Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 19 Maret 2013

TERDESAKNYA KAUM MINORITAS DI NEGERI BHIENEKA TUNGGAL IKA

I Wayan Miasa

Beberapa tahun belakangan ini di berbagai media masa sering disiarkan di media massa tentang pelarangan pendirian tempat sembahyang, kemudian berita kerusuhan serta konflik-konflik lainnya di berbagai daerah di Indonesia. Kerusuhan, serta tindakan penindasan semacam ini sering menimpa kaum minoritas di lingkungan kaum mayoritas, dengan berbagai latar belakang yang menyulut kejadian tersebut.

Mengapa hal tersebut bisa terjadi di negara yang religius ini. Padahal yang disiarkan dan diajarkan dalam agama itu adalah cinta kasih, menghormati sesama serta slogan-slogan toleransi lainnya. Cobalah perhatikan siaran di Tv setiap hari, dari pagi sampai malam selalu saja ada pesan keagamaan. Tetapi mengapa masyarakat yang dihasilkan justru masyarakat yang dihasilkan bermental arogan. Adakah yang salah dalam praktek beragama di negeri kita ini, karena kalau kita bandingkan dengan negara-negara yang penduduknya jarang berbicara tentang agama seperti Eropa, mereka hampir tidak pernah melakukan hal yang barbar seperti di negeri kita ini, walaupun mereka tersebut jarang mendapatkan pencerahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Begitu juga mereka tidak mencantumkan agamanya dalam identitas dirinya. Hal ini sedikit berbeda dengan kita di mana kita hampir setiap hari berdoa, setiap saat sembahyang, namun sayangnya mengapa rasa toleransi kita semakin tipis. Begitu juga slogan Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi dasar bertoleransi di negeri kita hampir tanpa makna.

Kita sering salah sangka dalam praktek kehidupan kita entah dalam beragama atau berspiritual, bermasyarakat dan lain sebagainya, di mana kita sering terpaku oleh jumlah penganut suatu agama, bukan kualitas warga kita. Dan sedihnya lagi kita sering bersibuk ria atas nama agama sehingga lupa memikirkan isi perut. Ini kita bisa buktikan dari kejadian-kejadian konflik yang ada. Kalau kita simak secara logis misalnya, mengapa penindasan kaum minoritas oleh kaum mayoritas, entah itu berskala antar pemuda, antar wilayah atau bahkan antar suku bisa terjadi, adakah hal yang tersembunyi di balik itu. Karena selama ini perlakuan yang diterima kaum minoritas sering bersifat diskriminatif dalam masalah-masalah sosial keagamaan di negeri Nusantara ini dibandingkan dengan kaum mayoritas. Apalagi konflik itu dikemas dengan selimut yang bernama SARA maka semakin kentaralah perlakuan diskriminatif tersebut.

Sesungguhnya kita menganut agama itu dimaksudkan untuk mengubah perilaku kita yang barbar menuju manusia yang berperilaku baik, dari perilaku primitive yang suka menjarah, seperti kaum raksasa menjadi manusia yang beradab bukan biadab. Begitu juga dalam kehidupan beragama kita tidak cukup berdoa saja, namun kita perlu juga bekerja keras untuk mengisi kebutuhan perut agar kita bisa berpikir jernih. Kalau kita perhatikan pesan Bhagawan Gita, dimana diuraikan, bahwa hendaknya kita melakukan kewajiban kita agar kita bisa hidup sejahtera. Karena Tuhan tidak akan mengubah nasib kita, jika kita sendiri tidak berusaha. Masalahnya sekarang ada sebagian orang yang terkesan religius, di mana mereka terlalu berserah diri pada Tuhan, segala sesuatu yang dilakukan atas nama tuhan. Membakar kampung pun kemudian atas nama Tuhan, mencuri atas nama Tuhan, ngebom atas nama Tuhan, dan sederetan perilaku tak terpuji lainnya.

Perlu memahami agama dengan baik dan mempraktikkannya dengan tepat, sehingga dalam beragama kita tidak terjebak ilusi. Yang pertama-tama harus diingat, bahwa memenuhi kebutuhan hidup kita adalah hal paling dasar dan prinsip. Kita akan bisa damai melakukan kegiatan keagamaan jika kita sudah makmur dan sentosa. Kalau hal ini kita lupakan, maka tidak aneh bila kerusuhan atas nama agama akan terjadi dimana-mana. Ingatkah kita kejadian di tahun 1998 di Jakarta, dimana di sana terjadi penjarahan terhadap milik warga minoritas saat kerusuhan terjadi. Ini menjadi bukti bahwa kita perlu memikirkan kebutuhan hidup kita dalam beragama. Jika saja kita sudah sejahtera, maka tidak mungkin kita menjarah milik orang lain. Sebagai orang religius pastilah tindakan kita akan menolong sesama dalam kejadian tersebut. Tetapi sayang tindakan yang kita lakukan justru seperti manusia yang hidup di jaman nomaden, bergerombol dan menjarah milik orang lain.

Kejadian-kejadian seperti yang disebutkan di atas akan terus terjadi bila kita tidak dari kecil mengajarkan rasa bertoleransi kepada warga yang beda ras, suku, agama. Bila sejak kecil kita tanamkan rasa fanatisme yang sempit kepada generasi muda kita, maka generasi kaum mayoritas akan semakin bergaya arogan terhadap kaum minoritas dan akan terus terjadi pengkotakan di antara mereka. Apalagi bila tidak memiliki SDM yang handal, maka akan mudah diprovokasi. Lihat saja di media massa, misalnya kejadian yang menimpa warga Bali yang berada di Lampung, Sumbawa. Warga Bali yang hidup disana rata-rata tarap hidupnya lebih mapan dari kaum mayoritas karena sebagai warga perantau atau pendatang tentu mereka berpikir untuk mengubah nasibnya menuju kehidupan yang lebih baik. Mereka di tanah rantauan bekerja keras untuk mengubah nasibnya agar bisa makmur. Tentulah kemakmuran tersebut adalah hasil kerja keras yang disertai doa.

Saat orang-orang yang terpinggirkan secara ekonomi dan social melihat kehidupan kaum pendatang lebih baik, maka timbullah suatu kecemburuan sosial dan dicarilah alasan untuk menyingkirkan kaum pendatang. Saat ada alasan untuk melakukan kerusuhan maka kesempatan itulah dijadikan dalih membumihanguskan kaum minoritas. Pola semacam ini terjadi di berbagai tempat di negeri kita ini. Untunglah masyarakat Bali tidak melakukan hal ini, karena mereka masih percaya dengan adanya Hukum Karma. Lihat saja di P
Pulau Bali, walau ada warga luar Bali melakukan perbuatan amoral di Bali, tak pernah warga Bali langsung bertindak membabi buta. Bahkan saat ada warga non Hindu membom Bali tahun 2002 yang jelas-jelas mempengaruhi perekonomian Bali serta nasional, warga Bali tidak sertamerta membumihanguskan kaum pendatang. Entahlah kalau hal itu terjadi di luar Bali dan yang melakukan hal tersebut kaum minoritas, mungkin akan digasak habis sampai ke akar-akarnya.

Belajar dari berbagai kejadian yang menimpa kaum minoritas di negeri ini, kita perlu rasanya merubah pola pikir kita dalam kehidupan berwarga negara agar tindakan penindasan terhadap kaum mayoritas terhadap minoritas tidak terjadi lagi. Kita harus merasa malu mengatakan bahwa negeri ini sangat religious, namun perilaku yang kita tunjukkan tidak ada bedanya dengan serigala lapar.

Fanatisme keagamaan yang berlebihan sering menimbulkan perang. Atas alasan untuk mempertahan kehidupan beragama semacam ini, maka akan terus terjadi usaha mencari pengikut sebanyak-banyaknya untuk diajak mempertahankan diri. Akhirnya, tidak mengherankan lagi jika terus terjadi usaha saling menaklukan diantara penganut agama tersebut dan hasilnya yang pasti adalah rasa salih balas dendam. Hal semacam ini akan merembet tidak saja pada tatanan agama, tetapi dalam lingkungan kemasyarakat di seluruh jagat raya.

Kalau kita perhatikan lebih dalam lagi maka sesungguhnya konflik yang terjadi itu sebenarnya karena tidak seimbangnya pemenuhan kebutuhan material dan rohani para pemeluk suatu agama. Kalau saja kehidupan mereka sudah mapan, mereka akan berpikir dua kali jika diajak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan rasa kemanusiaan. Mereka yang beragama dan sebenar-benarnya beragama (bukan mengaku beragama), akan memiliki rasa welas asih, penyayang dan sifat-sifat kebaikan lainnya. Akan sangat berbeda tingkah lakunya bila kebutuhan hidup mereka itu tidak terpenuhi secara optimal. Betapapun tinggi ilmu filsafat keagamaan yang dikuasainya, namun bila perut mereka kosong, maka yang akan terpikirkan adalah bagaimana caranya mendapatkan sesuatu untuk bisa bertahan hidup. Bila pola semacam ini telah menimpa kehidupan kaum mayoritas di lingkungan kaum minoritas yang hidupnya sudah mapan, maka tidak mengherankan lagi bila berkembang pemikiran untuk menindas kaum minoritas. Lihat saja di daerah yang kesenjangan hidup masyarakatnya sangat kentara maka disana akan mudah terjadi konflik sosial atas nama SARA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar