Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 19 September 2012

Anak-Anak Desa Belajar Yoga dan Bhagavadgita

Pagi hari, Jumat, 29 Juni 2012 terjadi kesibukan melebihi biasanya di Ashram Pondok Lamer yang terletak di Desa Pujungan, Kecamatan Pupuan, Tabanan, Bali. Hari itu adalah pembukaan acara “Bali Havan Camp” yang berlangsung selama tiga hari, yaitu 29 Juni-1 Juli 2012. Sejumlah anak-anak usia sekolah yang tengah menikmati liburan kenaikan kelas nampak hadir di Ashram yang berada di kawasan sejuk, di kaki Gunung Batukaru ini. Hadir dengan pakaian adat, puluhan anak-anak ini berbaur dengan masyarakat umum, dan juga undangan dari berbagai ashram lain dan penggiat ashram di Bali. Di antaranya hadir juga dua sulinggih, yaitu, Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda dari Geriya Manikgeni, Pujungan, Pupuan dan Ida Pandita Mpu Putra Yoga Parama Dhaksa dari Gria Afgung Batursari, Mengwi Badung.

Bheru Baba (Gede Gatot Gatot Binawa Rata), pengasuh Ashram Pondok Lamer yang tampil memberikan sambutan saat acara dibuka jam 10 00 pagi mengatakan, bahwa ashramnya itu ia dirikan sekitar tahun 1995 untuk memfasilitasi masyarakat yang ingin belajar upacara Havan (Upacara api suci) sebagaimana disebutkan dalam Weda. Ia mempersilakan masyarakat yang berminat mengetahui dan belajar upacara api untuk datang langsung ke ashramnya, karena upacara api adalah sangat mulia, dapat membersihkan aura lingkungan serta doa kepada dewa-dewa langsung diterima dengan perantara api (Hyang Agni).

Upacara api yang dilaksanakan di ashram Pondok Lamer maupun International Haidakhandi Bali yang berlokasi di Denpasar merupakan upacara api yang berasal dari Haidakhandi Wiswa mahadam Ashram di Himalaya. Gatot Binawa Rata adalah satu-satunya orang Indonesia yang pernah tinggal lama dan belajar di Ashram itu hingga mendapat gelar Bheru Baba dari Shri Munirad Maharaj.

Usai Bheru Baba memberikan sambutannya, Ketua Dewan Pasraman Sevaka Dharma Nusantara, Acharya Paramananda Muni Daksa (Made Aripta Wibawa) menyampaikan laporannya sebagai Ketua Panitia. Dalam kesempatan itu ia mengatakan, bahwa kegiatan ashram seperti ini akan terus digalakkan untuk semakin menggelorakan semangat kehidupan spiritual. Menurutnya, dalam atmosfer bumi yang sekarang dipenuhi oleh berbagai virus berbahaya maupun energi-energi negatif yang mengganggu keseimbangan pikiran dan kesehatan tubuh manusia, maka hidup ala spiritual adalah solusi. Ia mengajak untuk hidup secara natural dengan pola makan vegetarian, mempraktikkan yoga yang bertujuan mengembangkan pikiran-pikiran positif. Dan tentunya semua itu akan semakin bagus kalau bisa dimulai sejak masih usia anak-anak, sehingga terbentuk kebiasaan hidup yang sehat dan satwik.

Pada giliran berikutnya, Drs Ketut Wiana, M Ag, tampil memberikan pembekalan umum kepada para peserta. Pengurus Parisada Pusat ini mengatakan, bahwa PHDI akan terus mengayomi dan mendorong kegiatan-kegiatan spiritual semacam ini, sehingga nilai-nilai Hinduisme yang universal, pluralistik dengan berbagai ragam bentuknya semakin dikenal masyarakat. Menurutnya, umat Hindu Bali perlu untuk dekat dan mengenal bentuk-bentuk beragama Hindu yang berbeda dengan tradisi Bali dengan maksud untuk melihat kelebihan-kelebihan dari sistem dari ashram-ashram maupun kelompok spiritual dimaksud, kemudian digunakan untuk memperkuat dan menyempurnakan desa pakraman ataupun praktik beragama masing-masing. “Jangan takut bergaul dengan kelompok yang berbeda dengan tradisi, datangi kemudian lihat apa kelebihannya, bukan melihat untuk menggantikan apa yang terlah kita miliki, namun jadikan kelebihan yang dimiliki pihak lain untuk menginspirasi kita di dalam memperbaiki maupun menyempurnakan tata cara beragama kita sebelumnya,” sebut Wiana.

Mengapa interaksi positif itu perlu dibangun, maka untuk menjawab ini Wiana mengingatkan makna Tri Kahyangan di setiap desa pakraman, yaitu, Pura Puseh, Pura Desa dan Pura Dalem, sebagai gambaran dari Tri Kona: utpathi, sthiti, pralina. Dengan demikian, kahyangan tiga tidaklah berfungsi untuk tempat pemujaan Brahma, Wisnu dan Shiwa, tetapi fungsi yang lebih konstruktif-rasional perlu diwujudkan sebagai terjemahan dari konsep kahyangan tiga itu. Yang dimaksudkan adalah kemampuan dari umat Hindu Bali di dalam menentukan momen yang tepat di dalam rangka menciptakan (utpathi) nilai-nilai baru, mengerti saat mana perlu mempertahankan nilai-nilai tradisi (sthiti) dan mengerti waktu yang tepat untuk mereformasi kembali (pralina) nilai-nilai tersebut. Wiana menegaskan, jika saja umat Hindu Bali mempraktikkan dengan konsekuen dan holistik konsep kahyangan tiga itu, maka umat Hindu di Bali tak akan pernah berbenturan dengan zaman, sebab agama Hindu adalah sanatana dharma (dharma yang kekal). Dengan demikian, jika suatu tradisi kemudian muncul sebagai beban hidup, menimbulkan ketegangan, maka tentulah ada yang tidak jalan di dalam penerapan konsep Tri Kona dimaksud.

Cerita Hindu

Setelah acara pembukaan yang di antaranya dihiasi dengan tarian Bali, para peserta kemudian berkesempatan mendengarkan China Kata (Cerita Hindu) yang dibawakan oleh Acharya Paramananda Muni Daksa. China kata merupakan cerita yang bernafaskan Upanishad yang dikemas dalam bentuk dongeng. Tiga buah cerita disampaikan dengan cara memikat oleh Acharya Paramananda, yang membuat anak-anak gembira.

Setelah mendengarkan cerita-cerita Hindu, selanjutnya Mukesh Kumar dari India Culture Centre (ICC) yang baru saja tiba di Ashram yang berada di tengah-tengah kebun kopi yang sedang berbuah itu, memberikan beberapa teknik yoga kepada peserta. Mukesh mengajarkan teknik pranayama dan beberapa fostur yoga untuk memperbaiki kemampuan mengingat, karena memang para peserta dominan anak-anak sekolah (SMP). Dengan dilengkapi pengucapan Guru mantra, nampak anak-anak cukup antusias mengikuti gerakan berbagai fostur yoga yang diperkenalkan. ICC yang juga hadir mengajak seorang penari kemudian mendemontrasikan tarian India yang tentunya memukau semua hadirin.

Acara “Bali Havan Camp” ini cukup padat. Pada hari pertama saja peserta dapat menikmati banyak jenis sajian pelajaran. Usai makan siang, Prof. Dr. Made Sutama mengajak anak-anak untuk berkenalan dengan Bhagavadgita, membaca dan memahami artinya. Sejumlah kitab Bhagavadgita dibagikan kepada anak-anak untuk memudahkan pengenalan salah satu kitab suci agama Hindu tersebut.

Bali havan Camp yang berlangsung selama tiga hari ini didukung oleh ashram-ashram lain yang turut memperkenalkan tradisi ashramnya. Seperti Seruling Dewata, Art of Living, kelompok Sai, dan lain-lain. Setiap pagi diisi kegiatan yoga Suryanamaskar dan Bastrika dari Art of Living, sedangkan upacara Havan dilaksanakan petang hari pukul 19 00 wita.
(Laporan Putrawan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar