai kompleks pendopo di pura itu. Di pendopo dimaksud berdiri arca Gajah Mada secara utuh. “Dulu, sewaktu baru dipindah dari Jawa, wujud arca Gajah Mada hanya setengah, mulai dari dada ke atas (seperti pasfoto). Belakangan dilengkapi dengan tangan, badan, hingga kakinya. Semua tambahan itu dikerjakan di Gili Menjangan,” jelas Prabhu Tri Bhuana.
Kalau sekarang ada persoalan-persoalan berat yang berusaha menggoyang Indonesia, seperti ancaman keutuhan NKRI, maka biasanya Prabhu Tri Bhuana atau istirnya yang bergelar Ratu Pertiwi Bhuana Sari akan memperoleh suatu wangsit (bisikan) untuk melakukan sesuatu, misalnya ritual tertentu di suatu tempat, untuk mengusir atau mencegah ancaman-ancaman tersebut. Sehingga malapetaka yang dapat menggoyahkan NKRI dapat dinetralisir.
Dalam perkembangannya hingga sekarang, ada lagi penambahan-penambahan pelinggih dan bangunan sesuai dengan pawisik yang diterima belakangan secara bertahap. Ya, beberapa pelinggih serta arca yang dibuat belakangan adalah: pelinggih Prabhu Airlangga, Dewa Ganesha, Kebo Iwa atau Ida Betara Lingsir Brahma Ireng, Dewi Parwati, sampai yang terakhir Ratu Kanjeng Kidul, atau dikenal juga sebagai Ratu Penguasa Pantai Selatan (Jawa).
Khusus dalam kesempatan “menjemput” roh Ratu Kanjeng Kidul, Prabhu Tri Bhuana dan rombongan langsung mendatangi Pantai Selatan di Yogyakarta dengan membawa sesaji tertentu dari Bali. Mengapa Ratu Kidul perlu diboyong pula ke Gili Menjangan? Prabhu Tri Bhuana beralasan, itu juga atas permintaan melalaui pawisik. Jadi, Ratu Kidul yang arti harfiahnya adalah Ratu Penguasa Laut (Pantai Selatan) kini hijrah dan berstana di tepi utara Pulau Menjangan menghadap Laut Bali.
Apa arti semua itu? Mungkin ada yang lebih mumpuni untuk menjawab pertanyaan itu. Setelah sekian lama beliau menjaga Laut Selatan Jawa, apa mungkin kini tiba gilirannya untuk memperhatikan dan menjaga laut utara Pualu Bali.
Jika orang mau sembahyang ke sana, tidak diharuskan membawa sesaji tertentu. Pada prinsipnya hanya berbekal canang sari pun cukup. Kalau membawa lebih lengkap tentu lebih baik. Akan tetapi, hal yang ditekankan bagi para pemedek adalah agar urutan sembahyang diikuti menurut tahapan yang sudah ditentukan. Ada 9 tempat berbeda yang mesti dijalani secara berurut. Dimulai dari Pura Taman Pingit atau Pura Beji sampai berakhir di stana Ratu Kanjeng Kidul.
Konon ketenangan dan kedamaian hidup akan diperoleh bila sembahyang dengan mantap dan mengikuti prosedur sesuai urutan yang direkomendasikan. Jika kunjungan ke pura itu dirasakan terlalu singkat, Anda dapat bermalam (mekemit) sambil merasakan suasana malam di Pulau Menjangan. Tentu saja Anda disarankan untuk membawa bekal makanan secukupnya. Kecuali Anda bermaksud sengaja melakukan latihan badan berupa berpuasa untuk kemajuan spiritual, itu lain lagi. Secara keagamaan latihan seperti itu memang sangat dianjurkan.
O ya, apa ada hotel di gili itu sehingga memungkinkan untuk menginap? Untuk pertanyaan itu, jawabannya tidak. Tidak ada hotel di Gili Menjangan. Jangankan hotel, orang mau mendirikan sekadar pondok saja tidak akan diizinkan.
Bagaimana rasanya berada di suatu pulau tak berpenghuni? Tidak ada kendaraan yang lalu-lalang berikut suara gaduh yang ditimbulkannya. Cobalah jawab tantangan itu dengan mekemit di sana. Mekemit adalah istilah untuk menumpang tidur di lingkungan pura seusai sembahyang pada malam hari. Pura Klenting Sari memiliki wantilan yang cukup besar untuk menampung sekitar 50 orang. Selain deburan ombak, pasti Anda akan mendengar suara-suara berbagai jenis satwa yang hidup di sana, seperti berbagai jenis burung.
O ya, di sana juga ada sejumlah menjangan atau rusa lho. Itulah sebabnya pulau itu disebut sebagai Pulau (Gili) Menajangan.  Sekarang, apakah Anda akan merencanakan bepergian ke sana? Jika ya, sewalah boat dari Labuhan Lalang, pelabuhan kecil untuk menyebrang ke Gili Menjangan. Sekali antar sewanya Rp 235.000, dengan kapasitas penumpang sekitar 11 orang. Dengan kata lain, untuk pulang pergi sewanya Rp 470.000. Jika rombongan Anda berjumlah 10 orang, maka iuran per orang Rp 50.000 sudah melebihi.
Di Gili Menjangan sejatinya ada tiga pura. Masing-masing memiliki wantilan, yang dapat digunakan tidur (mekemit) bagi para pemedek (peziarah). Anda tinggal memastikan mau mekemit di pura mana. Masing-masing pura itu adalah Pura Gili Kencana, yang merupakan pura tertua atau pertama. Kemudian menyusul Pura Klenting Sari (1999) dan terakhir Pura Giri Segara (2000).
(made mustika)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar