Oleh I Nyoman Agus Sudipta, S.Pd., M.Si
Setiap 210 hari sesuai dengan kalender Hindu di Bali tepatnya pada hari Buda (rabu) Kliwon wuku Dunggulan umat Hindu merayakan hari kemenangan dharma melawan adharma. Hari raya ini dikenal dengan nama Galungan yang prosesi pelaksanaannya berkaitan dengan Tumpek Wariga. Pada saat perayaan Tumpek Wariga segala jenis tanaman diberikan sesaji dan didoakan, agar pada saat Galungan mampu memberikan hasil berupa daun, bunga dan buah yang dapat dimanfaatkan.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka perayaan Tumpek Landep memberikan pemahaman tentang bentuk pengendalian diri dan kesadaran umat dalam melestarikan alam lingkungan. Dari tahapan pengendalian diri dan kesadaran tersebut dapat terbina rasa saling menghargai, menghormati dan menyayangi berlandaskan konsep Tri Hita Karana. Berdasarkan konsep filosofi Tri Hita Karana umat Hindu diharapkan mampu menjaga hubungan yang harmonis dengan Tuhan (Parahyangan), hubungan yang harmonis dengan sesama umat manusia (Pawongan) dan hubungan yang harmonis dengan alam lingkungan (Palemahan).
Tri Hita Karana sebagai harmonisasi kehidupan secara vertical dan horizontal dalam menata kehidupan umat Hindu menuju pada kesejahteraan dan kebahagiaan. Begitu juga landasan filosofi ini dijadikan sebagai pedoman dalam persiapan dan pelaksanaan hari raya Galungan. Dalam proses persiapan perayaan Galungan ada juga pelaksanaan penyucian Bhuana Agung dan Bhuana Alit melalui perayaan hari raya Sugian Jawa dan Sugian Bali. Perayaan Sugian Jawa sebagai bentuk penyucian Bhuana Agung atau alam semesta agar senantiasa harmonis mampu menjadi wadah kehidupan bagi seluruh makhluk dalam suasana yang damai dan tenteram. Perayaan Sugian Bali sebagai bentuk penyucian Bhuana Alit atau manusia dan makluk hidup lainnya agar mampu hidup secara harmonis dalam suasana yang damai dan tentram sebagai persiapan untuk merayakan kemenangan dharma yang merupakan kemenangan seluruh kehidupan yang ada.
Perayaan hari raya Galungan dimulai dari hari minggu (Redite) Paing wuku Dunggulan yang disebut dengan hari Panyekeban. Pada hari ini segala jenis buah-buahan biasanya pisang disekeb (disimpan) agar cepat matang dan dapat dipersembahkan pada hari raya Galungan. Buah-buahan yang diperoleh ada yang berasal dari hasil kebun ada juga dari hasil membeli. Diharapkan bila membeli buah berasal dari umat sedharma sebagai wujud manyama braya karena dengan buahnya dibeli maka mereka mendapatkan rejeki yang bisa dipergunakan untuk merayakan Galungan. Di samping itu sebagai wujud memelihara rasa manyama braya bila memiliki hasil panen buah yang melimpah di kebun sendiri disamping diperjual belikan dapat juga di dana puniakan kepada sanak keluarga, tetangga dan juga teman maupun sahabat. Dengan demikian maka rasa manyama braya dapat terpelihara dengan baik sebagai upaya menciptakan kehidupan yang harmonis.
Selanjutnya pada hari Soma (senin) Pon wuku Dunggulan disebut sebagai hari Panyajaan Galungan. Pada hari ini umat Hindu disibukkan dengan aktifitas membuat jajan sebagai sarana banten yang dihaturkan saat Galungan. Dalam aktifitas pembuatan jajan ini diharapkan terwujud rasa manyama braya, yaitu pembuatan jajan dilakukan dengan sanak keluarga dan dikerjakan secara bersama-sama untuk memupuk rasa sagilik saguluk salunglung sabayantaka. Bagi anggota keluarga yang memiliki kemampuan lebih (materi) dapat mengeluarkan bahan lebih banyak untuk membuat jajan, sedangkan bagi yang tidak punya dapat membantu dengan tenaga dalam proses pembuatan jajan. Bila hal seperti ini selalu terpelihara dengan dasar paras-paros dan pakedek pakenyum, maka kehidupan yang tentram dan damai pasti terwujud begitu juga makna dari perayaan Galungan dapat tercapai.
Setelah hari Panyajaan keesokan harinya, yaitu hari Anggara (selasa) Wage wuku Dunggulan dilakukan kegiatan pemotongan hewan (panampahan). Pada hari ini umat Hindu membuat aneka jenis masakan, seperti: lawar, sate, ares, komoh, marus, dan lablaban (balung makuah). Untuk mewujudkan rasa manyama braya sebaiknya pemotongan hewan dilakukan dengan cara mapatung (patungan) untuk membeli hewan yang akan dipotong (ditampah) dan juga proses pemotongan dan pembagian dagingnya dilakukan secara bersama-sama dan merata. Dari kegiatan ini akan terpelihara rasa manyama braya diantara umat, begitu juga saat mengolah daging menjadi makanan disana tertanam nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan dari proses mengolah, memasak dan juga adanya kegiatan makan bersama (magibung) sebagai ungkapan syukur dan juga kebersamaan. Setelah kegiatan tersebut, maka pada sore harinya dilakukan kegiatan memasang penjor yang dapat juga dilakukan secara bersama-sama dengan rasa manyama braya. Dari persiapan bahan penjor yang dapat dilakukan dengan saling berbagi diantara sanak keluarga dan juga tetangga, seperti ambu, don kayu, pale gantung, pale bungkah, kelapa dan juga ornamen atau kelengkapan penjor lainnya. Begitu juga saat pemasangan (menghias) penjor dan menancapkannya di depan pintu rumah, bila dilakukan dengan kebersamaan melalui semangat gotong royong, maka rasa manyama braya ini dapat terpelihara dengan baik.
Puncak kegiatan perayaan hari raya Galungan dilakukan pada hari Budha (rabu) Kliwon wuku Dunggulan. Pada hari ini umat Hindu mempersembahkan sesaji (banten) dan melakukan persembahyangan sebagai wujud sradha dan bhakti di Sanggah Kemulan atau Merajan, pura Dadya Kahyangan Tiga dan juga pura yang ada di sekitar wilayah tempat tinggal. Perayaan ini sebagai ungkapan syukur atas segala anugerah yang telah diberikan dan juga wujud dari kemenangan dharma melawan adharma. Pemaknaan yang lebih mendalam adalah bagaimana umat Hindu mampu menang melawan sifat-sifat individualistik, materialistik dan kapitalis yang mulai merongrong dan menguasai di zaman sekarang. Bahkan rasa kebersamaan dalam wujud manyama braya sudah mulai luntur begitu juga paras-paros diantara umat sudah mulai menipis.
Sepatutnya perayaan Galungan inilah dijadikan sebagai momen untuk membangun kembali rasa manyama braya yang sudah mulai luntur seiring berjalannya waktu. Tatanan kehidupan yang berlandaskan falsafah Tri Hita Karana bukan hanya sebatas wacana, tetapi mampu diwujudkan dan diimplementasikan dalam perayaan Galungan ini. Rasa sradha dan bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi semakin ditingkatkan untuk mewujudkan Sukerta Tata Parhyangan. Rasa paras-paros, pakedek-pakenyem, sagilik, saguluk salunglung sabayantaka berlandaskan rasa manyama braya dengan sanak keluarga, tetangga, teman dan sahabat semakin dipererat untuk mewujudkan Sukerta Tata Pawongan. Begitu juga rasa syukur dan terima kasih kepada alam lingkungan dengan menjaga dan melestarikan alam, menghormati dan menjaga pohon maupun tanaman melalui kegiatan Tumpek Ngatag (Wariga) sebagai wujud Sukerta Tata Palemahan. Inilah wujud rasa manyama braya yang dapat dibangun kembali melalui perayaan hari raya Galungan dengan landasai filosofi Tri Hita Karana.
Selanjutnya keesokan harinya, yaitu hari Wraspati (kamis) Umanis wuku Dunggulan umat Hindu merayakan hari Manis Galungan. Para hari ini umat Hindu melakukan Dharma Santhi dengan berkunjung ke rumah-rumah sanak keluarga menyambung rasa kebersamaan dan manyama braya. Dari kegiatan ini terjalin komunikasi yang pernah putus akibat waktu untuk bertemu karena kesibukan rutinitas kerja yang terlalu padat. Ditambah lagi tempat bekerja untuk mencari penyambung hidup yang saling berjauhan, maka momen inilah dijadikan kesempatan mewujudkan dan mengikat kembali kebersamaan dalam tautan rasa manyama braya. Inilah sesungguhnya momentum yang sangat tepat membangun, membina dan memperbaiki rasa manyama braya sehingga tercipta kehidupan yang harmonis sebagai bentuk perayaan kemenangan sehingga menjadi kemenangan untuk kita semua
(Penulis adalah guru SMK Negeri 1 Abang Karangasem).
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar