Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Sabtu, 27 Oktober 2012

Roh Seseorang Diantar oleh Karmanya

Ketika mayat Gede Karmayasa (40) akan diberangkatkan menuju setra (kuburan) pada 20 Agustus 2012, ibu almarhum yang bernama Jro Ketut Putri (65) menangis meraung-raung. Yang bersangkutan belum dapat menerima kenyataan pahit yang dialami. Kepergian anaknya dalam usia relatif muda untuk selama-lamanya sulit diterima dengan lapang dada. Apalagi demi memikirkan dua orang cucu yang masih kecil-kecil. Maka beralasan kalau Ketut Putri sampai menangis tersedu-sedu. Bahkan kalau tidak segera dipapah oleh anak dan menantunya, dia pasti roboh.

Tapi mayat Gede Karmayasa harus diberangkatkan sesuai rencana. Toh jika pun ditangisi oleh lebih banyak orang lagi, almarhum tak mungkin bangkit dan hidup kembali. Seperti yang dikatakan Dr. Gde Made Metera, selaku sesepuh Yayasan Pengayom Umat Hindu (YPUH) saat dharma wacana pada pengabenan itu, “Setiap kelahiran, kematian merupakan kepastian.” Ya, kematian tak dapat dielakkan oleh siapa pun. Kematian adalah keniscayaan. Hanya soal waktu saja. Semua orang akan mendapat giliran pada waktunya.

Pada sisi lain, istri (alm) Karmayasa, Kadek Catrini (35), tampak lebih bisa menguasai diri ketimbang mertuanya. Boleh jadi berkat dharmawacana Metera, atau karena kesiapan mental yang telah lama dimiliki, Catrini tampak tegar ditinggal sang suami. Dia memang sempat menangis sebentar, mungkin tak lebih dari dua menit. Air matanya yang telanjur tumpah membasahi pipi, dia segera hapuskan. Tak ada waktu untuk bertangis-tangisan lebih lama. Mayat suaminya telah diusung kerabat dan anggota banjar. Waktu sudah memasuki detik-detik menuju pukul 10.00 Wita, sesuai jadwal untuk keberangkatan ke setra. Apalagi jarak antara rumah almarhum ke setra sekitar 4 km, jarak yang lumayan jauh karena harus ditempuh dengan jalan kaki.
Ya, hari itu YPUH Singaraja kembali mendapat kepercayaan membantu umat Hindu melaksanakan ngaben dengan biayai irit. Upakara yang dibuat sederhana dan tidak banyak. Plus ada sulinggih yang sudi memimpin upacara sederhana ala YPUH. Semua pihak mengutamakan ngayah, pengabdian tulus-ikhlas kepada sesama. Tekad YPUH adalah meringankan segala ritual. Sehingga pemeluk Hindu tidak akan merasa beban bila menghadapi ritual apa pun. “Kami siap membantu umat Hindu di seluruh Nusantara,” kata Jro Mangku Nyoman Sedana Wijaya, Ketua YPUH, saat menyampaikan kata pengantar. Dharma wacana diberikan sebelum mayat diusung ke setra.

Selain Catrini, ayah almarhum, Jro Gde Wayan Supatra (73), juga tampak tegar. Sebagai pemuka agama, dia tampak sibuk ikut membantu ritual pengabenan anaknya. Dari keterangannya, nampaknya Supatra banyak mendapat pencerahan dari majalah Raditya. “Saya pelanggan setia Raditya. Kalau ke Denpasar, saya menyempatkan diri singgah di kantor redaksi,” katanya sembari tersenyum. Tidak tampak ada guratan kesedihan di wajahnya. Selain Jro Ketut Putri, tampaknya anggota keluarganya yang lain dapat menerima secara ikhlas kepergian Gede Karmayasa.

Dalam Bhagawad Gita (BG), khususnya pada Bab II, memang disinggung panjang-lebar perihal sang roh. Kesimpulan menurut BG, barang siapa yang dapat mengerti kedudukan sang roh sebagai percikan kekal dari Tuhan YME, maka dia akan tenang menghadapi kematian badan. Karena roh tak pernah mati. Manusia karena memiliki badan kasar yang tersusun dari Panca Mahabhuta, maka sewaktu-waktu badan itu bisa sakit hingga mengalami kematian. Dengan kata lain, orang yang belum sadar tentang kedudukan roh, biasanya akan meratapi teramat sangat setiap kematian badan. Dan sibuk membuat ritual besar karena meyakini dengan berbuat seperti itu dirinya seakan telah menumpahkan kasih-sayangnya kepada almarhum serta memastikan almarhum akan mendapat tempat yang baik. Hal sesungguhnya tidaklah demikian.

Dengan kata lain, bila seseorang dapat lebih mengerti kedudukan sang roh, maka orang itu akan menjadi lebih tenang bila berhadapan dengan kematian. Karena roh sesungguhnya tak pernah mati. Ia hidup selamanya.

Menurut Gde Made Metera, yang mengantarkan roh seseorang sampai di suatu tempat tertentu, adalah karmanya. Apakah roh bersangkutan bersatu dengan Tuhan atau menjalani kehidupan kembali di dunia (reinkarnasi), penentunya adalah karma wasana. Bukan besar-kecilnya ritual. Karena itu ia mengajak agar umat Hindu menjadi semakin cerdas sehingga tidak terjebak pada tradisi-tradisi yang membebani.

Metera tidak hanya berseru atau hanya bisa memberi saran. Ketika ayahnya meninggal dunia beberapa tahun lalu di kampung halamannya di Tabanan, dia juga meminta bantuan YPUH. Kalau saja ia ingin pamer, sesungguhnya dia bisa membuat ritual besar saat mengabenkan orangtuanya. Namun dia lebih memilih kesederhanaan. Dan seiring perjalanan waktu, kini semakin banyak umat Hindu yang meminta bantuan YPUH. Karena YPUH menawarkan kesederhanaan yang disertai kejelasan tatwa.
(Made Mustika)

2 komentar:

  1. Dengan cara apapun kau datang padaku akan kuterima, itu yang tertera dalam Bhagawad Ghita.Sangat disayangkan kalau kita terus berseteru dengan sebuah keharusan yang bersentris di Bali. Toh karma seseorang dipengaruhi oleh, seberapa banyak/jauh dia telah mengetahui ajaran agamanya dan menerapkannya. tertbaik adalah :tapa, dana punia, etika dan susila yang terpenting yang dirujuk dari intisari agama. (Vidhastra di Kendari)

    BalasHapus
    Balasan
    1. mohon info bertirtayatra ke India dengan hemat, murah dan mudah

      Hapus