Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 28 Desember 2016

Mengenal Sekilas Hindu Kaharingan

Oleh Kunti Ayu Vedanti
Kalimantan merupakan pulau terbesar di Indonesia. Kebesarannya bersanding dengan pesona budayanya yang kaya. Tidak dapat dipungkiri, citra Kalimantan sudah mendunia, baik sebagai paru-paru dunia hingga salah satu tempat tumbuh dan berkembangnya kebudayaan hingga pesona mistis Nusantara. Sebagaimana pulau-pulau di Indonesia, Kalimantan memiliki kebudayaan yang unik dan suku asli yang mendiaminya. Suku asli Kalimantan adalah suku Dayak yang menurut J.U. Lontaan (1975) terbagi dalam 405 sub suku. Sub suku tersebut kemudian tersebar di berbagai wilayah Kalimantan.

Pada perjalanan menarik kali ini kita akan melihat dan menyingkap kekayaan agama Hindu Kaharingan suku Dayak Siang Kalimantan Tengah. Sebelum memulai melangkah dan melihat keunikan dan kekayaannya, terlebih dahulu akan dibahas tentang Hindu Kaharingan.
Hindu Kaharingan, pada awalnya disebut Kaharingan atau agama helo yang merujuk kepada keyakinan asli suku Dayak Kalimantan. Ketua II MBA-HK Pusat Palangkaraya, Tiwi Etika, Ph.D. menjelaskan bahwa pada awalnya suku Dayak tidak mempermasalahkan agama. Karena, keyakinan dan juga praktik beragama berbaur indah dengan budaya suku Dayak. Bahkan, harmoni indah tersebut menempatkan falsafah keagamaan tradisional sebagai inti dari kebudayaan.


Namun, hal tersebut berubah di era kemerdekaan Republik Indonesia. Dimulai dengan diakuinya lima agama sah oleh Negara, sejak itulah penganut agama asli suku Dayak merasa resah. Kemudian pada tahun 1950 muncul partai politik Serikat Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI) di Desa Tangkahen. SKDI muncul sebagai gerakan perjuangan untuk legalitas Kaharingan di Indonesia. Bahkan gerakan SKDI pula menuntut pemisahan diri antara suku Dayak Kaharingan dengan Kalimantan Selatan dengan membentuk Propinsi Kalimantan Tengah. Tuntutan tersebut berangkat dari harapan besar agar usaha mendapatkan kesetaraan agama Kaharingan dengan agama lainnya oleh pemerintah RI. Kendati pemisahan dikabulkan oleh pemerintah, dengan Undang-Undang Darurat No.10 tahun 1957 tentang pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Tengah. Namun, tuntutan tentang pengakuan Negara terhadap agama Kaharingan tidak kunjung mendapat jawaban. Hingga, rasa pahit harus diterima umat Kaharingan di masa lalu, mulai dari tanda ‘strip’ (-) yang dicantumkan dalam kolom agama penganutnya. Hingga, gempuran dari kaum missionaris yang berusaha mengkonversi karena Kaharingan dianggap bukan sebuah agama apalagi dengan statusnya yang tidak sah di mata hukum.
Perjuangan panjang dan beragam pengalaman pahit yang diterima penganut agama Kaharingan pun menghasilkan keputusan penting. Pada tahun 1980, Kaharingan memutuskan berintegrasi dengan Hindu. Integrasi yang dimaksud adalah agar Kaharingan memiliki perlindungan hukum dan dapat menerima pembinaan selayaknya sebuah agama. Tentunya, keputusan tersebut telah dipertimbangkan dengan hati-hati oleh para tokoh. Sehingga, Hindu Kaharingan yang dapat dijumpai kini masih tumbuh dan berkembang sesuai aslinya.
Beragam pertanyaan muncul melihat realita integrasi Kaharingan dengan Hindu dan menjadi Hindu Kaharingan. Tidak jarang muncul beragam pertanyaan hingga sikap tidak setuju. Hal tersebut sangatlah wajar, mengingat bahwa Kaharingan merupakan keyakinan asli Suku Dayak dan Hindu merupakan agama yang muncul di India. Secara tradisi dan tata cara keagamaan, keduanya sangatlah berbeda. Bahkan ada kekhawatiran bahwa integrasi akan merusak Kaharingan. Namun, kekhawatiran tersebut telah sirna dan yang tersisa hanya buah manis perjuangan dan pilihan para tokoh masa lampau. Karena, hingga kini Kaharingan justru semakin tumbuh subur dengan nyaman dan damai di bumi Kalimantan. Budi Purnomo, M.Si., salah seorang tokoh yang aktif mengunjungi beberapa daerah di Kalimantan Tengah dalam berbagai kegiatan keagamaan Hindu Kaharingan pun berpendapat bahwa pilihan berintegrasi nyatanya menjadi pupuk penyubur Kaharingan. Di berbagai penjuru yang pernah disinggahi, semua hidup dengan tata cara asli setempat. Perlindungan dari Hindu justru menguatkan Kaharingan, karena Hindu adalah agama yang fleksible dengan konsep desa, kala dan patra nya. Bahkan, di masa kini perkembangan Hindu Kaharingan mampu menjadi contoh nyata upaya pelestarian kekayaan Nusantara, tentunya tentang keyakinan asli suku Dayak.
Alasan lain chemistry antara Kaharingan dengan Hindu adalah dengan konsep agama Hindu, yaitu Tri Kerangka Dasar yang berisikan Tattwa, Susila, dan Acara. Bahwa Tattwa adalah filsafat, Susila adalah etika, dan Acara adalah ritual upacara. Ketiga komponen tersebut adalah karakteristik Hindu yang juga dimiliki Kaharingan. Dapat diamati dalam setiap ritual dan tata cara hidup menurut Hindu Kaharingan, ketiga komponen tersebut dapat ditemukan. Pada Tattwa, Hindu Kaharingan memiliki dasar dan filsafat sebagai inti dari praktik beragama yang asli dan merupakan kekayaan warisan para leluhur. Demikian pula Susila, dalam setiap praktik beragama Hindu Kaharingan memuat pedoman perilaku yang baik dan sesuai dengan norma-norma kepatutan. Sedangkan Acara, adalah ritual yang masih dapat dijumpai yang berisikan tindakan hingga sarana dalam ritual yang sakral dan suci. Sehingga ketiga komponen tersebut kemudian berbalut apik dalam keterbukaan Hindu terhadap keragaman.
Penjelasan di atas dirasa sudah mampu memberikan gambaran umum tentang Hindu Kaharingan. Selanjutnya mari mengunjungi sebuah Kabupaten di Kalimantan Tengah, yaitu Kabupaten Murung Raya serta melihat salah satu kekayaan Hindu Kaharingannya.
Kabupaten Murung Raya adalah salah satu kabupaten yang ada di Kalimantan Tengah. Berjarak 664,5 km dari Kota Palangkaraya, akses ke kabupaten ini relatif mulus tanpa hambatan. Kabupaten yang memiliki motto “Tira Tangka Balang” ini didiami beragam suku dan agama. Ibu kotanya adalah Puruk Cahu dan populasi umat Hindu Kaharingan di daerah ini cukup besar.
Pada kesempatan ini, penulis dapat mengamati dan mengikuti sebuah ritual unik, yaitu Ritual Botiwu Basie atau Tiwu Basie. Menurut tuturan sesepuh dan tokoh-tokoh Hindu Kaharingan, Bapak Jami, bahwa ritual ini adalah sebuah ritual pengukuhan rohaniawan Hindu Kaharingan suku Dayak Siang di Puruk Cahu. Rohaniawan dalam bahasa Dayak Siang disebut Basie atau Basi. Pada suku Dayak Siang, Basie dikelompokkan menjadi dua, yaitu basie laki-laki dan basie perempuan. Pengelompokan tersebut sekaligus membagi tugas dan peran mereka. Basie laki-laki bertugas dalam ritual pengobatan dan basie perempuan bertugas dalam ritual kematian terakhir Totoh Numbeng. Ritual Botiwu Basie ini dilangsungkan selama sembilan hari di Desa Tahujan Ontu di Kabupaten Murung Raya.
Lebih lanjut, Jami menjelaskan bahwa terdapat kekayaan falsafah kehidupan yang terkandung dalam ritual Botiwu Basie. Bahwa, proses spiritual seorang Basie sangatlah panjang dan butuh kesungguhan serta kemampuan di atas manusia pada umumnya. Karena, sebelum layak dan dikukuhkan, para Basie mengenyam pendidikan intensif dengan para guru mereka, yaitu para Basie utama. Tidak jarang dibutuhkan waktu bertahun-tahun sampai akhirnya layak menjadi seorang Basie. Walaupun telah dikukuhkan, para Basie tetap harus menjalani beragam prosesi lanjutan untuk menyempurnakan kemampuan dan kesuciannya. Hal tersebut karena setiap ritual Hindu Kaharingan sangatlah sakral, sehingga pelaksanaannya harus benar-benar memiliki kompetensi untuk itu.
Selain itu, menurut ketua MDA-HK Puruk Cahu, ritual ini menjadi salah satu simbol bahwa suku Dayak memiliki pandangan tentang kesetaraan gender. Karena, perempuan memiliki tempat yang setara dan saling melengkapi bahkan dalam ritual keagamaan yang sakral dan utama. Sehingga dapat dijumpai seorang Basie perempuan yang memiliki tugas menjadi rohaniawan tertinggi dalam melaksanakan ritual Totoh Numbeng. Ditambahkan lagi, bahwa ritual keagamaan Hindu Kaharingan Dayak siang, Totoh Numbeng dilaksanakan dengan waktu relatif panjang hingga berbulan-bulan. Lalu, Basie harus berada di tempat acara sampai selesai. Namun, hal tersebut bukan masalah, karena suku Dayak Siang memahami dan menghormati peran Basie perempuan dalam ritual tersebut. Tidak seperti pandangan patriarkal pada umumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar