Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 24 Mei 2011

Masyarakat Serangan Ingin Memanfaatkan Lahan Kosong Reklamasi

Laporan Nyoman Suamba

Prihatin terhadap pembangunan di tanah kelahirannya di Desa Serangan, salah seoranmg tokoh setempat, yaitu, I Wayan Losmen menyuarakan tuntutan masyarakat yang intinya berharap supaya pemerintah segera mengambil alih atas penguasaan tanah yang terlantar di areal desa tersebut untuk dikembangkan dan diberikan masyarakat untuk mengelolanya. Hal itu dikatakan Losmen pada akhir Maret 2011 lalu di Serangan kepada majalah Raditya.


Menurutnya, janji-janji yang diberikan sejal puluhan tahun lalu oleh PT.BTID yang beroperasi di wilayah itu ternyata tidak ada realisasinya hingga kini. “Dulu Pulau Serangan yang oleh masyarakat setempat diyakini sebagai anugerah dewata, di mana pantainya yang landai dapat menopang kehidupan masyarakat, tetapi kini setelah pantaimnya rusak, masyarakat setempat menjadi susah,” jelas Losmen. Ia menambahkan, masyarakat Serangan sangat bergantung kepada alam di dalam mempertahankan kehidupannya, tetapi jika Pulau Serangan sudah rusak salah satunya akibat reklamasi pantai, maka ke mana lagi masyarakat harus mengais rejeki.

Dalam pandangannya, PT. BTID yang merusak tatanan keasrian pantai Serangan hanyalah perusahan yang sekadar simbolis semata, karena ia menengarai di baliknya BTID hanyalah semacam “makelar” besar yang akan bisa menjual lahan hasil reklamasi tersebut. Karena itulah apa yang pernah dijanjikan oleh PT.BTID kepada masyarakat akhirnya hingga kini tak pernah terealisasi.

Losmen menilai hal ini terjadi, karena salahnya sistem dahulu dalam menjaga dan cara memanfaatkan tata ruang Bali. “Kami masyarakat kecil tidak mampu berbicara banyak, dan kami hanya bisa berdoa pada Hyang Widhi Wasa, semoga ke depan keadaan nanti bertambah baik.” Ia juga tak menampik, bahwa apa yang terjadi semenjak puluhan tahun yang lalu diyakininya sebagai karma atas perbuatan para pendahulunya yang hanya melihat kesenangan semata, sehingga mengorbankan segala cara untuk kesenangan kelompoknya sesaat. “Dan sekarang kami yang harus menanggung beban tersebut,” ratapnya.

Tokoh desa ini juga merasa sangat kehilangan dan menyayangkan atas apa yang kini terjadi, di mana anugerah dewata seolah disia-siakan, di mana tokoh-tokoh Hindu tidak dapat melihat dan merasakannya, baik sekala maupun niskala. Alam Serangan telah tereksploitasi oleh tangan-tangan jahil yang tidak bertanggung jawab.

“Akan tetapi apa boleh buat, dengan adanya masalah ini masih ada kesempatan sebenarnya bagi kami untuk mewujudkan harapan yang berkeadilan dan berkesejahteraan. Tanah yang tak terurus ini sebaiknya segera dibangun dan pengelolaannya diberikan kepada masyarakat, paling tidak kami minta bisa memanfaatkan tanah tanah tersebut sebagai usaha ternak sapi, berkebun dan mengelola yang sudah ada,” harapnya. Ia menyebutkan, seperti dib areal reklamasi tersebut yang sebagian merupakan tanah kehutanan agar diberikan masyarakat dalam mengelola objek wisata spiritual untuk menjadikan areal tersebut sebagai areal tempat meditasi, karena keberadaan Pura Sakenan tersebut bisa dikatakan adalah hidup matinya penduduk setempat. Artinya penduduk dan pura yang ada di Serangan tidak bisa dipisahkan. saat ini masyarakat juga merasa terusik atas kanal-kanal yang dibangun yang ternyata memberikan rasa ketidaknyamanan karena airnya keruh dan banyak sampah, sehingga penyakit seperti lalat, nyamuk berkembang biak dan telah menyakiti warga setempat. Situasi ini terlihat ganjil ketika warga masyarakat melakukan ruwatan ritual perayaan melasti dan pelaksanaan piodalan di pura tersebut, karena masyarakat harus melewati perjalanan yang berliku karena harus mengikuti alur kanal yang jelas-jelas merupakan jurang pemisah bagi warga untuk menuju tempat sembahyang. Keadaan ini jelas merupakan ekploitasi terhadap warga masyarakat yang lemah.

Saat ini masyarakat merasakan derita yang mendalam, sehingga kini masyarakat merindukan masa lalu, di mana masyarakat bisa mengais rejeki dengan mudah. Sebaliknya, sekarang para nelayan sangat susah bisa mendapatkan rejeki seperti dahulu, di mana rumah-rumah ikan tersebut sudah hilang dan masyarakat tidak bisa berkutik. Masyarakat juga mengeluhkan kalau mereka hanya bisa bekerja pada profesi terbatas, karena dasar pendidikan yang dipunyailah hanyalah berbekal pendidikan sampai sekolah dasar. Terbukti masyarakat hanya paling bisa bekerja menjadi kuli kasar dan itu pun sudah dirasa tidak mencukupi untuk menyekolahkan anak-anaknya. Untuk itu masyarakat berharap ada perhatian, baik dari siapa pun agar tanah kosong tersebut cepat dibangun. Kalau tidak minimal masyarakat bisa memanfaatkannya, karena pertumbuhan penduduk juga semakin bertambah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar