Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 14 Februari 2012

Padma Bhuvana Nusantara: Misi, Obsesi, atau Mimpi?

Mahasabha PHDI X yang lalu menetapkan Padma Bhuvana Nusantara, namun tak pernah dibicarakan khusus dalam sidang Sabha Pandita. Keputusan diambil di sidang parfipurna yang hanya dihadiri sedikit Pandita. Apakah di Pura Luhur Uluwatu akan disthanakan Dewa Brahma sesuai konsep Padma Buvana Nusantara dan di Kuil Shree Mariyaman akan disthanakan Dewa Sangkara? Nah, kerancuan apakah yang ditimbulkan Padma Bhuvana Nusantara ini?

Ketetapan Mahasabha Parisada Nomor: VIII/TAP/MAHASABHA X/2011, Tentang Padma Bhuvana Nusantara, menyebutkan berbagai pura yang tersebar di pelosok Nusantara kini difungsikan sebagai Pura Padma Bhuvana Nusantara. Sebelumnya pura-pura di luar Bali difungsikan secara umum oleh umat Hindu, yang mana pada awalnya didasari atas pertimbangan umat Hindu di berbagai daerah yang butuh tempat ibadah. Karena itu, pada masanya di awal-awal kiprah Parisada Hindu, umat didorong membangun pura di luar Bali yang bersifat umum, yaitu membangun satu pelinggih Padmasana saja dalam komplek pura. Dan ini pura-pura tersebut pun dulunya bisa terwujud berkat jasa para prajurit TNI yang beragama Hindu yang bertugas di berbagai daerah dan kota. Lantas, jika pura di luar Bali yang selama ini telah berfungsi dengan baik sebagai pura umum, kini diberi makna baru sebagai unit-unit bagian Pura Padma Bhuvana, bukankah ini bermakna hanya menstanakan ista dewata tertentu saja di pura tersebut.

Sebutlah misalnya, dalam konsep Pura Padma Bhuvana di Bali, di mana Pura Luhur Uluwatu menempati arat barat daya (Lihat buku “Hasil-Hasil Pesamuhan Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia Tahun 2010” halaman 109), di mana sesuai konsep pengider bhuvana dewata nawa sanga, di pura itu bersthana Dewa Rudra. Nah, kontradiksi akan muncul, sebab dengan ditetapkannya Pura Luhur Uluwatu menempati arah selatan di dalam konsep Padma Bhuvana Nusantara, maka bukankah ini menimbulkan kerancuan ista dewata mana yang kemudian disthanakan di pura tersebut? Dewa Brahma atau Rudra atau dua-duanya sekaligus, sehingga antara Dewa Pencipta dengan Dewa Pelebur bisa bersanding?
Ini baru satu pertanyaan yang muncul yang perlu penanganan lebih jelas. Sebab, menurut Ida Pedanda Gede Pemaron Mandhara, yang dimaksud Padma Bhuvana di Bali adalah kahyangan jagat yang rujukan sastranya sudah jelas bersumber dari lontar Padma Buana. Pedanda di Geriya Kusumayati, Desa Yangbatu, Denpasar itu pun ikut bertanya-tanya, dari mana pijakan sastra Pura Padma Bhuvana Nusantara ini.

Menurut beliau, andai pun kemudian dicarikan alasan berdasarkan perdebatan tattwa, bahwa Ida Hyang Widhi itu tunggal adanya, sehingga ista dewata apa pun bisa disthanakan dan dipuja pada suatu pura, lantas jika demikian, apa kemudian urgensinya membangun banyak pura. “Bukankah cukup sebuah pura, sehingga tidak perlu konsep Padma Bhuvana,” urainya. Hal ini beliau tegaskan untuk mempertegas maksud penetapan Padma Bhuvana Nusantara itu, supaya tidak menimbulkan kebingungan di kalangan umat, lebih-lebih dirinya mengaku tidak tahu apa dasar sastranya Padma Bhuvana Nusantara itu.
Pertanyaan Ida Pedanda Gede Pemaron Mandhara menjadi menggelitik kita. Jika landasan penetepan Padma Bhuvana Nusantara itu adalah lontar Padma Bhuvana, maka coba lihat dalam ketetapan Padma Bhuvana Nusantara disebutkan Kuil Agung Shree Mariyaman ditempatkan pada posisi barat laut, di mana dalam konsep Padma Bhuvana di Bali, barat laut bersthana Dewa Sangkara. Dengan ditetapkannya Kuil Shree Mariyaman sebagai pura berkedudukan di barat laut dalam Padma Bhuvana Nusantara, apakah ini berarti umat Hindu di Medan akan mengganti ista dewata-nya yang dipuja di kuil tersebut untuk kemudian memuja Dewa Sangkara di kuil itu? Tapi kalau ista dewata-nya tetap sebagaimana yang dulu, lalu apa maknanya membuat Padma Bhuvana Nusantara. Atau apakah ini alasannya cuma obsesi politik keagamaan untuk menunjukkan eksistensi diri agama Hindu di Nusantara yang telah menyebar di mana-mana. Semacam misi untuk memperkuat eksistensi umat Hindu di berbagai daerah? Andaipun ada alasan “tersembunyi” (dugaan Raditya saja) seperti itu di balik penetapan tersebut, apakah sudah tepat hal itu direalisasikan dalam konsep keagamaan Padma Bhuvana yang sebenarnya konsep itu lebih ditujukan pada titik pandang spiritual.

Satu pertanyaan lagi, jika seandainya di pura tertentu hanya terdiri sebuah Padmasana, kemudian pura tersebut ditetapkan sebagai menempati arah utara, yaitu Pura Agung Giri Jagat Natha, yang berarti sthana Dewa Wisnu. Nah, relevankah Padmasana sebagai linggih Dewa Wisnu.


Di Mana Pusat Hindu Nusantara

Ida Pedanda Gede Pemaron dalam kesempatan wawancara hari Sabtu, 13 Januari 2011, menyinggung hal lain juga. Ia mengaku merenung sendiri, bahwa siapakah yang memberi mandat Parisada untuk menetapkan keputusan-keputusan seperti itu. Menurutnya, agama Hindu di Bali dilaksanakan oleh desa pakraman, sehingga mungkin lebih tepat jika yang membentuk Parisada itu adalah desa pakraman. Dengan demikian, Parisada mengakar ke bawah dan Parisada lebih mencitrakan dirinya sebagai refresentasi wakil umat.

Selain itu, beliau juga menilai, Parisada bukanlah organisasi keagamaan, tetapi lebih tepat adalah majelis keagamaan, seperti MUI. Sebagai majelis keagamaan, Parisada semestinya terdiri dari para pandita. Berbeda halnya dengan organisasi keagamaan seperti Peradah, Pemuda Hindu dan sejenisnya yang memang diatur berdasarkan aturan organisasi yang memiliki keanggotaan dan bergerak di ranah sosial kemasyarakatan. Sedangkan mejelis keagamaan adalah yang menentukan kebijakan atau pandangan atau tafsir keagamaan, sehingga sesuai Manawa Dharmasastra, Parisada terdiri dari para pandita.
Penetapan Padma Bhuvana Nusantara menurut Ida Pedanda Pemaron juga akan membawa implikasi lain. Jika pura-pura di luar Bali kedudukannya dianggap sederajat dengan pura di Bali, apakah hal ini tidak akan menjadikan identitas Bali sebagai pusat Hindu Nusantara memudar. “Orang Katolik secara konsisten menganggap Vatikan sebagai pusat agamanya, meskipun negara kecil itu penduduknya sedikit. Jumlah pemeluk agama bukanlah ukuran suatu tempat jadi pusat agama tertentu, tetapi konsistensilah yang menentukan,” urainya, sambil menjelaskan kalau dari dulu Bali konsisten tetap dengan kehinduannya, sehingga pantas disebut pusat Hindu Nusantara.

Bali tidak pernah berubah, sedangkan daerah lain sebagaimana perjalanan sejarah telah beralih ke agama lain. Pentingnya menentukan pusat keagamaan suatu kawasan adalah berhubungan dengan kiblat umat di tempat itu. Kalau Bali memang diakui sebagai pusat kiblat Hindu Nusantara, maka logikanya Bali-lah dijadikan acuan di dalam menjalankan kehidupan beragama Hindu di Nusantara. Tetapi jika kiblatnya bukan ke Bali, lantas di mana?

Pegang Konsepsi

Masih menurut Ida Pedanda Pemaron, bahwa di dalam beragama mutlak untuk berpatokan pada konsepsi yang jelas. Konsepsi harus tetap demikian, karena bersumber dari sabda Tuhan. Konsepsi atau sastra agama ini di Bali dikenal dengan istilah sastra drsta. Sastra drsta tidak boleh diubah, yang boleh diubah adalah tradisi, karena menurutnya tradisi bersumber dari pemikiran manusia di dalam menghadapi tantangan hidup dan mengekspresikan rasa. Namun, dalam praktik di masyarakat sering muncul, kuna drsta, loka drsta atau desa drsta lebih diutamakan dari sastra drsta. Padahal kuna drsta itu, adalah tradisi menurut jaman kuna (lampau), jadi tentu kita harus paham bagaimana situasi saat itu sehingga tradisi itu dibuat. “Jika sekarang situasinya berubah, tentu kita harus pintar-pintar beradaptasi dengan tradisi baru, asalkan konsepsi keagamaannya jangan diubah,” tegasnya. Lantas, drsta apa yang dipakai pijakan di dalam menentukan Padma Bhuvana Nusantara? Pedanda berusia 80 tahun ini hanya tersenyum sambil berujar, “Aduh, tityang nenten uning indik nika,” jawabnya rendah hati, sambil menimpalinya dengan pesan, bahwa sebagai wiku beliau tidak ingin berpolemik.

putrawan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar