Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 14 Februari 2012

Akibat Gengsi, Banyak Pekerjaan Diambil Pendatang

Ronny Purna Bagus Haryono

Sebagai daerah dengan gegap gempita dunia pariwisatanya yang saat ini masih menjadi leading sector, karakteristik orang Bali di tengah peradaban yang kian sekuler, agaknya lebih suka mengikuti trend mengejar cita-cita menjadi pekerja-pekerja yang dianggap lebih bergengsi dan bergaji tinggi, seperti bekerja di kapal pesiar, sehingga dapat sekalian plesiran ke luar negeri. Padahal, lapangan pekerjaan di berbagai sektor begitu melimpah ruah. Namun sekali lagi, tak dapat dipungkiri, salah satu tipikal orang Bali adalah gengsi gede-gedean.
Misalnya, jika pekerjaan yang diinginkan gagal didapatkan, sebagian besar di antaranya memilih untuk lebih menjadi seorang pengangguran daripada mengambil pekerjaan yang dianggap menjatuhkan gengsi seperti menjadi buruh bangunan, tukang gali, pemulung, pedagang keliling dan lainnya.

Sikap memilih-milih dari orang Bali itulah yang menjadi pintu masuk yang lebar bagi kaum pendatang. Hanya dengan modal nekat, mengesampingkan rasa malu dan terkadang menyerempet hukum sedikit, kaum pendatang bisa eksis di Bali dan seakan tanpa ada saingan berarti dari penduduk lokal.

Sementara itu, tengok orang Bali, lantaran tidak mendapat pekerjaan bergengsi walaupun dengan berbekal ijazah memadai, mereka lebih suka “membuat” pekerjaan yang relatif lebih menyenangkan semisal bekerja atau bergabung di bidang pekerjaan yang maksiat, entah itu kafe yang tidak dapat dipungkiri kini keberadaannya semakin marak, terjun ke dunia judi ( togel atau tajen) yang ternyata keberadaannya semakin mendapat “tempat yang layak”.

Atau, karena merasa gagal mendapatkan pekerjaan bergengsi, mereka berkumpul dan menghimpun diri dengan organisasi kemasyarakatan yang ruang geraknya cenderung lebih mengandalkan otot daripada otak. Dengan bergabung di organisasi yang mengandalkan kekuatan, mereka mulai mencari lahan-lahan potensial untuk mendapatkan keuntungan. Kondisi tersebut terasa pas karena dengan glamour-nya Bali sebagai daerah industri pariwisata, yang namanya fulus begitu banyak tersedia meski dengan resiko siap konfrontasi dengan organisasi massa lainnya.

Belum lagi mereka membentuk “seminar” (sekeha minum arak) dengan tampilan bergaya premanisme yang tak jarang unjuk gigi dengan mengerahkan kekuatan untuk bisa eksis di percaturan merebut lahan pencaharian. Lebih – lebih lagi, jika mereka dibalut dalam kemasan politik, maka orang Bali sangat mudah diajak megonggang lalu mecongkrah. Sepertinya inilah model “pekerjaan” yang kini banyak dilakoni orang Bali.

Banyak sekali terlihat di tengah masyarakat Bali, meski berjuluk pengangguran, namun kenyataannya bisa hidup berkecukupan. Apa yang terjadi di atas bukanlah sekedar fenomena tetapi sebuah kenyataan yang sungguh-sungguh ada dan nyata di tengah kehidupan kita. Akibatnya, orang Bali semakin lengah dan kadangkala menjadi lengeh juga karena kurangnya obsesi membangun Bali yang ajeg.
Bagi kita, masyarakat Bali, jelas sekali tidak pantas menyalahkan para pendatang. Kedatangan mereka yang bagaikan air bah ini diakibatkan orang Bali sendiri yang terjangkit penyakit gengsi gede-gedean. Jika tidak segera sembuh dari penyakitnya, orang Bali akan semakin tersudut di tengah persaingan global ini.




4 komentar:

  1. SEBENARNYA KL MENURUT AQ, BUKAN HANYA KRN GENGSI, TP KRN MEREKA HRS MEBANJARAN DI KAMPUNG / TEMPAT TINGGAL MEREKA. APALAGI JIKA SDH BERKELUARGA, ADAT UTK ME-BANJARAN ALIAS NGAYAH WAJIB UTK DI LAKONI. MAKANYA KDG MEREKA MENCARI PEKERJAAN YG TIDAK TERLALU TERIKAT DG WAKTU.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masa begitu gek ? masa tidak ada unsur gengsi ? Kalau memang orang bali mencari pekerjaan yang tidak terlalu terikat waktu, kenapa mereka tidak bekerja sebagai pemulung atau pedagang keliling yang justru sangat bebas waktunya ? Saya bekerja sebagai pedagang keliling, juga sebagai makelar tanah. Saya bekerja tidak terikat waktu, saya hanya terikat target bulanan.

      Hapus
  2. Miras, judi, prostitusi, dan premanisme kini sdh membuat 'mabuk' orang Bali. Prihatin memang. Tapi apa daya. Skrg yg sadar pun pilih 'menyelamatkan' diri masing-masing. Kita tunggu saja apa yg akan terjadi dalam beberapa tahun ke depan. Kayaknya orang Bali baru akan sadar dgn jati dirinya saat menjadi minoritas di daerahnya sendiri. Tapi, mudah2an tdk. Semoga para pemimpin (pemerintah, agama dan adat) segera sadar dan cari jalan keluarnya. Jangan malah tersandera oleh kepentingan investor, preman, dan parpol.

    BalasHapus
  3. om swastiastu, Maaf saya yang termasuk melawan arus, saya lulusan stp bali, s1 stimi tapi sekarang ngurus tegalan karena kasian dan meliat peluang besar di agribisnis, saya bukan pekerja saya thinker di tegalan jadi intinya saya manajer petani, banyak peluang kerja di bali, salah satunya beli franchise agar lebih murah dan langsung punya nama, bila ingin punya bisnis franchise hubungi saya 03617811131 franchise ticketing, om santi santi santi om

    BalasHapus