Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 14 Februari 2012

Teropong Zaman Dari Pura Dalem Solo di Desa Sedang

Ronny Purna Bagus Haryono

“Dulu pura ini bernama Pura Kauh, karena letaknya yang berada di sebelah barat perkampungan warga,” ungkap Jero Mangku Pura Dalem Solo, I Gusti Ngurah Lanang Putra. Dirinya mengungkapkan, perubahan nama sebuah pura yang terletak di Desa Sedang, Kecamatan Badung Utara ini terjadi sampai dua kali sebelum nama yang kini digunakan. “Setelah bernama Pura Kauh, kemudian berubah menjadi Pura Dalem Majapahit dan akhirnya kini lebih dikenal dengan Pura Dalem Solo,” terang Jero Mangku.
Perubahan nama menjadi Pura Dalem Solo, tutur Jero Mangku, terjadi sewaktu ada bencana gempa bumi yang saat itu hanya terjadi di dalam areal pura. Dan kebetulan, pada waktu gempa terjadi, di pura tersebut sedang ada piodalan dan salah seorang yang tangkil mengalami kerauhan (kesurupan) serta mengatakan Ratu Dalem Solo rauh (datang). “Sejak itulah nama pura berganti menjadi Pura Dalem Solo,” ucap Jero Mangku.
Menurut Jero Mangku, ada beberapa kejadian tentang pura ini yang berkaitan dengan sejarah negeri Indonesia. Kejadian tersebut berupa perubahan peta politik yang terjadi di tanah air pada tahun 1964 dan 1971.

Jero Mangku lantas bercerita, di tahun 1964, ada seseorang umat yang tangkil dan mengalami kesurupan. Dalam alam bawah sadarnya, orang itu mengatakan, agar seluruh warga yang ada di desa tersebut untuk segera meninggalkan partai berwarna merah. Namun, warga desa pada saat itu tidak mempercayai apa yang telah dikatakan orang yang kesurupan tersebut. Tak lama kemudian, terjadilah Pemberontakan G 30 S yang dilakukan orang-orang PKI. “Pada saat itu, partai yang berwarna merah adalah PKI. Orang-orang yang menjadi pengikut partai tersebut kemudian mati diadili,” ungkap Jero Mangku.

Hal ini berulang di tahun 1971. Saat itu, seseorang kembali mengalami kesurupan di Pura Dalem Solo. Orang tersebut berkata, akan ada seorang Raja Kuning yang akan berkuasa sangat lama dan warga desa dianjurkan untuk mengikuti raja tersebut. “Saat itu, warga desa tidak mengetahui maksud orang kesurupan tersebut. Setelah Soeharto dengan Partai Golkarnya berkuasa, barulah mereka menyadarinya,” ungkap Jero Mangku.

“Dulu sewaktu saya bersembahyang di pura ini, ada seseorang yang datang kemudian kesurupan serta mengatakan bahwa akan ada seorang raja wanita yang berkuasa dalam waktu yang tidak begitu lama. Dan itu ternyata pernah terjadi di tampuk pimpinan negeri ini,” ujar Jero Mangku.
Pura Dalem Solo kata Jero Mangku, berdiri sebelum pura desa setempat. Pura ini diyakini sebagai peninggalan Ratu Dalem Solo sebagai penyelamat Pulau Bali yang dimana waktu kedatangannya, pulau ini sedang terjadi wabah.

Orang-orang yang bersembahyang di Pura Dalem Solo terang Jero Mangku, banyak yang meminta keselamatan atau kesembuhan atas penyakit yang sedang dideritanya. Bahkan, selain Sesuhunan Keraton Yogyakarta, banyak orang-orang yang duduk di pemerintahan sering mengunjungi pura ini.

“Banyak di antara mereka yang datang merupakan orang yang berkuasa di bidang pekerjaannya kemudian memohon agar tampuk kekuasaannya langgeng. Selain itu, jika ada orang yang menginginkan sebuah jabatan, mereka akan melakukan persembahyangan di pura ini agar harapannya terwujud,” ujar Jero Mangku.

Ada satu keunikan yang dimiliki Pura Dalem Solo. “Jika ada salah satu warga desa yang melakukan upacara potong gigi, tidak perlu memanggil seorang balian (dukun). Cukup nunas tirta di Pura Dalem Solo, dijamin upacara tersebut lancar,” ungkap Jero Mangku.


Cagar Budaya

Pura Dalem Solo yang terletak di Desa Sedang, Badung Utara ini memiliki tiga benda yang telah ditetapkan sebagai benda cagar budaya. Ke-3 benda tersebut yakni sebuah arca kecil setinggi 35 centimeter yang terbuat dari batu padas dengan sikap duduk yang disebut Virasana, sebuah arca pancuran yang menggambarkan seekor kepala naga dan sebuah Prasada yang dimana ornamen-ornamennya berbentuk relief serupa dengan bangunan abad 14.

“Penetapan ini berdasarkan Lontar Tattwa Catur Bhumi yang dimiliki pura ini,” ujar Jero Mangku yang juga menyebut tanggal 7 Januari 2004 sebagai penetapan resmi dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali sebagai benda cagar budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar