Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 18 Januari 2012

Lebih Baik Gedung Tinggi daripada Skidrow

I Wayan Miasa

Pulau Bali yang luasnya kira-kira cuma 0, 29 persen dari luas Indonesia merupakan pulau kecil yang sangat unik. Bali menarik setiap orang untuk datang ke pulau ini dengan berbagai tujuannya. Akibat perkembangan ekonomi dan pertambahan penduduk itu, tentu berimbas pada alam Bali, juga kompetisi dalam lapangan kerja serta meningkatnya kebutuhan akan perumahan dan akomodasi lainnya.

Khusus dalam hal kebutuhan akan pembangunan yang memerlukan tanah, entah itu untuk pembangunan gedung, perumahan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya, maka kita perlu berpikir secara komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai segi, agar pembangunan tersebut benar-benar selaras dengan desa, kala, patra masyarakat Bali, agar Pulau Bali tidak hancur lantaran tidak tertatanya pembangunan itu sendiri.

Sehubungan dengan adanya silang pendapat tentang tinggi bangunan di Bali, maka perlu kita rasanya mempertimbangkan daya dukung Pulau Bali ini, perlu rasanya ada pengertian dari semua pihak yang peduli akan Bali. Sebagai pulau kecil dengan mayoritas penduduknya beragama Hindu di mana konsep tentang “Rwa Bhinneda, suci leteh” dan konsep-konsep lainnya begitu mempengaruhi kehidupan warga Hindu Bali maka dalam pembangunan perumahan, gedung dan yang lainnya hendaknya disesuaikan dengan kondisi Bali itu sendiri.

Pembangunan gedung, perumahan di Bali itu perlu mencontoh pembangunan di negara-negara yang maju misalnya, negara Jerman. Di sana di beberapa wilayah negara tersebut gedung-gedung pencakar langit dibangun di wilayah tertentu dengan pertimbangan dan persyaratan yang harus dipenuhi dalam membangun gedung-gedung tersebut, misalnya bentuk atap rumah serta warna atap bangunan tersebut ditentukan oleh pemerintah sehingga bangunan di daerah tersebut bisa menjadi ciri khas wilayah tersebut. Dari bentuk serta warnanya bangunan suatu gedung atau rumah, orang sudah tahu dari daerah mana bangunan tersebut. Jarak bangunan yang satu dengan bangunan yang lain juga ditentukan jaraknya. Hal-hal yang berhubungan dengan pembangunan diatur secara rinci dan mendetail dan banyak persyaratan yang harus dipenuhi dalam membangun rumah atau gedung di negara tersebut. Pembangunan di sana benar-benar mempertimbangkan aspek keharmonisan antara manusia dan alam sekitarnya, aspek keselamatan, juga dipertimbangkan hal-hal yang bisa terjadi pada bangunan tersebut bila terjadi kebakaran apakah mudah dijangkau atau tidak, dan lain-lainnya. Bila saja pola pembangunan seperti bisa diterapkan di Bali maka pembangunan yang boros lahan dan pembangunan yang tak ramah lingkungan bisa dihindari.

Selama ini pembangunan di Bali kebanyakan berpacu dengan mode atau style. Banyak bangunan di Bali entah itu perumahan atau perkantoran yang tidak mencirikan Bali.

Pembangunan di Bali terkesan semaunya tanpa peduli akan keseimbangan dengan alam sekitarnya. Pertimbangan akan kondisi dan fungsi tanah tersebut sering diabaikan, misalnya di daerah dataran rendah yang menjadi tempat bermuaranya air di sana seharusnya terbebas dari bangunan karena sudah pasti daerah tersebut akan menjadi sasaran limpahan air saat hujan. Begitu juga sebaliknya daerah-daerah yang tandus atau kurang produktif seharusnya dioptimalkan pemanfaatannya sehingga daerah itu bisa bermanfaat dengan baik namun sayang hal ini sering terlupakan. Kita sering tidak bertoleransi dengan alam, misalnya tanah-tanah yang posisinya rendah kita timbun agar posisinya lebih tinggi sehingga hal tersebut berimbas pada tatanan keseimbangan di lingkungan sekitarnya.

Melihat kenyataan yang sudah terjadi di Bali khususnya di Bali bagian selatan seperti Badung, Denpasar, Gianyar di mana lahan-lahan pertanian, lembah, jurang, tebing telah banyak dialihfungsikan untuk berbagai keperluan, maka bila hal ini terus berlangsung tentu suatu saat pulau ini akan hancur. Terlebih lagi Bali sebagai tujuan wisata yang mengandalkan daya tarik alamnya. Sebelum kerusakan lebih parah terjadi, maka kita bersama-sama perlu memikirkan solusi terbaik untuk Bali terutama dalam pembangunan di pulau ini.

Untuk mengurangi alih fungsi lahan yang berlebihan perlu rasanya dibuatkan suatu zone-zone tertentu untuk perumahan, perkantoran atau kebutuhan yang lainnya. Di wilayah-wilayah yang dijadikan perumahan, perkantoran dan lain sebagainya di sana bangunan boleh tinggi namun tetap memperhatikan aspek keharmonisan dengan alam Bali, misalnya bangunan-bangunan di wilayah tersebut harus berisikan ornament style Bali. Begitu juga di muka rumah disediakan ruang untuk tanaman, sehingga bangunan itu terkesan tak terpisah dari alam. Tambahan pula seharusnya bangunan rumah-rumah itu diberi jarak antara bangunan keluarga yang satu dengan yang lainnya, seperti yang terjadi sekarang ini di daerah pemukiman baru. Setiap pemilik tanah sering lupa memikirkan ruang terbuka di sekitar bangunan rumahnya. Setiap jengkal tanah diisi bangunan sehingga bangunan tersebut berdesak-desakan dengan yang lainnya. Bangunan seperti tentu memiliki banyak resiko misalnya bila terjadi kebakaran api akan cepat merambat ke bangunan lain, saat hujan air akan sulit mengalir dan sudah pasti mereka mengalirkan air tersebut ke jalan dengan resiko air meluap di jalanan.

Ancaman Skidrow

Akan percuma saja kalau kita berdebat mengenai batas ketinggian bangunan bila pembangunan gedung, perumahan atau yang lainnya tidak diharmoniskan dengan keadaan alam Bali. Suatu contoh saja di suatu wilayah di Denpasar dengan penduduknya begitu heterogen (bercampur) dengan tingkat hunian yang padat. Bila bangunan di wilayah tersebut tidak diatur maka akan terjadi “skidrow” atau daerah-daerah kumuh di mana-mana. Dan hal ini akan lebih buruk kelihatan daripada bangunan gedung-gedung tinggi.


Sebelum terlambat kita perlu membangun gedung-gedung bertingkat dengan ketinggian tertentu agar alih fungsi lahan produktif bisa dikurangi. Bangunan-bangunan tinggi itu bisa disewakan atau dikontrakkan kepada para pendatang dari luar Bali, sehingga kontribusi para pendatang tersebut bisa kita rasakan dan bila perlu kita harus kelola dengan manajemen yang profesional dengan melibatkan masyarakat di daerah tersebut. Begitu juga setiap warga pendatang dari luar Bali yang mau membangun di Bali diharuskan mengikuti tatanan wilayah setempat, dengan demikian mau tidak mau masyarakat luar Bali harus mengikuti gaya bangunan dengan Bali style, kalau tidak maka bentuk bangunan tersebut akan seenaknya.

Akan sangat lucu bila kita masyarakat kita diwajibkan mempertahankan keasrian bangunan mereka dengan sytle Bali-nya, sedangkan para pendatang boleh membangun rumah, pertokoan seenaknya dengan mengabaikan ciri khas bangunan style Bali. Ingatlah Pulau Bali ini sangat kecil luasnya dan sangat percuma saja kita ribut-ribut mengenai batas ketinggian bangunan di Bali. Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana membangun di pulau ini secara efisien dan bagaimana memberdayakan alam kita secara maksimal dan mampu mensejahterakan masyarakatnya.

Masyarakat Bali seharusnya tidak mempersoalkan mengenai ketinggian suatu bangunan tetapi hal yang mendesak untuk diselesaikan adalah bagaimana caranya agar masyarakat kita tidak menjadi obyek di daerahnya. Misalkan saja di desa-desa di daerah Denpasar yang memiliki “Pelaba pura”, manfaatkan “laba” tersebut untuk perumahan dan sewakan kepada para pendatang dan bukan menjualnya. Dengan mengoptimalkan pemanfaatan “tanah duwe” ini maka laju pembangunan perumahan bisa direm karena semua masih dalam kendali warga sendiri. Hal ini akan berbeda bila tanah itu sudah berpindah kepemilikan. Apalagi sang pemiliknya orang luar Bali yang cuma mau mengeruk keuntungan di Bali, maka jangan harap mereka akan peduli akan kelestarian Bali karena mereka lebih mementingkan keuntungan ekonomi dengan semboyan “berkorban sedikit-dikitnya dan mendapat untung yang sebesar-besarnya”, “Bali hancur kita kabur”.

Bangunan Tinggi atau Bangunan Sempit, Sumpek, Semrawut?

Janganlah kita berpikir kalau bangunan tinggi itu bisa merusak Bali, bisa menghancurkan pulau ini dan sebagainya. Marilah kita berpikir bagaimana caranya mengerem pembangunan yang mencaplok tanah yang berlebihan. Marilah kita buat zone-zone pembangunan gedung, pemukinan sesuai kondisi keadaan sekitar kita. Kalau di sekitarnya ada Pura Kahyangan Jagat, ya janganlah membuat bangunan yang melebihi ketinggian pura tersebut bukan karena “leteh” karena Tuhan itu tak tercemar tetapi atas pertimbangan etika saja. Bangunan-bangunan tinggi berupa apartemen bila dibangun di wilayah tertentu dengan hiasan style Bali akan kelihatan menarik. Hal ini akan berbeda bila bangunan tersebut terletak di wilayah “skidrow” walau tidak tinggi tapi kurang sedap dipandang mata. Cobalah lihat sekali-sekali di wilayah yang penduduknya begitu padat seperti Denpasar. Disana ada banyak bangunan yang melebihi S3, mungkin saja S4 (sempit, semrawut, sesak, sumpek) atau lebih.

Nah kalau begitu, apa salahnya kalau kita membangun bangunan tinggi yang lebih tertata tanpa melupakan tatanan keharmonisan dengan lingkungan sekitar kita. Begitu juga mengenai kehigienisannya bisa ditata, kebersihannya bisa kontrol. Janganlah kita selalu berdalih dengan alasan kesucianlah, tidak Bali-lah dan seterusnya. Mengenai kesucian itu tergantung dari nilai rasa kita dan ingatlah mengenai sifat Tuhan bahwa Beliau tidak tercemar, tak terkeringkan, tak terbasahkan dan lain sebagainya. Sekarang kita perlu mempertimbangkan apakah membiarkan tanah di Bali terus dialihfungsikan karena kebutuhan perkembangan jaman atau mengerem alihfungsi lahan dengan mengijinkan pendirian bangunan tinggi di suatu wilayah, yang sudah tentu mempertimbangkan aspek estetika, etika, sosial, budaya dan lain-lainnya.

1 komentar: