Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 26 September 2012

Hanya dalam Perut yang Kenyang Kita Bisa Beragma dengan Tenang

I Wayan Miasa

Janganlah berkhayal terlalu jauh, dengan mencontoh orang-orang sadhu di Himalaya yang dapat mengamalkan ajaran yoga dan kesalehan tanpa menghiraukan kebutuhan pangan, sandang dan papan mereka. Mereka itu sudah mampu mengambil langsung sumber energi kehidupan dari udara dan matahari untuk melanjutkan hidupnya. Tapi bagi masyarakat umum, untuk bertahan hidup mutlak membutuhkan makanan, pakaian dan perumahan. Karena itu, selama kebutuhan dasar manusia belum terpenuhi, terutama di bidang makanan, maka praktik beragamanya akan sangat susah dan hampir mustahil. Karena itu pertama-tama yang harus dipelajari adalah mencari makanan dengan benar sesuai kaidah-kaidah moral.


Ada suatu phenomena menarik di dalam kehidupan masyarakat kita yang mana mereka begitu serius mempropagandakan agama ataupun ajaran spiritual lainnya dengan janji kebebasan, masuk sorga, serta janji-janji lainnya lewat berbagai media. Bahkan di beberapa TV swasta acara siar agama ini di mulai dari baru bangun sampai mau tidur. Mereka semua membicarakan kebajikan, kebenaran ajaran agama mereka masing-masing. Ada yang menunjukkan kemampuan pengobatan yang bisa mereka lakukan, penyanjungan agamanya tiada hentinya, menyebut nama Tuhan setiap hari dan aktivitas siar lainnya.

Rupanya trend seperti yang disebutkan di atas hampir melanda kehidupan masyarakat kita yang katanya sangat religius ini. Tema yang mereka tayangkan selalu mengandung propaganda agama, entah dimanapun mereka berada dan topiknya hampir selalu tentang masuk sorga, pembebasan, keselamatan di akhir jaman dan lain sebagainya. Entahlah, mungkin inilah ciri masyarakat yang religius, semua dihubungkan dengan keadaan setelah mati.

Kalo kita bandingkan dengan Negara-negara yang maju seperti Eropa, Amerika, dimana topik kehidupan mereka itu tidak berkutat dengan agama tetapi bagaimana bisa mencapai “surga dunia” dalam arti positif. Mereka tersebut lebih memilih bertindak nyata dalam kehidupan sehari-harinya tanpa harus membawa-bawa agama dalam kegiatannya yang mereka lakukan.

Banyak dari kita mengajak warga kita bermimpi mencapai sorga atau pembebasan dan sering lupa akan kebutuhan lainnya. Kita perlu sadar bahwa kita tidak saja makhluk religius, tetapi juga makhluk sosial yang harus memenuhi kewajiban dan tuntunan kehidupan material kita. Kita memiliki tanggung jawab sosial sesuai dengan pembagian catur ashrama ajaran sanatana dharma. Sehingga kita perlu menelaah suatu “siar spiritual” berdasarkan klasifikasi atau tingkatan catur ashrama kita. Kalau kita di tingkatan Brahmacari, maka tema yang cocok didengar adalah tentang kehidupan seorang murid yang taat pada ajaran gurunya, misalnya. Begitu juga dengan Grehasta, mereka seharusnya diajarkan tentang kewajiban grehasta.

Pelaku siar ajaran agama perlu mengklasifikasikan tema yang mereka sampaikan kepada pendengarnya dan disesuaikan dengan katagori pendengarnya. Hal ini perlu dilakukan, agar tidak terjadi suatu ketimpangan. Ada suatu contoh nyata tentang siar-siar agama di TV, dimana para pendengarnya berbagai kalangan masyarakat, dan tema yang diusung adalah masuk sorga. Sang penceramah begitu menggebu-gebu menjelaskan tentang keberadaan di sorga. Pendengar diajak terhanyut dalam usaha mencapai sorga setelah kematian. Karena seringnya siar tersebut diulang-ulang, sehingga mencuci otak sang pendengarnya. Dan apakah yang terjadi? Masyarakat banyak yang menjadi pengkhayal dan menjadi tukang debat temannya. Mereka akhirnya terpaku pada pencapaian kehidupan setelah kehidupan di dunia, berbicara tentang kebebasan, ketidakterikatan dengan dunia material, dan mimpi-mimpi lainnya.

Sang penceramah seharusnya sadar, bahwa mereka itu berbicara sebagai tauladan bagi pendengarnya, sehingga ceramah yang disampaikan tersebut seharusnya diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan sekedar mengumbar ayat-ayat buku suci yang bisa dihafal banyak orang. Sang penceramah mungkin lupa bahwa penceramah yang baik adalah penceramah yang bisa mewujudnyatakan ceramahnya dalam kehidupan nyatanya sehar-hari, dan hal itulah yang akan dijadikan contoh di masyarakat.

Begitu juga pemberian ceramah di tempat-tempat menuntut ilmu kerohanian seharusnya sang penceramah tersebut adalah orang yang setidaknya bisa menjalankan ceramahnya dalam kehidupan nyata sehari-harinya dan disesuaikan dengan keberadaan pendengar ceramah tersebut. Misalnya bila pendengarnya para brahmacari, mungkin tema yang disampaikan lebih banyak bersifat pendidikan moral, etika, cara-cara membangun kehidupan yang ideal. Begitu juga dengan ceramah yang untuk para grehasta hendaknya lebih banyak berhubungan dengan cara mempertahankan keluarga, agar tidak kelaparan. Sebab tugas sebagai grehasta memiliki tanggung jawab yang banyak, seperti mereka harus memelihara keluarganya, mendidik anak-anaknya, serta kewajiban-kewajiban lainnya. Bila perlu ajarkan para grehasta itu hidup mencari “laksmi” sebanyak-banyaknya agar bisa membantu orang lain. Dan dengan “laksmi” yang didapatka itulah dipakai untuk menjaga keluarga serta membantu orang lain. Karena kehidupan ini bukan sekedar beragama saja, tetapi meliputi segala aspek.

Penceramah ala Burung Beo
Bila sang penceramah menceramahkan tentang rasa tunduk hati, hidup sederhana, tidak terikat tetapi dalam kenyataan hidup mereka sehari-hari tidak bisa melaksanakan apa yang mereka ceramahkan maka sang penceramah model seperti ini tidak ubahnya dengan kaset atau burung beo, pintar meniru setiap ucapan, hafal ayat-ayat suci tapi implementasinya dalam kehidupan sehari-hari kosong besar. Bagaimana kita bisa berbicara tentang kerendahan hati sementara kita tinggi hati, bagaimana orang percaya bahwa kita harus hidup sederhana sementara sang panutan menampilkan kemewahan.

Membicarakan tentang Tuhan itu perlu, mendiskusikan agama perlu, tetapi juga mengisi perut juga penting. Bagaimana orang bisa berkonsentrasi dengan penuh tentang Tuhan kalau kebutuhan perut kita sendiri belum bisa kita penuhi. Kita perlu sadar bahwa di jaman sekarang ini tidak ada yang gratis, bahkan kencing pun harus bayar. Oleh karena itu kita perlu kecerdasan dalam memberikan ajaran tentang keagamaan itu dan menjadikan diri kita sebagai panutan dan bukan sekadar dapat duduk di depan memberi wejangan seperti tape recorder.

Orang akan bisa diajak membicarakan tentang agama, Tuhan bila mereka sudah tidak lagi memikirkan kebutuhan isi perutnya. Orang-orang yang secara ekonomi sudah mapan tentu bisa menyampaikan ajaran apa saja karena mereka tidak lagi berpikir “hari ini saya makan apa?”

Ajaran sanatana dharma mengajarkan seharusnyalah kita mengikuti proses catur ashrama dengan baik sehingga kita bisa mengerti proses kehidupan secara baik. Bukan sekedar memberikan ceramah tentang kebebasan, ketidakterikatan terhadap hal-hal material sementara kita sibuk mencari kekayaan materi. Ingatlah bahwa ayat-ayat suci akan bermanfaat bagi kita bila kita bisa melaksanakannya.

Kita perlu belajar dari kasus-kasus yang terjadi di masyarakat yang hidup terfokus pada agama, namun di wilayah tersebut dalam kehidupan sehari-harinya sering terjadi tindak kejahatan. Ceramah agama gempita, kriminalitas merajalela. Bila kondisi demikian, tentu ada yang keliru. Contoh kehidupan masyarakat semacam ini terjadi karena tidak adanya keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan rohani dan material. Sang penceramah bisa saja mengajarkan tentang sorga atau kebebasan karena semua kebutuhan hidupnya telah terpenuhi. Sedangkan sang pendengar masih harus mencari bahan kebutuhan hidupnya. Sehingga bisa saja terjadi saat mendengarkan ceramah sang pendengar manggut-manggut, namun setelah bubaran mereka bisa jadi garong, pencuri atau menjadi pelaku kriminal lainnya. Jangankan masyarakat yang hidupnya ‘Senin-Kamis”, para tokoh yang sudah mapan pun bisa menjadi koruptor. Hal ini membuktikan bahwa ceramah yang disampaikan tersebut belum bisa merubah kepribadian seseorang.

Dalam pemberian ceramah perlu juga diisi dengan pembangunan karakter dan pembangkitan rasa malu sejak dini agar tercipta generasi yang tahu malu dan bukan generasi hafal ayat-ayat suci. Jika hanya pandai berdebat tentang agama, tapi tak punya etika ataupun kepekaan sosial dan justru malah senang mencari keuntungan dari kegiatan pemberian ceramah tersebut, lalu apa maknanya.

Orang Lapar Butuh Makanan, Ceramah Agama Harus Memotivasi Kehidupan
Kita perlu sadar bahwa pengajaran ajaran agama itu akan berhasil bila masyarakat yang kita ceramahi tersebut kehidupan materialnya sudah terpenuhi secara baik. Akan menjadi sia-sia saja berbicara tentang Tuhan, agama, kebebasan bila kebutuhan sang pendengar masih tak menentu. Ada slogan yang mengatakan bahwa saat orang lapar, maka yang diperlukan adalah makanan dan bukan sloka atau ayat-ayat suci.

Walaupun Tuhan menjanjikan kebebasan, melindungi pemuja beliau, namun kita perlu belajar dari sejarah masa lalu. Ingatlah kejadian di India saat mereka diserang masa Moghul, dimana masyarakatnya berpasrah pada Tuhan dengan lari ke kuil-kuil, maka mereka dengan mudah ditaklukan. Baru setelah ada tindakan nyata oleh masyarakat India dengan mengadakan perlawanan terhadap bangsa Moghul, mereka mampu mengusir sang penyerang dari tanah India.

Dari pengalaman tersebut kita bisa belajar bahwa belajar agama itu perlu, mencari pembebasan setelah kehidupan ini penting, tetapi tidak kalah pentingnya adalah melaksanakan kewajiban hidup di dunia ini sesuai dengan swadharma kita, misalnya memenuhi kebutuhan hidup sehar-hari kita. Janganlah kita menjadikan generasi muda kita generasi penghayal tentang kebebasan setelah kehidupan ini, mari jadikanlah generasi muda kita generasi yang beretika tinggi, memiliki SDM tinggi dalam ulet, sehingga mereka bisa berhasil secara materi dan rohani dan hindarilah menciptakan generasi peminta-minta dengan alasan ketidakterikatan.

Kita bisa belajar dari para tokoh-tokoh besar sanatana dharma seperti Shri Aurobindo, Paramahamsa Yogananda, Deepak Chopra, Srila Prabhupada dimana para tokoh tersebut melaksanakan ajaran sanatana dharma berdasarkan kemampuan yang mereka miliki dan karena ketekunannya para tokoh tersebut bisa mengajarkan ajaran kerohanian dengan baik ke seluruh dunia. Hal ini bisa dicapai karena para tokoh tersebut tahu dengan baik tentang situasi daerah tempat mengajarkan ajarannya. Ada hal penting yang bisa dipelajari dari kehidupan para tokoh tersebut, yaitu adanya keseimbangan pemenuhan kebutuhan materi dan rohani dalam kehidupan beliau dan para tokoh tersebut tidak tergantung lagi dengan penampilan pakaian luarnya untuk menunjukkann kereligiusan beliau atau bisa dikatakan beliau bisa beradaptasi dengan baik dengan lingkungan sekitarnya.

Sekali lagi untuk para penceramah, pemberi dharma wacana, berilah pencerahan yang seimbang kepada para penganut ajaran sanatana dharma agar mereka bisa hidup sukses secara materi dan rohani. Dan bagi para pendengar ceramah rohani pandai-pandailah memilah isi ceramah yang disampaikan agar kita tidak menjadi penganut ajaran yang membabi buta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar