Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Senin, 17 Juni 2013

Tantangan Subak di Zaman Postmodern

Eka Arsa Dewi

Subak merupakan suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik sosioagraris-religius, yang merupakan perkumpulan para petani yang mengelola air irigasi di lahan sawah. Pengertian subak seperti itu pada dasarnya dinyatakan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 02/PD/DPRD/1972. Subak menjadi suatu organisasi yang terdiri atas kumpulan petani dari suatu daerah pertanian tertentu. Ketua yang memimpin suatu organisasi adat subak disebut pekaseh. Organisasi Subak bercorak sosio religius dan berlandaskan Tri Hita Karana dengan fungsi utamanya adalah pengelolaan air irigasi untuk memproduksi tanaman pangan khususnya padi dan palawija. Subak memiliki karakteristik sosio religius karena nilai-nilai falsafah Tri Hita Karana (harmoni antara manusia dengan Sang Pencipta, harmoni antara manusia dengan alam, dan harmoni antara manusia dengan manusia) melandasi setiap kegiatan subak.

Lembaga Subak berdiri sendiri dan sifatnya otonom terlepas dari Banjar. Hal ini disebabkan karena orang-orang yang menjadi warga subak tidak semuanya sama dengan orang-orang yang menjadi warga suatu banjar. Warga subak ialah para pemilik atau penggarap sawah-sawah yang menerima air irigasinya dari bendungan-bendungan yang diurus oleh suatu subak. Ada kemungkinan warga subak tidak hidup di suatu banjar adat yang sama, atau mungkin ada satu warga banjar yang mempunyai banyak sawah terpencar dan mendapat airnya dari bendungan-bendungan yang diurus oleh beberapa subak. Dengan demikian warga banjar tersebut akan menggabungkan diri dengan semua subak di mana ia mempunyai sebidang sawah (Koentjaraningrat, 2010:298).

Dalam sebuah lembaga atau organisasi sudah barang tentu terdapat peraturan dan norma-norma yang menjadi kesepakatan para anggota suatu organisasi. Demikian pula halnya dengan subak. Organisasi subak biasanya memiliki awig-awig sebagai aturan tertulis, yang pada umumnya sangat dihormati pelaksanaannya oleh anggota subak. Di samping awig-awig terdapat pula aturan-aturan lain yang disebut kerta-sima, yaitu kebiasaan-kebiasaan yang sudah sejak lama dilaksanakan dalam aktivitas subak dan ada pula aturan yang tidak tertulis yang berdasarkan pada kesepakatan subak pada saat dilaksanakan rapat subak dan lain-lain, yang umumnya disebut dengan perarem. Dalam aturan tersebut umumnya berisi hal-hal yang berkait dengan kiat agar lembaga subak mengelola sistem irigasi berdasarkan harmoni dan kebersamaan. Nilai-nilai luhur kebersamaan berdasarkan Tri Hita Karana yang melandasi subak bukan saja dikagumi oleh masyarakat Bali, akan tetapi dunia pun mengakuinya. Hal ini terbukti pada tanggal 20 Juni 2012 di St. Petersburg, Rusia, subak diakui sebagai Warisan Budaya Dunia yang perlu dilindungi dan dilestarikan keberadaannya. Hal ini tentu merupakan kebanggaan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Bali karena budaya kita diakui dunia. Akan tetapi, hal tersebut juga membuat kita menyadari adanya tantangan bahwa kini eksistensi subak tengah terancam digilas zaman postmodern sehingga perlu dilestarikan.

Terjadinya zaman perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat turut berdampak pada eksistensi subak di Bali. Pada era kehidupan global dewasa ini, di mana peradaban kehidupan manusia telah melampaui peradaban modern, keberadaan subak sebagai suatu organisasi tradisional menjadi terancam. Zaman global atau disebut juga postmodern yang tidak saja ditandai dengan kemajuan industri, ilmu pengetahuan dan teknologi, pola pikir dan kebiasaan hidup, manusia juga mengalami dinamika mengikuti perkembangan zaman tersebut. Pola-pola kehidupan masyarakat Bali yang awalnya agraris, mengutamakan pertanian sebagai mata pencaharian, kini berubah mengutamakan industri. Terlebih lagi dengan pesatnya pertumbuhan Pariwisata Bali. Kemajuan Pariwisata Bali memang berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi Bali, namun juga memiliki kemungkinan mengancam eksistensi subak di Bali.

Pulau Bali terkenal di seluruh dunia karena pariwisatanya. Akan tetapi, pariwisata di Bali berupa pariwisata budaya yang menjadikan budaya sebagai objek jual bagi tourist-tourist agar tertarik mengunjungi Bali. Oleh karena itu, subak sebagai salah satu bentuk budaya Bali hendaknya dilestarikan keberadaannya. Bebagai upaya perlu dilakukan untuk memperkuat dan melestarikan eksistensi subak sebagai warisan budaya yang sangat unik dan dikagumi oleh banyak pemerhati irigasi di mancanegara. Sebab, jika subak yang dipandang sebagai salah satu pilar penopang kebudayaan Bali sampai sirna, maka dikhawatirkan stabilitas sosial akan terganggu dan kelestarian kebudayaan Bali bisa terancam.

Perubahan dan dinamika merupakan suatu ciri yang hakiki dalam masyarakat dan kebudayaan. Tidak ada suatu masyarakat pun yang statis dalam arti yang absolut. Setiap masyarakat selalu mengalami transformasi dalam fungsi waktu, baik masyarakat tradisional maupun masyarakat modern, meskipun dengan laju perubahan yang bervariasi (Pitana, 1994: 3). Perubahan masyarakat dan kebudayaan Bali dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal yaitu dinamika kebudayaan Bali sendiri dan faktor eksternal yang berupa pengaruh dari kebudayaan luar. Dinamika perubahan mempengaruhi masyarakat Bali dalam berbagai lini kehidupan, contohnya dari segi kehidupan ekonomi masyarakat terjadi loncatan dari kebiasaan masyarakat agraris menjadi industri dan jasa. Berikut juga dari segi agama, masyarakat Bali yang dominan menganut agama Hindu mengalami pergeseran dalam pelaksanaan agamanya, yaitu dari masyarakat yang ritualistis menjadi bersifat tattwaisme. Begitu pula dengan subak. Subak yang dulunya merupakan suatu organisasi sosial tradisional atau di Bali disebut dengan sekaa, juga tidak terlepas dari pengaruh perkembangan zaman global.

Salah satu tantangan yang dihadapi subak adalah berkurangnya lahan sawah beririgasi sebagai akibat adanya alih fungsi lahan untuk kegiatan non-pertanian, baik perumahan, pabrik industri, hotel, dan lain-lain. Tidak sedikit petani, khususnya di daerah perkotaan yang tergiur oleh tawaran harga jual tanah yang tinggi, karena jika dibandingkan dengan mengusahakan usaha tani sendiri hasilnya tidak akan seimbang. Para petani saat ini mungkin lebih memilih untuk bertani di Bank berupa uang hasil menjual sawah yang ditanam di bank dan tinggal menunggu bunganya saja setiap bulan, sehingga bisa jadi hasilnya jauh lebih besar dibandingkan jika bertani di sawah. Jika penyusutan lahan pertanian di Bali terus berlanjut, dikhawatirkan organisasi subak akan terancam punah. Jika subak hilang, apakah kebudayaan Bali tetap bertahan karena diyakini bahwa subak bersama lembaga sosial yang lainnya adalah salah satu bagian dari kebudayaan Bali. Oleh karena itu, para petani anggota subak perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut masalah pengalihfungsikan lahan sawah yang berada dalam wilayah subak yang bersangkutan.

Di lain pihak meningkatnya jumlah penduduk dan pembangunan di segala bidang terutama industri pariwisata berimbas pada kebutuhan ketersediaan air meningkat tidak saja dari segi kuantitas tetapi juga kualitasnya. Sumber daya air air menjadi langka dan konflik kepentingan pemanfaatan air tidak terhindar lagi. Kompetisi antara sektor pertanian dan non pertanian menyangkut air akan cenderung meningkat di masa mendatang. Hal ini disebabkan karena air yang selama ini dimanfaatkan lebih banyak untuk sektor pertanian, saat ini dan di masa mendatang harus dialokasikan juga untuk sektor non pertanian. Oleh karena itu di tengah kelangkaan air saat ini, peranan petani subak di sini sangat penting untuk mampu mengelola penggunaan air agar lebih efisien dan hemat air. Dampak dari kemajuan industri terhadap sumber daya air juga nampak pada adanya kerusakan lingkungan, khususnya pencemaran sumber air. Banyak kita jumpai di sungai dan saluran irigasi terdapat air yang tercemar oleh limbah-limbah industri yang mengandung zat-zat berbahaya dan polutan. Selanjutnya bagaimana petani dapat menghasilkan tanaman pangan yang berkualitas baik bila air yang menjadi unsur penting dalam pertanian telah tercemar polusi.

Tantangan terbesar juga datang dari petani itu sendiri. Pada dewasa ini sangat jarang ditemui petani-petani muda. Minimnya regenerasi masyarakat petani juga menjadi masalah pelik. Untuk saat ini sebagai besar profesi petani digeluti oleh generasi tua, sedangkan generasi muda kurang tertarik untuk menggeluti profesi tersebut. Bahkan seorang sarjana bidang pertanian pun, sangat jarang mau menekuni bidangnya itu dan menjadi petani di sawah. Kebanyakan dari mereka memilih profesi lain dengan berbagai alasan. Selanjutnya timbul dampak terhadap hasil panen pangan kita yang minim, sehingga menuntut adanya impor dari negara tetangga. Bangsa kita tinggal di negara zamrud khatulistiwa, namun masih kekurangan hasil pangan. Lalu persoalan ini menjadi tanggung jawab siapa?

Penetapan subak sebagai Warisan Budaya Dunia memang hal yang sangat membanggakan bagi bangsa Indonesia, namun hal tersebut menyiratkan suatu tantangan bagi kita semua untuk melestarikan budaya luhur itu apalagi di tengah gencarnya perkembangan zaman postmodern saat ini. Namun, tentu saja hal ini memerlukan kerjasama dari berbagai aspek dan elemen stake holder serta masyarakat untuk menyadari dan mulai bertindak untuk pelestarian Subak. Subak adalah milik Bali dan mari kita jaga bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar