Gede Agus Budi Adnyana
Sebagian besar umat Hindu yang berada di Sulawesi adalah orang-orang asal Bali yang dahulu bertransmigrasi ke daerah itu. Ada yang transmigrasi ikut program pemerintah, ada juga yang memang berniat merantau ke sana untuk mencari hal baru, dan ini tentu saja akan membawa dampak yang kuat terhadap perkembangan sosioreligius masyarakat Hindu yang bermukim di sana. Sebatas pengamatan yang dapat dilakukan, terhadap orang Bali yang bermukim di sana, Hindu berkembang dengan jalan yang sedikit susah, namun hari ini sudah semakin terlihat baik.
Jika kita berbicara masalah Hindu yang benar-benar pure Sulawesi, maka kita akan menemukan ada banyak geguat yang mendasari agama Hindu di sana memiliki tata cara berbeda dengan di Bali, sama seperti kitab Panaturan yang menjiwai Hindu Kaharingan. Sulawesi juga memiliki Lontara dan juga Laga-ligo, dan ini sudah tumbuh sumbur dengan baik di bumi sana dari leluhur mereka sampai anak cucunya sekarang.
Jika kita berbicara Hindu Bali yang bermukim di sana, maka lain lagi kisahnya. Sebab, geguat agem-ageman Hindu Bali dibawa ke Sulawesi dan berjalan di sana layaknya umat Hindu Bali. Mereka harus mendak Dewa Hyang, Ngenteg Linggih, ala Bali. Dan Pura-pura di bangun juga dengan ala Bali. Tetapi yang menjadi keheranan dan tampaknya harus ditiru oleh umat Hindu Bali, adalah umat Hindu Sulawesi jauh lebih bisa menghargai tempat suci (Pura) dengan tetap memperhatikan suci lan cemer dengan proporsi yang ideal. Sebut saja contoh di Pura Agung Jagat Natha Palu, Sulawesi Tengah. Di Pura itu, bahkan laki-laki dan wanita diatur sedemikian rupa duduknya agar dapat berkonsentrasi dengan lebih baik.
Hampir sebagian besar pura yang terdapat di Sulawesi tidak kita temukan permainan judi seperti di Bali. Pura di Bali ramai dengan judi bola adil, blok kiu, ceki, spirit, mong-mongan dan tajen. Bahkan terkadang, orang dengan entengnya masuk pura sambil menyusui anaknya. Di Bali sangat jarang odalan diisi dengan kegiatan dharma wacana, tetapi di Sulawesi, dharma wacana rutin dilakukan. Ini untuk memperdalam keyakinan dan pemahaman umat Hindu tentang ajaran mereka. Dengan demikian, keselarasan dapat dimaknai lewat sebuah upacara sekaligus tattwanya.
Kemudian setiap desa di Sulawesi yang memiliki umat Hindu, seperti Sidrap, Tolai, dan yang lainnya juga rutin mengadakan kegiatan yang berbau pemahaman untuk perdalaman keyakinan ajaran agama Hindu. Lomba dharma wacana tiap desa sering dilakukan, begitu juga dengan Utsawa Dharma Gita. Suatu ketika, guru-guru agama Hindu Sulawesi dari berbagai daerah sempat datang ke Bali, dan di Bali mereka membeli banyak buku-buku agama Hindu yang tujuannya disebarkan nanti setibanya di Sulawesi. Kemudian adanya STAH Dharma Santana Palu, merupakan satu bentuk wujud nyata untuk memajukan agama Hindu di sana. Dengan demikian, generasi muda Hindu yang ingin memperdalam ajaran agamanya ataupun yang bercita-cita menjadi guru agama dan dhama duta yang lainnya, tidak perlu-jauh jauh datang ke Bali.
Datang Tak Kembali
Permasalahannya sekarang adalah, masih banyak generasi muda Hindu di Sulawesi yang datang ke Bali untuk belajar agama Hindu dan tidak pernah pulang lagi ke daerahnya di Sulawesi. Oleh sebab itulah, untuk memajukan Hindu Sulawesi kita harus melakukan sebuah perubahan paradigma, dengan mengirimkan tenaga pengajar dari Bali, baik yang berkualifikasi Sarjana ataupun Magister untuk ditempatkan di lembaga-lembaga pendidikan agama Hindu di sana. Dari pada berebut lahan di Bali yang sudah sempit, mengapa anak muda Bali tidak hijrah ke Sulawesi dan membangun spirit Hindu di tanah Sulawesi?
Ada banyak cara yang sebenarnya dipergunakan untuk mempersipkan dharma duta dari Sulawesi untuk belajar dan menimba ilmu di Bali dengan harapan, suatu ketika nanti, ketika dinyatakan telah tamat menempuh pendidikan di Bali, maka mereka akan pulang kembali ke Sulawesi untuk menjadi dharma pracaraka di sana. Tetapi malangnya, hampir sebagian besar anak muda Hindu yang mencari ilmu dan menempuh pendidikan di Bali tidak pulang kembali ke Sulawesi, karena banyak alasan, dan yang paling umum karena cinta.
Penulis tidak menyalahkan sebuah hubungan yang diatur demikian, tetapi jika kita ingin membuat sebuah perubahan menuju Hindu yang baik di Sulawesi dan maju dari yang sekarang, maka orientasi datang ke Bali adalah untuk belajar dan pulang untuk dikembangkan di sana. Penulis sempat mengadakan beberapa wawancara dengan salah seorang anak muda Hindu asal Sulawesi yang bernama Ni Putu Marianti, ia menyatakan bahwa umat Hindu di sana sangat kekurangan buku-buku pelajaan agama Hindu. Kemudian kekurangan tenaga yang benar-benar memiliki kualifikasi dan keterampilan seperti tembang (kidung), membaca pustaka Veda dan kebudayaan yang lainnya.
Kemudian guru-guru agama Hindu untuk semua tingkat pendidikan formal, juga sangat dirasakan kurang. Bahkan ada guru matematika mengajar agama Hindu karena memang di sekolah tersebut tidak ada guru agam Hindu-nya. Jika pembesar dan petinggi lembaga pendidikan Hindu mau serius untuk memajukan Hindu, maka rasio untuk pengangkatan tenaga pendidik agama harus terus ditingkatkan. Adanya moratorium PNS tidak mesti harus menjurus pada tidak diangkatnya tenaga pengajar dan pendidik, dan jika kita boleh jujur, maka di pelosok desa dan daerah terpencil, tenaga pendidikan seperti guru agama memang sangat langka. Maka inilah yang harus diperhatikan untuk memajukan Hindu.
Jika kita komparasikan dengan perbadingan tenaga pengajar pendidik agama Hindu yang tersedia, di Bali saja, maka kita sudah over loade. Kemana mereka harus dibawa? Mereka bingung, dan entah mau kemana? oleh sebab itulah, formasi yang harus diperhitungkan adalah penempatannya harus berada di daerah terpencil di luar Bali seperti Sulawesi untuk tenaga pendidik agama Hindu. Jangan sampai pendidikan agama Hindu terabaikan dan terbengkalai, sedangkan program pemerintah sendiri memajukan kehidupan bangsa yang seimbang antara pembangunan fisik dan rohani.
Jika formasi itu sudah tersedia, maka ada banyak tenaga pendidik agama Hindu yang ada di Bali akan hijrah ke sana dan menjadi dharma duta di sana. Jauh lebih baik demikian. Alangkah konyolnya, jika moratorium harus dilakukan untuk tenaga pendidik, sedangkan ada banyak daerah terpencil yang sangat dan bahkan tidak ada tenaga pengajarnya. Apalagi tenaga pengajar pendidikan agama Hindu. Dengan adanya tenaga pendidik agama Hindu yang berkualifikasi sarjana atau yang lainnya datang ke Sulawesi, maka lambat laun kita akan menemukan kemajuan pemahaman agama Hindu yang jauh lebih baik dari yang sekarang.
Oleh sebab itulah, untuk memajukan agama Hindu di Sulawesi, maka kita harus memperhatikan tiga hal berikut. Pertama, tenaga pendidik, baik pendidik formal dan informal, untuk ditempatkan di sekolah-sekolah atau lembaga yang lain seperti pasraman dan gurukula. Setelah itu yang ke dua adalah sarana, seperti bangunan sekolah, tempat pasraman. Contoh baiknya seperti di jaba Pura Agung Jagat Natha Palu Sulawesi Tengah. Kemudian yang terakhir adalah buku-buku agama Hindu. Jadi alangkah baiknya, jika umat Hindu di Bali juga ikut mepunia, baik materi ataupun buku-buku untuk kemajuan saudara kita yang ada di Sulawesi.
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar