Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 01 November 2011

Perayaan Gita Jayanti 6 Desember 2011 Mengenang Disabdakannya Bhagavadgita

Wayan Ngarayana

Salah satu bagian dari kitab suci Veda yang paling banyak dibaca dan dimiliki baik oleh umat Hindu maupun para pengemar filsafat di seluruh dunia adalah Bhagavad Gita. Meski dalam penggolongannya, Bhagavad Gita dimasukkan ke dalam Veda Smrti yang dikatakan sebagai “ingatan” dan penjabaran dari Veda Sruti, namun pada dasarnya Bhagavad Gita juga merupakan “sruti” atau wahyu langsung dari Tuhan sendiri sebagaimana ditegaskan dalam sloka Bhagavad Gita 15.15; “Vedaiç ca sarvair aham eva vedyo vedänta-kåd veda-vid eva cäham, Akulah yang harus diketahui dari segala Veda; memang Akulah yang menyusun Vedanta, dan Akulah yang mengetahui Veda”. Dari sloka ini kita dapat mengetahui bahwa penyabda Bhagavad Gita adalah sama dengan penyabda Veda-Veda itu sendiri, yaitu Krishna, Tuhan Yang Maha Esa.
Kenapa Bhagavad Gita digolongkan dalam Veda Smrti? Tidak lain karena Bhagavad Gita juga merupakan penggalan Bhisma Parwa dari kitab Suci Mahabharata, di mana secara umum kitab Mahabharata dan juga Ramayana merupakan penceritaan kembali sejarah kepahlawanan dan “lila” Tuhan yang tergolong Smrti.

Hari pewahyuan Bhagavad Gita dikenal sebagai Gita Jayanti yang diperingati setiap tahunnya oleh milyaran umat Hindu di dunia pada hari ke-11 saat Shukla Paksha (bulan mati menuju purnama) pada bulan Margashirsh yang juga merupakan hari Ekadasi. Pada tahun 2011 ini, Gita Jayanti akan jatuh pada hari Sabtu tanggal 6 Desember 2011.

Bhagavad Gita disampaikan oleh Krishna kepada Arjuna tepat di tengah-tengah medan perang Kuruksetra (Dharmaksetra). Saat ini, di tempat tersebut disebut sebagai Jyotisar Tirtha dan di sana didirikan monument, di mana Krishna sebagai Parthasarati (supir kereta) dari Arjuna. Di dekat bangunan tersebut terdapat sebuah pohon yang sangat tua yang diyakini sebagai saksi bisu pewahyuan Bhagavad Gita enam ribu tahun silam. Pada saat hari Gita Jayanti biasanya orang-orang bertirtayatra ke tempat tersebut dimulai sejak pagi hari. Mereka melakukan arati/pemujaan, pembacaan Bhagavad Gita, shobha yatra dan juga mimbar tentang Gita. Kegiatan ini biasanya baru berakhir pada pagi berikutnya.

Menurut kitab suci Mahabharata, dikisahkan malam sebelum perang berlangsung, Maha Rsi Vyasa datag ke Astinapura menemui Drstaratha untuk memberikan wejangan dan kekuatan magis agar Drstaratha yang buta sejak lahir dapat melihat anak-anaknya pada detik-detik terakhir hidup mereka. Namun Drstaratha menolaknya, karena dia tidak sanggup melihat kematian anak-anaknya yang sudah pasti akan terjadi. Karena itulah akhirnya Maha Rsi Vyasa memberikan kemampuan penglihatan batin tersebut kepada Sanjaya, sais yang setia mendampingi Drstaraha selama perang Bharata berlangsung. Dengan anugerah tersebut, Sanjaya dapat mengetahui apa saja yang terjadi di medan perang, baik siang maupun malam. Bahkan dia mampu membaca pikiran orang-orang dalam medan perang tersebut.

Jadi dalam perang Bharata ini, terdapat tiga pribadi yang dapat mengetahui jalannya perang secara lengkap, yaitu Sanjaya, Maha Rsi Vyasa dan Krishna, Tuhan yang Maha Esa penyabda Bhagavad Gita. Mungkin muncul pertanyaan, kenapa Maha Rsi Vyasa dapat menganugerahkan kemampuan seperti itu kepada Sanjaya dan beliau sendiri dapat menuliskan Mahabharata dan mengkodifikasi Veda secara lengkap? Karena Maha Rsi Vyasa bukanlah manusia atau Rsi biasa, namun beliau adalah Avatara Tuhan sendiri sebagaimana dijelaskan dalam Visnu Purana skanda 3 bab 3, Tattva-sandarbha (16.2), dan juga dalam Bhagavata purana 1.3.21 dan 2.7.36.

Dalam Dharma Yudha (peperangan yang didasarkan atas Dharma) ini ada beberapa aturan dasar yang harus disepakati oleh kedua belah pihak dan sama sekali tidak boleh di langgar, yaitu; pertarungan hanya diperkenankan secara duel atau satu orang lawan satu, tidak diperkenankan untuk membunuh tentara yang sudah menyerah, tidak diperkenankan menyerang kusir, tentara tanpa senjata dan juga membunuh hewan-hewan. Tentunya peperangan pada jaman sekarang ini tidak seperti ini kan? Karena itulah semua peperangan yang terjadi pada jaman Kali ini tidak dapat dikatakan sebagai dharma yudha.

Menjelang pewahyuan Bhagavad Gita, tentara Pandawa mengambil sisi sebelah barat dan menghadap ke timur yang terletak di dekat sebuah danau. Sementara pasukan Korawa yang menggunakan umbul-umbul putih terletak tepat berlawanan dan saling berhadap-hadapan. Masing-masing pasukan meniupkan sankakala dan menabuh genderang sebagai tanda kesiapan mereka untuk berperang.

Pasukan Korawa yang diatur oleh Duryodana terdiri dari 11 Akshauhini, di mana satu Akshauhini angkatan darat terdiri dari 21. 870 kereta perang, 21.870 gajah, 65.610 kuda dan 109.350 prajurit pejalan kaki. Pasukan-pasukan Korawa ini mengikuti prinsip Danur Veda yang menerapkan teknik Vyuha, atau pembagian pasukan ke dalam kesatuan-kesatuan tempur. Satu Akshauhini pasukan dipimpin langsung oleh Bhisma yang juga sebagai pengendali utama pasukan-pasukan yang lain. Beliau mengendarai kereta perak berbendera berlambangkan matahari terbit berwarna emas dan dengan diarik oleh kuda-kuda putih. Semua prajurit utama, seperti Ashwatama, Salya, Burishwara dan lain-lain berada di dekat Bhisma.

Pada pertempuran hari pertama ini, satu-satunya prajurit yang menolak untuk ikut bertempur karena adanya perjanjian tertentu sebelumnya adalah Karna, yang sebenarnya adalah kakak tertua para Pandawa. Yudistira sendiri kebingungan menyaksikan pasukan Korawa yang sangat besar dengan 11 Akshauhini, sementara Pandawa hanya memiliki 7 Akshauhini pasukan. Karena itulah mereka menerapkan strategi perang Vyuha bernama Vajra yang dikatakan merupakan stategi perang favoritnya Dewa Indra. Di mana pertahanan difokuskan pada kedua sisinya dan bagian tengah adalah penyerang.

Namun sesat sebelum perang dimulai, di saat Arjuna meminta Krishna membawa keretanya ke area antara kawan dan lawan, dia menyaksikan Bhisma, yaitu kakeknya memimpin pasukan lawan. Arjuna menjadi lemas dan kehilangan semangat bertempur. Pada saat-saat inilah detik-detik pertama Bhagavad gita disabdakan.

Penyabdaan Bhagavad Gita ini merupakan momen yang sangat penting bagi sebagian besar umat Hindu di dunia, karena Bhagavad Gita merupakan sabda kesimpulan dan juga ringkasan dari jutaan sloka-sloka Veda. Bahkan Siva dalam kitab Gita Mahatmya juga menyanjung keagungan Bhagavad Gita dengan mengatakan bahwa dengan hanya mengerti dan melaksanakan ajaran Bhagavad Gita dengan baik, setiap orang sudah pasti dapat mencapai pembebasan.

Bagaimana cara mengerti Bhagavad Gita? Bhagavad Gita harus dipelajari dalam suasana hati Arjuna saat menerima ajaran suci tersebut. Kenapa Arjuna yang dapat menerima ajaran Bhagavad Gita yang dikatakan sebagai pengetahuan yang paling utama ini? Jawabannya terdapat dalam Bhagavad Gita 4.3 dan 13.19, ”bhakto’si me sakha ceti rahasyam hy etad uttamam”, “mad bhakto etad vinaya mad bhava yo papadyate”. Karena Arjuna adalah penyembah dan kawan Krishna yang tidak iri hati. Jadi Bhagavad Gita hanya dapat dimengerti secara tepat jika setidaknya seseorang membaca Bhagavad Gita dengan memposisikan penyabda Bhagavad Gita, yaitu Krishna sebagai Tuhan Yang Maha Esa, tidak memiliki egosime, tidak bersikap spekulatif dan dengan sikap tunduk hati.

Pesan keuniversalan Bhagavad Gita yang mengakibatkannya dapat dibaca oleh setiap orang tanpa pengkotak-kotakan agama, suku atau golongan, namun untuk menghindari sikap spekulatif dan tafsir-tafsir keliru, Sri Krishna dengan tegas mengatakan bahwa untuk mengerti Bhagavad Gita, haruslah dipelajari dan diterima dari Guru kerohanian (Acarya) melalui proses parampara dalam garis perguruan (sampradaya) yang sah sebagaimana tertuang dalam Bhagavad Gita 13.8, 4.2 dan 4.34.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar