I Kadek Widya Wirawan
Tidak terasa kita telah meninggalkan tahun 2012 dan kini memasuki tahun baru 2013. Perubahan tahun merupakan hari istimewa yang kita tunggu bersama dengan berbagai harapan. Ini terbukti bagaimana antusias masyarakat dengan membeli kembang api untuk dinyalakan ketika pergantian malam tahun baru, atau berbagai rencana yang telah dipersiapkan untuk menyambutnya bersama keluarga. Penulis berharap dalam suasana perayaan pergantian tahun ini digunakan untuk kegiatan positif. Perayaan tersebut digunakan untuk introspeksi diri dengan menghidupkan kembali memori yang pernah dialami selama tahun 2012.
Sebagai pusat pariwisata dunia, Bali tidak dapat mengelak dari yang namanya globalisasi. Akibatnya seluruh aspek kehidupan masyarakat Bali dalam bidang ekonomi, sosial budaya, politik, dan sebagainya mengalami pergeseran tergerus oleh globalisasi. Untuk itu diperlukan alat filter dalam menyelamatkan Bali dari ancaman globalisasi yang membawa pengaruh positif maupun negatif. Akar budaya yang telah tertanam dari sejak dulu sebagai warisan leluhur, kini mulai goyah dengan semakin kuatnya gempuran idiologi pasar yang kalau tidak segera ditanggulangi akan merusak sendi-sendi kehidupan budaya Bali. Budaya yang adiluhung ini mungkin saja akan menjadi kenang-kenangan bagi anak cucu di masa mendatang. Oleh karena itu diperlukan gerakan bagi masyarakat Bali dalam menyelamatkan bumi Bali dari ancaman kaum kapitalisme melalui gerakan Ajeg Bali.
Seperti yang kita ketahui di dunia ini, tidak ada yang kekal kecuali perubahan. Akibat hal inilah memunculkan wacana untuk mengajegkan Bali dan gencar menggema dalam keseharian masyarakat Bali. Kendatipun hampir semua orang berbicara tentang Ajeg Bali, tetapi selama ini belum pernah ada kejelasan dan penjelasan yang baku dan komprehensif mengenai apa yang dimaksudkan dengan istilah itu. Kata Ajeg berarti tetap, teratur, tidak berubah atau berjalan secara berulang dan berpola. Jadi secara sempit, Bali yang ajeg berarti Bali yang tetap lestari, tidak berubah, tidak terpengaruh oleh ruang dan waktu. Namun dalam realitasnya tidak ada yang statis kecuali perubahan. Untuk dapat bertahan, tentulah setiap masyarakat harus beradaptasi (berubah). Ajeg Bali tidak boleh diartikan mengajegkan Bali yang mandeg, statis dan stagnan.
Ketut Wiana mengatakan Ajeg Bali artinya menegakkan kebudayaan Bali yang memiliki ciri khas yang berbeda dengan kebudayaan daerah lain di Indonesia maupun di dunia. Ia mengatakan tujuan utama gerakan Ajeg Bali sebagai gerakan kebudayaan untuk menjaga ciri khas kebudayaan Bali yang bernafaskan Agama Hindu.
Sementara Adiputra mengatakan Ajeg Bali sebagai salah satu ajaran Agama Hindu. Ini artinya dalam melakukan Ajeg Bali akan terjadi proses utpati, yakni proses yang kreatif untuk menciptakan sesuatu yang patut diciptakan yang dapat mengangkat keluhuran kebudayaan Bali; proses stithi yakni menjaga, melindungi, dan memelihara sesuatu yang patut dijaga, dilindungi serta dipelihara menyangkut kebudayaan Bali; dan proses pralina yakni proses untuk meniadakan atau menghilangkan sesuatu yang patut ditiadakan menyangkut kebudayaan Bali. Ajeg Bali patutlah melandasi diri dengan Tri Semaya, yakni atita (masa lalu), wartamana (masa sekarang), nagata (masa yang akan datang). Banyak hal positif dan negatif yang terjadi di masa lalu patut dijadikan cerminan sekaligus pijakan untuk membangun serta mempertahankan keajegan Bali.
Jargon Ajeg Bali memang bagus untuk diucapkan dalam rangka melestarikan budaya Bali, tetapi dalam prakteknya kita masih setengah hati. Kita tidak dapat menutup mata dan harus penuh jujur diakui bahwa Bali yang ajeg seperti yang dicita-citakan belumlah terwujud sepenuhnya. Ajeg Bali hanya sebuah ucapan saja tanpa bukti yang kongkrit.
Seperti hukum alam “Dimana ada gula, disana ada semut” tidak bisa dihindari. Kota Denpasar banyak didatangi oleh orang luar daerah Bali serta asing baik untuk memperoleh pekerjaan, berpariwisata, dan sebagainya tentulah akan membuat kota-kota di Bali akan semakin majemuk baik agama maupun budaya. Dengan gempuran globaliasi konsep Tri Hita Karana yang didengung-dengungkan selama ini semakin jauh dari harapan. Dalam parahyangan, semakin banyaknya tindakan-tindakan yang bertentangan ajaran agama seperti korupsi, mencuri, merampok, menodong, dan sebagainya. Perasaan bersalah (takut) terhadap hukum karma phala tidak berlaku lagi. Yang terpenting sekarang saya bisa menikmati hidup duniawi dengan berbagai kemewahan. Masalah di akhirat urusan belakangan tidak usah terlalu dipikirkan. Ini menunjukkan hukum karma phala itu sudah tidak begitu ketat lagi diyakini oleh setiap orang, pantasan kejahatan di Bali (Indonesia) semakin hari semakin meningkat.
Dalam pawongan, diharapkan mewujudkan sikap asas menyame braye, tat twam asi, para paros seguluk segilik selulung sebayantake sehingga mampu menjaga kerukunan umat di Bali. Namun kini semakin luntur dengan munculnya individualisme yang mengikis asas menyama braye dalam kehidupan masyarakat Bali.
Dalam tataran pawongan, penduduk di Bali semakin bertambah menyebabkan dibutuhkan tempat tinggal, sehingga tidak dapat dielakkan lagi alih fungsi lahan terus menjalar diberbagai kabupaten yang ada di Bali. Lihat saja di Bali sawah-sawah atau tegalan-tegalan yang awalnya ditanami pepohonan, malahan sekarang ditebang dan digantikan dengan berdirinya bangunan (rumah beton). Singkat kata Bali telah mengalami pergeseran menuju masyarakat modern dengan mengandalkan sektor pariwisata sehingga dibangun fasilitas-fasilitas penunjang pariwisata seperti hotel, restauran, dan villa hingga ke tebing-tebing. Setiap tahun Pulau Bali terus didatangi oleh orang-orang luar, sehingga semakin padatnya Pulau Bali. Untuk itu agar tidak hilang identitas Bali yang bernafaskan Agama Hindu perlu dilestarikan lewat Ajeg Bali. Mari lestarikan budaya Bali lewat Ajeg Bali dengan wujud nyata, bukan sekedar jargon semata. Sadarilah masa depan Bali berada di tangan orang Bali sendiri!
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar