Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 01 November 2011

Pura Penataran Agung Dalem Jawa Pertautan Aktifitas Hindu dan Islam

Laporan Roni Purna Bagus Haryono

Orang Bali, tidak perlu diajarkan toleransi beragama. Sejak dahulu, kerukunan antarumat sudah terjalin sedemikian apik. Hal ini bisa terlihat di sebuah pura yang terletak di Banjar Dadia Puri, Desa Bunutin, Bangli. Hindu- Muslim satu wadah dalam memuja leluhur di sebuah bangunan yang berdiri artistik di dalam Pura Penataran Agung Dalem Jawa.
Sebuah pertanyaan sering terlontar dari guru-guru saban hari dalam pelajaran agama. Pertanyaan multiple choice yang sering menanyakan, di manakah bersembahyang umat. Pilihan jawaban yang ada pastilah, masjid, pura, gereja, wihara. Namun ketika Anda menyambangi Banjar Dadia Puri, Desa Bunutin, Bangli, pertanyaan itu bisa saja menjadi nyaplir alias keliru. Mengapa? Di daerah tersebut terdapat sebuah pura yang kerap didatangi umat Islam. Tak hanya didatangi, umat yang notabene seharusnya melakukan persembahyangan di masjid, di situ melakukan shalat dan mengambil wudhu di sebuah pancuran yang semuanya berada di dalam areal pura.

Terletak kira-kira 20 kilometer dari Kota Denpasar, Pura Penataran Agung Dalem Jawa ini menebarkan aroma kesejukan yang dikelilingi kolam. Pekik burung menyambut berlomba dengan senyuman anak-anak kecil yang terlihat memainkan air kolam.
Sepintas terlihat dari depan, Pura Penataran Agung Dalem Jawa normal-normal saja seperti pura-pura lainnya di Bali. Candi bentar dan ukiran-ukiran yang sangat rumit, tidak menampakkan sedikit pun aroma Islami.

Namun, melangkahkan kaki memasuki utamaning mandala, tampak sebuah bangunan bersegi empat berukuran 6 meter x 6 meter. Bangunan ini agak unik, bentuknya agak berbeda dari bangunan umumnya di sebuah pura. Mirip sebuah bale. Mirip juga sebuah meru, namun bangunan yang penuh ukiran di setiap sudutnya ini memiliki pintu di setiap sisinya, mencirikan tempat bersembahyang umat Islam. Sementara bangunan meru umumnya hanya memiliki satu pintu di bagian depan.

“Bangunan tersebut bernama Langgar, istilah tempat persembahyangan umat Islam namun berukuran kecil”, ujar Ida I Dewa Ketut Raka, Penglingsir Puri Agung Bunutin. Di bangunan itulah, keyakinan multikultur sampai kini tetap terjaga. Tak hanya umat Hindu yang memuja, namun umat Islam juga menelungkupkan tangan dan berdoa menurut keyakinannya dengan menghadap bangunan yang disebut Langgar tersebut.

Dewa Mas Wilis dan Laskar Mengwi

Keberadaan Langgar ini kemudian dituturkan Ida I Dewa Ketut Raka dimulai sekitar abad 16 silam. Pria tua berkacamata ini lantas menceritakan, ada saudara kembar yang tertua bergelar Pangeran Mas Sepuh dan adiknya bergelar Wong Agung Wilis. Kedua saudara kembar ini merupakan putra mahkota dari Kerajaan Blambangan yang sedang melakukan perjalanan kembali pulang dari Kerajaan Gelgel guna melaporkan kekacauan yang ditimbulkan pihak Belanda sebagai pihak penjajah di daerah timur Jawa tersebut.
Dalam perjalanan kembali, rombongan terhenti di Desa Seseh, Badung dikarenakan mereka mendapat kabar bahwa perahu yang rencananya akan membawa mereka menyeberang menuju tanah Blambangan belum tiba. Pangeran Mas Sepuh kemudian memerintahkan sang adik untuk bermalam di salah satu rumah penduduk di desa setempat.

Di tengah kepekatan malam, sebuah petaka yang memilukan terjadi. Kedua bersaudara kembar beserta rombongan tersebut diserbu oleh Laskar Kerajaan Mengwi yang berjumlah sangat banyak. Dalam pertempuran sengit dan tidak berimbang tersebut, Pangeran Mas Sepuh beserta tiga orang pengikutnya tewas. Bukti tewasnya Pangeran Mas Sepuh bisa terlihat di Pura Keramat Ratu Mas Sepuh yang berada di pantai Seseh. Di sana terdapat sebuah batu nisan yang diyakini sebagai makam sang pangeran.

Mengetahui sang kakak telah tewas terbunuh, Wong Agung Wilis beserta 8 orang pengikut yang masih tersisa berusaha menyelamatkan diri. Dalam pelariannya, sang adik berkeinginan melaporkan penyerangan yang dilakukan Laskar Mengwi tersebut kepada Raja Dalem Waturenggong yang saat itu memerintah Kerajaan Gelgel.

Perjalanan terhenti di Desa Bunutin, Bangli dikarenakan Wong Agung Wilis beserta rombongan dihadang oleh penduduk desa. Penduduk desa kemudian menanyakan asal muasal mereka. Warga desa yang mendengarkan penuturan Wong Agung Wilis menjadi iba atas musibah yang terjadi. Atas permintaan sesepuh desa, rombongan pun dipersilahkan menetap dan memberikan jaminan keselamatan kepada mereka semua.

Karena Wong Agung Wilis merupakan keturunan raja, maka penduduk desa menobatkannya sebagai raja yang bergelar I Dewa Mas Wilis dan berkedudukan di Puri Agung Bunutin. Sebagai raja yang telah dipercaya oleh rakyat desa, ia kemudian membuat sebuah pura yang dinamakan Pura Merajan Agung Bunutin. Di pura ini, ia serta seluruh penduduk desa melakukan pemujaan.

Di tengah masa kekuasaanya, I Dewa Mas Wilis wafat. Sang raja meninggalkan seorang permaisuri dan seorang selir. Dari permaisuri, sang raja memiliki dua putra, I Dewa Mas Blambangan dan I Dewa Mas Bunutin. Sementara dari selir memiliki tiga orang putra yang masing-masing bernama, I Dewa Wayan Mas, I Dewa Made Mas dan I Dewa Nyoman Mas.

Untuk mengisi kekosongan kursi raja, maka diangkatlah I Dewa Mas Blambangan sebagai seorang raja. Malapetaka kemudian menimpa. Tak lama setelah memerintah, putra tertua I Dewa Mas Wilis ini jatuh sakit. Sakit yang menimpa I Dewa Mas Blambangan sangat aneh. Berbagai upaya penyembuhan oleh beberapa balian, akan tetapi tak kunjung sembuh. Akibatnya, pemerintahan pun menjadi lumpuh.

Sakit berkepanjangan yang diderita sang kakak membuat I Dewa Mas Bunutin tidak tega dan berinisiatif melakukan tapa semadi di Pemerajan Agung Pura Bunutin. Di tengah malam saat I Dewa Mas Bunutin khusyuk melakukan tapa semadi, sebuah pawisik terdengar bersamaan dengan penampakan seorang pria yang memakai busana serba putih. Pawisik tersebut sangat mengejutkan.

“Wahai Mas Blambangan, Mas Bunutin dan semua anggota keluarga yang berada di tempat ini. Aku Dewaning Selam yang bernama Tuhan Allah. Aku minta supaya dibuatkan pelinggih Langgar tempatmu sembahyang kepadaKu. Jikalau tidak membuat sebagaimana permintaanKu, maka terus menerus secara turun-temurun semua anggota keluarga akan menderita sakit berat tetapi tidak mati (gele-gele). Yang menolak permintaanKu, sudah pasti tidak akan bertahan menghadapi siksaan lahir batin bahkan sampai jatuh kawangsan (patita) keluar dari puri. Sebaliknya, kalau mau membuat Langgar sesuai perintahKu, sudah pasti sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan dan akan terus berbahagia serta penuh kewibawaan,” kisah Ida I Dewa Ketut Raka.

Sesuai pawisik yang diperoleh, I Dewa Mas Bunutin kemudian membangun sebuah Langgar di tengah-tengah pemerajan puri. Di sinilah keajaiban terjadi, I Dewa Mas Blambangan mendadak sembuh dari penyakit yang selama ini menggerogotinya. Sejak itulah, keberadaan bangunan Langgar ini dipelihara dan dirawat sampai sekarang oleh keturunan puri dan penduduk Desa Bunutin.

Ida I Dewa Ketut Raka meyakini, pawisik tersebut besar kemungkinan berasal dari Pangeran Mas Sepuh dan diduga saat kedatangannya ke Bali telah memeluk agama Islam. Di tempat ini, semakin ditegaskan bahwa para pendahulu kita mengerti bagaimana tata cara saling menghormati kehidupan beragama. Ajaran yang mungkin bisa membebaskan kita dari pengkotak-kotakan dalam sebutan sebuah nama: agama. Di pura yang lebih dikenal oleh penduduk desa dengan sebutan Pura Langgar ini dapat disaksikan dan semakin mempertegas bahwasannya Tuhan itu Satu. Terlepas umat mau bersembahyang dimana pun, yang penting dari proses tersebut adalah tujuannya bukan aturan yang baku.

BOX: Kebiasaan Islam dan Idul Adha ala Pura Penataran Agung Dalem Jawa

Kisah terus berlanjut. Sebuah keyakinan multikultur di pura ini masih terjaga utuh hingga kini. Sebuah keyakinan untuk tidak menghaturkan sesajian makanan yang berupa daging babi di lokasi pura. Serta cara pengurbanan yang dilakukan umat Islam dapat dijumpai di pura ini.

“Tradisi kurban dilakukan saat Tilem Kawulu dan hewan yang harus digunakan adalah seekor godel (anakan sapi) yang berwarna merah bang,” ungkap pemangku pura, Ida I Dewa Gede Mangku.

Langgar yang berada di dalam pura yang di-empon 200 kk ini tidak boleh dimasuki sembarang orang. Umat Hindu dan Islam hanya boleh melakukan persembahyangan dan pemujaan di luar bangunan. Hanya pemangku setempat yang diperkenankan untuk memasuki bangunan megah di antara bangunan lainnya di dalam areal Pura Penataran Agung Dalem Jawa.

6 komentar:

  1. EKAM SAT WIPRAH BAHUDA WADANTI, SEBANYAK APAPUN NAMA-MU TERNYATA ..... ENGKAU HANYA SATU YANG MAHA SEGALA-GALNYA....

    BalasHapus
  2. Salam kenal dari LAROS TRUKO

    BalasHapus
  3. Banyak jalan menuju Roma, banyak jalan menuju Tuhan. mari kita jaga kerukunan, karena kita akan kembali semuanya kepada Tuhan.

    BalasHapus
  4. Maaf saya agak ragu dgn kisah diatas,krna kbetulan kami adlh keturunan langsung dri pengiring/punggawa Krajaan Blambangan yg mngiringi Ratu Mas Sepuh yg kini dikeramatkan/dimakamkan di pantai Seseh,Badung.

    BalasHapus
  5. Saya sangat tertarik dengan artikel terkait keberadaan Pura Langgar di Bali. Kebetulan saya sedang memiliki tugas karya ilmiah tentang kunjungan wisatawan ke Pura Langgar. Apabila berkenan, saya akan mengirim kuisioner ke email anda, untuk membantu menambah data tugas saya. Mohon balasannya. Terima kasih

    BalasHapus